Rabu, 23 Maret 2011

TELAAH TENTANG PENYUSUAN ANAK ORANG LAIN YANG BERUSIA LEBIH DARI DUA TAHUN

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Dalam kitab Shahihu Fiqhis Sunnah disebutkan adanya perselisihan di kalangan ulama, perihal penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun. Sebagian mereka berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan, sedang sebagian yang lain mengatakan sebaliknya.
Disamping adanya perbedaan pendapat di atas, penulis juga ditanyai oleh seorang ibu yang telah menyusui anak saudara suaminya yang berumur kurang lebih sembilan tahun. Tujuan beliau adalah untuk menjadikannya mahram bagi enam anak perempuannya dan khususnya bagi dirinya sendiri.
Dengan adanya perbedaan pendapat dan pertanyaan tersebut, maka penulis termotivasi untuk membahas masalahan ini.
Untuk memperoleh jawaban yang shahih, penulis mengadakan penelitian dan menulisnya sebagai karya ilmiah yang berjudul Telaah tentang Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang penulis ajukan adalah: Apakah penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan atau tidak?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin penulis peroleh dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan atau tidak.
4. Kegunaan Penelitian
Penulis berharap penelitian ini berguna untuk:
4.1 Meningkatkan wawasan ilmu fiqh bagi penulis khususnya dan bagi muslimin umumnya.
4.2 Latihan berpikir ilmiah bagi penulis.
4.3 Memberikan penjelasan kepada muslimin tentang penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan atau tidak.
5. Metode Penelitian
5.1 Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis membaca, mencatat, dan menelaah kitab-kitab yang berkaitan dengan hukum menyusui anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun. Data–data yang penulis gunakan bersumber dari kitab-kitab perpustakaan yang meliputi kitab tafsir, kitab hadits, kitab fiqh, kitab syarah, kitab rijal, kitab ushul fiqh, kitab musthalahul hadits, dan beberapa kitab lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
5.2 Jenis Data
Data-data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kali , sedangkan data sekunder adalah data yang tidak secara langsung diperoleh dari sumber pertama, bisa dari pihak kedua, ketiga dan seterusnya .
Karena penelitian ini merupakan penelitian literer, maka yang dimaksud data primer disini adalah data yang penulis nukil dari kitab asal (kitab karya pengarang sendiri). Misalnya pendapat Imam An-Nawawi yang penulis peroleh dari kitab Al-Majmu'u Syarhul Muhadzdzab, kitab karangan beliau sendiri. Adapun data sekunder adalah data yang penulis nukil bukan dari kitab asal. Misalnya pendapat Imam Al-Auza'i yang penulis peroleh dari kitab 'Aunul Ma'bud karya Abuth Thayyib Abadi.
Istilah data primer dan data sekunder hampir serupa dengan kedudukan hadits 'ali dan hadits nazil dalam ilmu Mushthalah Hadits.
Hadits 'ali adalah hadits yang rangkaian rawinya lebih pendek dibandingkan dengan rangkaian rawi lain pada hadits yang sama. Adapun hadits nazil adalah hadits yang rangkaian rawinya lebih panjang dibandingkan dengan rangkaian rawi lain pada hadits yang sama.
Perbandingan antara data primer dan data sekunder dengan periwayatan hadits 'ali dan nazil dalam makalah ini adalah:
Data primer adalah data yang penulis nukil langsung dari kitab sumbernya, sedangkan data sekunder adalah data seseorang yang penulis nukil dari kitab orang lain. Ini menunjukkan bahwa jalan penukilan yang penulis dapatkan dari data primer lebih singkat daripada jalan penukilan dari data sekunder, sehinga lebih terjamin kebenaran atau ketepatannya. Hal ini sebagaimana hadits 'ali yang jalan periwayatannya lebih singkat dan terjamin kebenarannya daripada hadits nazil.
5.3 Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif adalah cara berpikir berdasarkan sesuatu yang umum untuk menentukan yang khusus. Adapun metode induktif adalah cara berpikir berdasarkan sesuatu yang khusus untuk menentukan yang umum.
Dalam ilmu Ushul Fiqh, ada istilah yang dikenal dengan al-'amm dan al-khashsh. Al-'amm adalah suatu lafal yang mencakup seluruh macamnya tanpa adanya batas, sedangkan al-khashsh adalah suatu lafal yang menunjukkan sesuatu secara terbatas. Data umum dan data khusus dalam ilmu Metodologi Riset serupa dengan al-'amm dan al-khashsh dalam ilmu Ushul Fiqh dari segi keumuman dan kekhususannya.
Istilah deduksi dan induksi hampir sama dengan bab idkhalul khashshi ilal 'amm (memahami lafal yang khusus berdasarkan lafal yang umum) dan bab idkhalul 'ammi ilal khashsh (memahami lafal yang umum dari lafal yang khusus) dalam ilmu Ushul Fiqh.
Perbandingan antara deduksi dan induksi dengan istilah idkhalul khashshi ilal 'amm dan idkhalul 'ammi ilal khashsh dalam makalah ini adalah:
Bab idkhalul khashshi ilal 'amm hampir sebanding dengan cara berfikir deduksi dari segi pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum untuk menentukan sesuatu yang khusus, sedangkan idkhalul 'ammi ilal khashsh hampir sebanding dengan cara berfikir induksi dari segi pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang khusus untuk menentukan sesuatu yang umum.
6. Sistemastika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca memahami karya ilmiah ini, penulis akan menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bagian awal berisi halaman judul, pengesahan, kata pengantar, dan daftar isi.
Bagian tengah yang merupakan inti makalah ini berisi atas lima bab.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab ke dua berisi dalil-dalil yang berkaitan dengan penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun.
Bab ke tiga berisi pendapat ulama tentang penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun. Pendapat ulama terbagi menjadi empat bagian. Pertama, penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan. Kedua, penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun mengharamkan secara tidak mutlak. Ketiga, penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun mengharamkan secara mutlak. Keempat, penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun mengharamkan dalam kondisi darurat.
Bab ke empat berisi analisis dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum menyusui anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun.
Bab ke lima berisi analisis pendapat-pendapat ulama tentang penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun.
Bab ke enam berisi penutup yang meliputi simpulan dan saran.
Bagian akhir dari karya ilmiah ini berisi daftar pustaka yang merupakan rujukan data-data dalam karya ilmiah ini lalu diikuti lampiran.


BAB II
DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN PENYUSUAN ANAK ORANG LAIN YANG BERUSIA LEBIH DARI DUA TAHUN

1. Surat Al-Baqarah (2) Ayat 233
Lafal, Arti, dan Maksud Ayat
وَ الْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ . [ البقرة (2) : 233 ]
Artinya:
Para ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang hendak menyempurnakan penyusuan. [ Al-Baqarah (2): 233 ]
Ayat di atas menerangkan bahwa para ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun karena itu merupakan penyusuan yang sempurna.
2. Surat Al-Ahqaf (56) Ayat 15
Lafal, Arti Ayat, dan Maksud Ayat
وَ حَمْلُهُ وَ فِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا . [ الأحقاف (46) : 15 ]
Artinya:
Masa hamil dan masa penyusuannya adalah tiga puluh bulan. [ Al-Ahqaf (46): 15 ]
Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma berkata:
إِذَا حَمَلَتْ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ أَرْضَعَتْ إِحْدَى وَ عِشْرِيْنَ شَهْرًا ، وَ إِنْ حَمَلَتْ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَرْضَعَتْ أَرْبَعَةَ وَ عِشْرِيْنَ شَهْرًا .
Artinya:
Apabila dia hamil selama sembilan bulan, dia menyusui selama dua puluh satu bulan. Dan apabila dia hamil selama enam bulan, dia menyusui selama dua puluh empat bulan.
3. Surat Luqman (31) Ayat 14
Lafal, Arti, dan Maksud Ayat
وَ فِصَالُهُ فِيْ عَامَيْنِ . [ لقمان (31) : 14 ]
Artinya:
Dan penyapihannya ketika (umur) dua tahun.
[Luqman (31):14]
Al-Qurthubi menafsirkan ayat di atas dalam kitab tafsirnya berikut:
( وَ فِصَالُهُ ) أَيْ وَ فِصَالُهُ فِى انْقِضَاءِ عَامَيْنِ ، وَ الْمَقْصُوْدُ مِنَ الْفِصَالِ الْفِطَامُ ، فَعُبِّرَ بِغَايَتِهِ وَ نِهَايَتِهِ .
Artinya:
Lafal ( وَ فِصَالُهُ ) adalah pisahnya (bayi) setelah selesai dua tahun, dan maksud lafal الْفِصَالِ adalah penyapihan, maka lafal tersebut ditafsirkan dengan batas akhir (dimulainya) penyapihan.
4. Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan yang Menghilangkan Rasa Lapar
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Hadits
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهَا أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَ عِنْدَهَا رَجُلٌ ، فَكَأَنَّهُ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذلِكَ ، فََقَالَتْ إِنَّهُ أَخيْ ، فَقَالَ أُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ . [ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ وَ اللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ ] .
Artinya:
Dari 'Aisyah radliyallahu 'anha bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihhi wa sallam memasuki (rumah) 'Aisyah sedangkan padanya ada seorang laki-laki, maka seakan-akan wajah beliau berubah karena membenci hal itu. Maka dia ('Aisyah) berkata: Sesungguhnya dia adalah saudara laki-lakiku. Maka beliau bersabda: Perhatikanlah oleh kalian siapa saudara-saudara kalian! Maka sesungguhnya tiada lain penyusuan itu dari sebab lapar. (Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkannya sedang lafal ini milik Al-Bukhari).
Hadits di atas menerangkan bahwa tidak semua penyusuan dapat menjadikan mahram. Penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang menghilangkan rasa lapar.
5. Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan Salim
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Hadits
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! إِنِّي أَرَى فِيْ وَجْهِ أَبِيْ حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُوْلِ سَالِمٍ (وَ هُوَ حَلِيْفُهُ) فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَرْضِعِيْهِ قَالَتْ وَ كَيْفَ أُرْضِعُهُ وَ هُوَ رَجُلٌ كَبِيْرٌ فَتَبَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ قَالَ : قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ .
زَادَ عَمْرٌو فِيْ حَدِيْثِهِ وَ كَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَ فِيْ رِوَايَةِ ابْنِ أَبِيْ عُمَرَ فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ و سَلَّمَ . [ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ ] .
Artinya:
Dari 'Aisyah, dia berkata: Sahlah binti Suhail datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku melihat (rasa cemburu) pada raut wajah Abu Hudzaifah dari sebab masuknya Salim (dan Salim adalah orang yang mengadakan perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Susuilah dia. Kemudian Sahlah menjawab: Bagaimana aku menyusuinya sedangkan dia adalah laki-laki dewasa. Maka Rasulallah shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda: Sungguh aku tahu bahwa dia adalah laki-laki dewasa.
'Amr menambahkan di dalam periwayatannya وَ كَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا dan Salim telah mengikuti (perang) Badar, sedangkan di dalam periwayatan Ibnu Abi 'Umar (dengan lafal) فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ و سَلَّمَ (kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa). (Muslim telah mengeluarkannya).
Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha di atas menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah–istri Abu Hudzaifah–menyusui Salim karena Abu Hudzaifah cemburu dengan kehadiran Salim yang seorang ajnabi. Tatkala itu Salim telah dewasa, sedang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tahu akan hal tersebut.
6. Hadits Ummi Salamah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan Sebelum Penyapihan
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Hadits
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ ) وَ َفاطِمَةُ بِنْتُ الْمُنْذِرِ بْنِ الْزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَ هِيَ امْرَأَةُ ِهشَامِ بْنِ عُرْوَةَ( عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ اْلأََمْعَاءَ فِى الثَّدْيِ ، وَ كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ . ] أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَ قَالَ هذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ [.
Artinya:
Dari Fathimah binti Mundzir (sedangkan Fathimah binti Mundzir bin Zubair bin 'Awwam dan dia adalah istri Hisyam bin 'Urwah) dari Ummi Salamah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Penyusuan itu tidaklah menjadikan mahram kecuali penyusuan yang membelah usus di masa penyusuan dan itu adalah sebelum penyapihan. (At-Tirmidzi telah mengeluarkannya dan berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Hadits di atas menerangkan bahwa penyusuan itu mengharamkan apabila dilakukan sebelum masa penyapihan karena penyusuan tersebut membelah usus, yaitu penyusuan yang mengenyangkan.
7. Hadits 'Ali radliyallahu 'anhu tentang Penyusuan Setelah Penyapihan
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Hadits
عَنِ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : لاَ رَضَاعَ بَعْدَ الْفِصَالِ . [ أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَاقِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ . ]
Artinya:
Dari 'Ali dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada penyusuan sesudah penyapihan. ('Abdurrazzaq telah mengeluarkannya dengan sanad yang hasan ).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa penyusuan yang dilakukan sesudah penyapihan dianggap tidak syah.
8. Hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu tentang Penyusuan yang Menguatkan Tulang dan Menumbuhkan Daging
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Hadits
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَعْنَاهُ وَ قَالَ : وَ أَنْشَرَ الْعَظْمَ . [ أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ . ] .
Artinya:
Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam semakna dengannya (atsar sebelumnya). Dan beliau bersabda: Dan menguatkan tulang. (Abu Dawud telah mengeluarkannya dengan sanad yang hasan)
Adapun lafal atsar sebelumnya adalah:
عَنِ ابْنٍ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : لاَ الرَّضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَ أَنْبَتَ اللَّحْمَ فَقَالَ أَبُوْمُوْسَى : لاَ تَسْأَلُوْنَا وَ هذَا الْحَبْرُ فيِِْكُمْ . [ أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ ] .
Artinya:
Dari salah seorang anak Ibnu Mas'ud dari Ibnu Mas'ud berkata: Tidak ada penyusuan kecuali penyusuan yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka Abu Musa berkata: Janganlah kalian bertanya kepadaku sedangkan orang pintar ini berada di antara kalian. (Abu Dawud telah mengeluarkannya dengan sanad yang dla’if)
Hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu di atas menjelaskan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila penyusuan tersebut menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.
9. Atsar Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma tentang Penyusuan dalam Umur Dua Tahun
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Atsar
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا كَانَ فِى الْحَوْلَيْنِ .[ أَخْرَجَهُ سَعِيْدُ بْنُ الْمَنْصُوْرِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ وَ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ وَ اللَّفْظُ لِسَعِيْدِ بْنِ الْمَنْصُوْرِ ] .
Artinya:
Dari Ibnu 'Abbas berkata: Tidak ada penyusuan kecuali penyusuan yang (dilakukan) dalam (umur) dua tahun. (Sa'id bin Manshur telah mengeluarkannya dengan sanad yang shahih dan Ad-Daraquthni dengan sanad yang dla’if, sedang lafal ini milik Sa'id bin Manshur).
Atsar tersebut menjelaskan bahwa penyusuan tidak dianggap syah kecuali penyusuan yang dilakukan dalam dua tahun.
10. Atsar Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma tentang Penyusuan di Masa Kecil
Lafal, Arti, Takhrij, dan Maksud Atsar
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُوْلُ : لاَ رَضَاعَةَ إِلاَّ لِمَنْ اُرْضِعَ فِى الصِّغَرِ ، وَ لاَ رَضَاعَةَ لِكَبِيْرٍ . [ أَخْرَجَهُ مَالِكٌ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ ] .
Artinya:
Dari Nafi' bahwasanya 'Abdullah bin 'Umar berkata: Tidak ada penyusuan (yang menjadikan mahram) kecuali bagi yang disusui di masa kecil, dan tidak ada penyusuan untuk orang dewasa. (Malik telah mengeluarkannya dengan sanad yang shahih).
Atsar Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma di atas menjelaskan bahwa penyusuan dapat menjadikan mahram apabila dilakukan di masa kecil. Adapun penyusuan terhadap orang dewasa tidaklah mengharamkan.


BAB III
PENDAPAT ULAMA TENTANG PENYUSUAN ANAK ORANG LAIN YANG BERUSIA LEBIH DARI DUA TAHUN

1. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua TahunTidak Mengharamkan
Dalam pembahasan ini, Imam Asy-Syafi'i termasuk dari kalangan ulama yang berpendapat bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Pernyataan ini sebagaimana yang beliau kemukakan dalam kitab Al-Umm sebagai berikut:
فَجُمَّاعُ فَرْقِ مَا بَيْنَ الصَّغِيْرِ وَ الْكَبِيْرِ أَنْ يَكُوْنَ الرَّضَاعُ فِى الْحَوْلَيْنِ ... .
Artinya:
Titik terang (yang membedakan) antara (penyusuan) anak kecil dan orang dewasa adalah penyusuan tersebut (dilakukan) dalam (umur) dua tahun … .
Perbedaan antara penyusuan anak kecil dan orang dewasa yang beliau maksud adalah penyusuan anak kecil dapat mengharamkan, sedangkan penyusuan orang dewasa tidak mengharamkan. Dikatakan penyusuan anak kecil ( الصَّغِِيْرِ رَضَاعُ ) apabila penyusuan tersebut dilakukan dalam umur dua tahun, sedangkan yang disebut dengan penyusuan orang dewasa (رَضَاعُ الْكَبِيْرِ ) adalah penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun.
Adapun pendapat beliau mengenai penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun adalah penyusuan tersebut khusus bagi Salim. Beliau mengakatan:
... وَ هذَا وَ اللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ فِي سَالِمٍ مَوْلَى أَبِيْ حُذَيْفَةَ خَاصَّةً ... وَ إِذَا كَانَ هَذَا لِسَالِمٍ خَاصَّةً فَالْخَاصُّ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ مُخْرَجًا مِِنْ حُكْمِ الْعَامِ وَ إِذَا كَانَ مُخْرَجًا مِِنْ حُكْمِ الْعَامِ فَالْخَاصُّ غَيْرُ الْعَامِ وَ لاَ يَجُوْزُ فِى الْعَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَضَاعُ الْكَبِيْرِ لاَ يُحَرِّمُ ... .
Artinya:
... Dan hal ini (penyusuan orang dewasa) khusus bagi Salim bekas hamba sahaya Abu Hudzaifah, wallahu a'lam. ... Dan apabila hal ini khusus bagi Salim, maka tidak ada sesuatu yang khusus kecuali dikeluarkan dari hukum yang umum dan apabila hal ini dikeluarkan dari hukum yang umum, maka sesuatu yang khusus tersebut tidak (termasuk hukum) yang umum itu dan tidak berlaku pada (hukum) yang umum tersebut kecuali bahwasannya penyusuan terhadap orang dewasa tidak mengharamkan ... .
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat Imam Asy-Syafi'i adalah penyusuan anak orang lain yang lebih dari dua tahun tidak mengharamkan karena penyusuan tersebut khusus bagi Salim.
Imam An-Nawawi , Az-Zuhri, Qatadah, Asy-Sya'bi, Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad, Abu Tsaur, dan Ibnu Syubrumah berpendapat sebagaimana Imam Asy-Syafi'i.
2. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Mengharamkan secara Tidak Mutlak
2.1 Pendapat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz
Dalam kitab Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim menukil pendapat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai berikut:
قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ: مُدَّتُهُ اِلَى سَبْعَ سِنِيْنَ .
Artinya:
'Umar bin 'Abdul 'Aziz berpendapat: Masa penyusuan (yang mengharamkan) itu sampai tujuh tahun.
Beliau berpendapat bahwa batas masa penyusuan yang mengharamkan itu sampai anak berumur tujuh tahun.
2.2 Pendapat Imam Abu Hanifah
Dalam kitab Rawa`i’ul Bayan, Ash-Shabuni menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah sebagai berikut:
ذَهَبَ اْلإِمَامُ أََبُوْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ اِلَى أَنَّ مُدَّةَ الرَّضَاعِ الْمُحَرَّمِ سَنَتَانِ وَ نِصْفٌ ، وَ دَلِيْلُهُ فِيْ سُوْرَةِ اْلأَحْقَافِ قَوْلُهُ تَعَالَى ( حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَ وَضَعَتْهُ كُرْهًا وَ حَمْلُهُ وَ فِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا ... ) .
وَ لَخَّ فِى اْلإِسْتِدْلاَلِ مِنَ اْلأيَةِ الْكَرِيْمَةِ وَجْهَانِ
الْوَجْهُ اْلأَوَّلُ : أَنَّ اْلمُرَادَ بِالْحَمْلِ هُنَا لَيْسَ حَمْلُ الْجَنِيْنِ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ ، وَ إِنَّمَا حَمْلُهُ عَلَى الْيَدَيْنِِ مِنْ أَجْلِ اْلإِرْضَاعِ فَكَأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ : تَحْمِلُ اْلأُمُّ وَلَدَهَا بَعْدَ الْوِلاَدَةِ لِتُرْضِعَهُ مُدَّةَ ثَلاَثِيْنَ شَهْرًا ، فَتَكُوْنُ الْمُدَّةُ الْمَذْكُوْرَةُ فِيْ اْلأَيَةِ الْكَرِيْمَةِ لِشَيْءٍ وَاحِدٍ وَ هُوَ الرَّضَاعُ .
الْوَجْهُ الثَّانِى : أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى ذَكَرَ فِى اْلأَيَةِ الْكَرِيْمَةِ أَمْرَيْنِ وَ هُمَا : ( الْحَمْلُ ) وَ (الْفِصَالُ ) وَ أَعْقَبَهُمَا بِذِكْرِ بَيَانِ الْمُدَّةِ ، َتَكُوْنُ هذِهِ الْمُدَّةُ لِكُلٍّ مِنَ اْلأََمْرَيْنِ اسْتِقْلاَلاً وَ يُصْبِحُ الْمَعْنَى عَلَى هذَا التَّأْوِيْلِ حَمْلُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا ، وَ فِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا اَيْ إِنَّ الْمُدَّةَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا ( عَامَانِ وَ نِصْفٌ ) وَ بِذلِكَ يُثْبَتُ أَنَّ مُدَّةَ الرَّضَاعِ عَامَانِ وَ نِصْفٌ ... .
Artinya:
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa penyusuan yang mengharamkan adalah dua setengah tahun, dalilnya pada surat Al-Ahqaf yaitu firman Allah Ta’ala حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ كُرْهًا وَ وَضَعَتْهُ كُرْهًا وَ حَمْلُهُ وَ فِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا ... (ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Adapun masa hamil dan masa penyusuannya adalah tiga puluh bulan ... ).
ِAbu Hanifah telah salah dalam pengambilan dalil dari ayat yang mulia tersebut, dari dua arah yaitu:
Pertama, maksud (lafal) الْحَمْلُ di sini bukan mengandung janin di dalam perut ibunya, melainkan menggendong bayi dengan dua tangan dari sebab penyusuan, maka seakan-akan Allah berfirman: Ibu menggendong anaknya setelah melahirkan untuk menyusuinya selama tiga puluh bulan, maka masa yang disebutkan pada ayat yang mulia ini untuk (menerangkan) satu perkara (saja), yaitu penyusuan.
Kedua, ِAllah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua perkara pada ayat yang mulia ini, yaitu الْحَمْلُ (hamil) dan الْفِصَالُ (penyusuan) dan mengikuti keduannya dengan penyebutan keterangan masa itu (tiga puluh bulan), maka masa ini untuk (menerangkan) masing-masing perkara, maka maksud (ayat tersebut) menurut takwil ini adalah bahwasanya (masa) hamil selama tiga puluh bulan dan (masa) penyusuannya selama tiga puluh bulan (pula), berarti masa tersebut untuk tiap-tiap dari keduanya (yaitu dua setengah tahun). Dengan demikian, masa penyusuan itu ditetapkan (selama) dua setengah tahun … .
2.3 Pendapat Ma'mar
Dalam kitab Subulul Huda war Rasyad, Ash-Shalihi menukil pendapat Ma'mar yang menyatakan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat menjadikan mahram khusus bagi istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai berikut:
وَ بِأَنَّهُنَّ إذَا أَرْضَعْنَ الْكَبِيْرَ دَخَلَ عَلَيْهِمْ ، وَ سَائِرُ النَّاسِ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ مَا كَانَ فِِى الصِّغَرِ ، قَالَهُ مَعْمَرٌ .
Artinya:
Karena apabila mereka (istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) menyusui orang dewasa, dia (boleh) masuk atas mereka, sedangkan (penyusuan tersebut) tidak menjadi (menjadikan mahram) bagi seluruh manusia kecuali penyusuan (yang dilakukan) di masa kecil, Ma'mar berpendapat dengannya.
2.4 Pendapat Imam Al-Auza'i
Dalam kitab 'Aunul Ma'bud, Abuth Thayyib Abadi menukilkan pendapat Imam Al-Auza'i sebagai berikut:
قَالَ الأَوْزَاعِى : إِنْ فُطِمَ وَ لَهُ عَامٌ وَاحِدٌ وَاسْتَمَرَّ فِطَامُهُ ثُمَّ رَجَعَ فِى الْحَوْلَيْنِ لَمْ يُحَرِّمْ هذَا الرَّضَاعُ شَيْئًا ، وَ إِنْ تَمَادَى رَضَاعُهُ وَ لَمْ يُفْطَمْ فَمَا يَرْضَعُ وَ هُوَ فِى الْحَوْلَيْنِ حَرَّمَ ، وَ مَا كَانَ بَعْدَهُمَا لاَ يُحَرِّمُ وَ إِنْ تَمَادَى رَضَاعُهُ .
Artinya:
Al-Auza'i berpendapat bahwa jika bayi telah disapih ketika berumur satu tahun dan penyapihannya terus berlangsung kemudian bayi tersebut kembali (menyusu) dalam (umur) dua tahun, penyusuan ini tidak mengharamkan sedikit pun. Dan jika penyusuannya terus-menerus sedangkan ia belum disapih dan menyusu dalam (umur) dua tahun, maka penyusuan tersebut mengharamkan, sedangkan penyusuan setelah dua tahun tidak mengharamkan meskipun penyusuannya terus-menerus.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa pendapat Imam Al-Auza'i adalah penyusuan dapat mengharamkan jika bayi belum disapih dan penyusuan dilakukan dalam umur dua tahun. Maka apabila bayi menyusu setelah disapih, penyusuan tersebut tidak mengharamkan walaupun dilakukan dalam umur dua tahun. Dan apabila bayi menyusu setelah umur dua tahun, penyusuan tersebut tidak mengharamkan meskipun bayi belum disapih.
2.5 Pendapat Zufar bin Hudzail
Zufar bin Hudzail berpendapat bahwa masa penyusuan yang mengharamkan adalah tiga tahun. An-Nawawi menukil pendapat beliau sebagai berikut:
قَالَ زُفَر ُ: مُدَّةُ الرَّضَاعِ ثَلاَثَ سِنِيْنَ .
Artinya:
Zufar berpendapat: Masa penyusuan adalah tiga tahun.
2.6 Pendapat Al-Malikiyyah
Al-Jaziri menukil pendapat Al-Malikiyyah (pengikut madzhab Imam Malik) dalam kitab Al-Fiqhu 'alal Madzahibil `Arba'ah, sebagai berikut:
قَالُوْا: مُدَّةُ الرَّضَاعِ حَوْلاَنِ وَ شَهْرَانِ أَعْنِيْ سِتَّةَ وَ عِشْرِيْنَ شَهْرًا ، وَ لَعَلَّهُمْ زَادُوْا الشَّهْرَيْنِ احْتِيَاطًا . وَ لَكِنْ لاَ يَكُوْنُ الرَّضَاعُ اثْنَاءَ هذِهِ الْمُدَّةِ رَضَاعًا شَرْعِيًّا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ التَّحْرِيْمُ اْلآتِيْ إِلاَّ إِذَا رَضَعَ الطِّفْلُ قَبْلَ أَنْ فُطِمَ ، وَ يَسْتَغْنِىَ عَنِ اللَّبَنِ ، فَإِذَا أَرْضَعَتْهُ الْمُرْضِعَةُ قَبْلَ أَنْ يُفْطَمَ فِى اثْنَاءِ هذِهِ الْمُدَّةِ أَوْ بَعْدَ أَنْ يُفْطَمَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَإِنَّ ذلِكَ يَكُوْنُ رَضَاعًا شَرْعِيًّا يُنْشِرُ الْحُرْمَةَ بِاتِّفَاقٍ ، أَمَّا إِنْ أَرْضَعَتْهُ بَعْدَ الْفِطَامِ وَ بَعْدَ أَنِ اسْتَغْنَى عَنْ لَبَنِ الثَّدْيِّ فَإِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ رَضَاعًا شَرْعِيًّا ، سَوَاءٌ رَضَعَ بَعْدَ اسْتِغْنَائِهِ عَنِ الطَّعَامِ بِزَمَنٍ بَعِيْدٍ أَوْ قَرِيْبٍ عَلَى الْمَشْهُوْرِ ، ... وَ بَعْضُهُمْ يَقُوْلُ : إِنَّهُ إِذَا رَضَعَ قَبْلَ تَمَامِ الْحَوْلَيْنِ كَانَ رَضَاعًا شَرْعِيًّا وَ لَوْ كَانَ فَطِيْمًا وَ اسْتَغْنَى عَنِ اللَّبَنِ .
Artinya:
Mereka (pengikut madzhab Imam Malik) berpendapat: Masa penyusuan adalah dua tahun lebih dua bulan , yang saya maksud adalah dua puluh enam bulan. Kemungkinan mereka menambah dua bulan karena berhati-hati, akan tetapi penyusuan dalam jangka waktu ini bukan merupakan penyusuan yang sah menurut syara'; pengharaman yang akan datang itu terjadi karenanya, jika bayi menyusu sebelum disapih dan masih membutuhkan air susu ibu. Namun, apabila (ada) wanita menyusuinya sebelum disapih dalam jangka waktu ini atau sesudah disapih sehari atau dua hari (sebelumnya), maka penyusuan tersebut merupakan penyusuan yang sah menurut syara'; menyebabkan keharaman (dapat menjadikan mahram) sesuai dengan kesepakatan (ulama). Adapun jika (ada) wanita menyusuinya sesudah disapih dan tidak membutuhkan air susu ibu (lagi), penyusuan tersebut tidak merupakan penyusuan yang sah menurut syara', sama saja bayi menyusu -setelah merasa cukup dengan makanan- dalam jangka waktu yang lama atau sebentar, ini pendapat yang terkenal, …, sedang sebagian mereka berpendapat: Apabila bayi menyusu sebelum genap dua tahun, penyusuan tersebut merupakan penyusuan yang sah menurut syara' walaupun telah disapih dan tidak membutuhkan air susu ibu (lagi).
Mereka berpendapat bahwa masa penyusuan adalah dua puluh enam bulan. Pada masa ini penyusuan dapat mengharamkan apabila bayi belum disapih sama sekali atau setelah disapih sehari atau dua hari sebelumnya dan masih membutuhkan air susu ibu. Dan apabila bayi telah disapih dan tidak membutuhkan air susu ibu lagi, penyusuan tidak dapat mengharamkan meskipun dilakukan dalam umur tersebut.
Sebagian pengikut Imam Malik yang lain berpendapat bahwa penyusuan yang dilakukan sebelum genap umur dua tahun dapat mengharamkan meskipun bayi telah disapih dan tidak membutuhkan air susu ibu lagi.
3. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Mengharamkan Secara Mutlak
Ibnu Hazm berpendapat bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun, apakah ia seorang anak, remaja, atau orang tua dapat mengharamkan secara mutlak.
Dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm mengemukakan pendapat beliau sebagai berikut:
فَنَحْنُ نُوْقِنُ وَ نَبُتُّ بِأَنَّ رَضَاعَ الْكَبِيْرِ يَقَعُ بِهِ التَّحْرِيْمُ .
Artinya:
Maka kami meyakini dan menetapkan bahwa penyusuan orang dewasa itu mengharamkan.
Ulama yang sependapat dengan Ibnu Hazm adalah Atha', Laits, dan Dawud.
4. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Mengharamkan dalam Kondisi Darurat
Sebagian ulama berpendapat bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun, sedangkan penyusuan setelah itu tidak mengharamkan kecuali dalam kondisi darurat. Mereka adalah Ibnu Taimiyyah , Asy-Syaukani , Ibnu Qayyim , As-Sindi , Ash-Shan'ani , Al-Bassam , As-Sayyid Sabiq dan Ibnus Sayyid Salim.
Ibnus Sayyid Salim mengemukakan pendapat beliau dalam kitab Shahihu Fiqhis Sunnah sebagai berikut:
قُلْتُ : الرَّاجِحُ أَنَّ الرَّضَاعَ الْمُعْتَبَرَ الْمُؤَثِّرَ مَا كَانَ فِى الْحَوْلَيْنِ اْلأُُوْلَيَيْنِ مِنْ عُمْرِ الرَّضِيْعِ كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ ، لَكِنْ إِذَا دَعَتِ الْحَاجَةُ كَرَضَاعَةِ الْكَبِيْرِ – الَّذِيْ لاَ يُسْتَغْنَى عَنْ دُخُوْلِهِ عَلَى المْرَْأَةِ وَ يَشُقُّ احْتِجَابُهَا مِنْهُ – لِجَعْلِهِ مَحْرَمًا فَلاَ مَانِعَ مِنْ إِعْمَالِ حَدِيْثِ سُهَيْلَةَ وَ سالِِمٍ .
Artinya:
Aku berpendapat: Pendapat yang kuat adalah bahwasanya penyusuan yang dianggap sah dan mempengaruhi (dapat mengharamkan) itu apabila terjadi dalam (umur) dua tahun pertama dari usia (anak) yang disusui, sebagaimana pendapat mayoritas ulama, akan tetapi apabila ada keperluan, seperti penyusuan orang dewasa - yang mengharuskannya (orang dewasa) berkhalwat dengan seorang wanita, sedang dia (wanita) sulit untuk berhijab darinya –untuk menjadikan orang dewasa tersebut sebagai mahram, maka tidak ada larangan untuk mengamalkan hadits Sahlah dan Salim.
Menurut Ibnus Sayyid Salim, pendapat yang kuat adalah penyusuan dapat menjadikan mahram apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Namun, penyusuan orang dewasa juga dapat menjadikan mahram dalam kondisi darurat. Misalnya, seorang wanita harus tinggal bersama laki-laki yang bukan mahramnya dalam satu rumah sedangkan wanita tersebut merasa keberatan apabila harus berhijab darinya. Wanita itu boleh menyusuinya dengan maksud menjadikannya mahram sebagaimana Sahlah binti Suhail yang telah menyusui Salim atas perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam .

BAB IV
ANALISIS DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN PENYUSUAN ANAK ORANG LAIN YANG BERUSIA LEBIH DARI DUA TAHUN

1. Surat Al-Baqarah (2) Ayat 233 (hlm. 5)
Lafal ayat 233 dari surat Al-Baqarah yang berkaitan dengan pembahasan makalah ini adalah وَ الْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ (Para ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh).
Dhahir ayat tersebut tidak membahas tentang penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan atau tidak, akan tetapi ulama berpendapat bahwa faedah dari penyebutan lafal حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ untuk tahdid (batasan) yang menerangkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Jika penyusuan dilakukan setelah dua tahun, maka penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Di antara mufasirin yang berpemahaman demikian adalah Ath-Thabari , Al-Qurthubi , Muhamad Husain , dan Rasyid Ridla .
Menurut penulis, pemahaman mufasirin tersebut dapat diterima karena sesuai dengan hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan karena lapar yang berderajat muttafaqun 'alaih (hlm. 22-24), hadits Ummu Salamah yang berderajat hasan (hlm. 29-30), hadits ‘Ali radliyallahu 'anhu yang berderajat hasan li ghairihi (hlm. 31 dan hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu yang berderajat hasan li ghairihi (hlm. 31) bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun.
Dengan demikian, ayat ini dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan, wallahu a'lam.
2. Surat Al-Ahqaf (56) Ayat 15 (hlm. 5)
Al-Mawardi menerangkan bahwa penyebutan tiga puluh bulan pada ayat ini untuk mengira-ngirakan masa hamil yang minimal dan masa penyusuan yang maksimal. Karena masa penyusuan yang maksimal adalah dua puluh empat bulan berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 233: حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ , maka dapat diambil kesimpulan bahwa masa hamil yang minimal adalah enam bulan. Selain itu, ayat ini menunjukkan bahwa masa hamil ditambah dengan masa penyusuan akan memakan waktu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila seorang ibu mengandung selama sembilan bulan, maka ia menyusuinya selama dua puluh satu bulan. Apabila ia mengandung selama sepuluh bulan, maka ia menyusuinya selama dua puluh bulan supaya masa hamil ditambah masa penyusuan ibu tersebut tidak lebih dari tiga puluh bulan.
Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa ayat ini tidak membahas tentang penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan atau tidak, sehingga tidak dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur tiga puluh bulan sebagaimana pendapat Abu Hanifah (hlm. 34-36), wallahu a'lam.
3. Surat Luqman (31) ayat 14 (hlm. 6)
Tidak ada perselisihan ulama dalam menafsirkan ayat di atas, bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa masa setelah bayi berusia dua tahun adalah masa penyapihan.
Menurut penulis, dhahir ayat ini tidak tidak membahas tentang penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan atau tidak, akan tetapi dari ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa adanya penyebutan الفِِصَالُ (penyapihan) itu setelah bayi berusia dua tahun menunjukkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Apabila bayi disusui setelah umur dua tahun (dalam masa penyapihan), penyusuan tersebut tidak mengharamkan m sebagaimana pendapat Imam Asy-Syafi'i .
Walhasil, ayat ini dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan, wallahu a'lam.
4. Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan yang Menghilangkan Rasa Lapar (hlm. 6)
Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini berderajat muttafaqun 'alaih sehingga dapat dijadikan hujah.
Dalam hadits ini disebutkan adanya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:) أُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ Perhatikanlah oleh kalian siapa saudara-saudara kalian!). Lafal أُنْظُرْ mengandung makna التَّفْكِيْرُ (memikirkan) dan التَّأَمُّلُ (merenungkan). Lafal tersebut merupakan perintah untuk memperhatikan masalah penyusuan dengan seksama, apakah penyusuan tersebut termasuk penyusuan yang menumbuhkan daging dan menguatkan tulang ataukah tidak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh demikian karena adanya hal penting dibalik perintah tersebut. Hal penting yang dimaksud adalah penyusuan menyebabkan perubahan beberapa hukum dalam agama Islam. Hal ini disebabkan karena penyusuan dapat menjadikan seseorang yang awalnya ajnabi (yang halal dinikahi) menjadi mahram (yang haram dinikahi). Diantara hukum agama Islam yang berubah karena penyusuan antara lain: dilarangnya pernikahan, dan dibolehkannya khalwat .
Dalam hadits ini disebutkan adanya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: فَإِِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ (maka sesungguhnya tiada lain penyusuan itu dari sebab lapar). Syaikh Al-Bassam menjelaskan bahwa huruf fa` pada lafal فَإِِنَّمَا adalah fa` lit ta'lil (fa` yang menunjukkan sebab). Jadi, makna kalimat tersebut ialah Perhatikanlah oleh kalian siapa saudara-saudara susuan kalian! karena sesungguhnya tiada lain penyusuan yang mengharamkan itu penyusuan yang menghilangkan rasa lapar. Beliau juga menukil keterangan 'Abu 'Ubaid yang menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah penyusuan itu dapat mengharamkan jika anak yang menyusu tersebut tidak kenyang kecuali dengan ASI.
Adapun Asy-Syaukani menerangkan bahwa titik persoalan pada lafal الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ adalah apakah anak yang menyusu tersebut tidak kenyang kecuali dengan ASI, dan bukan apakah ASI tersebut dapat menghilangkan rasa lapar ataukah tidak. Anak yang menyusu tidak kenyang kecuali dengan ASI itu hanya bayi yang berumur tidak lebih dari dua tahun. Sedangkan ASI itu dapat menghilangkan lapar meskipun anak yang menyusu tersebut berumur lebih dari dua tahun.
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar menjelaskan maksud lafal tersebut adalah penyusuan dapat mengharamkan apabila ASI yang diminum dapat menghilangkan rasa lapar. Karena lambung bayi masih lemah dan ASI telah mencukupinya meskipun tanpa makanan, ASI tersebut akan tumbuh menjadi daging. Dengan adanya daging yang tumbuh tersebut, bayi yang disusui menjadi mahram bagi ibu susuan dan anak-anaknya. Hal ini terjadi tatkala penyusuan dilakukan dalam umur dua tahun.
Menurut penulis, pengharaman ini tidak hanya berlaku untuk ibu susuan dan anak-anak perempuannya saja, akan tetapi berlaku pula untuk saudara perempuannya, saudara perempuan suaminya, ibunya dan ibu suaminya (neneknya dan nenek suaminya, dst). Hal ini terjadi apabila bayi yang disusui adalah bayi laki-laki.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila penyusuan tersebut menghilangkan rasa lapar. Hal ini terjadi ketika anak yang menyusu tidak kenyang kecuali dengan ASI, yaitu bayi yang berumur tidak lebih dari dua tahun. Dengan kata lain, penyusuan dapat menghilangkan rasa lapar apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Oleh karena itu, penyusuan yang dilakukan setelah umur tersebut tidak mengharamkan karena tidak menghilangkan rasa lapar.
Walhasil, hadits ini dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan.
5. Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan Salim (hlm. 7)
Hadits 'Aisyah radliyallhu 'anha ini berderajat shahih, sehingga dapat dijadikan hujah.
Pada hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah binti Suhail menyusui Salim setelah ia mengadukan problemnya kepada beliau.
Adapun sebab yang mendorong Sahlah melakukan hal tersebut adalah karena Allah Ta'ala telah menurunkan ayat hijab (surat An-Nur ayat 31) yang mewajibkan para wanita untuk berhijab (menutup auratnya) di hadapan ajnabi. Padahal ia harus tinggal bersama Salim yang bukan mahramnya di dalam satu rumah yang sempit, sebagaima pernyataan Sahlah yang diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq yang berderajat shahih : نَحْنُ فِييْ مَنْزِلٍ ضَيِّقٍ (kami di dalam tempat tinggal yang sempit) dan pada riwayat beliau yang lain dan berderajat shahih pula: وَ لَيْسَ لَنَا إِلاَّ بَيْتٌ وَاحِدٌ (kami tidak mempunyai rumah kecuali satu rumah) . Karena Salim telah menginjak usia dewasa, maka Sahlah harus berhijab darinya. Pada hadits ini disebutkan bahwa Salim adalah رَجُلٌ كَبِيْرٌ (orang dewasa). Namun, pada riwayat Muslim yang lain disebutkan إِنَّهُ ذُوْ لِحْيَةٍ (bahwasanya Salim mempunyai jenggot) dan pada riwayat Muslim yang lain pula dijelaskan bahwa Salim adalah الغُلاَمُ الأَيْفَعُ (yang berumur lebih dari dua puluh tahun) . Selain itu, pada riwayat 'Abdurrazzaq yang berderajat shahih Salim telah memergoki Sahlah dalam keadaan tersingkap sebagian auratnya ( وَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَ أَنَا فُضْلٌ ) , sehingga Abu Hudzaifah (suami Sahlah) cemburu, sebagaimana tersebut pada hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini. Karena inilah Sahlah merasa keberatan dan berdosa, sehingga ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta rukhshah (keringanan). Setelah penyusuan tersebut, Salim menjadi mahram bagi Sahlah dan Abu Hudzaifah tidak lagi cemburu .
Dari uraian dia atas dapat disimpulkan bahwa masyaqqah yang menimpa Sahlah adalah adanya kewajiban berhijab (menutup aurat) di hadapan ajnabi setelah turun ayat hijab karena ia harus tinggal bersama Salim yang bukan mahramnya dalam satu rumah yang sempit, sehingga menyebabkan Sahlah untuk selalu bertatap muka (berpapasan) dengannya dan merasa keberatan kalau ia harus berhijab darinya.
Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini dijadikan hujah oleh ulama yang berpendapat bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan.
Ulama yang lain berpendapat bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak dapat mengharamkan. Dalil yang mereka jadikan hujah adalah ayat 233 dari surat al-Baqarah dan hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan karena lapar. Mereka mengemukakan beberapa komentar sebagai berikut:
a) Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini telah mansukh karena penyusuan Salim terjadi pada tahun-tahun pertama hijrah, sedangkan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan diriwayatkan oleh shigharu shahabah (para sahabat junior). Hal ini menunjukkan bahwa riwayat-riwayat tersebut lebih akhir dari hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tersebut.
b) Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini menunjukan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dan dapat mengharamkan khusus bagi Salim sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah radliyallahu 'anha dan istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain kecuali 'Aisyah dan Hafshah radliyallahu 'anhuma.
Mereka menyatakan bahwa ayat hijab yang memerintahkan para wanita untuk berhijab (menutup aurat) telah turun tatkala Sahlah mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ayat ini metetapkan bahwa seorang wanita tidak boleh menampakkan perhiasannya kecuali kepada orang-orang yang disebutkan pada ayat tersebut dan tidak boleh ada pengkhususan bagi seseorang selain mereka kecuali dengan dalil yang menyatakan adanya kekhususan bagi orang tersebut. Sedangkan seorang wanita apabila menyusui anak orang lain yang lebih dari dua tahun, maka itu berarti ia telah menampakkan auratnya kepada selain mahramnya. Mereka berpendapat demikian karena berpegang dengan keumuman ayat tersebut, sehingga mereka mengambil pemahaman bahwa Sahlah menampakkan auratnya kepada Salim karena adanya pengkhususan bagi keduanya. Mereka menyatakan:
إِذَا أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ و سَلَّمَ وَاحِدًا مِنَ اْلأُمَّةِ بِأَمْرٍ أَوْ أَبَاحَ لَهُ شَيْئًا أَوْ نَهَاهُ عَنْ شَيْئٍ وَ لَيْسَ فِى الشَّرِيْعَةِ مَا يُعَارِضُهُ ثَبَتَ ذلِكَ فِيْ حَقِّ غَيْرِهِ مِنَ اْلأُمَّةِ مَا لَمْ يُنَصَّ عَلَى تَخْصِيْصِهِ وَ أَمَّا إِذَا أَمَرَ النَّاسَ بِأَمْرٍ أَوْ نَهَاهُمْ عَنْ شَيْئٍ ثُمَّ أَمَرَ وَاحِدًا مِنَ اْلأُمَّةِ بِخَلاَفِ مَا أَمَرَ بِهِ النَّاسَ أَوْ أَطْلَقَ لَهُ مَا نَهَاهُمْ عَنْهُ فَإِنَّ ذلِكَ يَكُوْنُ خَاصًّا لَهُ بِهِ وَحْدَهُ.
Artinya:
Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari umat satu perintah atau membolehkan sesuatu baginya atau melarangnya dari sesuatu, sedang tidak ada sesuatu (dalil) dalam syari'at yang menyelisihinya, hal itu tetap berlaku untuk selainnya selagi tidak tidak ada nash (yang menunjukan) atas pengkhususannya. Dan apabila beliau menyuruh manusia dengan satu perintah atau melarang mereka dari satu larangan, kemudian beliau menyuruh salah seorang dari umat tersebut (berbuat) sesuatu yang menyelisihi apa yang beliau perintahkan kepada manusia atau membebaskannya (dari) sesuatu yang beliau melarang mereka darinya, maka sesungguhnya sesuatu tersebut menjadi pengkhususan untuk dirinya sendiri.
Dalam kitab Fathul Bari , Ibnu Hajar menolak dakwaan mereka bahwa hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini dinasakh. Berikut ini pendapat beliau:
1) Periwayatan hadits shigharu shahabah tidak dapat dijadikan patokan bahwa hadits tersebut lebih akhir dari hadits yang bertentangan dengannya karena terkadang mereka meriwayatkan hadits yang lebih dahulu periwayatannya dari hadits yang bertentangan dengannya.
2) Dalam hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha disebutkan dengan jelas bahwa tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Sahlah menyusui Salim, Sahlah merasa heran. Oleh karena itu ia berkata kepada beliau: وَ كَيْفَ أُرْضِعُهُ وَ هُوَ رَجُلٌ كَبِيْرٌ (Bagaimana aku menyusuinya sedangkan dia adalah laki-laki dewasa). Dari sini, dapat diambil pemahaman bahwa Sahlah telah mengetahui bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan pada umur dua tahun, sehingga hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan lebih dahulu periwayatannya dari hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tersebut. Dengan kata lain, hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tersebut tidak dinasakh.
Penulis setuju dengan pendapat Ibnu Hajar tersebut karena:
a) Sebagaimana telah diterangkan oleh Wahbah Az-Zuhaili bahwa periwayatan hadits shigharu shahabah bukan merupakan metode untuk mengetahui penasakhan sebuah hadits.
b) Sebagaimana telah disebutkan pada Syarhul Ushul bahwa salah satu syarat suatu hukum itu dikatakan mansukh apabila ada nash atau khabar dari sahabat atau sejarah (tarikh) yang menyatakan bahwa hukum tersebut telah dinasakh . Karena tidak adanya nash atau khabar dari sahabat atau sejarah (tarikh) yang menyatakan bahwa hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan Salim tersebut dinasakh, maka dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut tidak dinasakh.
Adapun pernyataan mereka bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun khusus bagi Salim, disanggah oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla. Beliau menyatakan bahwa dakwaan mereka tertolak karena tidak ada keterangan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalau saja hal ini khusus bagi Salim tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengumumkannya sebagaimana yang beliau lakukan tatkala Abu Burdah menyembelih jadz'ah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Hal itu telah cukup bagimu dan tidak berlaku untuk selainmu.
Ibnul Qayyim mengemukakan pendapat beliau bahwa hadits Sahlah tidak dinasakh, tidak pula dikhususkan bagi seseorang, dan juga tidak berlaku untuk tiap individu. Namun, hadits Sahlah boleh diamalkan bagi orang yang mendapati masyaqqah sebagaimana Salim dan Sahlah. Apabila ada seorang wanita menyusui anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun sedangkan ia tidak mengalami masyaqqah sebagaimana Salim dan Sahlah, maka penyusuan tersebut tetap tidak mengharamkan. Karena penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Metode ini merupakan metode yang ditempuh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Adapun hadits-hadits yang menganggap penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan, apabila hadits-hadits tersebut berlaku untuk tiap individu, maka ditaqyid (dibatasi) dengan adanya hadits Sahlah. Dan apabila hadits-hadits tersebut berlaku pada semua keadaan, maka keadaan yang dialami oleh Sahlah dan Salim dikhususkan dari semua keadaan. Metode ini lebih utama dari metode penasakhan dan pengkhususan bagi seseorang saja. Karena dengan metode ini, semua hadits yang saling bertentangan dapat diamalkan.
Metode tersebut dikatakan lebih utama dari metode penasakhan dan pengkhususan bagi seseorang saja karena dengan metode ini dalil-dalil yang saling bertentangan dapat diamalkan. Apabila metode yang digunakan adalah metode penasakhan, maka akan ada dalil yang tidak diamalkan, yaitu hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan Salim. Selain itu, kita tidak dapat menggunakan metode penasakhan tersebut karena tidak ada sejarah yang menyebutkannya. Namun, jika metode yang digunakan adalah metode pengkhususan bagi seseorang saja, maka akan ada dalil yang tidak diamalkan pula, yaitu hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan. Selain itu, tidak adanya dalil yang menunjukan pengkhususan bagi Salim, maka hal ini berlaku pula bagi orang yang mendapati masyaqqah sebagaimana Salim dan Sahlah.
Penulis setuju dengan pendapat Ibnul Qayyim bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dan dapat mengharamkan karena tidak ada dalil yang menunjukan kekhususan bagi Salim dalam masalah ini. Namun, tidak semua orang boleh melakukannya menurut kemauannya sendiri. Kebolehan tersebut hanya berlaku jika ada masyaqqah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini tidak dinasakh dan hanya bisa dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan bagi orang yang mendapati masyaqqah sebagaimana Sahlah dan Salim, wallahu a'lam.
6. Hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan Sebelum Penyapihan (hlm. 8)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa penyusuan itu tidak mengharamkan kecuali penyusuan yang yang membelah usus ( ماََ فَتَقَ اْلأَمْعَاءَ ). Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa maksud lafal tersebut adalah:
أََيْ اَلَّذِِِيْ شَقَّ أََمْعَاءَ الصَّبِيِّ كَالطَّعَامِ ، وَ وَقَعَ مِنْهُ مَوْقِعَ الْغِذَاءِ .
Artinya:
Yaitu penyusuan yang melewati usus bayi seperti makanan, sehingga sampai pada tempat pencernaan makanan.
Adapun arti فِى الثَّدْيِ adalah فِيْ زَمَنِ الرَّضَاعِ(di masa penyusuan) yaitu dua tahun sebagaimana keterangan Ibnu Taimiyyah . Pendapat beliau yang menyatakan bahwa masa penyusuan itu adalah dua tahun sesuai dengan jumhur ulama .
Dalam hadits ini juga disebutkan adanya sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: وَ كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِِ. Adapun maksud الْفِطَامِِ pada hadits ini adalah masa penyapihan sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Mubarakfuri dan bukan penyapihan itu sendiri sebagimana pendapat Ibnu Qasim yang telah dibantah oleh Imam An-Nawawi . Dengan demikian, lafal tersebut tidak bisa difaham bahwa penyusuan mengharamkan mahram apabila dilakukan sebelum bayi disapih dalam umur dua tahun dan jika bayi telah disapih meskipun dalam umur dua tahun, penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Akan tetapi, penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan sebelum masa penyapihan –bukan sebelum bayi disapih- yaitu dalam umur dua tahun. Adapun penyusuan yang dilakukan setelah masa tersebut tidak mengharamkan.
Dengan demikian, maksud hadits ini adalah penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan sebelum masa penyapihan, yaitu dalam usia dua tahun, apakah bayi telah disapih sebelumnya atau belum disapih sama sekali.
Walhasil, hadits ini dapat dijadikan dalil bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan.
Hadits ini hasan , sehingga dapat dijadikan hujah.
7. Hadits 'Ali radliyallahu 'anhu tentang Penyusuan Setelah Penyapihan (hlm. 9)
Hadits 'Ali radliyallahu 'anhu menjelaskan bahwa penyusuan yang dilakukan sesudah penyapihan tidak mengharamkan.
Maksud lafal penyapihan tersebut adalah masa penyapihan dan bukan perbuatan menyapih. Masa penyapihan itu dimulai setelah bayi berusia dua tahun berdasarkan surat Luqman ayat 14 sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Baghawi . Adapun perbuatan menyapih itu bisa dilakukan sebelum bayi berusia dua tahun. Jadi, maksud hadits ini adalah penyusuan yang dilakukan sesudah masa penyapihan -yaitu setelah bayi berusia dua tahun- tidak mengharamkan. Apabila bayi menyusu setelah berusia dua tahun, maka penyusuan tersebut tidak mengharamkan meskipun bayi itu belum disapih sama sekali.
Hadits 'Ali radliyallahu 'anhu tersebut berderajat hasan li ghairihi , sehingga dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan.
8. Hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu tentang Penyusuan yang Menguatkan Tulang dan Menumbuhkan Daging (hlm. 9)
Hadits ini menerangkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. Hal itu terjadi apabila penyusuan dilakukan dalam umur dua tahun . Jadi, penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun tidak dapat mengharamkan karena penyusuan tersebut tidak menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.
Hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu tersebut berderajat hasan li ghairihi , sehingga dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan.
9. Atsar Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma tentang Penyusuan pada Umur Dua Tahun (hlm. 10)
Atsar Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma menerangkan bahwa penyusuan hanya dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Jika penyusuan dilakukan sesudah dua tahun –meskipun belum disapih- tidak dapat mengharamkan. Jadi, penentu penyusuan yang dapat mengharamkan adalah dua tahun, bukan waktu ketika menyapihnya.
Atsar ini berderajat shahih.
Atsar tidak dapat dijadikan hujah . Namun, atsar ini sesuai dengan hadits 'Ali radliyallahu 'anhu (hlm. 9) yang berderajat hasan li ghairihi.
10. Atsar Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma tentang Penyusuan di Masa Kecil (hlm. 10)
Atsar Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma menerangkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam masa kecil. Sedangkan penyusuan terhadap orang dewasa tidak mengharamkan mahram.
Penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam masa kecil karena penyusuan tersebut dapat menghilangkan rasa lapar. Atsar ini tidak menyebutkan batas umur masa kecil, sehingga ulama memperselisihkannya. Adapun pendapat jumhur ulama adalah dua tahun - setelah kelahiran bayi - berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 233 . Berdasarkan keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun, maka yang dimaksud masa kecil adalah umur dua tahun. Penyebutan umur dua tahun tersebut untuk membatasi masa kecil yang masih mutlak.
Atsar ini berderajat shahih.
Atsar tidak dapat dijadikan hujah.

BAB V
ANALISIS PENDAPAT ULAMA TENTANG PENYUSUAN ANAK ORANG LAIN YANG BERUSIA LEBIH DARI DUA TAHUN

1. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Tidak Mengharamkan (hlm.12)
Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun tidak mengharamkan. Adapun penyusuan orang dewasa dapat mengharamkan hanya berlaku khusus bagi Salim. Di antara ulama yang berpendapat sebagaimana pendapat beliau adalah Imam An-Nawawi.
Imam Asy-Syafi'i berpendapat demikian berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunah. Al-Kitab yang di maksud adalah surat Al-Baqarah ayat 233 dan surat Luqman ayat 14. Adapun As-sunah yang beliau jadikan hujah adalah atsar Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma (hlm. 10), hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (hlm. 8), dan hadits Jabir yang semakna dengan hadits 'Ali radliyallahu 'anhu (hlm. 9) dan dikeluarkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi . Adapun hujah yang beliau gunakan untuk menyatakan bahwa hal ini khusus bagi Salim adalah atsar yang diriwayatkan oleh 'Urwah bin Zubair. Atsar ini menyebutkan pernyataan istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun khusus bagi Salim.
Adapun Imam An-Nawawi berhujah dengan surat Al-Baqarah ayat 233, hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan yang menghilangkan rasa lapar, dan hadits Ummu Salamah. Dari dalil-dalil tersebut , beliau menyimpulkan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua khusus bagi Salim sebagaimana pernyataan istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam .
Menurut penulis, pendapat Imam Asy-Syafi'i bahwa penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun tidak mengharamkan dapat diterima karena dalil-dalil yang beliau jadikan hujah bisa dipertanggung jababkan keshahihannya kecuali atsar Ibnu 'Abbas karena atsar tidak dapat dijadikan hujah dan hadits Jabir karena berderajat dla'if . Adapun hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha berderajat hasan sehingga dapat dijadikan hujah, dan surat Al-Baqarah ayat 233 juga dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan (hlm. 20). Begitu pula dengan surat Luqman ayat 14 (hlm. 21) Sedangkan pernyataan beliau bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan hanya berlaku khusus bagi Salim tidak dapat diterima karena beliau berhujah dengan atsar, sedangkan atsar tidak dapat dijadikan hujah.
Adapun pendapat Imam An-Nawawi bahwa penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun tidak mengharamkan dapat diterima karena semua dalil yang beliau kemukakan dapat dijadikan hujah, yaitu surat Al-Baqarah ayat 233, hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan yang menghilangkan rasa lapar yang berderajat muttafaq ‘alaih, dan hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha yang berderajat hasan. Namun, pendapat beliau tentang pengkhususan Salim ditolak karena beliau berhujah dengan pernyataan yang disandarkan kepada istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (atsar), sedangkan atsar tidak dapat dijadikan hujah.
2. Penyusuan Anak orang lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Mengharamkan Tidak secara Mutlak
2.1 Pendapat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (hlm. 13)
'Umar bin 'Abdul 'Aziz berpendapat bahwa penyusuan dapat mengharamkan selama dilakukan pada umur tujuh tahun.
Pendapat beliau tertolak karena tidak berdasarkan hujah, wallahu a'lam, wallahu a'lam..
2.2 Pendapat Imam Abu Hanifah (hlm. 13)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan selama penyusuan dilakukan pada umur tiga puluh bulan. Beliau berhujah dengan surat Al-Ahqaf ayat 15.
Ash-Shabuni menerangkan dua kemungkinan dari pemahaman Abu Hanifah mengenai ayat tersebut, sebagai berikut:
Kemungkinan pertama, yang dimaksudkan Abu Hanifah dengan lafal حَمْلُهُ bukanlah masa hamil janin di dalam perut ibu, melainkan masa ibu menimang bayi untuk disusui. Maka maksud lafal حَمْلُهُ dan فِصَالُهُ adalah sama, yaitu masa penyusuan.
Kemungkinan kedua, beliau mengambil pengertian bahwa lafal ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا menerangkan masa hamil dan masa penyusuan. Oleh karena itu, beliau mengambil pemahaman bahwa masa hamil yang maksimal adalah tiga puluh bulan dan masa penyusuan yang maksimal juga tiga puluh bulan.
Menurut penulis, kemungkinan pertama tersebut tidak dapat diterima, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi bahwa pendapat Imam Abu Hanifah menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunah . Dikatakan menyelisi As-Sunah karena Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafal حَمْلُهُ pada surat Al-Ahqaf ayat 15 adalah masa ibu menimang bayi untuk disusui, sedangkan Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa maksud lafal tersebut adalah masa hamil janin di dalam perut ibu, bukan masa ibu menimang bayi untuk disusui. Dan dikatakan menyelisihi Al-Kitab karena beliau mengatakan bahwa penyusuan yang maksimal adalah tiga puluh bulan. Sedangkan Allah Ta'ala telah berfirman pada surat Luqman ayat 14 bahwa masa setelah bayi berumur dua tahun adalah masa penyapihan, sehingga masa penyusuan yang maksimal adalah dua tahun (dua puluh empat bulan).
Adapun kemungkinan kedua juga tertolak karena lafal ثَلاَثُوْنَ dibaca rafa' sebab menduduki kedudukan khabar yang menerangkan mubtada` yaitu وَ حَمْلُهُ وَ فِصَالُهُ, maka lafal tersebut tidak menerangkan setiap lafal yang disebutkan sebelumnya, yaitu lafal حَمْلُهُ dan lafal فِصَالُهُ , namun menerangkan kedua kalimat tersebut secara keseluruhan, sehingga tidak bisa difaham bahwa masa hamil yang maksimal adalah tiga puluh bulan dan masa penyusuan yang maksimal juga tiga puluh bulan. Akan tetapi, maksud ayat yang benar adalah lafal ini menunjukan bahwa masa hamil sampai masa penyusuan akan memakan waktu selama tiga puluh bulan.
Walhasil, pendapat Abu Hanifah tidak dapat diterima, wallahu a'lam.
2.3 Pendapat Ma'mar (hlm. 15)
Ma'mar berpendapat bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan khusus bagi istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hal ini tidak berlaku bagi selain mereka.
Pendapat Ma'mar tertolak karena tidak ada dalil yang menyatakan pengkhususan tersebut bagi istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, wallahu a'lam.
2.4 Pendapat Imam Al-Auza'i (hlm. 15)
Imam Al-Auza'i berpendapat bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila bayi belum disapih dan penyusuan dilakukan dalam umur dua tahun. Maka apabila bayi disusukan setelah disapih, penyusuan tersebut tidak mengharamkan walaupun dilakukan dalam umur dua tahun. Dan apabila bayi disusukan setelah umur dua tahun, penyusuan tersebut tidak mengharamkan meskipun bayi belum disapih.
Menurut penulis, pendapat Imam Al-Auza'i tertolak karena pendapat ini menyelisihi hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (hlm. 29-30) dan hadits 'Ali radliyallahu 'anhu (hlm. 31) bahwa penyusuan dalam umur dua tahun dapat mengharamkan, apakah bayi telah disapih sebelumnya atau belum disapih sama sekali, wallahu a'lam.
2.5 Pendapat Zufar bin Hudzail (hlm. 16)
Beliau berpendapat bahwa masa penyusuan yang mengharamkan adalah tiga tahun. Selama bayi disusui dalam umur tersebut, penyusuan dapat mengharamkan.
Dalam kitab Tahdzib fi Fiqhil Imamisy Syafi'i disebutkan bahwa Zufar bin Hudzail berhujah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Al-Kitab yang dimaksud adalah surat An-Nisa` ayat 23:
وَ أُمَّهَاتُكُمُ الّتِى أَرْضَعْنَكُمْ .
Artinya:
Dan ibu-ibu kalian yang telah menyusui kalian (diharamkan bagi kalian).
Beliau menjadikan ayat di atas sebagai dalil karena lafal penyusuan pada ayat tersebut disebutkan secara mutlak, apakah ibu tersebut menyusui ketika bayi dalam umur dua tahun atau setelah umur tersebut. Dari sini, beliau beranggapan bahwa penyusuan ketika bayi dalam umur tiga tahun tetap mengharamkan. Adapun As-Sunah yang dijadikan sandaran untuk pendapat beliau adalah hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha yang menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam الرَّضَاعَةُ مِِنَ الْمَجَاعَةِ (penyusuan itu dari sebab lapar).
Menurut penulis pendapat Zufar bin Hudzail tersebut tidak dapat diterima karena meskipun ayat tersebut disebutkan secara mutlak, namun tetap dibatasi dengan hadits-hadits yang menerangkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun. Dan jika beliau tidak mengakui bahwa hadits dapat membatasi Al-Qur`an sehingga ayat tersebut tetap mutlak, maka apa hujah beliau untuk menetapkan bahwa umur tiga tahun merupakan masa penyusuan yang mengharamkan. Dengan kata lain, ketetapan beliau tersebut tidak berdasarkan dalil.
Adapun pernyataan beliau - bahwa penyusuan dalam umur tiga tahun dapat mengharamkan karena menghilangkan rasa lapar - tersebut benar karena ASI dengan kadar yang banyak dapat menghilangkan rasa lapar, meskipun yang menyusu adalah anak yang berusia lebih dari dua tahun. Namun, beliau salah dalam memahami maksud hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tersebut. Karena titik persoalan pada lafal الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ adalah apakah anak yang menyusu tersebut tidak kenyang kecuali dengan ASI, dan bukan ASI tersebut dapat menghilangkan rasa lapar ataukah tidak. Anak yang menyusu tidak kenyang kecuali dengan ASI itu hanya bayi yang berumur tidak lebih dari dua tahun. Sedangkan ASI itu dapat menghilangkan rasa lapar meskipun anak yang menyusu berumur lebih dari dua tahun. Dengan demikian, hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tersebut tidak dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan yang dilakukan dalam umur tiga tahun dapat mengharamkan karena menghilangkan rasa lapar, sehingga pernyataan beliau tersebut tertolak, wallahu a'lam .
2.6 Pendapat Al-Malikiyyah (hlm. 16)
Mereka berpendapat bahwa masa penyusuan yang dapat mengharamkan adalah dua tahun lebih dua bulan, dengan syarat bayi belum disapih sama sekali atau setelah disapih sehari atau dua hari sebelumnya dan masih membutuhkan air susu ibu. Sehingga, apabila bayi telah disapih dan tidak membutuhkan air susu ibu, penyusuan tidak dapat mengharamkan meskipun dilakukan dalam umur tersebut. Menurut mereka, tambahan dua bulan tersebut karena kehati-hatian mereka.
Menurut penulis, pendapat Al-Malikiyyah tersebut tidak dapat diterima karena tambahan dua bulan tersebut hanya kehati-hatian mereka yang tidak didasari dalil. Bentuk kehati-hatian yang tepat adalah dengan mengamalkan nash yang paling kuat, yaitu nash yang menunjukan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun berdasarkan surat al-Baqarah ayat 233 sebagaimana yang dikemukakan oleh pengarang kitab At-Ta'liqul Mumajjad yang dinukil oleh Al-Mubarakfuri dalam kitab beliau . Adapun dua syarat penyusuan yang mengharamkan menurut mereka, yaitu:
1) Bayi belum disapih sama sekali atau setelah disapih sehari atau dua hari sebelumnya. Syarat ini tertolak karena menyelisihi hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (hlm. 29-30) dan hadits ‘Ali radliyallahu 'anhu (hlm. 31) bahwa penyusuan dalam umur dua tahun dapat mengharamkan, apakah bayi telah disapih sebelumnya atau belum disapih sama sekali.
2) Bayi masih membutuhkan air susu ibu. Syarat ini juga tidak dapat diterima karena mereka menggunakan metode ijtihad padahal sudah ada nash yang menyebutkan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam usia dua tahun. Pada nash tersebut tidak disebutkan apakah bayi masih membutuhkan ASI atau tidak. Pengamalan suatu hukum berdasarkan nash yang ada lebih utama dari ijtihad sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Baghawi . Dengan demikian, jika bayi menyusu dalam umur dua tuhun meskipun ia sudah tidak menbutuhkan ASI lagi, penyusuan tersebut mengharamkan.
Adapun sebagian pengikut Imam Malik yang lain berpendapat bahwa penyusuan sebelum genap umur dua tahun dapat mengharamkan meskipun bayi telah disapih dan tidak membutuhkan air susu ibu lagi.
Menurut penulis, maksud penyusuan sebelum genap umur dua tahun tersebut adalah penyusuan dalam umur dua tahun. Pendapat Al-Malikiyyah ini dapat diterima karena sesuai dengan hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (hlm. 29-30) dan hadits ‘Ali radliyallahu 'anhu (hlm. 31) bahwa penyusuan dalam umur dua tahun dapat mengharamkan, apakah bayi telah disapih sebelumnya atau belum disapih sama sekali. Hal ini tidaklah menjadi masalah sebab yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah bayi disusui dalam umur dua tahun atau sesudah umur tersebut, wallahu a'lam.
3. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Mengharamkan Secara Mutlak (hlm. 18)
Ibnu Hazm berpendapat bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan secara mutlak meskipun yang disusui adalah orang yang berusia lanjut. Beliau berhujah dengan hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan Salim (hlm. 7).
Menurut penulis, pendapat Ibnu hazm tersebut tertolak. Beliau berhujah dengan hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan Salim yang berderajat shahih. Namun, hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujah bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun mengharamkan secara mutlak. Adapun pernyataan beliau di atas tidak tepat karena tidak adanya dalil yang menyatakan pengkhususan bagi Salim dan penasakhan hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tersebut, bukan berarti bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dapat mengharamkan berlaku untuk umum. Akan tetapi, hal ini tetap diperkecualikan bagi orang yang mendapati masyaqqah sebagaimana halnya Salim dan Sahlah, wallahu a'lam.
4. Penyusuan Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun Mengharamkan dalam Kondisi Darurat (hlm. 18)
Di antara ulama yang berpendapat bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun, sedangkan penyusuan sesudah umur tersebut tidak mengharamkan kecuali dalam kondisi darurat adalah Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, Ibnu Qayyim, As-Sindi, Ash-Shan'ani, Al-Bassam, As-Sayyid Sabiq, dan Ibnus Sayyid Salim.
Dikatakan darurat apabila ada masyaqqah yang mengenai seseorang sebagaimana Sahlah dan Salim
Dalam kitab Nailul Authar, Asy-Syaukani mengemukakan alasan beliau memilih madzhab tersebut:
هذَا طَرِيْقٌ مُتَوَسِّطَةٌ بَيْنَ طَرِيْقَةِ مَنِ اسْتَدَلَّ بِهذِهِ الأَحَادِيْثِ عَلَى أَنَّهُ لاَ حُكْمَ لِرَضَاعَةِ الْكَبِيْرِ مُطْلَقًا وَ بَيْنَ مَنْ جَعَلَ رَضَاعَ الْكَبيِْرِ كَرَضَاعِ الصَّغِيْرِ مُطْلَقًا لمَِا لاَ يَخْلُوْ عَنْهُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْ هَاتَيْنِ الطَّرِيْقَتَيْنِ مِنَ التَّعَسُّفِ .
Artinya:
Madzhab ini adalah madzhab yang mengetengahi madzhab orang yang menarik kesimpulan dari hadits-hadits ini bahwasanya tidak ada hukum bagi penyusuan orang dewasa secara mutlak dan madzhab orang yang menyamakan penyusuan orang dewasa dengan penyusuan anak kecil secara mutlak karena setiap madzhab dari dua madzhab ini tidak lepas dari kesalahan.
Menurut penulis, maksud lafal رَضَاعُ الصَّغِيْر (penyusuan anak kecil) yang beliau maksudkan adalah penyusuan yang dilakukan dalam umur dua tahun. Adapun maksud الْكَبيِْرِ رَضَاعُ (penyusuan orang dewasa) adalah penyusuan yang dilakukan setelah umur dua tahun. Penjelasan tentang perbedaan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syafi’i (hlm. 12).
Menurut penulis, pendapat mereka dapat diterima karena mereka menggunakan metode yang mengetengahi dua pendapat yang berhujah dengan dalil-dalil shahih dan saling bertentangan. Metode ini disebut dengan thariqatul jam'i. Menggunakan metode tersebut merupakan langkah pertama yang harus dilakukan tatkala dalil-dalil shahih dalam satu masalah saling bertentangan. Dalam ilmu Ushul Fiqh disebutkan:
إِذَاتَعَارَضَتْ الأَدِلَّةُ فِى الْمَسْأَلَةِ الْوَاحِدَةِ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ ، وَ كُلٌّ مِنْهُمَا صَحِيْحًا بِأَنْ كَانَ آيَةً مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ حَدِيْثًا صَحِيْحًا أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ قِيَاسًا ، فَإِنَّهُ يَتَّخِذُ الْخُطْوَاتِ التَّالِيَةَ بِِالتَّرْتِيْبِ ...
الْخُطْوَةُ الأُوْلَى : الْجَمْعُ بَيْنَ الدَّلِيْلَيْنِ : هُوَ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِ ، لأَنَّ فِيْهِ الْعَمَلُ بِِالدَّلِيْلَيْنِ جَمِيْعًا .
Artinya:
Apabila dalil-dalil dalam satu masalah saling bertentangan di kalangan orang yang berijtihad, dan tiap dalil dari keduanya tersebut shahih karena termasuk ayat dari Al-Qur`an atau hadits shahih atau Ijma' atau qiyas, maka ia (harus) mengambil langkah-langkah berikut secara teratur …
Langkah pertama adalah penyatuan antara dua dalil, metode tersebut lebih utama dari selainnya, karena dengan metode ini semua dalil dapat diamalkan.
Dengan metode tersebut, pendapat yang mengatakan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan secara mutlak diperkecualikan bagi orang yang mendapati masyaqqah sebagaimana halnya Salim dan Sahlah. Adapun pendapat yang mengatakan sebaliknya dibatasi dengan keadaan yang dialami oleh Sahlah dan Salim. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun, sedangkan penyusuan sesudah umur tersebut tidak mengharamkan kecuali dalam kondisi darurat.
Penulis tidak mendapatkan perselisihan ulama mengenai berlakunya hukum penyusuan (dapat mengharamkan) anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dalam keadaan darurat - apakah hukum tersebut lit ta`bid (untuk selamanya) sehingga terus berlaku meskipun masyaqqah yang ada telah hilang karena keadaannya telah berubah atau lit tauqit (untuk sementara) sehingga tidak berlaku ketika masyaqqah yang ada telah hilang - karena mereka tidak memperbincangkannya. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa hukum penyusuan tersebut terus berlaku untuk selamanya. Karena andai saja hukum penyusuan ini tidak berlaku ketika masyaqqah tersebut telah hilang, tentu ulama akan membahasnya karena dikhawatirkan akan ada orang yang salah faham dan beranggapan bahwa penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun dalam kondisi darurat tetap mengharamkan padahal masyaqqah tersebut telah hilang, wallahu a'lam.
Dari analisis beberapa pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang tepat adalah pendapat ulama yang menyatakan bahwa penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun, sedangkan penyusuan sesudah umur tersebut tidak mengharamkan kecuali dalam kondisi darurat, wallahu a'lam.

BAB VI
PENUTUP

1. Simpulan
1.1 Penyusuan dapat mengharamkan apabila dilakukan dalam umur dua tahun, sehingga penyusuan setelah umur tersebut tidak mengharamkan.
1.2 Penyusuan anak orang lain yang berusia lebih dari dua tahun tidak mengharamkan kecuali dalam kondisi darurat. Misalnya, kondisi Sahlah yang mengharuskannya tinggal serumah dengan Salim yang bukan mahramnya.
1.3 Apabila bayi yang disusui adalah bayi perempuan, maka penyusuan tersebut mengharamkan suami ibu susuan, anak laki-lakinya (cucu laki-lakinya dan cucu laki-laki suaminya, dst), saudara laki-lakinya, saudara laki-laki suaminya, bapaknya, dan bapak suaminya (kakeknya dan kakek suaminya, dst). Dan begitu pula sebaliknya.
2. Saran
Ibu yang menyusui anak orang lain hendaknya memperhatikan apakah penyusuan tersebut menjadikan mahram atau tidak.
اَلْحَمْدُ ِللهِ بِِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ


DAFTAR PUSTAKA
1. Kitab ٍٍSuci Al-Qur`an
Kelompok Kitab Tafsir
2. Al-Mawardi, Abu Hasan Muhammad bin 'Ali bin Muhammad Habib, Al-Bashri, An-Nukatu wal 'Uyun, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
3. Al-Qurthubi, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, Al-Imam, Al-Jami'u Li Ahkamil Qur`an, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1414 H / 1994 M.
4. Ar-Razi, Fakhruddin, Al-Imam, At-Tafsirul Kabir / Mafatihul Ghaib, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I,1411 H / 1990 M.
5. Ash-Shabuni, Muhammad 'Ali, Rawa`i'ul Bayani fi Tafsiri Ayatil Ahkam, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cetakan I,Tanpa Tahun.
6. Ath-Thabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Al-Imamul Kabir Al-Muhadditsusy Syahir, Jami'ul Bayani fi Tafsiril Qur`an, Darul Ma'rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan III, 1398 H / 1978 M.
7. Az-Zuhaili, DR. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Ustadz, At-Tafsirul Munir fil 'Aqidati wasy Syari'ati wal Manhaj, Darul Fikr, Damaskus, Suriah, Cetakan I, 1411 H / 1991 M.
8. Muhammad Husain, Min Wahyil Qur`an, Darul Malak, Tanpa Nama Kota, Cetakan II, 1419 H / 1998 M.
9. Rasyid Ridha, Muhammad Rasyid Ridha, As-Sayyid, Tafsirul Qur`anil Hakim Asy-Syahiru bi Tafsiril Mannar, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, Tanpa Tahun.
Kelompok Kitab Hadits
10. 'Abdurrazzaq, Abu Bakr 'Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan'ani, Al-Mushannaf, Al-Majlisul 'Ilm, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, 1392 H / 1972 M.
11. Abu Dawud, Sulaiman bin Asy'ats, As-Sijistani, Sunanu Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, 1410 H / 1990 M.
12. Abu Dawud Ath-Thayalisi, Sulaiman bin Dawud bin Jarud Al-Farisi Al-Bashri, Musnadu Abi Dawud Ath-Thayalisi, Darul Ma'rifah, Beirut, Lebanon. Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
13. Ad-Daraquthni, 'Ali bin 'Umar, Sunanud Daraquthni, Darul Mahasin, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
14. Al-Bukhari, Abu 'Abdillah, Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah, Al-Ju'fi, Shahihul Bukhari, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
15. At-Tirmidzi, Abu 'Isa, Muhammad bin 'Isa bin Saurah, Al-Jami'ush Shahih wa Huwa Sunanut Tirmidzi, Mushthafal Babil Halbi wa Auladuh, Mesir, Cetakan II, 1388 H / 1968 M.
16. Ibnu Hajar, Abul Fadll, Ahmad bin 'Ali bin Muhammad, Syihabuddin, Al-Kinani, Al-'Asqalani, Asy-Syafi'i, Talkhishul Habiri fi Takhriji Ahaditsir Rafi'iyyil Kabir, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1419 H / 1998 M.
17. Ibnu Hibban, 'Ala`uddin 'Ali bin Balban Al-Farisi, Al-Amir, Shahihubni Hibban bi Tartibibni Balban, Mu`assasatur Risalah, Beirut, Lebanon, Cetakan III, 1418 H / 1997 M.
18. Malik, bin Anas bin Malik bin Abu 'Amir bin 'Amr bin Ghaiman bin Khutsail bin Harits, Muwaththa`ul Imami Malik (Riwayatu Yahya bin Yahya Al-Laitsi), Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
19. Sa'id bin Manshur, bin Syu'bah Al-Khurasani Al-Makki, Sunan Sa'id Bin Manshur, Darul Kutubil 'Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1405 H / 1985 M.
20. Muslim, Abul Husain bin Hajjaj bin Muslim, Al-Qusyairi, An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Jami'ush Shahih, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
Kelompok Kitab Syarah Hadits
21. Abuth Thayyib Abadi, Muhammad Syamsul Haqqil 'Adhim, Al-'Allamah, 'Aunul Ma'bud Syarhu Sunani Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan III, 1399 H / 1979 M.
22. Al-Bassam, 'Abdullah bin 'Abdurrahman, Taudlihul Ahkami Min Bulughil Maram, Darubnil Haitsam, Kairo, Cetakan I, Tanpa Tahun.
23. Al-Mubarakfuri, Abul 'Ali Muhammad 'Abdurrahman bin 'Abdirrahim, Al-Imam, Al-Hafidh, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami'it Tirmidzi, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan III, 1399 H / 1979 M.
24. An-Nawawi, Abu Zakariyya, Muhyiddin bin Syaraf, Al-Majmu'u Syarhul Muhadzdzab, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
25. Ash-Shan'ani, Muhammad bin Isma'il, Al-Amir, Subulus Salam Syarhu Bulughil Maram Min `Adillatil 'Ahkam, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
26. Asy-Syaukani, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad, Al-Yamani, Asy-Syaikh, Al-Mujtahid, Al-'Allamah, Nailul Authar Syarhu Muntaqal Ahbari min Ahaditsi Sayyidil Abrar, Mushthafal Babil Halbi wa Auladuhu, Mesir, Tanpa Nomor Cetakan, 1347 H.
27. Ibnu Hajar, Ahmad bin 'Ali bin Hajar, Al-'Asqalani, Al-Hafidh, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1416 H / 1996 M.
Kelompok Kitab Fiqh
28. Al-Baghawi, Abu muhammad Husain bin Mas'ud bin Muhammad Al-Farra`, Al-Imam, At-Tahdzibu fi Fiqhil Imamisy Syafi'i, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1418 H /1997 M.
29. Al-Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad 'Awadl, Al-Fiqhu 'alal Madzahibil `Arba'ah, Darubnil Haitsam, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
30. Ash-Shalihi, Muhammad bin Yusuf Asy-Syami, Subulul Huda war Rasyad fi Sirati Khairil 'Ibad shallallahu 'alaihi wa sallam, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, CetakanII, 1428 H / 2007 M.
31. As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan IV, 1403 H / 1983 M.
32. Ash-Shagharji, As'ad Muhammad Sa'id, Asy-Syaikh, Al-Fiqhul Hanafi wa Adillatuh, Darul Kalimith Thayyib, Damaskus, Beirut, Cetakan I, 1420 H / 2000 M.
33. As-Sindi, Sunanun Nasa'i bi Syarhil Hafidzi Jalaluddin As-Suyuthi wa Hasyiatul Imamis Sindi, Al-Mathba'atul Mishriyyah, Al-Azhar, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
34. Asy-Syafi'i, Abu 'Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Imam, Al-Umm, Darul Fikr, Beirut, Cetakan II, 1403 H / 1983 M.
35. Al-Anshari, Abu Yahya Zakariya`, Syaikhul Islam, Hasyiyatusy Syarqawi 'ala Tuhfatith Thullabi bi Syarhi Tahriri Tanqihil Lubab, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
36. Ibnu Hazm, Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad bin Sa'id, Al-Imamul Jalil, Al-Muhaddits, Al-Faqih, Al-Muhalla, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
37. Ibnul Qayyim, Syamsyuddin Abu 'Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az-Zura'i Ad-Dimasqi Al-Jauziyyah, Zadul Ma'ad, Maktabatul Mannaril Islamiyyah, Kuwait, Cetakan XXIV, 1412 H / 1992 M.
38. Ibnu Qudamah, Ibnul Farj bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah, Al-Maqdisi, Asy-Syaikh, Al-Imam, Syamsuddin, Asy-syarhul Kabir, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
39. Ibnus Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu wa Taudlihu Madzahibil A`immah, Al-Maktabatut Taufiqiyyah, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
40. Ibnu Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah, Majmu'atul Fatawa, Darul Wafa', Tanpa Nama Kota, Cetakan II, 1421 H / 2001 M.
Kelompok Kitab Ushul Fiqh
41. Al-'Utsaimin, Muhammad Shalih, Asy-Syaikh, Syarhul Ushuli min 'Ilmil Ushul, Darul 'Aqidah, Kairo, Cetakan I, 1425 H / 2004 M.
42. Az-Zuhaili, Wahbah, Doktor, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikr, Damaskus, Tanpa Nomor Cetakan, 2005 M.
43. Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman 'Abdullah, Al-Wadlihu fi Ushulil Fiqhi lil Mubtadi`in, Tanpa nama Penerbit, Tanpa Nama kota, Cetakan I, Tanpa Tahun.
Kelompok Kitab Rijal
44. As-Sam'ani, Abu Sa'd 'Abdul Karim bin Muhammad bin Manshur, Al-Imam, Al-Ansab, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1419 H / 1998 M.
45. Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad 'Abdurrahman Muhammad bin Idris bin Mundir , Al-Imam, Al-Hafidh, Syaikhul Islam, At-Tamimi, Al-Handhali, Ar-Razi, Al-Jarhu wat Ta'dil, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1271 H / 1952 M.
46. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin 'Ali Al-'Asqalani, Al-Imam, Al-Hafidh, Syihabuddin, Lisanul Mizan, Mu`assasatul `A'lami, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1390 H / 1971 M.
47. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin 'Ali bin Muhammad Al-'Asqalani, Al-Imam Al-Hafidz, Syihabuddin, Tahdzibut Tahdzib fi Rijalil Hadits, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1425 H / 2004 M.
Kelompok Kitab Mushthalah Hadits
48. 'Abdul 'Aziz, Muhammad bin Ibrahim 'Abdullathif, Doktor, Dlawabithul Jarhi wat Ta'dil, Al-Mamlakatul 'Arabiyyatus Su'udiyyah, Madinah, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
49. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, c.v. Diponegoro, Bandung, Cetakan III, 1987 M.
50. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa'idut Tahditsi min Fununi Mushthalahil Hadits, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
51. Ath-Thahhan, Mahmud, Doktor, Taisiru Mushthalahil Hadits, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
Referensi Lain
52. Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE-UII, Yogyakarta, Tanpa Nomor Cetakan, 1997 M.
53. Sutrisno Hadi, Prof. Drs., MA, Metodologi Research, Gama, Yogyakarta, Cetakan VII, 1986 M.

LAMPIRAN
1. Kedudukan Hadits-hadits yang Berkaitan dengan Hukum Menyusui Anak Orang Lain yang Berusia Lebih dari Dua Tahun.
1.1 Kedudukan Hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha tentang Penyusuan Sebelum Penyapihan (hlm.8)
Hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan urutan rawi sebagai berikut:
1) Qutaibah
2) Abu 'Awanah (Wadldlah bin 'Abdillah)
3) Hisyam bin 'Urwah
4) Bapaknya ('Urwah bin Zubair)
5) Fathimah binti Mundzir
6) Ummu Salamah
Ibnu Hazm menyatakan bahwa hadits ini munqathi' karena Fathimah binti Mundzir tidak meriwayatkan hadits dari Ummu Salamah radliyallahu 'anha sebab beliau telah wafat tatkala Fathimah binti Mundzir masih kecil. Namun, pernyataan tersebut disanggah oleh Ibnul Qayyim dengan mengatakan bahwa Fathimah binti Mundzir berusia sebelas tahun ketika Ummu Salamah radliyallahu 'anha wafat dan periwayatan darinya dapat diterima karena ia telah berakal dan mengerti dengan apa yang ia riwayatkan. Selain itu, penulis telah mendapatkan kepastian dalam kitab Tahdzibut Tahdzib bahwa Fathimah binti Mundzir meriwayatkan hadits dari Ummu Salamah radliyallahu.
Adapun Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan shahih. Adapun Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Dalam kitab AT-Tahdzibut Tahdzib dan Tuhfatul `Asyraf bi Ma’rifatil Athraf tidak disebutkan bahwa ‘Urwah meriwayatkan hadits dari Fathimah binti Mundzir, sehingga penulis menyimpulkan bahwa sanad di atas tidak benar dan sanad yang tepat adalah dari Hisyam bin 'Urwah dari Fathimah (tanpa meyebutkan bapak Hisyam).
Rawi-rawi pada sanad tersebut merupakan rawi tsiqat kecuali Abu 'Awanah. Dia termasuk rawi tsiqat apabila meriwayatkan hadits dari kitabnya dan terkadang melakukan kesalahan apabila meriwayatkan hadits dari hafalannya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ahmad, Abu Zur'ah, dan Ibnu 'Abdil Barr. Ibnu khirasy mengatakan bahwa Abu 'Awanah adalah seorang rawi yang shaduq (jujur) dalam meriwayatkan hadits (صَدُوْقٌ فِى الْحَدِيْثِ ( .
Komentar ulama tentang hafalan Abu 'Awanah tidak sampai mengurangi sifat 'adalah pada dirinya dan tidak menurunkan derajatnya ke tingkat dla'if. Pernyataan di atas hanya menunjukkan kekurangan pada sifat dlabth Abu 'Awanah. Berdasarkan uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Abu 'Awanah adalah seorang rawi hasan dan riwayat darinya dapat diterima.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa hadits Ummu Salamah berderajad hasan karena adanya rawi shaduq yaitu Abu 'Awanah.
1.2 Kedudukan Hadits 'Ali radliyallahu 'anhu tentang Penyusuan Setelah Penyapihan (hlm. 9)
Berikut urutan rawi-rawi dalam hadits 'Ali radliyallahu 'anhu:
1) 'Abdurrazzaq
2) Ma'mar
3) Juwaibir bin Sa'id
4) Adl-Dlahhak bin Muzahim
5) An-Nazzal bin Sabrah
6) 'Ali
Sanad hadits ini bersambung dan rawi-rawinya tsiqat kecuali Juwaibir bin Sa'id dan Adl-Dlahhak. Adapun celaan pada Juwaibir adalah Ali bin Al-Madini mengatakan bahwa ia telah banyak meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari Adl-Dlahhak. Ahmad bin Sayyar mengatakan bahwa ia hasan dalam bidang tafsir, akan tetapi dalam periwayatan hadits, ia adalah layyinul Hadits (yang lemah haditsnya).
Adapun Adl-Dlahhak, ia adalah rawi yang dla'if menurut Yahya bin Sa'id. Ibnu 'Adi mengatakan bahwa ia adalah orang yang populer dalam bidang tafsir, akan tetapi ada cacat pada semua hadits yang diriwayatkan darinya.
Bardasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits 'Ali radliyallahu 'anhu berderajat dla'if. Namun, matan hadits ini semakna dengan matan hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (hlm. 52) yang berderajat hasan, sehingga derajat hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
1.3 Kedudukan Hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu tentang Penyusuan yang Menguatkan Tulang dan Menumbuhkan Daging (hlm. 9)
Hadits Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu mempunyai urutan sanad sebagai berikut:
1) Muhammad bin Sulaiman Al-Ambari
2) Waki'
3) Sulaiman bin Mughirah
4) Abu Musa Al-Hilali
5) Bapaknya
6) Ibnu Mas'ud
Muhammad bin Sulaiman dan Waki' adalah rawi yang tsiqat.
Sulaiman bin Muqirah seorang rawi yang tsabt (teguh).
Ibnul Madini mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mengambil riwayat dari Abu Musa Al-Hilali kecuali Sulaiman bin Muqirah. Abu Hatim mengatakan bahwa dia seorang rawi yang majhul (tak dikenal oleh ahli jarh wat ta'dil), akan tetapi Ibnu Hibban mentsiqatkannya dalam kitab Ats-Tsiqat.
Berdasarkan pernyataan Ibnul Madini dan Abu Hatim, dapat disimpulkan bahwa Abu Musa Al-Hilali adalah rawi majhul karena hanya satu rawi yang meriwayatkan darinya. Demikian ini disebut dengan majhul 'ain. Periwayatan rawi majhul 'ain tidak diterima.
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa Abu Musa Al-Hilali dan bapaknya adalah rawi majhul.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits Ibnu Mas'ud radliyallhu 'anhu berderajat dla'if. Akan tetapi, derajat hadits ini menjadi hasan li ghairihi dengan adanya syahid, yaitu hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang penyusuan karena lapar yang berderajat muttafaqun ‘alaih dan hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha yang berderajat hasan.
1.4 Kedudukan Atsar Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma tentang Penyusuan dalam Umur Dua Tahun (lihat hlm.10)
Atsar Ibnu 'Abbas diriwayatkan dengan dua sanad, yaitu sanad mauquf (yang terbenti kepada sahabat) dan sanad marfu' (yang sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).
Sanad mauquf yang dikeluarkan oleh Sa'id bin Manshur adalah:
1) Sa'id bin Manshur
2) Sufyan (bin 'Uyainah)
3) 'Amr bin Dinar
4) Ibnu 'Abbas
Sanad atsar tersebut bersambung dan tiap rawinya merupakan rawi tsiqat. Akan tetapi, salah seorang rawi hadits ini, yaitu Sufyan bin 'Uyainah termasuk rawi mudallis. Dalam ilmu musthalah hadits disebutkan bahwa periwayatan rawi mudallis dapat diterima apabila ia menjelaskan adanya penerimaan hadits dengan sama' (mendengar) dengan lafal سَمِعْتُ (aku mendengar), atau semisalnya , sedang apabila lafal yang ia gunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits bukanlah سَمِعْتُ atau yang sejenisnya, melainkan lafal عَن (dari) dan semacamnya, maka periwayatannya tertolak . Dalam hadits ini, Sufyan bin 'Uyainah menggunakan lafal عَن. Berdasarkan data dan kaidah di atas atsar ini tertolak, akan tetapi periwayatannya ini dapat diterima karena ulama ahli hadits telah memaafkan tadlisnya meskipun ia tidak menjelaskan adanya penerimaan hadits dengan sama' karena Sufyan bin 'Uyainah tidak berbuat tadlis kecuali dari rawi tsiqat. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa atsar Ibnu 'Abbas ini shahih.
Adapun sanad marfu' yang dikeluarkan Ad-Daraquthni adalah:
1) Husain bin Isma'il
2) Ibrahim bin Dubais bin Ahmad
3) Abul Walid bin Bard Al-Anthaki
4) Al-Haitsam bin Jamil
5) Sufyan (bin 'Uyainah)
6) 'Amr bin Dinar
7) Ibnu 'Abbas
Husain bin Isma'il adalah rawi yang tsiqat dan shaduq.
Adapun Ibrahim bin Dubais, penulis belum dapat menentukan apakah dia rawi yang tsiqah ataukah dla'if karena penulis belum mendapatkannya dalam kitab rijal.
Abul Walid bin Bard adalah rawi yang majhul sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Ibnul Qaththan . Akan tetapi, Ad-Daraquthni telah mentsiqatkannya dan Imam An-Nasa`i mengatakan bahwa dia adalah orang yang shaleh.
Menurut penulis, Abul Walid adalah rawi yang majhul hal karena orang yang meriwayatkan darinya lebih dari seorang rawi.
Dalam kitab Dlawabithul Jarhi wat Ta'dil, 'Abdul 'Aziz menerangkan bahwa jahalah pada diri seorang rawi yang majhul hal tidak akan hilang sampai ada seorang yang mentsiqatkannya. Dengan demikian, jahalah pada diri Abul Walid telah hilang dengan adanya pentsiqatan Ad-Daraquthni.
Dalam kitab Talkhishul Habir, Ibnu Hajar menukil pernyataan Imam An-Nasa`i mengenai Al-Haitsam bin Jamil sebagai berikut:
قَالَ النَّسَائِ : ... ، وَ الْهَيْثَمُ بْنُ الْجَمِيْلِ وَثَّقَهُ اْلإِِمَامُ أَحْمَدُ وَ الْعَجْلِيْ وَ ابْنُ حِبَّانٍ وَ غَيْرُ وَاحِدٍ ، وَ كَانَ مِنَ الْحُفَّاظِ ، إِلاَّ أَنَّهُ وَهِمَ فِيْ رَفْعِ هذَا الْحَدِيْثِ ، وَ الصَّحِيْحُ وَقْفُهُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍِ .
Artinya:
An-Nasa`i berkata: …, Imam Ahmad, 'Al-'Ajli, Ibnu Hibban, dan lain-lain telah mentsiqatkan Al-Haitsam bin Jamil, dan dia termasuk huffadh, akan tetapi dia telah keliru dalam me-rafa'-kan hadits ini, yang benar adalah sanad ini terhenti kepada Ibnu 'Abbas.
Abu Nu'aim menyatakan bahwa Al-Haitsam bin Jamil adalah rawi matruk (haditsnya ditinggakan).
Dalam kitab Taqribut Tahdzib, Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al-Haitsam bin Jamil ditinggalkan haditsnya tatkala akalnya telah pikun di akhir hayatnya.
Berdasarkan dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa lafal matruk yang dimaksudkan Abu Nu’aim bukanlah matruk menurut istilah, yaitu hadits yang di dalam sanadnya ada rawi yang dituduh berbohong , melainkan matruk menurut bahasa, yaitu rawi yang ditinggalkan haditsnya karena akalnya telah pikun di akhir hayatnya. Sebagaimana yang diterangkan Abdul ‘Aziz bahwa lafal matruk terkadang diartikan menurut istilah atau selainnya.
Periwayatan rawi tatkala akalnya telah pikun tidak diterima , sehingga periwayatan Al-Haitsam bin Jamil ini tertolak karena dia telah salah dalam merafa’kan hadits ini. Hal ini menunjukkan bahwa dia meriwayatkannya setelah akalnya pikun.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadits Ibnu 'Abbas berderajat dla’if,sehingga tidak dapat dijadikan hujah.
1.5 Kedudukan Atsar Ibnu 'Umar radliyallahu 'anhuma tentang Penyusuan di Masa Kecil (lihat hlm.11)
Urutan sanad atsar ini adalah:
1) Malik
2) Nafi'
3) 'Abdullah bin 'Umar
Semua rawi pada sanad di atas merupakan rawi-rawi tsiqat dan bersambung, sehingga atsar Ibnu 'Umar berderajat shahih. Sanad dengan urutan para rawi di atas merupakan salah satu di antara sanad-sanad yang paling shahih.
2. Kedudukan Hadits-Hadits Tambahan dalam Analisis
2.1 Kedudukan Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha (hlm. 24)
Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha yang dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq ini mempunyai urutan sanad sebagai berikut:
1. 'Abdurrazzaq
2. Ma'mar
3. Az-Zuhri
4. 'Urwah
5. 'Aisyah
Semua rawi pada sanad di atas merupakan rawi-rawi tsiqat dan bersambung, sehingga hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini berderajat shahih,sehingga dapat dijadikan hujah.
2.2 Kedudukan Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha (hlm. 24)
Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini juga dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq. Urutan sanad hadits tersebut sebagai berikut:
1. 'Abdurrazzaq
2. Malik
3. Ibnu Syihab (Az-Zuhri)
4. 'Urwah
5. 'Aisyah
Semua rawi pada sanad di atas merupakan rawi-rawi tsiqat dan bersambung, sehingga hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha ini berderajad shahih dan dapat dijadikan hujah.
2.3 Kedudukan Hadits Jabir radliyallahu 'anhu (hlm. 33)
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dengan dua jalan:
1) Al-Yaman dari Abu 'Absi dari Jabir
Imam Bukhari dan Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Yaman adalah rawi yang diingkari haditsnya.
2) Kharijah bin Mush'ab dari Haram bin 'Ustman dari Abi 'Atiq dari Jabir
Ada beberapa celaan pada diri Kharijah bin Mush'ab di antaranya adalah 'Abbas mengatakan bahwa ia pendusta, Imam An-Nasa`i mengatakan bahwa ia rawi matruk, Abu Hatim mengatakan bahwa ia mudltharibul Hadits (haditsnya goncang) .
Adapun Haram bin 'Ustman, Imam Asy-Syafi'i berkata tentangnya: Riwayat dari Haram, hukumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar