Rabu, 23 Maret 2011

HUKUM SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI ‘ID

B A B I
P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang Masalah
Shalat Jum’at merupakan satu kewajiban yang telah Allah syari’atkan ke-pada hamba-hamba-Nya yang beriman. Oleh karena itu, wajib atas mereka untuk menunaikannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ قلى ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمَوْنَ} الجمعة (62):9{
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk (menunaikan) shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah (shalat Jum’at), dan tinggalkanlah jual-beli; Yang demikian itu lebih baik buat kalian, jika kalian mengetahui.” {Q.S. Al-Jumu’ah (62):9}

Firman Allah Ta’ala di atas menunjukkan kepada kita, bahwa shalat Jum’at merupakan satu kewajiban bagi orang yang mengaku beriman. Apabila ada nida’ (seruan atau panggilan) untuk melaksanakan shalat Jum’at, maka wajib atas mereka untuk mendatanginya, karena dalam ayat di atas terdapat lafal إسْعَوْا yang berasal dari fiil (kata kerja) سَعَى- يَسْعَى - سَعْيًا, dan lafal إِسْعَوْا fiil amr untuk jamak
jamak (kata kerja yang menunjukkan perintah), yang mempunyai arti, “bersegeralah kalian”.
Jadi, dengan jelas ayat tersebut menerangkan bahwa apabila ada nida’, maka muslimin wajib meninggalkan pekerjaan yang mereka lakukan kemudian bergegas untuk menunaikan shalat Jum’at, kecuali bagi mereka yang mempunyai udzur syar’i seperti sakit misalnya.
Suatu kali terjadi hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Muslimin berduyun-duyun pergi ke lapangan, ada juga yang ke masjid untuk menunaikan shalat ‘Id dan mendengarkan khuthbah. Setelah pelaksanaan shalat ‘Id selesai, pada siang harinya dari kalangan mereka ada yang melakukan shalat Jum’at, dan ada juga yang meninggalkannya.
Dari peristiwa perbedaan pengamalan tersebut, ayah penulis bertanya bagaimana hukum dan teknis pelaksanaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id? Mengapa sebagian muslimin ada yang melaksanakan dan ada juga yang me-ninggalkannya? Manakah yang benar, mereka yang melakukannya atau yang me-ninggalkannya? Dan bagaimanakah dengan muslimin yang meninggalkannya? Wajibkah mereka mengganti dengan shalat Dhuhur?
Munculnya masalah tersebut, mendorong penulis untuk mengadakan pe-nelitian guna mencari kebenaran yang argumentatif, sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang besar kemungkinannya masih menjadi problem pula bagi sebagian muslimin, yang akan penulis paparkan dalam sebuah karya ilmiah ini dengan judul, “SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI ‘Id.”

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
2.1. Bagaimanakah hukum shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id?
2.2. Apa yang harus dilakukan muslimin yang sudah menunaikan shalat ‘Id dalam kaitannya dengan shalat Jum’at?
2.3. Apa yang harus dilakukan muslimin yang belum melaksanakan shalat ‘Id dalam kaitannya dengan shalat Jum’at?

3. Tujuan Penelitian
Penulis menyusun karya ilmiah ini dengan tujuan:
3.1. Untuk mengetahui hukum shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id.
3.2. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan muslimin yang sudah me-nunaikan shalat ‘Id dalam kaitannya dengan shalat Jum’at.
3.3. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan muslimin yang belum melaksanakan shalat ‘Id dalam kaitannya dengan shalat Jum’at.

4. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian karya ilmiah ini, penulis berharap dapat bermanfaat sebagai berikut:
4.1. Sebagai pendalaman ilmu Ad-Dien, dan merupakan rujukan dalam beramal, bagi penulis secara pribadi dan pembaca pada umumnya.
4.2. Sebagai latihan berpikir secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.
4.3. Untuk memahamkan muslimin, agar tidak salah dalam beramal tentang shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id.
4.4. Untuk meningkatkan kualitas penghambaan kepada Allah, mencari ridha serta ampunan-Nya.






5. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua metode, yaitu:
5.1. Metode pengumpulan Data
Pada makalah ini penulis menggunakan penelitian literatur, yaitu pe-nulis berusaha membaca, menelaah beberapa kitab yang ada kaitannya dengan pembahasan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, berupa kitab-kitab hadits, syarah, fiqih, maupun kitab-kitab lain yang bersangkutan dengan masalah ini, untuk dikaji guna mencari landasan berpikir dalam upaya pe-mecahan persoalan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id.
Adapun data-data yang penulis kumpulkan dalam penelitian ini, adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah:
“Data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk
pertama kalinya.”
Karena penelitihan ini bukan merupakan penelitian kancah, melainkan pe-nelitian library, maka yang dimaksud dengan data primer adalah data yang penulis peroleh secara langsung dari kitab asalnya, bukan merupakan nukilan seseorang dari kitab lain yang dimuat dalam kitabnya. Misalnya ada hadits riwayat Imam Al-Bukharie yang penulis mengambilnya langsung dari kitab Al-Jami’us Shohih lil Bukharie.
Adapun data sekunder adalah:
“Data yang tidak diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti…. Jadi, data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya, arti-
artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri.”

Dengan kata lain, data sekunder ialah data yang diperoleh penulis tidak dari kitab asalnya. Jadi, data itu merupakan nukilan seseorang dari kitab lain yang dimuat dalam kitabnya. Misalnya ada hadits riwayat Imam Al-Bazzar yang penulis mendapatkannya dari kitab-kitab lain selain kitab Musnad Al-Bazzar.

5.2. Metode Analisa Data
Untuk menjawab rumusan masalah yang ada dalam makalah ini, penulis menganalisa data-data yang telah terkumpul dengan dua cara:
5.2.1. Analisa Induktif
Yang dimaksud dengan analisa induktif adalah:
“Penganalisaan yang bersifat khusus yang mempunyai unsur persamaan
kemudian dibuat kesimpulan yang bersifat umum.”
5.2.2. Analisa Komparatif
Dia itu adalah:
“Penganalisaan data dengan cara membandingkan data yang berbeda untuk selanjutnya diambil data yang lebih kuat atau bilamana mungkin
untuk dikompromikan.”

6. Sistematika Pembahasan
Agar penulis lebih mudah dalam membahas makalah ini, serta memudah-kan pembaca dalam memahaminya, maka penulis membuat urut-urutan penyusun-an makalah ini sebagai berikut:
Secara garis besar, makalah ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah dan bagian akhir.
Bagian awal meliputi halaman judul, halaman pengesahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi.
Kemudian bagian tengah, merupakan bagian inti dalam makalah ini. Bagian tengah ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, kemudian merumuskannya. Setelah itu, penulis menyebutkan beberapa manfaat serta kegunaan penelitian, kemudian metode penelitian yang terdiri dari metode pengumpulan data dan metode analisa data. lalu yang terakhir sistematika pem-bahasan.
Bab kedua, menerangkan masalah shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Bab kedua ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama menjelaskan tentang definisi shalat Jum’at dan shalat ‘Id (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha), kemudian disusul dengan sub bab kedua, yang menampilkan hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, yang terdiri dari lafal, arti, keterangan dan ke-dudukannya.
Bab ketiga, memaparkan pendapat Fuqaha’ tentang hukum dan teknis pelaksanaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id.
Bab keempat, yaitu bab analisa. Bab ini juga terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama membahas analisa hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Kemudian sub bab kedua mengenai analisa pendapat Fuqaha’ tentang hukum dan teknis pelaksanaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Lalu diakhiri dengan rangkuman hasil analisa shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, serta apa kewajiban yang harus dilakukan oleh muslimin yang sudah shalat ‘Id dan yang belum shalat ‘Id, berdasarkan hadits-hadits yang dapat diuji kebenarannya.
Selanjutnya bab kelima, yaitu bab penutup yang mencakup kesimpulan pembahas-an masalah dalam makalah ini, saran-saran serta kata penutup.
Adapun bagian akhir dari makalah ini berisi bibliografi dan lampiran.

B A B II
SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI ‘ID

Pada bab ini penulis akan mengemukakan definisi shalat Jum’at dan shalat ‘Id (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha) serta hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat Jum’at yang pelaksanaannya bertepatan dengan hari ‘Id.

1. Definisi Shalat Jum’at dan Shalat ‘Id (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha)
1.1. Definisi Shalat Jum’at
Dalam menyajikan definsi shalat Jum’at ini, penulis telah meneliti beberapa kitab, tetapi ternyata tidak mendapatkan satu pun definisi shalat Jum’at. Oleh karena itu, penulis akan memerinci satu demi satu dengan cara yang efisien tentang definisi shalat dan Jum’at, kemudian keduanya digabung-kan dan ditarik kesimpulannya.

1.1.1. Definisi Shalat
Lafal Shalat merupakan isim masdar dari fiil صَلَّى- يُصَلِّى- صَلاَةًyang menurut bahasa berarti:

الرُّكُوْعُ وَالُّسُجُوْدُ000وَالْجَمْعُ صَلَوَاتٌ 0(وَقِيْلَ) الصَّلاَةُ: اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِغْفَارُ0
Artinya:
“Ruku’ dan sujud… sedang bentuk jamaknya صَلَوَاتٌ, (dan dikatakan juga) bahwa arti shalat itu adalah doa dan istighfar.”

قَالَ إبْنُ اْلأَثِيْرِ: وَ قَدْ تَكَرَّرَ فِيْ الْحَدِيْثِ ذِكْرُ الصَّلاَةِ, وَ هِيَ اَلْعِبَادَةُ الْمَخْصُوْصَةُ0 وَ أَصْلُهَا الدُّعَاءُ فِيْ اللُّغَةِ فَسُمِّيَتْ بِبَعْضِ أَجْزَائِهَا0 وَ قِيْلَ أَصْلُهَا فِيْ اللٌّغَةِ التَّعْظِيْمُ0000
Artinya:
Berkata Ibnul Atsier: “Penyebutan shalat itu sudah terulang-ulang dalam hadits, dan dia (adalah) ibadah yang khusus. Sedang asal artinya menurut bahasa (adalah) doa, kemudian diberi nama dengan salah satu di antara bagian-bagiannya. Dan dikatakan (juga) bahwa asal artinya menurut bahasa (adalah) pengagungan.”

Adapun menurut Abdurrahman Al-Juzairie, bahwa “shalat” menurut
Bahasa adalah الدُّعَاءُ بِخَيْرٍ “Doa untuk kebaikan”. Hal ini sebagaimana fir-
man Allah Ta’ala:
000وَصَلِّ عَلَيْهِمْ قلى إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ0000} التوبة (9):103{
Artinya:
“…Dan doakanlah mereka wahai Muhammad karena sesungguhnya doamu itu, menjadikan ketenangan bagi mereka….”
{Q.S. At-Taubah (9): 103}.

Firman-Nya juga:
إِنَّ اللهَ وَ مَلَئِكَتَهَ يُصَلُوْنَ عَلَى النَّبِيِّ ج يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا }الأحزاب (33):56{
Artinya:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat Nabi saw.;Wahai orang-orang yang beriman! Kalian bershalawatlah (doakanlah) Nabi Saw. dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” {Q.S. Al-Ahzab (33): 56}.

Dari keterangan-keterangan yang telah penulis uraikan di atas, dapat diketahui bahwa “shalat” menurut bahasa bisa bermakna ruku’, sujud, doa, dan pengagungan, yang semuanya itu hanya layak dilakukan oleh hamba ter-hadap kholiqnya.
Adapun definisi shalat menurut istilah adalah:
أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ0
Artinya:
“Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan mengucapkan salam, dengan syarat-syarat khusus. ”Yang dimaksud dengan syarat-syarat khusus oleh ‘Abdurrahman Al-Juzairie adalah :
ألطَّهَارَةُ مِنَ الْحَدَثِ, وَالطَّهَارَةُ مِنَ الْخُبُثِ, وَاْلإِسْلاَمُ, وَإِسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ, وَسَتْرُ الْعَوْرَةِ0

Artinya:
“Suci dari hadats (hadats kecil maupun besar), suci dari najis, beragama islam, menghadap kiblat dan menutup aurot.”

1.1.2. Definisi Jum’at
Lafal Jum’at merupakan isim masdar, yang berasal dari fiil يَجْمَعُ-جُمْعَةً – جَمَعَ
‘Ulama berbeda pendapat dalam pengucapan lafal جُمْعَةٌada yang membaca:
ألْجُمُعَةُ بِضَمِّ الْمِيْمِ عَلَى الْمَشْهُوْرِ, وَقَدْ تُسْكَنُ وَقَرَأً بِهَا الأَعْمَشُ, وَحَكَى الوَاحِدِىُّ عَنِ الْفَرَّاءِ فَتْحَهَا, وَحَكَى الزُّجَاجُ الْكَسْرَ أَيْضًا0

Artinya:
Menurut bacaan yang masyhur adalah اَلْجُمُعَةُ, dengan mim (م) yang didhommah. Kadang-kadang disukun (اَلْجُمْعَةُ) (sebagaimana) Al-A’masy membacanya, difathah (الْجُمَعَةُ) (sebagaimana) Al-Wahidie menceritakan dari Al-Farra’, sedang Az-Zujaj juga menceritakan dengan kasroh (اَلْجُمِعَةُ).”

Adapun menurut pendapat Imam At-Thoba’ Thoba’i bahwa:
ألْجُمُعَةُ بِضَمَّتَيْنِ أَوْ بِالضَّمِّ فَالسُّكُوْنُ أَحَدُ أيَّامِ الاُسْبُوْعِ وَكَانَ يُسَمَّى أَوَّلاً يَوْمَ الْعَرُوْبَةِ ثُمَّ غَلَبَ عَلَيْهِ اِسْمُ الْجُمْعَةِ0
Artinya:
“(Lafal) اَلْجُمُعَةُ dengan dua dhommah, atau dengan satu dhommah, kemudian sukun ( اَلْجُمْعَةُ ), dia adalah salah satu hari di antara hari-hari dalam satu pekan. Dan mula-mula diberi nama hari ‘Arubah, kemudian (setelah itu) nama hari Jum’atlah yang masyhur.” Ibnu Mandhur juga menyebutkan:

وَلَمْ تُسَمَّى الْعَرُوْبَةُ اَلْجُمْعَةَ إلاَّ مُذْ جَاءَ اْلإِسْلاَمُ0
Artinya:
“Hari ‘Arubah itu belum dinamakan hari Jum’at, kecuali sejak datangnya Al-Islam.”

Dalam kitab Tafsir Al-Munir diterangkan,
وَإنَّمَا سُمِّيَ جُمْعَةً لإجْتِمَاعِ النَّاسِ فِيْهِ لِلصَّلاَةِ0 وَكَانَتِ الْعَرَبُ تُسَمِّيْهِ (الْعَرُوبَةَ) أيْ الرَّحْمَةَ0
Artinya:
"Dan sesungguhnya hari itu diberi nama hari Jum’at, karena berkumpulnya manusia pada hari itu untuk shalat. Dan mula-mula orang arab memberi nama (hari ‘Arubah) yaitu hari belas kasih.”

Jadi, hari Jum’at itu dikenal sesudah datangnya Al-Islam. Pada masa jahiliyah diberi nama hari ‘Arubah (hari belas kasih). Pertama kali yang memberi nama Jum’at adalah kaum Anshar. Diberi nama hari Jum’at, karena orang Islam berkumpul tiap hari itu di tempat-tempat ibadah untuk mengingat Allah Ta’ala.
Ibrahim Unais menuturkan bahwa جَمَّعَ النَّاسُ itu mempunyai arti:
شَهِدُوْا الْجُمُعَةَ وَقَضَوْا الصَّلاَةَ فِيْهَا0
Artinya:
“Mereka menghadiri Jum’at dan menunaikan shalat padanya.” Sedang اَلْجُمْعَةُ itu adalah اَلْمَجْمُوْعَةُ , “yang dikumpulkan.”

Dikatakan juga bahwa:
ألْجُمْعَةُ وَ الْجُمُعَةُ وَ الْجُمَعَةُ: مَا يَلِى الْخَمِيْسَ مِنْ أَيَّامِ الأُسْبُوْعِ (ج) جُمَعٌ0
Artinya:
“Al-Jum’atu, Al-Jumu’atu dan Al-Juma’atu itu, yakni hari yang mengikuti hari Kamis dari hari-hari dalam satu pekan, (bentuk jamaknya adalahجُمَعٌ”.
Ada juga dikatakan:
الْجُمُعَةُ ج جُمَعٌ وَ جُمُعَاتٌ: سَادِسُ يَوْمٍ مِنَ اْلأُسْبُوْعِ وَ قِيْلَ سُمِّىَ بِذَالِكَ لأَنَّهُ يَوْمُ إِجْتِمَاعِ
الْمُسْلِمِيْنَ فِىْ الْمَسْجِدِ0
Artinya:
“اَلْجُمُعَةُ bentuk jamaknya adalah جُمَعٌ dan جمُعَاتٌ (yaitu) hari keenam dalam satu pekan.” Dan ada juga dikatakan: “Diberi nama yang demikian itu (الْجُمُعَةُ) karena merupakan hari berkumpulnya muslimin di masjid.”

Kemudian berikut ini, penulis akan menampilkan beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan shalat Jum’at.
1- عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ  يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُوْمُ كَمَا تَفْعَلُوْنَ اْلأنَ0
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: “Adalah Rasulullah saw. berkhuthbah dalam keadaan berdiri, kemudian duduk lalu berdiri lagi, sebagaimana yang kalian perbuat sekarang.”

2- عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: قَالَ عُمَرُ: صَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ000 عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ0
Artinya:
Dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata: Berkata ‘Umar: “Shalat Jum’at itu dua rekaat …menurut sabda Muhammad saw..”

3- عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ أنَّ الَّذِى زَادَ التَّاْذِيْنَ الثَّالِثَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ  حِيْنَ كَثُرَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ يَكُنْ لِلنَّبِيِّ  مُؤَذَنٌ غَيْرَُ وَاحِدٍ وَ كَانَ التَّأْذِيْنُ يَوْمَ الْجُمُعَةِحِيْنَ يَجْلِسُ اْلإِمَامُ يَعنِى عَلَى اْلِمْنَبِر0
Artinya:
Dari Sa’ib bin Yazid, bahwasanya yang menambahi adzan ketiga pada hari Jum’at (adalah) ‘Utsman bin ‘Affan ra. tatkala penduduk Madinah menjadi banyak, dan tidak ada bagi Nabi saw. muadzin (penyeru) kecuali seorang (saja), sedangkan adzan pada hari Ju’mat itu tatkala imam rawatib duduk. Yakni (duduk) di atas mimbar.

4- عَنْ أَنَسِ بْن مَالِكٍ  أَنَّ النَّبِيِّ  كَانَ يُصَلِّى الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ
الشَّمْسُ0
Artinya:
Dari Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi saw. shalat Jum’at tatkala matahari tergelincir.

Berdasarkan definisi shalat, definisi Jum’at, serta hadits-hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan shalat Jum’at di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi shalat Jum’at adalah: “Shalat wajib, dua rekaat, dengan adzan dan iqamat, dilaksanakan sepekan sekali pada hari Jum’at yaitu hari sesudah hari Kamis, yang waktunya di sekitar waktu shalat Dhuhur dan dimulai dengan khuthbah.”

1.2. Definisi Shalat ‘Id (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha)
Dalam pembahasan ini, penulis juga tidak mendapatkan satu pun definisi shalat ‘Id. Oleh karena itu, penulis akan membahas apa itu shalat dan apa itu ‘Id (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha), kemudian diambil kesimpulannya. Adapun tentang definisi shalat, penulis tidak akan menguraikan lagi dalam pembahasan ini, dan bisa dilihat lagi dalam definisi shalat Jum’at di atas. Sehingga penulis langsung membahas definisi ‘Id.
Lafal عِيْدٌ merupakan isim masdar dari hasil perubahan atau pemindahan dari isim yang asalnya عَوْدٌ. Sedang عَوْدٌ berasal dari fiil – عَوْدٌ - يَعُوْدُ عَادَyang
artinya“kembali”.
العِيْدُ menurut bahasa adalah:
1- كُلُّ يَوْمٍ فِيْهِ جَمْعٌ0
Artinya:
“Semua hari yang manusia berkumpul padanya.”

2- كُلُّ يَوْمٍ يُحْتَفَلُ فِيْهِ بِذِكْرَى كَرِيْمَةٍ أَوْ حَبِيْبَةٍ (ج) أَعْيَادٌ0
Artinya:
“Semua hari yang dirayakan dengan memperingati sesuatu yang mulia atau yang disukai (bentuk jamaknya adalah) أعْيَادٌ.”

3– قَالَ الأَزْهَرِىُّ: الْعِيْدُ عِنْدَ الْعَرَبِ اَلْوَقتُ الَّذِيْ يَعُوْدُ فِيْهِ الْفَرَحُ وَ الْحُزْنُ0
Artinya:
Berkata Al-Azharie: “Al-‘Id menurut orang arab (adalah) satu waktu yang pada-nya itu kembali kesenangan atau kesedihan.”

Adapun الْعِيْدُ (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha) menurut syar’i, sebagaimana di-riwayatkan oleh ‘Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

اَلْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ والأضْحَى يَوْمَ يُضَحِّى النَّاسُ0
Artinya:
“’Idul Fitri (adalah) hari muslimin berbuka, dan ‘Idul Adha (adalah) hari muslimin menyembelih binatang kurban.”

Hadits di atas menerangkan bahwa hari ‘Idul Fitri itu, hari berbukanya manusia sehabis menjalankan puasa Ramadhan sebulan penuh. Terjadinya hari ‘Idul Fitri itu apabila sudah muncul hilal tanggal 1 Syawwal. Adapun hari ‘Idul Adha itu adalah hari penyembelihan kurban bagi muslimin yang memang Allah memberikan kemampuan kepadanya. Hari ‘Idul Adha disebut juga hari Raya kurban.
Ada juga dikatakan bahwa,
“Idul Adha hari raya haji yg disertai dng penyembelihan hewan kurban (spt sapi, kambing, atau unta) bagi yang mampu.”
“Idul Fitri hari raya umat Islam yg jatuh pd tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa.”

Di bawah ini penulis akan mengutarakan beberapa hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan shalat ‘Id.
صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ.وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلْنَ يُلْقِيْنَ تُلْقِى الْمَرْأَةُ قُرْصَهَا وَ سِخَابَهَا0
Artinya:
“Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya Nabi saw. shalat pada hari ‘Idul Fitri dua rekaat, beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak (shalat pula) sesudahnya kemudian beliau mendatangi para wanita bersama Bilal, lalu memerintahkan mereka untuk sodaqoh, maka mereka pun melemparkan (barang untuk sodaqah), ada wanita yang melemparkan antingnya dan ada juga yang melemparkan kalungnya.”

2- عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  وَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ 0
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “Adalah Rasulullah saw., Abu Bakar dan ‘Umar ra. shalat dua hari Raya sebelum khuthbah.”

3- عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى الْعِيْدَ بِلاَ أَذَانٍ وَ لاَ إِقَامَةٍ وَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ أَوْ عُثْمَانَ شَكَّ يَحْيَ0
Artinya:
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasannya Rasulullah saw., Abu Bakar dan ‘Umar atau ‘Utsman shalat ‘Id tanpa adzan dan iqamat. Yahya ragu (apakah ‘Umar ataukah ‘Utsman).
4- عَنْ جُنْدُبٍ عِنْدَ أَحْمَدَ ابْنِ حَسَنِ الْبَنَّاءِ فِى كِتَابِ اْلاَضَاحِىِّ قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ  يُصَلِّى بِنَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَالشَّمْسُ عَلَى قِيْدِ رَمْحَينِ وَ الأَضْحَى عَلَى قِيْدِ رَمْحٍ0
Artinya:
Dari Jundub, dalam kitab Al-Adlahie, pada Ahmad bin Hasan Al-Banna’ dia (Jundub) berkata: “Adalah Nabi saw. shalat bersama kami pada hari ‘Idul Fitri, sedangkan matahari setinggi dua tombak, dan (beliau shalat) ‘Idul Adha (se-dangkan matahari) setinggi satu tombak.”

Dari hadits di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pelaksanaan shalat ‘Idul Adha lebih pagi daripada pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri.
Berdasarkan definisi shalat, definisi ‘Id (‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha), serta menurut hadits-hadits Rasulullah saw. yang tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi shalat ‘Idul Fitri adalah: “Shalat dua rekaat tanpa adzan dan iqamat, yang dilaksanakan secara berjamaah, pada waktu matahari naik kira-kira setinggi dua tombak, pada tanggal 1 Syawwal pada hari muslimin berbuka dari puasa Ramadhan, kemudian diakhiri dengan khuthbah.”
Sedangkan definisi shalat ‘Idul Adha adalah: “Shalat dua rekaat, tanpa adzan dan iqamat, yang dilaksanakan secara berjamaah, pada waktu matahari naik kira-kira setinggi satu tombak, pada hari penyembelihan kurban (pada tanggal 10 dzul-hijah) bagi muslimin yang berkemampuan, kemudian diakhiri dengan khuthbah.”

2. Hadits-hadits yang Berkenaan dengan Shalat Jum’at Bertepatan dengan Hari ‘Id (‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha)
2.1. Hadits Ibnu ‘Abbas ra.
2.1.1. Lafal dan Arti
قال إبْنُ مَاجَهْ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى الْحِمْصِىُّ,حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ, حَدَّثَنَا شُعْبَةُ, حَدَّثَنِى مُغِيْرَةُ الضَّبِىُّ, عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ رُفَيْعٍ, عَنْ أَبِى صَالِحٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  أنَّهُ قَالَ: إجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِى يَوْمِكُمْ هذَا فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَ إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ إِنْ شَاءَ اللهُ0
Artinya:
(Berkata Ibnu Majah) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al- Mushaffa Al-Himshie, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepadaku Mughirah Adl-Dlabie, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Rufai’, dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah saw., beliau bersabda: “Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at) maka barang siapa berkehendak, (maka sebenarnya) shalat ‘Id mencukupi-nya dari shalat Jum’at, dan sesungguhnya kami akan menegakkan shalat Jum’at Insya Allah.”

2.1.2. Keterangan Hadits
Hadits di atas menerangkan bahwa pada zaman Rasulullah saw. pernah terjadi hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at. Lafal ‘Id pada hadits di atas tidak diterangkan, apakah ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Sehingga dapat dipahami ‘Idul Fitri dan dapat dipahami pula ‘Idul Adha. Pada hari ‘Id tersebut, Rasulullah saw. menunaikan shalat ‘Id pada pagi hari, kemudian memberi rukhsah (kelonggaran) dalam menunaikan shalat Jum’at pada siang hari, yaitu mereka diperbolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Rasulullah saw. menyatakan kepada mereka, bahwa shalat ‘Id pada pagi harinya sudah mencukupi dari shalat Jum’at, dengan sabda beliau أجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ (shalat ‘Id mencukupinya dari shalat Jum’at) serta tidak ada perintah untuk mengganti dengan shalat Dhuhur. Oleh karena itu, tidak mengapa bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id untuk meninggalkan shalat Jum’at. Adapun muslimin yang hendak shalat Jum’at, mereka diper-bolehkan, karena Rasulullah saw. juga akan menegakkan shalat Jum’at dengan sabdanya إنْ شَاءَ اللهُ إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ (sesungguhnya kami akan menegakkan shalat Jum’at, Insya Allah).

2.2.2. Kedudukan Hadits
Sanad hadits Ibnu ‘Abbas di atas apabila disusun menjadi sebagai berikut:
1). Ibnu Majah (Muhammad bin Yazid). .
2). Muhammad bin Al-Mushaffa.
3). Baqiyyah (bin Al-Walid).
4). Syu’bah (bin Al-Hajjaj).
5). Mughirah Adl-Dlabie.
6). ‘Abdul ‘Aziz bin Rufai’.
7). Abu Shalih (Dzakwan).
8). Ibnu ‘Abbas
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas di atas, penulis mendapatkan bahwa semua perawinya adalah rawi-rawi tsiqat, kecuali Muhammad bin Al-Mushaffa. Dia adalah rawi shaduq (sangat benar), sebagaimana perkataan
An-Nasa’ie dan Abu Hatim . Ibnu Hajar juga berkomentar dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, bahwa Muhammad bin Al-Mushaffa perawi shaduq.
Kemudian tentang Baqiyyah bin Al-Walid, Ibnu Hibban berkomentar bah-
wa selain perawi tsiqat dia juga perawi mudallis, serta mentadliskan dari Syu’bah. Namun hal itu tidak bisa menyebabkan cacat atau cela hadits
Ibnu ‘Abbas di atas, karena sebagaimana disebutkan oleh ‘Abdul Qadir
Hasan dalam kitab Ilmu Mushthalah Hadits,
“Bahwa mudallis yang kepercayaan itu, kalau meriwayatkan dengan menggunakan Lafazh-Lafazh yang menunjukkan atau menetapkan, bahwa betul-betul ia mendengar atau mengetahui dari rawinya, maka hadits atau riwayatnya itu sah, dan boleh diterima, karena tad-lis itu bukan dusta, tetapi sebagai suatu perbuatan samaran saja.”

Selain itu An-Nasa’ie juga ikut berkomentar bahwa dia rawi tsiqat apabila
meriwayatkan dengan menggunakan sighat jazm “Haddatsana” (Telah
menceritakan kepada kami) atau “Akhbarana” (Telah mengabarkan kepada
kami). Tetapi apabila menggunakan sighat ‘An’anah “’An Fulan” (Dari si
Fulan), maka haditsnya tidak dapat diterima, karena lafal tersebut tidak menunjukkan bahwa dia menerima dari gurunya. Al-‘Ajalie, Ibnu Sa’ad, Ya’qub dan ‘Ulama lainnya mengatakan bahwa Baqiyyah rawi tsiqat, ha-
ditsnya baik bila ia menerima dari orang-orang yang terkenal . Pada hadits
di atas, dia meriwayatkan dari Syu’bah, seorang tabi’ie yang cukup terkenal dan dengan menggunakan sighat jazm “Haddatsana.”
Dari keterangan yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas tersebut bermartabat Hasan
Li dzatihi . karena sanadnya bersambung, yaitu rawi satu dengan lainnya
saling mendengar dan meriwayatkan, serta rawi-rawinya orang-orang yang tsiqat, kecuali Muhammad bin Al-Mushaffa, seorang rawi shaduq (sangat
benar), sedang rawi shaduq tergolong rawi hasan martabat pertama. Wallahu A’lam.

2.2. Hadits Abu Hurairah ra.
2.2.1. Lafal dan Arti
قَالَ أبُوْ دَاوُدَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى, وَ عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الْوَصَابِىُّ, الْمَعْنَى قَالاَ: ثَنَا
بَقِيَّةُ, ثَنَا شُعْبَةُ, عَنِ الْمُغِيْرَةِ الضَّبِيِّ, عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ رُفَيْعٍ, عَنْ بِى صَالِحٍ, عَنْ أبِى
هُرَيْرَةَ, عَنْ رَسُوْلِ اللهِ أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ
مِنَ الْجُمُعَةِ وَإنَّا مُجَمِّعُوْنَ0
Artinya:
(Berkata Abu Daud) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mushaffa dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washabie, dengan pengertian yang
sama , keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah
menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Mughirah Adl-Dlabie, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bahwasannya beliau bersabda: “Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at), maka barang siapa mau (maka sebenarnya) shalat ‘Id sudah mencukupinya dari shalat Jum’at, dan sesungguhnya kami akan menegakkan shalat Jum’at.”

2.2.2. Keterangan Hadits
Hadits Abu Hurairah ini mempunyai keterangan yang sama dengan hadits Ibnu ‘Abbas yang telah lewat. (lihat hlm.16, no. 2.1.2). Hanya saja dalam hadits Abu Hurairah di atas Abu Thayyib Abadie dan Muhammad bin Ismail Ash-Shan’anie menjelaskan, bahwa:
وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلى أنَّ صَلاَةَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْعِيْدِ تَصِيْرُ رُخْصَةً يَجُوْزُ فِعْلُهَا وَ تَرْكُهَا وِهُوَ خَاصٌّ بِمَنْ صَلَّى الْعِيْدَ دُوْنَ مَنْ لَمْ يُصَلِّهَا0
Artinya:
“Hadits Abu Hurairah itu sebagai dalil, bahwa shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id menjadi rukhsah, (yaitu) boleh melakukannya dan boleh (juga) me-ninggalkannya. Sedang rukhsah tersebut khusus bagi orang yang sudah shalat ‘Id, bukan yang belum shalat ‘Id.

Dari keterangan ini dapat dipaham bahwa muslimin yang belum shalat ‘Id berkewajiban menunaikan shalat Jum’at.

2.2.3. Kedudukan Hadits
Urut-urutan sanad hadits Abu Hurairah di atas adalah:
1). Abu Daud (Sulaiman bin Al-Asy’ats).
2). Muhammad bin Al-Mushaffa dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washabie.
3). Baqiyyah (bin Al-Walid).
4). Syu’bah (bin Al-Hajjaj).
5). Mughirah Adl-Dlabie.
6). ‘Abdul ‘Aziz bin Rufai’.
7). Abu Shalih (Dzakwan).
8). Abu Hurairah ra..
9). Rasulullah saw..
Hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Abu Daud di atas adalah
hadits ma’lul , karena secara dhahir sanadnya muttashil (bersambung), sedang sebenarnya hadits mursal , yaitu mursal Khafi . Hadits mursal ter-
golong pada martabat hadits dla’if.
Adapun letak kemursalannya adalah antara Abu Shalih dengan Ra-
sulullah saw.. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadits yang dikeluarkan oleh
Al-Baihaqie , dan ‘Abdurrazzaq , bahwa Abu Shalih langsung meriwayat-
kan dari Nabi saw. tanpa menyebut orang yang menceritakan kepadanya. Begitu juga diterangkan oleh ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud dan ‘Ali Muhammad Mu’awwidh yang dia kutip dari perkataan Ibnu Abi Hatim dari kitab Al-I’lal, bahwa:
وَ رَوَاهُ جَمَاعَةٌ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ عَنْ أَبِىْ صَالِحٍ عَنِ النَّبِىِّ  مُرْسَلاً وَ لَمْ يَذْكُرْ أَبَا
هُرَيْرَةَ0
Artinya:
“Sekelompok ahli hadits meriwayatkan hadits Abu Hurairah itu, dari ‘Abdul ‘Aziz, dari Abu Shalih, dari Nabi saw. secara mursal, (yaitu) Abu Shalih tidak menyebut Abu Hurairah.”
Asy-Syaukanie juga menuturkan, bahwa Ahmad bin Hanbal dan Ad-Daraquthnie menshahihkan kemursalan hadits di atas, dengan perkataannnya,
000وَقَدْ صَحَّحَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالدَّارَقُطْنِىُّ إِرْسَالَهُ0
Artinya:
“…Ahmad bin Hanbal serta Ad-Daraquthnie membenarkan kemursalan hadits Abu Hurairah itu.”

Jadi, yang benar menurut Ahmad bin Hanbal dan Ad-Daraquthnie hadits Abu Hurairah di atas adalah hadits mursal.
Adapun mengenai rawi-rawinya sama dengan rawi-rawi hadits Ibnu ‘Abbas (lihat hlm.16-17, no.2.1.3). Hanya saja dalam hadits Ibnu Abbas Baqiyyah hanya mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad bin Al-Mushaffa. Sedang dalam hadits Abu Hurairah ini, Baqiyyah mempunyai dua orang murid, yaitu Muhammad bin Al-Mushaffa dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washabie. Ibnul Mawaq menyatakan bahwa ‘Umar bin Hafsh Al-
Washabie adalah rawi majhul (tidak dikenal). Akan tetapi, walaupun
‘Umar bin Hafsh itu rawi majhul, tetapi dia menerima hadits Abu Hurairah di atas dari Baqiyyah bin Al-Walid bersama Muhammad bin Al-Mushaffa, seorang rawi shaduq. Oleh karena itu, periwayatan ‘Umar bin Hafsh dari Baqiyyah bin Al-Walid tersebut dapat diterima, karena Abu Daud menerima hadits tersebut tidak hanya dari jalan ‘Umar bin Hafsh Al-Washabie saja, tetapi juga menerima dari jalan Muhammad bin Al-Mushaffa.
Dari keterangan-keterangan yang telah penulis uraikan di atas, dapat diketahui bahwa perawi hadits Abu Hurairah itu dapat diterima. Tetapi hal itu tidak bisa menjadikan hadits tersebut shahih, karena dari segi periwayatan ada ‘illahnya, yaitu Abu Shalih langsung meriwayatkandari Nabi saw. tanpa menyebut orang yang menceritakan kepadanya. Menurut Ilmu Mushthalah Hadits, hadits itu adalah hadits mursal. Hadits mursal berkedudukan sebagai hadits dla’if. Namun hadits itu mempunyai syahid dari jalan Ibnu Abbas (lihat hlm.15) yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah. Fungsi syahid adalah sebagai penguat bagi hadits lain. Oleh karena itu, penulis memutuskan bahwa hadits Abu Hurairah itu berderajat Hasan Li Ghairihi. Wallahu A’lam.
Selain dikeluarkan oleh Abu Daud, hadits Abu Hurairah di atas juga
dikeluarkan oleh Al-Hakim , dan Al-Baihaqie .
Sebagaimana telah diterangkan oleh Abu Thayyib Abadie dan Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’anie (lihat hlm.20), Penulis telah menerangkan, bahwa rukhshah pada hadits Abu Hurairah di atas khusus bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id. Namun ada hadits lain dari jalan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, yang dikeluarkan oleh Al-Baihaqie dalam kitab sunannya, bahwa rukhshah shalat Jum’at pada hari ‘Id tersebut khusus bagi penduduk ‘Aliyah saja, yaitu orang-orang yang rumahnya di pinggiran Madinah atau daerah yang berada pada dataran tinggi di Madinah. Tapi perlu diketahui, Al-Baihaqie mengatakan, bahwa hadits ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz tersebut sanadnya munqathi’ (terputus) . Sedang menurut ‘Ulama, Hadits munqathi’ dihukumi sebagai hadits dla’if.
Adapun bunyi hadits tersebut adalah:
قال البَيْهَقِىُّ  أَخْبَرَنَاهُ أَبُوْ زَكَرِيَّا بْنُ أَبِىْ إسْحَاقَ, ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ, مُحَمَّدُ بْنُ
يَعْقُوْبَ, أَنْبَأَ الرَّبِيْعُ بْنُ سُلَيْمَانَ, أَنْبَأَ اَلشَّافِعِيُّ, أَنْبَأَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمَّدٍ, حَدَّثَنِى إِبْرَاهِيْمُ بْنُ
عُقْبَةَ, عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ, قَالَ: إِجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ  فَقَالَ: مَنْ أَحَبَّ
أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَالْيَجْلِسْ مِنْ غَيْرِ حَرَجٍ0
Artinya:
(Berkata Al-Baihaqie) (telah mengabarkan kepada kami akan hadits ini) Abu Zakariyya bin Abi Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas, Muhammad bin Ya’kub, telah mengabarkan Ar-Rabi’ bin Sulaiman, telah mengabarkan Asy-Syafi’ie, telah mengabarkan Ibrahim bin Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Uqbah, dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia berkata: “Telah berkumpul dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at) pada zaman Nabi saw., maka beliau bersabda: “Barang siapa dari penduduk ‘Aliyah suka untuk duduk (tidak shalat Jum’at), maka supaya ia duduk , tanpa (menanggung) dosa.”

Hadits di atas dikatakan munqathi’, karena ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz meriwayatkan langsung dari Nabi saw., sedang dia seorang tabi’ie yang ti-dak semasa dan tidak mungkin bertemu dengan beliau. Jadi, antara ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dengan Nabi saw. ada rawi yang gugur.
Al-Baihaqie juga menuturkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh
‘Utsman bin ‘Affan dengan sanad yang shahih tetapi mauquf .Hadits terse-
but adalah:
قال البَيْهَقِىُّ  أَخْبَرَنَاهُ أَبُوْ بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِىُّ, ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ, مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوْبَ, أَنْبَأَ الرَّبِيْعُ بْنُ سُلَيْمَانَ, أَنْبَأَ الشَّافِعِىُّ, أَنْبَأَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ, عَنِ ابْنِ شِهَابٍ, عَنْ أَبِى عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ, قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ  فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ
انْصَرَفَ فَخَطَبَ فَقَالَ: إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِى يَوْمِكُمْ هذَا عِيْدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ
الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ0
Artinya:
(Berkata Al-Baihaqie) (Telah menceritakan kepada kami akan hadits ini) Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al-Qadlie, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas, Muhammad bin Ya’kub, telah mengabarkan Ar-Rabi’ bin Sulaiman, telah mengabarkan Asy-Syafi’ie, telah mengabarkan Malik bin Anas, dari Ibnu Syihab, dari Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar, dia berkata: “Aku bersama ‘Utsman bin ‘Affan telah menyaksikan hari ‘Id, maka beliau datang kemudian shalat (‘Id), lalu setelah selesai beliau berkhuthbah seraya mengatakan: “Sesungguhnya telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari Raya, maka barang siapa dari penduduk ‘Aliyah suka untuk menunggu shalat Jum’at, supaya ia menuggunya, dan barang siapa suka untuk pulang (tidak menuggu shalat Jum’at), maka hendaklah ia pulang karena aku telah mengizinkannya.”

2.3. Hadits Zaid bin Arqam
2.3.1. Lafal dan Arti
قَالَ أبُوْ دَاوُدَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيْرٍ, أَخْبَرَنَا إسْرَائِيْلُ, ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةِ, عَنْ
إيَاسِ بْنِ أبِى رَمْلَةَ الشَّامِى قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أبِى سُفْيَانَ وَ هُوَ يَسْألُ زَيْدَ بْنَ أرْقَمَ
قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  عِيْدَيْنِ إجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ0 قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟
قَالَ:صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ, فَقَالَ مَنْ شَاءَ أنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ0

Artinya:
(Berkata Abu Daud) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir, telah mengabarkan kepada kami Isra’il, telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Al-Mughirah, dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamie, dia berkata: “Aku telah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, dia (Mu’awiyah bin Abi Sufyan) berkata: “Apakah engkau telah menyaksikan bersama Rasulullah saw. dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at) berkumpul dalam satu hari?” Dia (Zaid bin Arqam) menjawab: “Ya.” Dia (Mu’awiyah bin Abi Sufyan) ber-kata lagi: “Lantas bagaimana beliau berbuat?” Dia (Zaid bin Arqam) men-jawab: “Beliau shalat ‘Id, kemudian memberi rukhshah (kelonggaran) pada shalat Jum’at”. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa berkehendak untuk shalat (Jum’at), maka hendaklah ia shalat.”
2.3.2. Keterangan Hadits
Hadits di atas menerangkan, bahwa Zaid bin Arqam pernah menyak-sikan dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at) berkumpul dalam satu hari di masa Rasulullah saw.. Pada hari Raya tersebut Rasulullah saw. menunaikan shalat ‘Id, kemudian memberi rukhshah shalat Jum’at bagi shahabat yang sudah shalat ‘Id, yaitu mereka boleh menghadirinya dan boleh juga meninggalkannya.

2.3.3. Kedudukan Hadits
Susunan sanad hadits di atas adaalah:
1). Abu Daud.
2). Muhammad bin Katsir.
3). Isra’il.
4). ‘Utsman bin Al-Mughirah.
5). Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamie.
6). Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
7). Zaid bin Arqam.
8). Rasulullah saw..

Setelah penulis meneliti rawi-rawi dalam sanad hadits di atas, penulis mendapatkan bahwa di antara rawi-rawinya ada seorang rawi majhul hal (tidak dikenal keadaannya), yaitu Iyas bin Abi Ramlah. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir dan Ibnul Qaththan yang dikutip oleh
oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdzib .
Disebutkan juga dalam kitab Mizanul I’tidal , bahwa Ibnul Mundzir menya-
takan Iyas bin Abi Ramlah rawi majhul. Akan tetapi Ibnu Hibban menyebut-
kan Iyas bin Abi Ramlah dalam kitab tsiqatnya . Artinya menurut Ibnu,
Ibnu Hibban Iyas bin Abi Ramlah adalah seorang rawi tsiqat. Namun seba-gaimana dijelaskan dalam kitab Lisanul Mizan, karangan Ibnu Hajar, bahwa Ibnu Hibban mempunyai kaidah yang dia gunakan dalam kitab tsiqatnya,
yaitu:
000أنَّ الرَّجُلَ إذًا انْتَفَتْ جَهَالَةُ عَيْنِهِ كَانَ عَلَى الْعَدَالَةِ إلَى أنْ يَتَبَيَّنَ جَرْحُهُ0000
Artinya:
“Bahwasannya seseorang itu apabila telah hilang majhul ‘ainnya berarti
dia berada di atas keadilan (termasuk rawi adil) sampai jelas celaan menge-nai dirinya.”
Mengenai kaidah ini, Ibnu Hajar berkomentar, bahwa kaidah ini me-
rupakan,
000مَذْهَبٌ عَجِيْبٌ والْجُمْهُوْرُ عَلَى خِلاَفِهِ, وَهُوَ مِسَاكُ ابْنِ حِبَّانَ فِى كِتَابِ الثِّقَاتِ0000
Artinya:
“…Pendapat yang aneh serta jumhur menyelisihinya. Dan pendapat ini me-rupakan pegangan Ibnu Hibban dalam kitab tsiqatnya….”

Berdasarkan komentar Ibnu Hajar ini, penulis menyimpulkan bahwa pen-tsiqatan Ibnu Hibban terhadap Iyas bin Abi Ramlah tersebut tidak dapat di-terima.
‘Ali bin Al-Madinie dan Ibnu Huzaimah menshahihkan hadits Zaid bin Arqam di atas. Namun dengan adanya ‘illah dari sebagian perawinya, yaitu kemajhulan Iyas bin Abi Ramlah, maka penulis menyatakan bahwa pentashhihan ‘Ali bin Al-Madinie begitu juga Ibnu Khuzaimah, terhadap hadits di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Ilmu Hadits, riwayat rawi majhul tergolong dla’if. Akan tetapi, meskipun sanad hadits di atas dla’if, hadits tersebut dikuatkan oleh hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas (hlm.15, no.2.1.1) dan hadits. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa hadits di atas berkedudukan sebagai hadits Hasan Lighairihi, tidak mencapai hadits shahih sebagaimana pernyataan ‘Ali bin Al-Madinie dan Ibnu Khuzaimah.Wallahu A’lam.
Hadits di atas selain dikeluarkan oleh Abu Daud, juga dikeluarkan
oleh Ahmad bin Hanbal , An-Nasa’ie , Ibnu Majah , Ad-Darimie , Al-
Baihaqie , Al-Hakim , Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Abi Syaibah , yang
semuanya ini meriwayatkan dari jalan Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syamie, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dari Zaid bin Arqam, dari Nabi saw..

2.4. Hadits Ibnu ‘Umar
2.4.1. Lafal dan Arti
قَالَ إِبْنُ مَاجَهْ حَدَّثَنَا جُبَارَةُ الْمُغَلِّسُِ, حَدَّثَنَا مَنْدَلُ بْنُ عَلِىٍ, عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ عُمَرَ,
عَنْ نَافِعٍ, عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: إجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ  فَصَلَّى بِالنَّاسِ ثُمَّ
قَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِىَ الْجُمُعَةَ فَالْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَالْيَتَخَلَّفْ0
Artinya:
(Berkata Ibnu Majah) Telah menceritakan kepada kami Jubarah Al-
Mughallis, telah menceritakan kepada kami Mandal bin ‘Ali, dari ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “Telah berkumpul dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at) pada masa Rasulullah saw., maka beliau shalat (‘Id) bersama orang banyak, kemudian beliau bersabda: “Barang siapa berkehendak untuk mendatangi shalat Jum’-at, maka supaya ia mendatanginya, dan barang siapa berkehendak untuk me-ninggalkannya, maka supaya ia meninggalkannya.”

2.4.2. Keterangan Hadits
Hadits ini menerangkan bahwa Ibnu ‘Umar pernah menyaksikan dua
hari raya berkumpul di masa Rasulullah saw.. Pada hari itu Rasulullah saw.
shalat ‘Id bersama para shahabat, kemudian beliau memberi rukhsah shalat
Jum’at pada siang harinya, yaitu mereka boleh meninggalkannya, serta beliau tidak memerintahkan untuk mengganti dengan shalat Dhuhur.

2.4.3. Kedudukan Hadits
Urut-urutan sanad hadits ini adalah:
1). Ibnu Majah (Muhammad bin Yazid).
2). Jubarah Al-Mughallis.
3). Mandal bin ‘Ali.
4). ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Umar.
5). Nafi’ (maula Ibnu ‘Umar).
6). Ibnu ‘Umar.
7).Rasulullah saw.

Penulis telah meneliti dan mendapatkan bahwa semuanya rawi-rawi tsiqat dan dipakai oleh jama’ah, kecuali:
1). Jubarah Al-Mughallis. Banyak ‘Ulama yang mencelanya, di antaranya
adalah: Al-Bukharie, dia mengatakan bahwa haditsnya mudhtharib .
Ibnu Abi Hatim menceritakan, bahwa Abu Zur’ah pernah meriwayatkan hadits darinya kemudian sesudah itu meninggalkannya. Al-Bazzar turut menyatakan, Jubarah rawi yang banyak salah. Begitu juga Ibnu Hibban, dia berkomentar bahwa Jubarah membolak-balikkan sanad serta memar-
fu’kan hadits mursal.
2). Mandal bin ‘Ali. Dia adalah rawi dla’if, sebagaimana pernyataan Ibnu Ma’in, ‘Ali bin Al-Madinie, An-Nasa’ie, As-Sajie, Ibnu Qani’ dan Ad-Daraquthnie. As-Sajie menambahkan keterangan bahwa Mandal bin ‘Ali meriwayatkan hadits-hadits mursal. Al-Bukharie juga memasuk-kannya dalam golongan rawi-rawi dla’if. Al-Hakim menuturkan, Man-dal bukan rawi yang kuat. Ibnu Hibban juga turut mengungkapkan pen-dapatnya, bahwa Mandal termasuk rawi yang memarfu’kan hadits-hadits mursal dan memberi sanad hadits-hadits mauquf. Hal ini dise-babkan, karena buruknya hafalan dia. Oleh karena itu, dia wajib di-tinggalkan. Ath-Thahawie pun juga menegaskan, dia bukan termasuk rawi yang teguh dalam meriwayatkan hadits, serta dia tidak dapat dija-
dikan hujjah.
Dengan adanya dua perawi dla’if ini, penulis menyimpulkan bahwa
hadits ini tergolong hadits dla’if . Meskipun dla’if, matan hadits ini sesuai dengan hadits Ibnu ‘Abbas (lihat hlm.15, no.2.1.1) yang ber-kedudukan sebagai hadits Hasan Lidzatihi. Oleh karena itu, hadits Ibnu ‘Umar ini dikuatkan oleh hadits-hadits tersebut. Menurut Ilmu Mushthalah Hadits, hadits seperti ini digolongkan pada hadits Hasan Lighairihi. Wallahu A’lam.

2.5. Hadits Nu’man bin Basyir
2.5.1. Lafal dan Arti
عَنِ النُّعْمَانُ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْرَأُ فِى الْعِيْدَيْنِ وَ فِى الْجُمْعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ
رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَ هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ: وَ إذَا إجْتَمَعَ الْعِيْدُ وَ الْجُمْعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ
يَقْرَأُ بِهِمَا فِى الصَّلاَتَيْنِ0
Artinya:
Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata: “Adalah Rasulullah saw. membaca dalam shalat dua hari Raya dengan (surat) “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan “Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah”. Dia (Nu’man bin Basyir) berkata: “Dan apabila hari ‘Id dengan hari Jum’at berkumpul dalam satu hari, beliau membaca dua surat itu dalam dua shalat tersebut.”

2.5.2. Keterangan Hadits
Hadits Nu’man bin Basyir ini menerangkan bahwa Rasulullah saw. shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan Jum’at dengan membaca surat “Sabbihis-ma Rabbikal A’la” dan “Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah”. Kemudian apa-bila hari Raya tersebut jatuh pada hari Jum’at, beliau menjalankan dua shalat itu dengan membaca dua surat itu juga.
Dari hadits ini dapat dipaham, bahwa:
1). Apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, beliau menjalankan dua shalat tersebut.
2). Disukainya membaca surat “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan “Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah”, dalam shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan shalat Jum’at.
2.5.3. Kedudukan Hadits
Hadits Nu’man bin Basyir ini berderajat shahih, karena dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya. ‘Ulama sepakat bahwa hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim secara bersendiri (tanpa dibarengi oleh Al-Bukharie) tergolong hadits shahih martabat ketiga.
Hadits ini selain dikeluarkan oleh Muslim, juga dikeluarkan oleh
Ahmad bin Hanbal , Abu Daud , At-Turmudzie , An-Nasa’ie , Ad-
Darimie , Ibnu Khuzaimah , ‘Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah .

2.6. Hadits Wahb bin Kaisan
2.6.1. Lafal dan Arti
قَالَ النَّسَائِىُّ  أَخْبَرنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ, قَالَ, حَدَّثَنَا يَحْيَ, قَالَ, حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحُمَيْدِ ابْنُ
جَعْفَرٍ, قَالَ: حَدَّثَنِى وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ, قَالَ: إجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ
الْخُرُوْجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ ثُمّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَ لَمْ يُصَلِّ
لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمْعَةَ فَذُكِرَ ذلِكَ لإبْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أصَابَ السُّنَّةَ0

Artinya:
(Berkata An-Nasa’ie) Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyar, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya, dia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamid bin Ja’far, dia berkata, telah menceritakan kepadaku Wahb bin Kaisan, dia berkata: “Telah berkumpul dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at), pada masa Ibnu Zubair, maka dia mengakhirkan keluar (untuk shalat ‘Id), sehingga agak siang, kemudian dia keluar lalu berkhuthbah dengan memanjangkan khuthbahnya, kemudian dia turun (dari mimbar) lalu shalat (‘Id), dan dia tidak shalat Jum’at untuk orang banyak pada hari itu. Kemudian yang demikian itu diberitahukan kepada Ibnu ‘Abbas, lalu Ibnu ‘Abbas menjawab: “Ibnu Zubair telah mencocoki sunnah.”

2.6.2. Keterangan Hadits
Dalam Hadits Wahb bin Kaisan di atas diceritakan tentang peristiwa dua hari ‘Id jatuh dalam satu hari pada masa pemerintahan Ibnu Zubair. Pada hari tersebut Ibnu Zubair keluar untuk menunaikan shalat ‘Id, sudah agak siang. Kemudian beliau memulai dengan khuthbah dan diakhiri dengan shalat. Setelah shalat ‘Id, beliau tidak lagi menegakkan shalat Jum’at bersama orang banyak. Melihat perbuatan Ibnu Zubair tersebut, Wahb bin Kaisan menceritakan kepada Ibnu ‘Abbas ra., kemudian Ibnu ‘Abbas menjawab bahwa perbuatan Ibnu Zubair tersebut telah mencocoki sunnah.
Abu Bakar menerangkan maksud perkataan Ibnu ‘Abbas kepada
Ibnu Zubair أصَابَ السُّنَّةَ sebagai berikut:
قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ, قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسِ: أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ, يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ سُنَّةَ النَّبِىِّ , وَجَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ أَرَادَ سُنَّةَ أَبِىْ بَكْرٍ أَوْ عُمَرَ أَوْ عُثْمَانَ أَوْ عَلِىٍّ0 وَلاَ أَخَالُ أَنَّهُ أَرَادَ بِه أَصَابَ السُّنَّةَ فِىْ تَقْدِيْمِهِ الْخُطْبَةِ قَبْلَ صَلاَةِ الْعِيْدِ, لأَنَّ هَذَا الْفِعْلَ خِلاَفُ سُنَّةِ النَّبِىِّ  وَ أَبِىْ بَكْرٍ وَ عُمَرَ, وَ إِنَّمَا أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ يُجَمِّعَ بِهِمْ بَعْدَ مَا قَدْ صَلّى بِهِمْ صَلاَةَ الْعِيْدِ فَقَطْ دُوْنَ تَقْدِيْمِ الْخُطْبَةِ قَبْلَ صَلاَةِ الْعِيْدِ
Artinya:
Berkata Abu Bakar: “Perkataan Ibnu ‘Abbas أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ (Ibnu
Zubair mencocoki sunnah) mengandung pengertian bahwa dia itu sunnah Nabi saw.. Boleh juga yang Ibnu ‘Abbas maksudkan (adalah) sunnah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman atau ‘Ali. Dan aku tidak menyangka bahwa yang
Dia maksudkan dengan lafal أَصَابَ السُّنَّةَ (adalah) mendahulukan khuthbah
sebelum shalat ‘Id, karena sesungguhnya perbuatan ini menyelisihi sunnah
Nabi saw., Abu Bakar, dan ‘Umar. Dan sesungguhnya yang dia maksud (adalah) meninggalkan shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id bersama orang banyak saja, bukan mendahulukan khuthbah sebelum shalat ‘Id.”

Perbuatan Ibnu Zubair dikatakan mencocoki sunnah Nabi saw., karena sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas (hlm.15, no2.1), hadits Abu Hurairah (hlm.19, no.2.2), Hadits Zaid bin Arqam (hlm. 25, no.2.3), hadits Ibnu ‘Umar (hlm.28, no.2.4), bahwa apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, Rasulullah saw. memberikan rukhsah (kelonggaran) dalam menunaikan shalat Jum’at bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id, yaitu mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at tersebut. Sedang dalam hadits di atas, Ibnu Zubair tidak men-jalankan shalat Jum’at. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas mengomentari bahwa perbuatan Ibnu Zubair ter-sebut telah mencocoki sunnah Rasulullah saw.
Pada hadits di atas, Ibnu Zubair shalat ‘Id sesudah khuthbah. Per-buatan Ibnu Zubair tersebut menyelisihi sunnah Rasulullah saw., yaitu Ra-
sulullah saw. mendahulukan shalat daripada khuthbah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  وَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يُصَلُّوْنَ
الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ0
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Adalah Rasulullah saw., Abu Bakar dan ‘Umar ra. shalat dua hari Raya sebelum khuthbah.

2.6.3. Kedudukan Hadits
Gambaran sanad hadits di atas adalah:
1). An-Nasa’ie.
2). Muhammad bin Basysyar.
3). Yahya.
4). ‘Abdul Hamid bin Ja’far.
5). Wahb bin Kaisan.
6). Ibnu Zubair.
Setelah penulis meneliti hadits di atas, penulis mendapatkan bahwa sanadnya bersambung sejak An-Nasa’ie sampai kepada Ibnu Zubair, yaitu rawi satu dengan lainnya saling mendengar dan meriwayatkan, diceritakan oleh orang-orang yang tsiqat kecuali ‘Abdul Hamid bin Ja’far. Mengenai ra-
wi ini , Sufyan Ats-Tsaurie dan Yahya bin Sa’id menuturkan bahwa dia ra-
wi dla’if. An-Nawawie juga berkomentar bahwa ‘Abdul Hamid لَيْسَ بِالْقَوِى
(bukan Rawi yang kuat). Sufyan menambahkan keterangan bahwa ‘Abdul
Hamid bin Ja’far rawi dla’if, karena berpendirian qadariyah . Menurut
Ilmu Mushthalah Hadits, riwayat rawi yang berpendirian qadariyah dapat diterima, apabila dia tidak mengajak orang lain kepada madzhab atau pen-
diriannya . Sedang sepanjang penelitihan penulis, penulis tidak mendapat-
kan keterangan bahwa ‘Abdul Hamid mengajak orang lain supaya mengikuti madzhabnya. Oleh karena itu, riwayat ‘Abdul Hamid ini dapat diterima. Kemudian tentang komentar An-Nasa’ie, Sufyan Ats-Tsauri dan Yahya bin Sa’id, itu juga tidak dapat diterima, karena dia menjarh (mencela) tanpa menerangkan alasannya. Berdasarkan Ilmu Mushthalah Hadits, jarh / celaan yang tidak diterangkan alasannya, belum dapat diterima
dan dianggap untuk melemahkam si rawi. Sementara banyak ‘Ulama lain
yang menta’dil (memuji) dia, yaitu Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Yahya bin Sa’id, Ibnu Sa’ad, An-Nasa’ie, Ibnu ‘Adie dan As-Sajie. Ahmad
dan Ibnu Ma’in menegaskan, bahwa ‘Abdul Hamid rawi ثِقَةٌ لَيْسَ بِهِ بَاْسٌ
(rawi terpercaya yang tidak ada halangan terhadap dia). Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan, ‘Abdul Hamid rawi tsiqat Ibnu Sa’ad menambah-
kan keterangan كَثِيْرُ الْحَدِيْثِ (banyak haditsnya). Abu Hatim menuturkan مَحَلُّهُ الصَّدْقِ (kedudukannya adalah kebenaran). An-Nasa’ie dan Ibnu ‘Adie berkomentar لَيْسَ بِهِ بَاْسٌ. As-Sajie pun juga turut mengungkapkan pendapat-nya, ‘Abdul Hamid adalah rawiثِقَةٌ صَدُوْقٌ (terpercaya dan sangat benar). Dia
adalah rawi yang dipakai oleh Al-bukharie, Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi,
An-Nasa’ie dan Ibnu Majah . Berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa
celaan Ulama’ terhadap ‘Abdul Hamid bin Ja’far tidak dapat diterima.
Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa hadits Wahb bin Kaisan di atas tergolong hadits Hasan, yaitu Hasan Li dzatihi. Wallahu A’lam.

2.7. Hadits-hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah
Berikut ini, penulis akan mengemukakan beberapa hadits ‘Atha ’bin Abi Rabah:
2.7.1. Hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah yang Diriwayatkan dari Jalan Al-A’masy
2.7.1.1. Lafal dan Arti
قَالَ أبُوْ دَاوُدَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيْفٍ البَجَلِىُّ, ثَنَا أسْبَاطٌ, عَنِ اْلأَعْمشِ, عَنْ عَطَاءِ ابْنِ
أبِى رَبَاحٍ قَالَ: صَلَّى بِنَا اِبْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيْدٍ فِىْ يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إلى
الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُ حْدَانَا, وَ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ, فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذلِك
لَهُ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ.
Artinya:
(Berkata Abu Daud) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Tharif Al-Bajalie, telah menceritakan kepada kami Asbath dari Al-A’masy dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dia berkata: “Ibnu Zubair pernah shalat dengan kami pada hari ‘Id di hari Ju’mat waktu permulaan siang, kemudian kami pergi (untuk shalat) Jum’at, tetapi beliau tidak keluar kepada kami, lalu kami shalat sendiri-sendiri. Dan adalah (waktu itu) Ibnu ‘Abbas di Tha’if, maka tatkala dia datang, kami menyebutkan (kejadian) itu kepadanya, kemudian dia menjawab: “Dia (Ibnu Zubair) telah mencocoki sunnah (Nabi saw.).”

2.7.1.2. Keterangan Hadits
Hadits di atas menceritakan kejadian hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul
‘Idul Adha) jatuh pada hari Jum’at pada masa Ibnu Zubair. Setelah Ibnu Zubair dan Muslimin shalat ‘Id, pada siang harinya muslimin keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, tapi Ibnu Zubair tidak keluar, sehingga mere-
ka shalat sendiri-sendiri, tanpa dipimpin oleh Ibnu Zubair.
Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’anie menerangkan bahwa lafal
لَمْ يَخْرُجْ إلَيْنَا adalah:
000 أَنَّ عَطَاءً أَخْبَرَ أَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ ابْنُ الزُبَيْرِ لِصَلاَةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْسَ ذَالِكَ بِنَصٍّ قَاطِعٍ أَنَّهُ لَمْ
يُصَلَّ الظُّهْرَ فِىْ مَنْزِلِهِ0000
Artinya:
“…’Atha’ mengabarkan, bahwa Ibnu Zubair tidak keluar untuk shalat Jum’at, bukanlah merupakan ketetapan yang pasti bahwa dia tidak shalat Dhuhur di rumahnya ….”

Dari keterangan ini dapat dipaham, bahwa tidak keluarnya Ibnu Zubair, mungkin beliau shalat Dhuhur di rumahnya. Namun keterangan ini menyelisihi hadits ‘Atha’ yang akan penulis utarakan setelah hadits ini, yaitu menjelaskan bahwa sesudah shalat ‘Id Ibnu Zubair tidak shalat lagi sampai datang waktu shalat ‘Ashar. Dari uraian ini, jelaslah bahwa Ibnu Zubair tidak shalat Dhuhur di rumahnya.
Sedang keterangan dari lafal صَلَّيْنَا وُحْدَانَا, menurut Muhammad bin Isma’il adalah الظُّهْرُ .

2.7.1.3. Kedudukan Hadits
Urut-urutan sanad Hadits di atas adalah:
1). Abu Daud.
2). Muhammad bin Tharif Al-Bajalie.
3). Asbath.
4). Al-A’masy (Sulaiman bin Mihran).
5). ‘Atha’ bin Abi Rabah.
6). Ibnu Zubair.
Tentang hadits di atas, Asy-Syaukanie mengungkapkan bahwa rawi-rawinya adalah rawi-rawi shahih, dengan perkataannya
وَ حَدِيْثُ عَطَاءٍ رِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ (Hadits ‘Atha’ rawi-rawinya (adalah)
rawi-rawi shahih, yakni rawi-rawi Al-Bukharie). Hal ini juga diutarakan
oleh Abu Thayyib Abadie dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud.
Abdul Qadir Hasan menjelaskan,
“Satu sanad hadits atau riwayat kalau dikatakan: “Rijaluhu Rijalush-Shahih”, maksudnya, rawi-rawi yang ada dalam sanad itu semua rawi-rawi bagi Bukhari.”

Jadi, menurut pernyataan Asy-Syaukanie dan Abu Thayyib Abadie tersebut, rawi-rawi hadits ‘Atha’ di atas semuanya rawi-rawi bagi Al-Bukharie, yang sudah di sepakati ketsiqatannya. Sepanjang penelitian penulis, pernyataan mereka berdua benar, bahwa semua rawinya orang-orang yang tsiqat dan dipakai oleh Al-Bukharie. Hanya saja ada seorang rawi yang terkenal mudallis yaitu Al-A’masy. Nama lengkap Al-A’masy adalah Sulaiman bin Mihran Al-Asadie Al-Kahilie maula Abu Muham-
mad Al-Kufie. Dia adalah rawi yang dipakai oleh Imam Enam . Al-
‘Ajalie, Ibnu Ma’in, An-Nasa’ie dan ‘Ulama lain mengatakan bahwa Al-
A’masy rawi tsiqat yang mudallis. Al-‘Ajalie juga mengomentari bahwa dia orang yang teguh dalam meriwayatkan hadits. Ibnu ‘Ammar menam-
bahkan keterangan, dia adalah rawi yang paling teguh di kalangan ahli ha-
dits pada zaman itu . Dalam kitab Mizanul I’tidal, Adz-Dzahabie menu-
turkan, bahwa kapan saja dia meriwayatkan hadits dengan menggunakan
sighat حَدَّثَنَا (Telah menceritakan kepada kami), maka tidak ada pembi-caraan padanya, tetapi apabila dengan mengatakan عَنْ (dari), maka ada ke-
mungkinan dia berbuat tadlis kecuali kepada syuyukh yang dia banyak
meriwayatkan hadits darinya, dia tidak berbuat tadlis.
Kemudian tentang periwayatan Al-A’masy dari ‘Atha’ bin Abi Rabah dengan shighat ‘an’anah, penulis tidak mendapatkan celaan dari ‘Ulama. Bahkan penulis mendapatkan keterangan dalam kitab ‘Ulumul Hadits wa Mushthalahuhu, tentang rawi-rawi yang masyhur dengan tadlisnya, yaitu:
وَاعْتَذَرُوْا عَنْ رُوَاةِ الصَّحِيْحَينِ الْمَشَاهِيْرِ بِالتَّدْلِيْسِ إِعْتِذَارًٍا عَامًا, بِأَنَّ تَدْلِيْسَهُمْ ضَرْبٌ مِنَ الإِبْهَامِ وَلَيْسَ كَذِبًا0
Artinya:
“Mengenai rawi-rawi yang terdapat dalam dua kitab shahih (shahih Bukharie dan shahih Muslim) yang masyhur dengan tadlisnya, ‘Ulama beralasan dengan alasan yang umum, (yaitu) bahwa tadlis mereka merupakan perbuatan samar, bukan merupakan kedustaan.”

Dari keterangan ini, dapat dipaham bahwa riwayat rawi yang masyhur berbuat tadlis, serta dipakai oleh Al-Bukhari dan Muslim, dapat diterima meskipun menggunakan sighat ‘an’anah, karena tadlis mereka tidak dengan niatan untuk berdusta, tetapi hanya perbuatan samar saja.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, Asy-Syaukanie dan Abu
Thayyib Abadie mengutarakan bahwa rawi-rawi dalam hadits di atas ada-
lah rawi-rawi bagi Al-Bukharie. Berdasarkan Ilmu Mushthalah Hadits,
Kalau rawi-rawi yang dipakai Bukharie, terdapat dalam satu sanad hadits yang diriwayatkan oleh ahli Hadits lain serta Hadits itu sah, ma-
ka derajatnya disebut: ((عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِىِّ : ‘Ala Syarthil Bukhari.

Hadits yang dikatakan عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِىِّ tergolong hadits shahih peringkat
kelima. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa hadits ‘Atha’ di atas tergolong hadits shahih martabat kelima. Wallahu A’lam.

2.7.2. Hadits ‘Atha’ bin Rabah yang diriwayatkan dari Jalan Ibnu Juraij
2.7.2.1. Lafal dan Arti
قَالَ أبُوْ دَاوُدَ حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ خَلَفٍ, ثَنَا أبُوْ عَاصِمٍ, عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ, قَالَ: قَالَ عَطَاءٌ:
إِجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَ يَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ: عِيْدَانِ إِجْتَمَعَا فِىْ يَوْمٍ وَاحِدٍ
فَجَمَّعَهُمَا جَمِيْعًا فَصَلاَّهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ0
Artinya:
(Berkata Abu Daud) Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Khalaf, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Ibnu Juraij, dia berkata: Berkata ‘Atha’: “Telah berkumpul hari Jum’at dengan hari ‘Idul Fitri pada masa pemerintahan Ibnu Zubair, maka beliau berkata: “Telah berkumpul dua hari Raya dalam satu hari, maka beliau mengumpulkan keduanya, kemudian shalat dua rekaat pada pagi hari, tanpa menambah atas kedua-nya itu hingga beliau shalat Ashar.”
2.7.2.2. Keterangan Hadits
Hadits ini semakna dengan hadits ‘Atha’ (hlm.no.36, no.2.6.1.) yang baru saja disebutkan. Hanya saja hadits ini dengan terang menye-butkan bahwa setelah shalat ‘Id, Ibnu Zubair tidak melakukan shalat apa pun sampai datang waktu shalat ‘Ashar, dengan perkataan ‘Atha’
عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ يَزِدْ لَم (beliau tidak menambah atas sampai shalat
‘Ashar).
Kemudian maksud Lafal جَمَّعَهُمَا جَمِيْعًا فَصَلاَّهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً , Ibnu
Zubair mengumpulkan shalat Jum’at dengan shalat ‘Idul Fitri, yang beliau menjalankannya dua rekaat pada pagi hari.

2.7.2.3. Kedudukan Hadits
Susunan sanad hadits di atas adalah:
1). Abu Daud.
2). Yahya bin Khalaf.
3). Abu ‘Ashim (Adl-Dlahhak bin Makhlad ).
4). Ibnu Juraij (‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij).
5). ‘Atha’ (bin Abi Rabah).
6). Ibnu Zubair.
Setelah penulis meneliti hadits ‘Atha’ di atas, penulis mendapatkan bahwa sanadnya bersambung, yaitu rawi satu dengan lainnya saling mendengar dan meriwayatkan, diceritakan oleh orang-orang yang ‘adl, dlabith, serta tidak ada syudzudz dan tidak ada ‘illah. Sehingga penulis menyatakan bahwa hadits ‘Atha’ di atas Shahih. Wallahu A’lam.
2.7.3. Hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah yang Diriwayatkan dari Jalan Manshur
2.7.3.1. Lafal dan Arti
قَالَ إبْنُ أبِىْ شَيْبَةَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مَنْصُوْرٍ, عَنْ عَطَاءٍ, قَالَ: إجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِىْ عَهْدِ
ابْنِ الزُّبَيْرِ فَصَلَّى بِهِمُ الْعِيْدَ ثُمَّ صَلَّى بِهِمُ الْجُمْعَةَ صَلاَةَ الظُّهْرِأرْبَعًا0
Artinya:
(Berkata Ibnu Abi Syaibah) Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Manshur, dari ‘Atha’, dia berkata: “Telah berkumpul dua hari Raya pada masa Ibnu Zubair, maka beliau shalat ‘Id, kemudian shalat Dhuhur empat rekaat pada waktu shalat Jum’at.”

2.6.3.2. Keterangan Hadits
Hadits ‘Atha’ ini menerangkan kejadian hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha) bertepatan dengan hari Jum’at pada zaman pemerintahan Ibnu Zubair. Pada hari itu, Ibnu Zubair menunaikan shalat ‘Id pada pagi hari ber-sama orang banyak. Kemudian setelah datang waktu shalat Jum’at, beliau bersama orang banyak menunaikan shalat Dhuhur empat rekaat.

2.6.3.3. Kedudukan Hadits
Urut-urutan sanad hadits di atas adalah:
1). Ibnu Abi Syaibah (‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah).
2). Husyaim (bin Basyir).
3). Manshur (bin Zadzan).
4). ‘Atha’ (bin Abi Rabah).
5). Ibnu Zubair.
Mengenai perawi hadits ini, penulis mendapatkan bahwa semua pe-rawinya orang-orang yang tsiqat dan dipakai oleh jama’ah. Hanya saja, Husyaim terkenal sebagai perawi mudallis. Hal ini sebagaimana ditutur-kan oleh Al-‘Ajalie, Ibnu Sa’ad, Al-Khalilie dan Ibnu Hibban, bahwa
Husyaim rawi tsiqat yang mudallis. Abu Hatim ikut berkomentar, لاَ يُسْأَلُ عَنْ هُشَيْمٍ فِى صَلاَحِهِ وَصِدْقِهِ وَأَمَانَتِهِ (Husyaim tidak perlu dipertanyakan ten-
tang kebaikan, kejujuran dan amanahnya). Al-Khalilie menambahkan pen-
jelasan حَافِظٌ مُتْقِنٌ تَغَيَّرَ بِأَخِرِ مَوْتِهِ (perawi yang hapal, teliti dan menjelang kematiannya dia berubah akal.
Dalam hadits di atas, Husyaim meriwayatkan dari Manshur dengan sighat “An” (dari), yang menurut Ilmu Mushthalah Hadits disebut hadits
Mu’an’an . Hadits Mu’an’an dihukumi seperti hadits Muannan ,
yaitu:
Dalam sanad, jika seorang rawi mudallis menggunakan lafazh “anna” atau “inna”, itu tidak menunjukkan bahwa ia bertemu atau menerima dari rawi yang ia sebutkan ….

Namun meskipun Husyaim meriwayatkan dengan menggunakan sighat “’An”, hadits ini dapat diterima, karena Husyaim rawi tsiqat yang dipakai oleh jama’ah. Sedang sebagaimana telah penulis terangkan pada hlm.39, bahwa rawi tsiqat yang masyhur berbuat tadlis, serta dipakai oleh Al-Bukharie dan Muslim, haditsnya dapat diterima, karena tadlis mereka tidak untuk berdusta, tapi hanya perbuatan samar saja. Tetapi walaupun hadits ini dapat diterima, hadits ini tidak mencapai derajat hadits shahih, karena sebagaimana disebutkan di muka, bahwa Husyaim berubah akal pada akhir hidupnya. Berdasarkan Ilmu Mushthalah Hadits seorang rawi yang disifati dengan berubah akal (hafalan / ingatan) pada akhir hidupnya,
tergolong rawi hasan martabat kedua . Dari keterangan ini, penulis men-
yimpulkan bahwa hadits ini bermartabat hasan dari segi sanadnya. Sedang dilihat dari segi matannya, hadits ini menyelisihi tiga hadits yang sudah penulis kemukakan di depan, yaitu hadits Wahb bin Kaisan (hlm.32, no.2.6.), yang berderajat Hasan, hadits ‘Atha’ yang diriwayatkan dari jalan Al-A’masy (hlm.36, no.2.7.1), yang berkedudukan shahih, serta hadits ‘Atha’ yang diriwayatkan dari jalan Ibnu Juraij (hlm.40, no.2.7.2.) yang bermartabat shahih. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa hadits ‘Atha’ pada bagian ini tergolong pada hadits syadz , yang menurut Ilmu Mushthalah Hadits dihukumi sebagai hadits dla’if. Wallahu A’lam.

2.8. Hadits Umar bin ‘Abdul Aziz
2.8.1. Lafal dan Arti
قَالَ اَلشَّافِعِىُّ أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيْمُ بْنُ مُحَمَّدٍ,حَدَّثَنِى إِبْرَاهِيْمَ بْنُ عُقْبَةَ, عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيْزِ, قَالَ: إجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ  فَقَالَ: مَنْ أَحَبَّ أنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ
الْعَالِيَةِ فَالْيَجْلِسْ فِى غَيْرِ حَرَجٍ0
Artinya:
(Berkata Asy-Syafi’ie) Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin ‘Uqbah, dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia berkata: “Telah berkumpul dua hari Raya (‘Idul fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at) pada zaman Nabi saw., maka beliau bersabda: “Barang siapa dari penduduk ‘Aliyah suka untuk duduk (tidak shalat Jum’at), maka dia boleh duduk tanpa (menanggung) dosa.”

2.8.2. Keterangan Hadits
Hadits ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini menerangkan, bahwa pada zaman
Nabi saw. pernah terjadi dua hari Raya berkumpul dalam satu hari. Rasulullah saw. memberikan rukhsah kepada para pendatang dari penduduk ‘Aliyah, yaitu mereka tidak dikenai dosa apabila tidak ikut menunaikan
shalat Jum’at, karena mereka telah mengerjakan shalat ‘Id pada pagi harinya.
An-Nawawie menuturkan, bahwa alasan mereka diberi rukhsah shalat
Jum’at adalah:
وَ لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ وَ لأَنَّهُمْ إِذَا قَعَدُوْا فِىْ الْبَلَدِ لَمْ يَتَهَيَّئُوْا بِالْعِيْدِ, فَإِنْ خَرَجُوْا ثُمَّ رَجَعُوْا
لِلْجُمُعَةِ كَانَ عَلَيْهِمْ فِىْ ذَالِكَ مَشَقَّةٌ وَ الْجُمُعَةُ تَسْقُطُ بِالْمَشَقَّةِ0
Artinya:
“Dan tiada seorang pun yang mengingkarinya (rukhsah shalat Jum’at pada hari ‘Id bagi penduduk desa), karena apabila mereka duduk (tinggal) di Balad, mereka belum siap (untuk menghadiri) shalat ‘Id. Maka jika mereka keluar (untuk shalat ‘Id), kemudian kembali lagi untuk shalat Jum’at, yang demikian itu memberatkan mereka, sedangkan shalat Jum’at (dapat) gugur dengan sebab hal yang memberatkan.”

Lafal البَلَدُ bentuk jamaknya adalah بِلاَدٌ وَبُلْدَانٌ. البَلَدُ bisa berarti kota,
daerah, negeri, desa dan kampung .
Sedang ألْبَلَدُ yang penulis maksudkan dalam pembahasan di sini adalah yang
berkaitan dengan penduduk ‘Aliyah, yaitu daerah yang berada di pinggiran Madinah atau daerah yang berada pada dataran tinggi di Madinah.
Jadi menurut An-Nawawie, bahwa mereka diberi rukhsah shalat Jum’at, karena apabila mereka telah menunaikan shalat ‘Id pada pagi hari, kemudian pulang ke kampung masing-masing, lalu setelah siang hari mere-ka masih mendapatkan beban shalat Jum’at, maka mereka akan merasa payah sekali, karena jarak antara tempat shalat dengan kampung mereka cukup jauh.
Yang dimaksud dengan الْعَالِيَةُ itu adalah,
هِيَ الْقُرَى الْمُجْتَمَعَةُ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ0 قَالَ مَالِكٌ: بَيْنَ أَبْعَدِهَا وَبَيْنَ الْمَدِيْنَةِ ثَمَانِيَةُ أَمْيَالٍ0

Artinya:
“Dia itu (adalah) desa-desa yang terkumpul di sekitar Madinah.” Berkata Imam Malik: “Jarak paling jauhnya desa tersebut dengan Madinah (adalah)
delapan mil.”

An-Nawawie mengatakan:
هِيَ قَرْيَةٌ بِالْمَدِيْنَةِ مِنْ جِهَةِ الشَّرْقِ0
Artinya:
“Dia (adalah) sebuah desa di Madinah dari arah timur.”

Adapun menurut Ibnul Atsier sebagai berikut:
اَلْعَالِيَةُ وَالْعَوَالِى فِىْ غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنَ الْحَدِيْثِ وَ هِيَ أَمَاكِنُ بِأَعْلَى أَرَاضِى لْمَدِيْنَةِ.وَ النِّسْبَةُ
إِلَيْهَا عُلْوِىٌّ عَلَى غَيْرِ قِيَاسٍ وَ أَدْنَاهَا مِنَ الْمَدِيْنَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالٍ وَ أَبْعَدُهَا مِنْ جِهَةِ نَجْدٍ
ثَمَانِيَةٌ0
Artinya:
“(Lafal Al-‘Aliyah dan Al-‘Awalie) tidak hanya terdapat pada satu hadits ini (saja), dan dia itu adalah tempat-tempat dataran tinggi di Madinah. Sedang
penisbatan kepadanya (dalam bahasa Arab) عُلْوِيٌّ tanpa ada qiyas, dan
(jarak) paling dekatnya ‘Aliyah adalah empat mil dari arah Madinah, sedang (jarak) paling jauhnya adalah delapan mil ke arah Najd.”

2.8.3. Kedudukan Hadits
Sanad hadits di atas, apabila disusun menjadi sebagai berikut:
1). Asy-Syafi’ie (Muhammad bin Idris).
2). Ibrahim bin Muhammad.
3). Ibrahim bin ‘Uqbah.
4). ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
5). Nabi saw..
Tentang perawi hadits di atas, penulis mendapatkan bahwa semua-nya tsiqat, kecuali Ibrahim bin Muhammad. Ahmad mengatakan bahwa dia
meriwayatkan hadits munkar laa ashla laha (tidak ada asal baginya). Fuqaha’
Madinah dan Yahya mengatakan bahwa Ibrahim bin Muhammad adalah rawi kadzdzab (pembohong). An-Nasa’ie, Ibnu Ma’in dan ‘Ulama yang lain
menyatakan bahwa Ibrahim bin Muhammad bukan orang yang terpercaya .
Semua perkataan ‘Ulama ini menunjukkan cacat/cela pada diri Ibrahim bin Muhammad.
Kemudian dari segi sanad, penulis menyatakan bahwa sanad hadits di atas mursal, karena ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz meriwayatkan langsung dari Nabi saw., sedang dia seorang tabi’ie yang tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi saw.. Jadi, mestinya antara ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dengan Nabi saw. ada rawi yang gugur. ‘Ulama berpendapat bahwa Hadits mursal dihukumi dla’if.
Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, bahwa dalam hadits ini terdapat rawi kadzdzab, yaitu Ibrahim bin Muhammad. Sedang berdasarkan Ilmu Mushthalah Hadits,
إِذَا كَانَ سَبَبُ الطَّعْنِ فِىْ الرَّاوِى هُوَ الْكِذْبُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ  فَحَدِيْثُهُ يُسَمَّى
الْمَوْضُوْعَ0

Artinya:
“Apabila sebab celaan terhadap seorang rawi itu adalah kidzib (berbohong) kepada Rasulullah saw. maka haditsnya dinamakan maudlu’.”

Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa hadits di atas adalah maudlu’ .
Wallahu A’lam.
Hadits di atas selain dikeluarkan oleh Asy-Syafi’ie, juga dikeluarkan
oleh Al-Baihaqie , dengan sanad yang sama, yaitu dari jalan Ibrahim bin
Muhammad. Dalam hadits tersebut ‘Umar bin ‘Abdul ’Aziz juga langsung me-
riwayatkan dari Nabi saw.. Sehingga kedudukan hadits tersebut juga dla’if.

2.9. Hadits Abu ‘Ubaid
2.9.1. Lafal dan Arti
قَالَ أَبُوْ عُبَيْدٍ: ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ, فَكَانَ ذَالِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ,
ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ: يَاأيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيْهِ عِيْدَانِ, فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ
الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَالْيَنْتَظِرْ وَمَنْ أحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ0
Artinya:
Berkata Abu ‘Ubaid: kemudian aku menyaksikan (‘Id) bersama ‘Utsman bin ‘Affan, sedang waktu itu pada hari Jum’at, maka beliau shalat (‘Id) sebelum khuthbah, kemudian berkhuthbah dengan mengatakan: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah berkumpul pada kalian ini dua hari Raya, maka barang siapa dari penduduk ‘Aliyah suka untuk menunggu shalat Jum’at, maka supaya ia menunggunya. Dan barang siapa suka untuk pulang (tidak menunggu shalat Jum’at), maka aku telah mengizinkannya.”

2.8.2. Keterangan Hadits
Hadits di atas menerangkan bahwa Abu ‘Ubaid pernah menghadiri shalat ‘Id yang dipimpin oleh ‘Utsman bin ‘Affan. Setelah shalat ‘Id, ‘Utsman bin ‘Affan berkhuthbah kepada orang banyak, yang isinya memberitahukan bahwa pada hari itu berkumpul dua hari Raya. Ibnu Hajar menerangkan bahwa dua hari Raya tersebut adalah ‘Idul Adha dengan hari
Jum’at . Kemudian ‘Utsman mengizinkan penduduk ‘Aliyah yang hendak
meninggalkan shalat Jum’at. Namun jika mereka bersedia untuk menghadiri
shalat Jum’at juga diperkenankan.
Dalam hadits ini terdapat lafal فَقَدْ أذِنْتُ لَهُ (maka sungguh telah aku
aku izinkan baginya). Kalimat ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat Jum’at pada hari ‘Id itu tergantung izin dari imam rawatib. Apabila dia telah mengizinkan, tiada mengapa bagi ma’mum untuk meninggalkan shalat Jum’at.

2.8.3. Kedudukan Hadits
Hadits Abu ‘Ubaid di atas berkedudukan sebagai hadits shahih, kare-na dikeluarkan oleh Al-Bukharie dalam kitab shahihnya. Sudah merupakan kesepakatan ‘‘Ulama bahwa hadits yang dikeluarkan oleh Al- Bukharie se-cara bersendiri (tanpa dibarengi oleh Muslim) tergolong hadits shahih mar-tabat kedua.
Hadits Abu ‘Ubaid di atas dikeluarkan pula oleh Al-Baihaqie , Asy-Syafi’ie , ‘Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah .

B A B III
PENDAPAT FUQAHA’ TENTANG HUKUM DAN TEKNIS PELAKSANAAN SHALAT JUM’AT BERTEPATAN
DENGAN HARI ‘ID

Sebagaimana telah penulis ungkapkan pada awal pembahasan, bahwa hukum dan teknis pelaksanaan shalat Jum’at pada hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, masih diperselisihkan sebagian muslimin. Berdasarkan pengkajian penulis, ternyata penulis juga mendapatkan bahwa masalah ini juga merupakan masalah khilafiyah di kalangan Fuqaha’. Ada yang mengatakan wajib dan ada pula yang mengatakan tidak wajib. Berikut ini penulis akan menguraikan pendapat Fuqaha’ disertakan pula dalil-dalil yang mendukung terwujudnya pendapat-pendapat tersebut.

1. Wajib
1.1. Wajib Shalat Jum’at Sesudah Shalat ‘Id, Sebagaimana Hari-hari Jum’at lainnya
Beberapa ahli Fiqih berpendapat bahwa apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), maka shalat Jum’at tetap dikerjakan, karena shalat ‘Id tidak menggugurkan shalat Jum’at. Mereka itu adalah imam empat dan Ibnu Hazm, kecuali Ahmad bin Hanbal.

1.1.1. Pendapat Malik dan Abu Hanifah
وَقَالَ مَالِكٌ وَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ: إِذَا اجْتَمَعَ عِيْدٌ وَجُمْعَةٌ فَالْمُكَلَّفُ مُخَاطَبٌ بِهِمَا جَمِيْعًا0 اَلْعِيْدُ عَلى
اَنَّهُ سُنَّةٌ وَ الْجُمُعَةُ عَلى أَنَّهَا فَرْضٌ, وَلاَ يَنُوْبُ أَحَدُهُمَا عَنِ اْلأَخَرِ, وَ هذَا هُوَ اْلأَصْلُ إِلاَّ أَنْ
يَثْبُتَ فِى ذلِكَ شَرْعٌ يَجِبُ الْمَصِيْرُ إِلَيْهِ.
Artinya:
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila hari ‘Id bertepatan
dengan hari Jum’at, maka mukallaf dibebani hukum untuk (menjalankan)
keduanya. Shalat ‘Id dijalankan karena sebagai sunnah, sedang shalat Jum-’at dijalankan karena merupakan kewajiban. Salah satu di antara keduanya tidak bisa menggantikan yang lain, (karena) dia sebagai hukum asal, kecuali jika terdapat ketetapan syariat (yang) wajib berpindah kepadanya (maka muslimin harus mengikutinya).”

Menurut pandangan Imam Malik dan Abu Hanifah di atas, bahwa shalat Jum’at tetap wajib dikerjakan meskipun jatuh pada hari ‘Id, kecuali kalau ada hukum syar’i yang mengubahnya, maka hukum ini akan berubah menurut syariat yang telah ditetapkan itu.
Al-Kandahlawie juga menukilkan pendapat Malik dan Abu Hanifah ini, hanya saja beliau tidak menggunakan redaksi .إِذَا اجْتَمَعَ عِيْدٌ وَ جُمْعَةٌ Jadi bunyinya adalah,
قَالَ مَالِكٌ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ: الْمُكَلَّفُ مُخَاطَبٌ بِهِمَا جَمِيْعًا000 الخ0

1.1.2. Pendapat Asy-Syafi’ie (merupakan pendapat beliau yang qadim) dan ahli Fiqih lainnya
وَ ذَهَبَ الشَّافِعِىُّ وَجَمَاعَةٌ إلى أَنَّهَا لاَ تَصِيْرُ رُخْصَةً, مُسْتَدِلِّيْنَ بِأَنَّ دَلِيْلَ وُجُوْبِهَا عَامٌ لِجَمِيْعِ
اْلأَيَّامِ0
Artinya:
“Asy-Syafi’ie dan sekelompok ahli Fiqih yang lain berpendapat, bahwa shalat Jum’at tidak menjadi rukhsah (kelonggaran). Mereka mengambil dalil, bahwasannya dalil (tentang) wajibnya (shalat Jum’at) itu secara umum untuk keseluruhan hari.”
Pendapat di atas juga dimuat dalam kitab Subulus Salam , Nailul Authar dan Al-Muqni’ fie Fiqhi Imamis Sunnah Ahmad bin Hanbal .
Hanya saja yang tersebut dalam kitab Nailul Authar dan Al-Muqni’ fie Fiqhi
Imamis Sunnah Ahmad bin Hanbal dengan lafal yang berbeda, namun mempunyai satu pengertian. Lafal tersebut adalah,
000وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ لاَ تَرْخِيْصَ لأَنَّ دَلِيْلَ وُجُوْبِهَا لَمْ يُفَصَّلْ0000
Artinya:
“…Mayoritas ahli Fiqih (berpendapat) bahwa tidak ada rukhsah (shalat Jum’at pada hari ‘Id), karena dalil (yang menunjukkan) wajibnya (shalat Jum’at) belum dipisahkan ….”

Kemudian yang terdapat dalam kitab Al-Muqni’ fie Fiqhi Imamis Sunnah Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut,
وَقَالَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ: لاَ تَسْقُطُ الْجُمُعَةُ لِعُمُوْمِ اْلأَيَةِ وَاْلأَخْبَارِ الدَّالَةِ عَلَى وُجُوْبِهَا0
Artinya:
“Kebanyakan ahli Fiqih berkata: ”Shalat Jum’at tidak gugur karena ke-umuman ayat serta khabar-khabar (hadits-hadits) yang menunjukkan atas wajibnya shalat Jum’at tersebut.”

Pendapat Asy-Syafi’ie dan jama’ah di atas, menunjukkan bahwa shalat Jum’at yang jatuh pada hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), tidak menjadi rukhsah meskipun sudah shalat ‘Id pada pagi hari. Sehingga muslimin tetap berkewajiban menunaikan shalat Jum’at.
Pendapat Asy-Syafi’ie dan sekelompok ahli Fiqih yang telah penulis uraikan di atas, memberi pengertian bahwa shalat Jum’at pada hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha tetap wajib dilaksanakan, meskipun sudah shalat ‘Id pada pagi hari. Mereka berpendapat begitu, karena dalil-dalil yang me-nunjukkan wajibnya shalat Jum’at bersifat umum, yaitu hari Jum’at tersebut jatuh pada hari ‘Id maupun pada hari-hari Jum’at yang lain.

1.1.3. Pendapat Ibnu Hazm
وَإِذَا اجْتَمَعَ عِيْدٌ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ صَلّى لِلْعِيْدِ ثُمَّ لِلْجُمُعَةِ وَلاَبُدَّ,وَلاَ يَصِحُّ أَثَرٌ بِخِلاَفِ ذلِكَ
لأَنَّ فِى رُوَاتِهِ إِسْرَائِيْلَ وَ عَبْدَ الْحَمِيْدِ بْنَ جَعْفَرٍ, وَلَيْسَا بِالْقَوِيَّيْنِ0 وَلاَ مُؤْنَةَ عَلى خُصُوْمِنَا
مِنَ اْلاِحْتِجَاجِ بِهِمَا إِذَا وَافَقَ مَا رَوَيَاهُ تَقْلِيْدَهُمَا, وَهُنَا خَالِفًا رِوَايَتَهُمَا0
Artinya:
“Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, (maka muslimin) harus melakukan shalat ‘Id dan juga shalat Jum’at. Atsar (hadits) yang menyelisihi (hukum) itu tidak shahih, karena rawi-rawinya terdapat Israil dan ‘Abdul Hamid bin Ja’far, keduanya bukan perawi yang kuat. Dan tidak mengapa bagi orang yang menyelisihi (pendapat) kami untuk berhujjah dengan kedua rawi itu, apabila dalam mengikuti keduanya sesuai dengan riwayatnya. Sedangkan di sini, (orang yang mengikuti keduanya itu) menyelisihi riwayatnya.

Pada prinsipnya, pendapat Ibnu Hazm di atas menunjukkan bahwa apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, muslimin dibebani hukum untuk menjalankan keduanya. Hadits-hadits yang menyelisihi hukum ini tidak dapat diterima, karena dalam hadits dan riwayat itu terdapat rawi yang
tidak kuat, yaitu Israil (bin Yunus bin Abi Ishaq) dan ‘Abdul Hamid bin Ja’far . Ibnu Hazm berkomentar, kedua rawi itu dapat dijadikan hujjah,
dengan syarat amalan orang yang mengikutinya sesuai dengan apa yang keduanya riwayatkan. Riwayat mereka menunjukkan tentang rukhsah shalat Jum’at bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id. Sedangkan di sini, orang yang mengikutinya itu menyelisihi riwayat keduanya, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, muslimin diperintahkan untuk menjalankan keduanya. Oleh karena itu, kedua rawi itu tidak dapat dijadikan hujjah. Begitulah alasan Ibnu Hazm.
Dalam kitabnya, Al-Muhalla Ibnu Hazm melanjutkan pernyataannya:
قَالَ أبُوْ مُحَمَّدٍ: الْجُمْعَةُ فَرْضٌ وَالْعِيْدُ تَطَوُّعٌ, وَالتَّطَوُّعُ لاَ يُسْقِطُ الْفَرْضَ0
Artinya:
Berkata Abu Muhammad (Ibnu Hazm): “Shalat Jum’at merupakan satu ke-wajiban, dan shalat ‘Id adalah sunnah, (maka) sunnah tidak dapat menggu-gurkan kewajiban.”

Begitulah pendapat Ibnu Hazm bahwa shalat Jum’at dan shalat ‘Id te-tap dikerjakan apabila keduanya terjadi dalam satu hari.
‘Ulama yang berpendapat bahwa shalat Jum’at jatuh pada hari ‘Id hu-kumnya wajib, mereka mengemukakan dalil surat Al-Jumu’ah (62) :9, dan beberapa hadits Rasulullah saw. yaitu :
1-يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَقلى ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ }الجمعة (62) :9{
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman!, apabila diseru untuk (melakukan) shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah (shalat Jum’at), dan kalian tinggalkanlah jual-beli ; Yang demikian itu lebih baik buat kalian, jika kalian mengetahui.” {Q.S. Al Jumu’ah (62) :9}

Firman Allah di atas menunjukkan kepaa kita, bahwa Allah men-syari’atkan shalat Jum’at bagi orang-orang yang beriman.
Pada ayat di atas, terdapat fiil amr (kata kerja yang menunjukkan pe-
rintah), yaitu اِسْعَوْا “bersegeralah kalian.” Menurut kaidah ushul fiqih
الأَصْلُ فِى اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ.
Artinya:
“Asal dalam perintah itu untuk menunjukkan wajib.”

Jadi, pada dasarnya perintah itu untuk menunjukkan wajib. Artinya, apabila perintah itu tidak disertai keterangan lain dari ayat-ayat lain, maupun hadits-hadits Rasulullah saw., maka pengertian yang keluar dari perintah itu adalah wajib. Tetapi jika terdapat keterangan lain, hukum perintah tersebut berubah menurut ketetapan yang terdapat pada keterangan
yang menyertainya itu.
2- عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أنَّ النَّبِيَّ  قَالَ: رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلى كُلِّ
مُحْتَلِمٍ.
Artinya:
Dari Hafshah, istri Nabi saw. (berkata), bahwasannya Nabi saw.bersabda:
“Berangkat Jum’at (mengerjakan shalat Jumat) itu wajib atas tiap-tiap orang yang telah akil baligh (dewasa).”

Hadits di atas dengan tegas menyatakan, bahwa shalat Jum’at wajib bagi semua orang islam yang telah baligh.
3- أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَ أبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُوْلَ اللهِ  يَقُوْلُ عَلى أعْوَادِ
مِنْبَرِهِ: لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ
الْغَافِلِيْنَ0

Artinya:
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Abu Hurairah ra., bahwasannya keduanya mendengar Rasulullah saw. bersabda (sambil berdiri) di atas kayu-kayu mimbar beliau: “Benar-benar beberapa kaum itu (mau) menghentikan dari perbuatan meninggalkan shalat Jum’at, atau benar-benar Allah akan menyegel atas hati-hati mereka, kemudian benar-benar mereka akan menjadi orang-orang yang lalai.”

Hadits di atas menunjukkan, bahwa shalat Jum’at hukumnya wajib. Muslimin yang sengaja meninggalkannya, Allah akan menyegel hatinya, sehingga menjadi orang-orang yang lalai dari kebenaran.
Hadits di atas dikeluarkan juga oleh Ahmad dan An-Nasa’ie dari
jalan Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abbas.
‘Ulama mengambil dalil wajibnya shalat Jum’at pada hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha) dengan surat Al-Jumu’ah (62) :09, dan hadits-hadits di atas serta yang semakna dengannya, karena ayat dan hadits-hadits tersebut berlaku umum, yaitu apakah hari Jum’at itu bertepatan dengan hari ‘Id atau hari-hari Jum’at biasa, muslimin tetap wajib shalat Jum’at.

1.2. Wajib Sholat Jum’at bagi Para Pemukim
‘Ulama yang berpendapat bahwa Shalat Jum’at wajib bagi Para Pe-mukim sesudah shalat ‘Id, di antaranya adalah Abu Hanifah, Asy-Syafi’ie, (merupakan pendapat beliau yang qadim) dan An-Nawawie.
1.2.1. Pendapat Abu Hanifah
وَ قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ بِوُجُوْبِ الْجُمُعَةِ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ0
Artinya:
Berkata Abu Hanifah: “Wajib shalat Jum’at bagi penduduk kota (pemukim).”

Pendapat Abu Hanifah ini juga tersebut dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab dengan lafal sebagai berikut,
وَ قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ لاَ تَسْقُطُ الْجُمُعَةُ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ0000
Artinya:
Berkata Abu Hanifah: ”Shalat Jum’at tidak gugur bagi penduduk kota (pemukim)….”

1.2.2. Pendapat Asy-Syafi’ie
1- قَالَ الشَّافِعِىُّ: وَلاَ يَجُوْزُ هذَا لأِحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يُجَمِّعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
يَجُوْزُ لَهُمْ بِه تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ.
Artinya:
Berkata Asy-Syafi’ie: “Dan tidak boleh bagi seorang pun dari penduduk kota untuk meninggalkan shalat Jum’at, kecuali kalau terdapat udzur yang membolehkan mereka dari meninggalkan shalat Jum’at, meskipun pada hari ‘Id.”

ب - قَالَ فِى رَحْمَةِ اْلأُمَّةِ إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ يَوْمَ جُمْعَةٍ فَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِىِّ أَنَّ الْجُمْعَةَ لاَ
تَسْقُطُ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ0
Artinya:
“Telah berkata penyusun kitab Rahmatul Ummah, apabila hari ‘Id bertepat-an dengan hari Jum’at, maka yang sah menurut (madzhab) Asy-Syafi’ie, bahwasannya shalat Jum’at tidak gugur atas penduduk kota (pemukim) dengan (ditegakkannya) shalat ‘Id.”

ج- أَمَّا اْلأَحْكَامُ فَقَالَ الشَّافِعِىُّ وَ اْلأَصْحَابُ إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ بَوْمَ عِيْدٍ وَ حَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى
الَّذِيْنَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوْغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ, فَصَلَّوْا الْعِيْدَ لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةُ بِلاَ خِلاَفٍ عَنْ
أَهْلِ الْبَلَدِ0000
Artinya:
Adapun hukum-hukum (tentang shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id) itu, maka Asy-Syafi’ie dan sahabat-sahabat beliau berkata : “Apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, lalu penduduk desa yang berkewajiban melakukan shalat Jum’at hadir, karena mereka mendengar adzan dari pen-duduk kota, kemudian mereka shalat ‘Id, maka shalat Jum’at tidak gugur bagi penduduk kota (pemukim) tanpa ada perselisihan (pendapat) ….”

1.2.3. Pendapat An-Nawawie
An-Nawawie adalah salah seorang ‘Ulama penganut madzhab Asy-Syafi’ie. Oleh karena itu, sudah barang tentu beliau mengikuti madzhab Asy-Syafi’ie tersebut. Hanya saja dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, beliau mengungkapkan pendapatnya dengan kalimat yang ringkas, yaitu:
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا وُجُوْبُ الْجُمُعَةِ عَلَيْ أهْلِ الْبَلَدِ0000
Artinya:
“Telah kami sebutkan bahwa madzhab kami (adalah) wajibnya shalat Jum’at bagi penduduk kota (pemukim)….”

Perkataan-pendapat di atas, yaitu pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’ie dan An-nawawie, semuanya mempunyai pengertian bahwa pemukim
pemukim wajib shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id pada pagi hari.
Dalil yang mereka jadikan landasan dalam berpendapat bahwa pe-mukim wajib shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.). Mereka mengambil pengertian bahwa rukhsah yang terdapat pada hadits Abu Hurairah itu, sudah dikhususkan bagi penduduk ‘Aliyah yang datang ke kota hanya untuk menunaikan shalat Jum’at. Sedangkan bagi pemukim, mereka tetap wajib shalat Jum’at, karena sabda
Nabi saw. إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ (sesungguhnya kami akan menegakkan shalat Jum’at).
Yang dimaksud dengan lafal إنَّا pada hadits Abu Hurairah itu adalah para
para pemukim, yaitu Rasulullah saw. dan orang-orang di Madinah, karena shalat Jum’at ditegakkan di Madinah.
Mereka berpendapat bahwa rukhsah pada hadits Abu Hurairah itu khusus bagi penduduk ‘Aliyah, karena melihat hadits ‘Utsman yang diceritakan oleh Abu ‘Ubaid (hlm.48, no.2.8.) dan hadits ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (hlm.44, no.2.7.) bahwa penduduk ‘Aliyah yang sudah shalat ‘Id mendapatkan rukhsah shalat Jum’at, yaitu mereka boleh meninggalkannya. Sedangkan bagi para pemukim masih tetap wajib shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Asy-Syaukanie dan Al-Kandahlawie, yang mereka nukilkan dari perkataan Asy-Syafi’ie, yaitu:
أنَّ التَّرْخِيْصَ يُخْتَصُّ بِمَنْ كَانَ خَارِجَ الْمِصْرِ0
Artinya:
“Bahwasannya rukhsah itu dikhususkan bagi orang yang ada di luar kota.”

1.3. Wajib Shalat Jum’at bagi Imam Rawatib dan Tiga Orang dari Kalangan Ma’mum, Meskipun Sudah Shalat Id
Ahmad bin Hanbal, Al-Hadie dan sekelompok ahli Fiqih yang lainnya
berpendapat, apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, muslimin yang sudah shalat ‘Id mendapat rukhsah shalat Jum’at, yaitu mereka boleh me-ninggalkannya, kecuali imam rawatib dan tiga orang dari kalangan ma’mum. Jadi, imam rawatib dan tiga orang dari kalangan ma’mum masih ber-kewajiban menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id. Disebutkan dalam kitab Al-Kafie fie Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal,
وَ تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلى اْلإِمَامِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ (إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ) وَ لأَِنَّ تَرْكَهُ لَهَا مَنْعٌ لِمَنْ يُرِيْدُهَا
مِنَ النَّاسِ0
Artinya:
“Shalat Jum’at itu wajib atas imam rawatib, karena sabda Nabi saw.
إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ, karena (jika) imam rawatib meninggalkan shalat Jum’at, akan
menjadi penghalang bagi orang yang hendak shalat Jum’at.”

Maksud dari pendapat Ahmad bin Hanbal di atas, bahwa imam rawatib wajib menunaikan shalat Jum’at, supaya memimpin muslimin yang hendak shalat Jum’at. Karena apabila imam rawatib tidak menegakkan shalat Jum’at, muslimin tidak dapat melaksanakan shalat Jum’at, sebab tidak mempunyai imam yang akan memimpin mereka.
Dalam hal ini, Al-Kandahlawie juga menyatakan,
وَذَهَبَ الْهَادِىُّ وَ جَمَاعَةٌ إلى أنَّ صَلاَةَ الْجُمُعَةِ تَكُوْنُ رُخْصَةً لِغَيْرِ اْلإمَامِ وَثَلاَثَةٍ مِنَ الْمُقْتَدِيْنَ0

Artinya:
“Al-Hadie dan sekelompok ahli Fiqih berpendapat, bahwa shalat Jum’at menjadi rukhsah bagi selain imam rawatib dan tiga ma’mum dari orang-orang yang akan mengikutinya.”

Pendapat ini berdasarkan hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.).
Dalam kitab Subulus Salam diterangkan, bahwa
وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلى أنَّ صَلاَةَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْعِيْدِ تَصِيْرُ رُخْصَةً يَجُوْزُ فِعْلُهَا وَتَرْكُهَا وِ هُوَ
خَاصٌّ بِمَنْ صَلَّى الْعِيْدَ دُوْنَ مَنْ لَمْ يُصَلِّهَا0 وَ إلَى هذَا ذَهَبَ الْهَادِىُّ وَ جَمَاعَةٌ إلاَّ فِى حَقِّ
اْلإمَامِ وَ ثَلاَثَةٍ مَعَهُ0
Artinya:
“Hadits Abu Hurairah itu sebagai dalil, bahwa shalat Jum’at sesudah shalat
‘Id menjadi rukhsah, (yaitu) boleh dilakukan dan boleh (juga) ditinggalkan. Sedangkan rukhsah tersebut khusus muslimin yang sudah shalat ‘Id, bukan muslimin yang belum shalat ‘Id. Dan kepada pendapat inilah, Al-Hadie dan sekelompok ahli Fiqih berpendapat, kecuali pada kewajiban imam rawatib dan tiga ma’mum bersamanya (mereka tidak mendapat rukhsah meskipun sudah shalat ‘Id).”

Dalil yang mereka jadikan landasan dalam berpendapat bahwa imam rawatib dan tiga ma’mum meskipun sudah shalat ‘Id masih berkewajiban
shalat Jum’at adalah lafal hadits Abu Hurairah yang berbunyi إنَّا مُجَمِّعُوْنَ. Mereka memberi pengertian bahwa lafal إنَّا itu berlaku untuk imam rawatib
beserta tiga ma’mum.
Jadi, menurut pendapat yang telah penulis sebutkan di atas, imam rawatib dan tiga orang dari kalangan ma’mum wajib menunaikan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id pada pagi hari.

1.4. Wajib Shalat Jum’at bagi Muslimin yang Belum Shalat ‘Id
Pendapat inilah yang dijadikan pegangan oleh Abu Thayyib Abadie dan Muhammad bin Ismail. Abu Thayyib Abadie menampilkan pendapat sebagai berikut:
وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلى أنَّ صَلاَةَ الْجُمُعَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْعِيْدِ تَصِيْرُ رُخْصَةً يَجُوْزُ فِعْلُهَا وَ تَرْكُهَا
وِهُو خَاصٌّ بِمَنْ صَلَّى الْعِيْدَ دُوْنَ مَنْ لَمْ يُصَلِّهَا0
Artinya:
“Hadits Abu Hurairah itu sebagai dalil, bahwa shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id menjadi rukhsah, (yaitu) boleh dilakukan dan boleh (juga) ditinggalkan. Sedang rukhsah tersebut khusus muslimin yang sudah shalat ‘Id, bukan muslimin yang belum shalat ‘Id.”
Pendapat ini juga tercantum dalam kitab ‘Aunul Ma’bud.
Dalil yang mereka kemukakan adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1), bahwa rukhsah tersebut khusus bagi muslimin yang sudah sha-
Lat ‘Id, karena sabda Nabi saw. أَجْزَأهُ مِنَ الْجُمُعَةِ (shalat ‘Id mencukupinya
dari mengerjakan shalat Jum’at). Jadi muslimin yang belum shalat ‘Id masih berkewajiban menunaikan shalat Jum’at.

2. Tidak Wajib
2.1. Tidak wajib Shalat Jum’at bagi Semua Muslimin dan Tanpa Mengganti dengan Shalat Dhuhur
Tentang shalat Jum’at pada hari Id, ‘Atha’ dan Asy-Syaukanie me-negaskan bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi semua muslimin, yang sudah shalat ‘Id maupun yang belum shalat dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur. Disebutkan dalam kitab Nailul Authar, bahwa Asy-Syaukanie menyatakan:
فِيْهِ أنَّ صَلاَةَ الْجُمُعَةِ فِى يَوْمِ الْعِيْدِ يَجُوْزُ تَرْكُهَا وَ ظَاهِرُ الْحَدِيْثَيْنِ عَدَمُ الْفَرْقِ بَيْنَ مَنْ صَلَّى
الْعِيْدَ وَ مَنْ لَمْ يُصَلِّ وَ بَيْنَ اْلإمَامِ وَ غَيْرِهِ لأنَّ قَوْلَهُ لِمَنْ شَاءَ يَدُلُّ عَلى أنَّ الرُّخْصَةَ تَعُمُّ كُلَّ
أحَدٍ0

Artinya:
“Pada hadits tersebut (hadits Abu Hurairah, hlm.15-16, no.2.1) bahwa shalat Jum’at pada hari ‘Id boleh ditinggalkan. Dhahir dua hadits itu (hadits Abu Hurairah hlm.15-16, no.2.1. dan hadits Zaid bin Arqam hlm.25, no.2.2) tidak ada perbedaan antara orang yang sudah shalat ‘Id dengan yang belum shalat, serta antara imam rawatib dengan yang lain (ma’mum), karena sabda
Nabi saw. لِمَنْ شَاءَ itu menunjukkan bahwa rukhsah itu berlaku umum untuk tiap orang.”

Secara ringkas, perkataan Asy-Syaukanie di atas adalah, apabila hari Jum’at jatuh pada hari ‘Id, semua muslimin, imam rawatib atau ma’mum, yang sudah shalat ‘Id maupun yang belum shalat, tidak berkewajiban mengerjakan shalat Jum’at, karena shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id menjadi rukhsah bagi semua muslimin tanpa terkecualikan, yaitu mereka boleh meninggalkannya.
Pendapat ini juga dicantumkan oleh Al-Kandahlawie dalam kitabnya,
Aujazul Masalik ila Muwatha’ Malik, dengan tambahan kalimat,
000وَإِلَى ذّالِكَ ذَهَبَ عَطَاءٌ0
Artinya:
“…Dan kepada pendapat inilah ‘Atha’mengikutinya.”

Dalil yang mereka jadikan rujukan adalah hadits Abu Hurairah dan hadits Zaid bin Arqam. Dari dua hadits itu mereka mengambil pengertian bahwa rukhsah itu berlaku umum bagi semua muslimin, karena sabda Nabi
saw. مَنْ شَاءَ tanpa terkecualikan. Jadi, siapa saja dari kalangan muslimin, yang
sudah shalat ‘Id maupun yang belum shalat, diperbolehkan meninggalkan shalat Jum’at, serta tidak ada perintah untuk mengganti dengan shalat Dhuhur.

2.2. Tidak Wajib Shalat Jum’at bagi Musafir (Pendatang) Sesudah Shalat Id dan Tanpa Mengganti dengan Shalat Dhuhur
Berkenaan dengan masalah shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, Asy-Syafi’ie, An-Nawawie dan Ar-Rafi’ie mengungkapkan bahwa musafir (pendatang) yang sudah shalat ‘Id tidak berkewajiban lagi shalat Jum’at dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.

2.2.1. Pendapat Asy-Syafi’ie (merupakan qaul qadim beliau)
1- قَالَ الشَّافِعِىُّ: وَ لاَ يَجُوْزُ هَذَا لأِحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يُجَمِّعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
يَجُوْزُ لَهُمْ بِه تَرْكُ الْجُمُعَةِ وَ إِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ0
Artinya:
Berkata Asy-Syafi’ie: “Dan tidak boleh bagi seorang pun dari penduduk kota
untuk meninggalkan shalat Jum’at, kecuali kalau terdapat udzur yang membolehkan mereka (dari) meninggalkan shalat Jum’at, meskipun pada hari ‘Id.”

ب- قَالَ فِيْ رَحْمَةِ اْلأُمَّةِ إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ يَوْمَ جُمْعَةٍ فَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِىِّ أَنَّ الْجُمْعَةَ لاَ
تَسْقُطُ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ، وَ أمَّا مَنْ حَضَرَ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَالرَّاجِحُ عِنْدَهُ سُقُوْطُهَا
عَنْهُمْ فَإِذَا صَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ لَهُمْ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَ يَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ0
Artinya:
“Telah berkata penyusun kitab Rahmatul Ummah, apabila hari ‘Id bertepat-an dengan hari Jum’at, maka yang sah menurut (madzhab) Asy-Syafi’ie, bahwasannya shalat Jum’at tidak gugur atas penduduk kota (pemukim) dengan (ditegakkannya) shalat ‘Id. Dan adapun orang yang da-tang dari penduduk desa (musafir), maka yang paling kuat menurut madzhab Asy-Syafi’ie (adalah) gugurnya (shalat Jum’at) dari mereka. Maka apabila mereka sudah sholat ‘Id, diperbolehkan untuk pulang dan meninggalkan shalat Jum’at.”

ج- أَمَّا اْلأَحْكَامُ فَقَالَ الشَّافِعِىُّ وَ اْلأَصْحَابُ إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ جُمُعَةٍ بَوْمَ عِيْدٍ وَ حَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى
الَّذِيْنَ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ لِبُلُوْغِ نِدَاءِ الْبَلَدِ, فَصَلَّوْا الْعِيْدَ لَمْ تَسْقُطِ الْجُمُعَةَ بِلاَ خِلاَفٍ عَنْ
أَهْلِ الْبَلَدِ0 وَ فِى أَهْلِ الْقُرَى وَجْهَانِ,اَلصَّحِيْحُ الْمَنْصُوْصُ لِلشَّافِعِىِّ فِى اْلأُمِّ وَ الْقَدِيْمُ أَنَّهَا
تَسْقُطُ (وَ الثَّانِى) لاَ تَسْقُطُ وَ دَلِيْلُهَا فِى الْكِتَابِ0
Artinya:
Adapun hukum-hukum (tentang shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id) itu, maka Asy-Syafi’ie dan sahabat-sahabat beliau berkata: “Apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, lalu penduduk desa yang berkewajiban melakukan shalat Jum’at hadir, karena mereka mendengar adzan dari penduduk kota, kemudian mereka shalat ‘Id, maka shalat Jum’at tidak gugur bagi penduduk kota (pemukim) tanpa ada perselisihan (pendapat). Sedang-kan terhadap penduduk desa (musafir) terbagi menjadi dua pendapat, yakni yang shahih dan telah ditetapkan oleh Asy-Syafi’ie dalam kitab Al-Umm sebagai qoul qodimnya, bahwa sholat Jum’at gugur, (sedang yang kedua) tidak gugur, sedangkan dalilnya dalam Al-Kitab (surat Al-Jumu’ah (62) : 9).”

Dari pendapat-pendapat yang telah penulis paparkan di atas, jelaslah
bahwa penduduk desa, yang shalat Jum’at tidak ditegakkan di kampung mereka, sehingga apabila hendak shalat Jum’at harus pergi ke kota, menurut Asy-Syafi’ie ada pendapat:
1). Wajib shalat Jum’at.
2). Tidak wajib shalat Jum’at.
Di antara dua pendapat di atas, pendapat yang paling kuat menurut Asy-Syafi’ie adalah pendapat kedua, karena shalat Jum’at merupakan rukhsah bagi penduduk desa (musafir) yang sudah shalat ‘Id, yaitu mereka boleh
meninggalkannya.

2.2.2. Pendapat An-Nawawie
وَإِنِ اتَّفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَ يَوْمُ جُمُعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَ يَتْرُكُوْا
الْجُمْعَةَ0
Artinya:
“Jika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, lalu datang penduduk sawad, kemudian mereka shalat ‘Id, (maka) mereka diperbolehkan pulang dan me-ninggalkan sholat Jum’at.”

Pada kalimat di atas terdapat lafal أَهْلُ السَّوَادِ. Asal arti dari السَّوَادُ adalah ضِدُّ الْبَيَاضِ مِنَ اْلأَلْوَانِ . “Lawan warna putih dari beberapa macam warna.” Jadi السَّوَادُ berarti warna hitam.
Namun yang penulis maksudkan dalam pembahasan di sini adalah sebagai-mana dijelaskan oleh An-Nawawie, yaitu:
وَ أَهْلُ السَّوَادِ هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَ الْمُرَادُ هُنَا أَهْلُ الْقُرَى الَّذِيْنَ يَبْلُغُهُمُ النِّدَاءُ وَ يَلْزَمُهُمْ حُضُوْرُ
الْجُمُعَةِ فِى الْبَلَدِ فِى غَيْرِ الْعِيْدِ0
Artinya:
“Penduduk Sawad, mereka itu (adalah) penduduk desa, yang seruan (adzan)
dapat sampai kepada mereka, serta mereka melazimi shalat Jum’at di kota selain pada hari ‘Id (yaitu hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id).”

2.2.3. Pendapat Ar-Rafi’ie
قَالَ الرَّافِعِىُّ إِذَا وَافَقَ يَوْمُ الْعِيْدِ يَوْمَ جُمُعَةٍ، وَ حَضَرَ أَهْلُ الْقُرَى فَلَهُمْ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَ يَتْرُكُوْا
الْجُمُعَةَ فِى هذَا الْيَوْمِ عَلَى الصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ فِى الْقَدِيْمِ وَ الْجَدِيْدِ،وَ عَلَى الشَّاذِّ: عَلَيْهِمُ
الصَّبْرُ لِلْجُمُعَةِ0
Artinya:
Berkata Ar-Rafi’ie: Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, sedang-kan penduduk desa (musafir) datang (untuk menunaikan shalat ‘Id), maka mereka boleh bubaran dan meningglkan shalat Jum’at pada hari itu, menurut (pendapat) yang shahih serta sudah ditetapkan dalam qaul qadim dan qaul jadid. Sedang menurut (pendapat) yang menyimpang, hendaknya mereka sabar untuk (menunggu) shalat Jum’at.”

Perkataan Asy-Syafi’ie, An-Nawawie dan Ar-Rafi’ie di atas, meski-pun dengan redaksi yang berbeda-beda, semuanya mempunyai satu penger-tian, yaitu bahwa pendapat yang benar menurut mereka, penduduk desa (musafir) sesudah shalat ‘Id pada pagi hari, tidak berkewajiban lagi shalat Jum’at dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.
Adapun dalil yang mereka jadikan sandaran adalah hadits Abu Hu-rairah (hlm.15-16, no.2.1.) dan hadits Zaid bin Arqam (hlm. 25, no.2.2.). Mereka memahami dua hadits tersebut berdasarkan hadits ‘Umar bin ‘Abdul ’Aziz (hlm.44, no.2.7.) dan hadits Abu ‘Ubaid (hlm.48, no.2.8.), bahwa rukhsah yang terdapat pada dua hadits itu khusus bagi penduduk ‘Aliyah yang da-tang ke kota hanya untuk menunaikan shalat Jum’at. Walhasil, menurut pendapat ini para pendatang tidak berkewajiban shalat Jum’at dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.
2.3. Tidak Wajib Shalat Jum’at bagi Muslimin yang Sudah Shalat ‘Id dan Mengganti dengan Shalat Dhuhur
Apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, muslimin yang sudah shalat ‘Id pada pagi hari, tidak wajib shalat Jum’at pada siang harinya, akan tetapi mengganti dengan shalat Dhuhur. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal
قَالَ أَحْمَدُ لاَ تَجِبُ الْجُمُعَةُ لاَ عَلَى أَهْلِ الْقُرَى وَلاَ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ بَلْ تَسْقُطُ فَرْضُ الْجُمُعَةِ
بِصَلاَةِ الْعِيْدِ وَ يُصَلُّونَ الظُّهْرَ0
Artinya:
Berkata Imam Ahmad: “Shalat Jum’at tidak wajib atas penduduk desa (musafir) dan tidak wajib pula atas penduduk kota (pemukim), bahkan ke-wajiban shalat Jum’at gugur dengan sebab shalat ‘Id, dan mereka (mengganti) dengan shalat Dhuhur.”

Pendapat Ahmad ini juga dikutib dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab dan Al-Kafie fie Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal, dengan redaksi sebagai berikut:
وَقَالَ أَحْمَدُ تَسْقُطُ الْجُمُعَةُ عَنْ أَهْلِ الْقُرَى وَأَهْلُ الْبَلَدِ وَلكِنْ يَجِبُ الظُّهْرُ0
Artinya:
Berkata Imam Ahmad: “Gugurnya shalat Jum’at (pada hari ‘Id) bagi penduduk desa (musafir) dan penduduk kota (pemukim), akan tetapi shalat Dhuhur wajib (bagi mereka).”
فَإِذَا اتَّفَقَ عِيْدٌ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ لَمْ تَلْزَمُهُمُ الْجُمُعَةُ وَيُصَلُّوْنَ ظُهْرًا0
Artinya:
“Maka apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, kemudian muslimin shalat ‘Id, (maka) shalat Jum’at tidak wajib bagi mereka dan (mengganti) dengan shalat Dhuhur.”

Dalam masalah ini Muhammad bin Ismail menuturkan pula,
000بِأَنَّ اْلأَصْلَ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ صَلاَةُ الْجُمُعَةِ وَالظُّهْرُ بَدَلٌ عَنْهَا0
Artinya:
“…Bahwasannya asal (kewajiban) pada hari Jum’at (adalah) shalat Jum’at, sedangkan shalat Dhuhur (merupakan) penggantinya.”

Jadi, apabila seseorang tidak dapat menjalankan shalat Jum’at, karena
suatu halangan, dia harus mengganti dengan shalat Dhuhur.
Perkataan Muhammad bin Ismail ini juga termaktub dalam kitab ‘Aunul
Ma’bud.
Hujjah yang mendorong mereka dalam berpendapat, bahwa kewajiban shalat Jum’at pada hari ‘Id gugur dan diganti dengan shalat dhuhur adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.). Al-Khuthabie memberi pengertian bahwa lafal,
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ أَىْ عَنْ حُضُوْرِ الْجُمُعَةِ وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُ الظُّهْرُ0
Artinya:
“Maka barang siapa berkehendak, (shalat ‘Id) mencukupi dari shalat Jum’at, yaitu (mencukupi) dari menghadiri shalat Jum’at, sedangkan shalat Dhuhur tidak gugur darinya.”

Pendapat ini sesuai dengan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah (hlm.41, no.2.6.3.), bahwa pada masa pemerintahan Ibnu Zubair pernah berkumpul dua hari Raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha dengan hari Jum’at), kemudian beliau shalat ‘Id pada pagi hari, dan setelah masuk waktu shalat Jum’at, beliau shalat Dhuhur empat rekaat bersama orang banyak.

2.4. Tidak Wajib Shalat Jum’at dan Tanpa Mengganti dengan Shalat Dhuhur bagi Muslimin yang Sudah Shalat ‘Id, Kecuali Imam Rawatib Beserta Tiga Orang dari Kalangan Ma’mum
Berkenaan dengan masalah shalat Jum’at pada hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), Al-Hadie dan Fuqaha’ yang lain berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id kecuali imam rawatib dan tiga orang dari kalangan ma’mum. Pembahasan masalah ini sudah penulis bahas dengan panjang lebar pada bagian sub bab 1 no.1.4. dalam bab III ini. Untuk itu, silakan lihat kembali pada alamat yang penulis isyaratkan tersebut. Ringkasnya saja, menurut pendapat ini kalau sudah ada tiga ma’mum yang menjalankan shalat Jum’at bersama imam rawatib, maka muslimin yang lain sudah tidak berkewajiban shalat Jum’at dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.

2.5. Tidak Wajib Shalat Jum’at bagi Muslimin yang Sudah Shalat ‘Id dan Tanpa Mengganti dengan Shalat Apa Pun
Pendapat terakhir mengenai masalah shalat Jum’at pada hari ‘Id, Ibnu Zubair, ‘Atha’ bin Abi Rabah dan ‘Ulama lainnya berpendapat, bahwa mus-limin yang sudah shalat ‘Id tidak berkewajiban lagi shalat Jum’at meskipun berkedudukan sebagai imam rawatib dan tidak pula mengganti dengan shalat apa pun. Mereka berpendapat begitu, karena shalat ’Id sudah mencukupinya dari shalat Jum’at.

2.4.1. Pendapat Ibnu Zubair
000فَالْجَزْمُ بِأَنَّ مَذْهَبَ ابْنِ الزُّبَيْرِ سُقُوْطُ صَلاَةِ الظُّهْرِ فى يَوْمِ الْجُمُعَةِ يَكُوْنُ عِيْدًا عَلَى مَنْ
صَلَّى صَلاَةَ الْعِيْدِ.
Artinya:
“…Maka ketentuan (tentang shalat Jum’at pada hari ‘Id) menurut madzhab Ibnu Zubair (adalah) gugurnya shalat Dhuhur pada hari Jum’at merupakan hari Raya bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id.”

Maksud pendapat di atas adalah menjelaskan bahwa Ibnu Zubair berpendapat, muslimin yang sudah shalat ‘Id, tidak berkewajiban lagi shalat Jum’at dan tidak pula mengganti dengan shalat Dhuhur. Hal ini sesuai dengan riwayatnya yang diceritakan oleh ‘Atha’ bin Abi Rabah (hlm.40, no.2.6.2). Gugurnya shalat Jum’at dan shalat Dhuhur merupakan kenik-matan bagi mereka, sehingga mereka dapat bersenang-senang pada hari itu.

2.4.2. Pendapat ‘Atha’ bin Abi Rabah
قَالَ عَطَاءُ بْنُ أبِي رَبَاحٍ إذَا صَلَّوْا الْعِيْدَ لَمْ تَجِبْ بَعْدَهُ فِى هذَا الْيَوْمِ صَلاَةُ الْجُمْعَةِ وَلاَ الظُّهْرِ
وَ لا غَيْرِهِمَا إِلاَّ الْعَصْرِ لاَ عَلَى أهْلِ الْقُرَى وَلاَ أهْلِ الْبَلَدِ0
Artinya:
Berkata ‘Atha’ bin Abi Rabah: “Apabila muslimin sudah shalat ‘Id, tidak wajib (lagi) shalat Jum’at, shalat Dhuhur, dan (juga) yang lain sesudahnya pada hari itu kecuali shalat ‘Ashar, baik atas penduduk desa musafir) maupun penduduk kota (pemukim).”

Pendapat ‘Atha’ bin Abi Rabah di atas, juga termuat dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, dengan lafal sebagai berikut:
وَ قَالَ عَطَاءٌ تَسْقُطُ الْجُمُعَةُ وَالظُّهْرُ مَعًا فِى ذَالِكَ الْيَوْمِ فَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعِيْدِ إِلاَّ الْعَصْرَ0

Artinya:
Berkata ‘Atha’: “Shalat Jum’at dan shalat Dhuhur gugur semuanya pada hari itu, maka tidak ada shalat (lagi) sesudah shalat ‘Id kecuali shalat ‘Ashar.”

2.4.3. Pendapat Fuqaha’ lain
فَقَالَ قَوْمٌ: يُجْزِئُ الْعِيْدُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَ لَيْسَ عَلَيْهَ فِى ذَالِكَ الْيَوْمِ إلاًّ الْعَصْرَ فَقَطْ0
Artinya:
Berkata satu kaum (segolongan Fuqaha’ lain): “Shalat ‘Id mencukupi dari shalat Jum’at, dan tidak ada kewajiban atas (muslimin yang sudah shalat ‘Id) pada hari itu, kecuali shalat ‘Ashar saja.”

Selain yang telah penulis tampilkan di atas, ada juga ‘Ulama lain yang sependapat dengan pendapat ini. Hal ini sebagaimana yang diungkap-kan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Muqni’ fie Fiqhi Imamis Sunnah Ahmad bin Hanbal, yaitu:
وَمِمَّنْ قَالَ بِسُقُوْطِهَا الشَّعْبِىُّ وَ النَّخَعِىُّ وَ اْلأَوْزَعِىُّ، وَقَدْ قِيْلَ أَنَّهُ مَذْهَبُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ وَعَلِىٍّ
وَسَعِيْدٍ وَابْنِ عُمَرَ وَ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ رّضِىَ اللهُ عَنْهُمْ0
Artinya:
“Dan termasuk orang yang mengatakan gugurnya (shalat Jum’at pada hari ‘Id) adalah Asy-Sya’bie, An-Nakha’ie, Al-Auza’ie, dan dikatakan juga, bahwa itu adalah pendapat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair ra.”

Adapun dalil yang mereka jadikan landasan adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.) dan hadits Zaid bin Arqam (hlm. 25, no.2.2.). Mengenai hadits hadits Zaid bin Arqam ini, Muhammad bin Ismail Ash-Shan’anie menuturkan,
000وَظَاهِرُ الْحَدِيْثِ أَيْضًا حَيْثُ رَخَّصَ لَهُمْ فِى الْجُمُعَةِ وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِصَلاَةِ الظُّهْرِ0000

Artinya:
“…Dan menurut dhahir hadits itu juga, Rasulullah saw. memberi rukhsah shalat Jum’at kepada mereka dan tidak memerintahkan (untuk mengganti) dengan shalat Dhuhur….”

Selain berhujjah dengan hadits Abu Hurairah dan hadits Zaid bin Arqam, ‘Atha’ bin Abi Rabah juga berhujjah dengan haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij (hlm.40, no.2.4.2.). Pada hadits tersebut, ‘Atha’ bin Abi Rabah menceritakan kejadian hari Jum’at jatuh pada hari ‘Id pada masa pemerintahan Ibnu Zubair, yaitu Ibnu Zubair shalat dua rekaat pada pagi hari dan tidak menambahi shalat apapun hingga shalat ‘Ashar. Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa Ibnu Zubair tidak shalat Jum’at dan tidak pula Dhuhur sesudah shalat ‘Id pada pagi hari. Dengan kata lain beliau hanya shalat satu kali pada pagi hari, sampai datang waktu shalat ‘Ashar.
Dari hadits ‘Atha’ itu juga dapat diketahui, bahwa imam rawatib juga tidak berkewajiban shalat Jum’at, karena rukhsah shalat Jum’at bersifat umum bagi semua muslimin yang sudah shalat ‘Id, meskipun berkedudukan sebagai imam rawatib, sebab Ibnu Zubair pada waktu itu sebaga imam juga meninggalkan shalat Jum’at.

B A B IV
A N A L I S A

Pokok pembahasan yang akan penulis analisis dalam makalah ini tertuju pada dua masalah, yaitu hadits-hadits dan pendapat Fuqaha’ yang berkaitan dengan hukum dan teknis pelaksanaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Berikut ini analisa tiap-tiap masalah:

1. Analisa Hadits-hadits
Dari hadits-hadits yang tercantum pada bab II, sub bab II, penulis dapat meringkas sebagai berikut:
1.1. Hadits Abu Hurairah menunjukkan bahwa tatkala hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, Rasulullah saw. memberi kepada muslimin yang sudah melaksanakan shalat ‘Id pada pagi hari, untuk tidak melaksanakan shalat jum’at, serta tidak terdapat perintah untuk mengganti dengan shalat Dhuhur. Tetapi Rasulullah saw. selaku imam tetap menegakkan
shalat Jum’at, meskipun sudah shalat ‘Id.
Hadits tersebut adalah hadits ma'lul. Akan tetapi hadits itu mempunyai sya-
hid dari jalan Ibnu ‘Abbas yang berderajat hasan. Fungsi syahid adalah se-
bagai penguat bagi hadits lain. Oleh karena itu, hadits Abu Hurairah tersebut
menjadi hasan lighairihi.
1.2. Hadits Zaid bin Arqam menerangkan bahwa muslimin yang sudah shalat ‘Id mendapat rukhshah untuk tidak melakukan shalat Jum’at, serta tidak ada su-
ruhan untuk mengganti dengan shalat Dhuhur.
Hadits ini dla’if. Tetapi matan hadits ini sesuai dengan matan hadits Abu
Hurairah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Oleh karena itu, hadits ini dikuatkan oleh
keduanya, sehingga berkedudukan sebagai hadits hasan lighairihi.
1.3. Hadits Ibnu ‘Umar menjelaskan bahwa setelah Rasulullah saw. shalat ‘Id bersama para shahabat, beliau memberi rukhshah untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at kepada mereka, yaitu mereka boleh meninggalkannya dan tidak
ada perintah untuk mengganti dengan shalat Dhuhur.
Hadits ini berderajat dla'if. Meskipun dla’if, hadits ini dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas dan hadits Zaid bin Arqam. Sehingga ha-dits ini menjadi hasan lighairihi.
1.4. Hadits Nu’man bin Basyir menerangkan, bahwa Rasulullah saw. membaca surat “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan “Hal Ataaka Haditsul Ghasyiyah”, pada shalat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan shalat Jum’at. Begitu juga apabila sha-lat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), beliau juga membaca dua surat tersebut pada dua shalat itu. Berdasarkan hadits ini dapat dipahami bahwa apabila shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri
atau ‘Idul Adha), beliau melaksanakan shalat ‘Id dan juga shalat Jum’at.
Hadits ini berderajat shahih.
1.5. Hadits Wahb bin Kaisan menjelaskan, bahwa di masa Ibnu Zubair pernah ter-jadi hari Jum’at bertepatan dengan shalat ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha). Pada hari itu Ibnu Zubair shalat ‘Id sudah agak siang, kemudian beliau tidak lagi shalat Jum’at dan tidak pula shalat Dhuhur. Dari keterangan ini dapat dipahami, bahwa perbuatan Ibnu Zubair tersebut sesuai dengan isi hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Zaid bin Arqam dan hadits Ibnu ‘Umar yaitu Ibnu Zubair mengamalkan rukhshah shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id
yang diberikan oleh Rasulullah saw..
Hadits ini berkedudukan sebagai hadits hasan.
1.6. Hadits-hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah.
1.6.1. Hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah yang diriwayatkan dari jalan Al-A’masy menyatakan bahwa ketika shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), Ibnu Zubair shalat ‘Id pada pagi hari, kemudian pada siang hari, beliau tidak shalat Jum’at dan tidak pula Dhuhur. Sedangkan muslimin keluar untuk shalat Jum’at, tetapi karena Ibnu Zubair tidak keluar, kemudian mereka shalat sendiri-sendiri, tanpa dipimpin oleh Ibnu
Zubair.
Hadits ini berderajat shahih.
1.6.2. Hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah yang diriwayatkan dari jalan Ibnu Juraij mererangkan bahwa tatkala hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, Ibnu Zubair melaksanakan shalat ‘Id pada pagi hari, setelah itu beliau tidak sha-
lat Jum’at dan tidak pula Dhuhur hingga datang waktu shalat ‘Ashar.
Hadits ini bermartabat shahih.
1.6.3. Hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah yang diriwayatkan dari jalan Manshur men-jelaskan bahwa pada hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, Ibnu Zubair shalat ‘Id, kemudian tidak lagi shalat Jum’at akan tetapi mengganti dengan
shalat Dhuhur.
Hadits ini berkedudukan sebagai hadits dla'if.
1.7. Hadits ‘Umar bin ‘Aziz menegaskan, bahwa pada masa Nabi saw. pernah ter-
jadi hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Setelah shalat ‘Id Rasulullah saw.
memberi rukhshah shalat Jum’at bagi penduduk ‘Aliyah yang sudah shalat ‘Id.
Hadits ini adalah hadits maudlu’ .
1.8. Hadits Abu ‘Ubaid menerangkan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan mengizinkan penduduk ‘Aliyah untuk meninggalkan shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id. Te-
tapi apabila mereka berkehendak untuk shalat Jum’at juga di perkenankan.
Hadits ini berderajat shahih.
Berdasarkan hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id tersebut, dapat diketahui bahwa hadits-hadits itu ada yang shahih , hasan, dla’if dan Maudlu’.
Mengenai hadits Abu Hurairah, hadits Zaid bin Arqam, hadits Ibnu ‘Umar serta hadits Nu’man bin Basyir semuanya dapat dijadikan hujjah dalam meme-cahkan masalah ini, karena hadits Abu Hurairah, hadits Zaid bin Arqam, hadits Ibnu ‘Umar bermartabat hasan lighairihi dan hadits Nu’man bin Basyir Bermar-
tabat shahih, serta semuanya marfu' tashrihan kepada Nabi saw.
Wallahu A’lam.
Selanjutnya tentang hadits Wahb bin Kaisan dan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah no.2.6.1. dan 2.6.2. meskipun hadits Wahb bin kaisan berderajat hasan serta hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah berderajat shahih, ketiga hadits ini tidak disandarkan kepada Rasulullah saw. tapi hanya disandarkan kepada shahabat Nabi saja. Berdasarkan Ilmu Mushthalah Hadits, hadits seperti ini dihukumi sesebagai hadits
mauquf . Walaupun hadits ini mauquf, akan tetapi dihukumi marfu' hukman . ‘Ulama menamakan hadits seperti ini sebagai hadits مَوْقُوْفٌ لَفْظًا مَرْفُوْعٌ حُكْمًا (mauquf pada lafal, tetapi hukumnya marfu’).
Ketiga hadits itu dihukumi مَوْقُوْفٌ لَفْظًا مَرْفُوْعٌ حُكْمًا , karena secara dhahir me-
rupakan perbuatan shahabat yaitu Ibnu Zubair, tetapi sebenarnya perbuatan ter-sebut sesuai dengan sabda Rasulullah yang telah dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Zaid bin Arqam dan hadits Ibnu ‘Umar, yaitu Rasulullah saw. memberi rukhshah shalat Jum’at bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id dan tidak memerintahkan untuk mengganti dengan shalat Dhuhur. Hanya saja Rasulullah saw. sebagai imam akan menegakkan shalat Jum’at.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa ketiga hadits itu dapat di-jadikan landasan dalam penyelesaian masalah ini, meskipun hanya merupakan per-buatan shahabat saja. Sebab dalam urusan ibadah, pasti datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, sehingga mustahil shahabat akan berijtihad membuat aturan sendiri. ‘Ulama hadits juga memberikan penjelasan bahwa hadits marfu’ hukman dapat di-jadikan pegangan dalam memecahkan masalah-masalah. Wallahu A’lam.
Adapun hadits Abu ‘Ubaid, meskipun berderajat shahih, tidak bisa dijadi-kan hujjah dalam masalah ini, dengan alasan:
Pertama: Hadits Abu ‘Ubaid tersebut mauquf pada seorang shahabat, ‘Utsman bin ‘Affan.
Kedua: Ditinjau dari segi matannya, bahwa yang mengizinkan penduduk ‘Aliyah untuk meninggalkan shalat Jum’at itu adalah ‘Utsman bin ‘Affan. Sepanjang pene-litian penulis, tidak terdapat hadits shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw., bahwa beliau mengizinkan atau memberi rukhshah shalat Jum’at sesudah
shalat ‘Id hanya kepada penduduk ‘Aliyah saja. Jadi, perkataan ‘Utsman bin ‘Affan tersebut tidak ada contoh dari Nabi saw.. Mengenai masalah ini Al-Bajie menyata-kan:
000وَلَمْ يَبْلُغْنِيْ أَنَّ أَحَدًا أَذِنَ لأَهْلِ الْعَوَالِى غَيْرَ عُثْمَانَ0
Artinya:
“…dan belum sampai kepadaku bahwa (ada) seseorang yang mengizinkan penduduk ‘Awalie selain ‘Utsman.”

Berdasarkan keterangan ini jelaslah bahwa hadits Abu ‘Ubaid itu tidak dapat di-jadikan dalil. Karena melihat hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas, haditsZaid bin Arqam dan hadits Ibnu ‘Umar yang marfu’ kepada Nadi saw. serta berderajat Hasan Lighairihi, rukhshah tersebut berlaku bagi semua muslimin yang sudah shalat Id. Wallahu A’lam.
Kemudian yang terakhir adalah hadits dla’if, yaitu hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah no.1.6.3, serta hadits maudlu’ yaitu hadits ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Tentang hadits dla’if dan maudlu’ ini, sudah tidak perlu diperbincangkan lagi, karena sudah merupakan kesepakatan ‘Ulama, bahwa hadits dla’if dan maudlu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama, terutama yang bersangkutan dengan urusan ibadah. Wallahu A’lam.
Dari keterangan-keterangan yang telah penulis uraikan di atas, dapat di-ketahui bahwa di antara hadits-hadits tersebut, yang dapat dijadikan landasan dalam soal shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha) adalah, hadits Abu Hurairah, hadits Zaid bin Arqam, hadits Ibnu ‘Umar, hadits Nu’man bin Basyir, hadits Wahb bin Kaisan dan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah no.1.6.1 dan 1.6.2, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha hukumnya rukhshah bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id, yaitu mereka boleh meninggal-kannya tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.
2). Muslimin yang belum shalat ‘Id berkewajiban menunaikan shalat Jum’at.
3). Imam rawatib disunnahkan untuk menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id.

2. Analisa Pendapat Fuqaha'
Perbedaan pendapat di kalangan Fuqaha’ tentang hukum dan teknis pelak-sanaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), secara garis besar yang telah penulis dapatkan dari beberapa kitab ada dua pen-dapat, yaitu wajib dan tidak wajib. Fuqaha’ menguraikan dua pendapat ini ada
yang secara mutlak dan ada yang muqayyad . Mereka mempunyai alasan atau
argumentasi untuk mendukung pendapatnya. Ada yang mengambil dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, ada juga yang hanya berdasarkan hadits-hadits saja. Dari dua pendapat ini, penulis akan menganalisisnya satu persatu kemudian mengambil satu kesimpulan yang obyektif yang sesuai dengan nash dari Rasulullah Saw. tentang shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Sebab dengan cara yang demikian, Insya Allah permasalahan ini akan menjadi jelas bagi kaum muslimin dalam menentukan hukumnya dan menghindarkan mereka dari menentukan hukum secara taqlid buta. Berikut ini analisa tiap-tiap pendapat:

2.1. Analisa Pendapat yang Mengatakan Bahwa Shalat Jum’at Bertepatan dengan Hari ‘Id Hukumnya Wajib

2.1.1. Analisa Pendapat Pertama
Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Maliki, Asy-Syafi’ie (merupakan qaul jadid beliau) dan Ibnu Hazm. Asy-Syafi’ie berpendapat wajib shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id, berdasarkan ayat 9 surat Al-Jumu’ah dan hadits-hadits Rasulullah Saw. yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Beliau mengambil pengertian bahwa ayat dan hadits-hadist itu ber-sifat umum, apakah hari Jum’at tersebut bertepatan dengan hari ‘Id, atau pada hari-hari Jum’at biasa, shalat Jum’at tetap wajib dilakukan.
Pendapat Asy-Syafi’ie di atas, bahwa ayat 9 surat Al-Jumu’ah dan hadits-hadits Rasulullah saw. itu bersifat umum, memang dapat diterima. Na-
mun Al-Kandahlawie menyatakan إلاَّ مَا خَصَّ مِنْ دَلِيْلٍ (kecuali apabila ter-
dapat dalil yang mengkhususkannya). Jadi menurut pernyataan Al-Kandahlawie ini, apabila ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat 9 surat Al-Jumu’ah serta hadits-hadits itu, maka hukum shalat Jum’at berubah menurut dalil yang menyertainya.
Dari hasil pengkajian penulis, penulis mendapatkan beberapa hadits yang menjelaskan tentang shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id. Sebagai-mana telah penulis kemukakan pada sub bab pertama dalam bab ini, bahwa hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Zaid bin Arqam, hadits Ibnu ‘Umar, hadits Nu’man bin Basyir, hadits Wahb bin Kaisan dan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah no.1.6.1 dan 1.6.2, yang kesemuanya menunjukkan tentang rukhshah shalat Jum’at bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur. Hanya saja, imam rowatib disukai untuk menegakkan shalat Jum’at, meskipun sudah shalat ‘Id. Dengan demikian ayat 9 surat Al Jumu’ah serta hadits-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at sudah ditakhshis (dikhususkan) dengan hadits-hadits itu.
Pentakhshishan di atas diperkenankan oleh mayoritas ‘Ulama Ushul
Yang mereka membuat kaidah تَخْصِيْصُ الْكِتَابِ بِالسُّنَّةِ (mengkhususkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan As-Sunnah), dan تَخْصِيْصُ السُّنَّةِ بِالسُّنَّةِ (meng-
khususkan As-Sunnah dengan As-Sunnah yang lain).
Adapun perkataan Ibnu Hazm bahwa hadits-hadits yang menyelisihi
wajibnya shalat Jum’at itu tidak benar, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak kuat, yaitu Israil bin Yunus dan ‘Abdul Hamid bin Ja’far, maka menurut penulis alasan Ibnu Hazm ini tidak dapat diterima, karena penulis mendapatkan bahwa Israil bin Yunus adalah rawi yang dipakai oleh jama’ah, serta kebanyakan ‘Ulama seperti Ahmad bin Hambal, Abu Hatim, Abu Daud,
Al-‘Ajalie, Ibnu Sa’ad dan yang lainnya menta’dil (memuji) dia . Begitu juga dengan ‘Abdul Hamid bin Ja’far . Oleh karena itu, riwayat Israil dan
dan ‘Abdul Hamid dapat diterima. Wallahu A’lam. Selain itu, sebagaimana telah penulis uraikan di muka, bahwa penulis juga mendapatkan hadits-hadits lain yang dapat dijadikan hujjah.
Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, menurut hemat penulis, pendapat yang mengatakan wajib shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id sudah gugur, karena dalil yang mereka utarakan sudah di-takhshis dengan hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Zaid bin Arqam, hadits Ibnu ‘Umar, hadits Nu’man bin Basyir, hadits Wahb bin Kaisan dan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah no.1.6.1 dan1.6.2, yang menunjuk-kan bahwa apabila shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, maka shalat Jum’at hukumnya rukhshah bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur, hanya saja imam rowatib disukai untuk menegakkannya meskipun sudah shalat ‘Id. Wallahu A’lam.

2.1.2. Analisa Pendapat Kedua
Pendapat ini menegaskan, apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, maka para pemukim (yang penulis maksudkan dalam makalah ini adalah orang-orang yang tinggal di Madinah yang mana shalat Jum’at ditegakkan di tempat tesebut) mereka wajib shalat Jum’at, meskipun sudah shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’ie (sebagai qaul qadim beliau) dan An-Nawawie. Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.). Mereka mengambil pengertian berdasarkan hadits Abu ‘Ubaid (hlm.49, no.2.8.) dan hadits ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (hlm.45, no.2.7) bahwa rukhshah shalat Jum’at yang bertepa-tan dengan hari ‘Id sudah dikhususkan bagi penduduk ‘Aliyah yang datang ke kota hanya untuk menunaikan shalat Jum’at. Sedang bagi para pemukim
tetap wajib shalat Jum’at karena sabda Nabi Saw.وَ إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ .
Mengenai pendapat ini--Wallahu A’lam--menurut penulis tidak dapat diterima, karena hadits Abu ‘Ubaid dan hadits ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang mereka gunakan untuk menerangkan hadits Abu Hurairah itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tentang hadits Abu ‘Ubaid, meskipun berkedudukan sebagai hadits shahih, hadits ini mauquf tidak sampai kepada Rasulullah saw., serta matan hadits ini menyelisihi hadits marfu’, yaitu hadits Zaid bin Arqam, hadits Ibnu ‘Abbas dan hadits Ibnu ‘Umar, yang menerangkan bahwa rukhshah shalat Jum’at itu bersifat umum bagi semua muslimin yang sudah shalat ‘Id, entah pemukim maupun musafir serta tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur. Kemudian tentang hadits ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, hadits ini mursal serta dalam sanadnya ter-dapat rawi Kadzdzab yaitu Ibrahim bin Muhammad.
2.1.3. Analisa Pendapat Ketiga
Pendapat ini menetapkan wajibnya imam rawatib dan tiga orang dari kalangan makmum untuk menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Hadie dan sekelompok ahli Fiqih yang lain. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1), bahwa setelah Rasulullah saw. memberi rukhshah shalat Jum’at
bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id, beliau bersabda: إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ . Menurut
Ahmad bin Hanbal, lafal tersebut menunjukkan wajibnya shalat Jum’at bagi imam rawatib meskipun sudah shalat ‘Id. Sedang menurut Al-Hadie dan Fuqaha’ yang lain, bahwa lafal tersebut berlaku bagi imam rawatib dan tiga orang dari kalangan makmum meskipun sudah shalat ‘Id. Jadi, apabila ada tiga makmum shalat Jum’at bersama imam rawatib, maka muslimin yang lain sudah terlepas dari kewajiban melakukan shalat Jum’at.
Mengenai pendapat ini--Wallahu A’lam--menurut pandangan penu-lis, pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
Pertama: Dhahir lafal إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ itu merupakan kalimat berita, yang memberi
beri pengertian bahwa Rasulullah saw. akan menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id, bukan merupakan suatu kewajiban. Dalam hal ini, As-Sayyid Sabiq menjelaskan,
وَ يُسْتَحَبُّ لِلإمَامِ أَنْ يُقِيْمَ الْجُمُعَةَ لِيَشْهَدَهَا مَنْ شَاءَ شُهُوْدَهَا وَ مَنْ لَمْ يَشْهَدِ الْعِيْدَ لِقَوْلِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ0
Artinya:
“Disukai bagi imam rawatib untuk menegakkan shalat Jum’at, supaya menghadirinya orang yang hendak menghadiri dan orang yang belum meng-
hadiri (shalat ‘Id), karena sabda Nabi saw. إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ .”

Perkataan As-Sayyid Sabiq di atas لِلإمَامِ (bagi imam rawatib) bukan
لِلإمَامِ وَثَلاَثَةٍ مَعَهُ (bagi imam rawatib beserta tiga orang bersamanya), itu pun
bukan merupakan kewajiban tetapi hanya mustahab saja.
Kedua: Penulis tidak mendapatkan keterangan dari Rasulullah saw. yang sesuai dengan pendapat ini. Adapun hadits Nu’man bin Basyir (hlm.30-31, no.2.4.), bahwa apabila shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha), Rasulullah saw. membaca surat “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan “Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah” pada dua shalat tersebut, penulis tidak mendapatkan keterangan bahwa hadits ini menunjukkan, imam rawatib dan sebagian muslimin wajib shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id. Tetapi memberi pengertian bahwa meskipun sudah shalat ‘Id, beliau juga menunaikan shalat Jum’at.
Ketiga: Kalaulah shalat Jum’at pada hari ‘Id hukumnya wajib bagi imam rawatib dan tiga orang dari kalangan makmum, berarti hukum shalat Jum’at
tersebut bukan wajib, akan tetapi Fardhu Kifayah . Mengenai masalah ini,
Asy-Syaukanie menuturkan,
لَوْ كَانِتِ الْجُمُعَةُ وَاجِبَةً عَلَى الْبَعْضِ لَكَانَتْ فَرضَ الْكِفَايَةِ وَ هُوَ خِلاَفُ مَعْنَى الرُّخْصَةِ0
Artinya:
“Kalaulah shalat Jum’at itu wajib atas sebagian (muslimin), sugguh dia itu (hukumnya) fardhu kifayah, sedang dia itu menyelisihi makna rukhshah.”

Kemudian siapakah tiga orang itu? Dan siapakah yang berhaq menentukan-nya?
Keempat: Kalaulah imam rawatib diwajibkan shalat Jum’at sesudah shalat ‘Id, dengan alasan kalau tidak menegakkan shalat Jum’at, muslimin tidak ada yang memimpinnya, maka alasan ini tidak dapat dibenarkan, karena seandainya ada muslimin yang hendak shalat Jum’at, sedang imam rawatib tidak hadir, maka dapat mengambil pengganti imam dari kalangan mereka yang paling pahami tentang Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw., bahwa apabila beliau tidak hadir dalam shalat jama’ah karena suatu urusan, maka salah seorang di antara mereka menjadi imam sebagai pengganti Rasulullah saw..
Bertolak dari keterangan-keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka tertolaklah pendapat yang menyatakan bahwa imam rawatib dan tiga orang dari kalangan makmum meskipun sudah shalat ‘Id wajib me-negakkan shalat Jum’at. Wallahu A’lam.

2.1.4. Analisa Pendapat Keempat
Mengenai masalah ini, Abu Thayyib Abadie dan Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’anie berpendapat bahwa muslimin yang belum shalat ‘Id berkewajiban menunaikan shalat Jum’at. Dalil yang mereka utarakan adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.) bahwa rukhshah yang terdapat pada hadits itu bersifat khusus bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id, dengan
sabdanya أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ (shalat ‘Id mencukupinya dari shalat Jum’at. Se-
dang muslimin yang belum shalat ‘Id masih berkewajiban shalat Jum’at.
Menurut hemat penulis, pendapat ini dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
Pertama: Dalil yang mereka jadikan landasan dalam berpikir, yaitu hadits Abu Hurairah tersebut berderajat sebagai hadits hasan lighairihi. Sedang menurut Ilmu Mushthalah Hadits, hadits hasan lighairihi dapat dijadikan hujjah dalam mememecahkan persoalan.
Kedua: Kalau muslimin yang belum shalat ‘Id juga mendapat rukhshah se-bagaimana muslimin yang sudah shalat ‘Id, berarti mereka hanya shalat empat kali sehari semalam, padahal Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya shalat lima kali sehari semalam. Wallahu A’lam.

2.2. Analisa Pendapat yang Mengatakan Bahwa Shalat Jum’at Bertepatan dengan Hari ‘Id Hukumnya Tidak Wajib.
2.2.1. Analisa Pendapat Pertama
Pendapat pertama berkenaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id pada bagian ini, menurut ‘Atha’ dan Asy-Syaukanie, bahwa Shalat Jum’at tidak wajib bagi semua muslimin dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur. Dalil yang mereka jadikan rujukan adalah hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.) dan hadits Zaid bin Arqam (hlm.24-25, no.2.2.). Mereka mengambil pemahaman bahwa dua hadits itu menunjukkan tentang rukhshah shalat Jum’at bagi semua muslimin yang sudah shalat ‘Id maupun
yang belum shalat, karena dalam dua hadits itu terdapat lafal مَنْ شَاءَ (siapa
yang berkehendak) tanpa terkecualikan. Menurut penulis, pendapat mereka
memang dapat dibenarkan, kalau mereka berdalil bahwa lafal مَنْ شَاءَ itu untuk semua muslimin, karena lafal مَنْ bersifat umum, yaitu siapa saja. Namun perlu diketahui, bahwa lafal مَنْ شَاءَ itu merupakan keterangan dari ka-
limat rukhshah sebelumnya, yaitu Rasulullah saw. memberi rukhshah kepada muslimin yang hendak meninggal-kan shalat Jum’at, tetapi jika ingin shalat juga diperkenankan. Sedang rukhshah itu sudah dikhususkan bagi muslimin
yang sudah shalat‘Id, karena sabda Rasulullah saw.أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ (shalat ‘Id
telah mencukupinya dari shalat Jum’at), sehingga dapat dipahami bahwa muslimin yang belum shalat ‘Id tidak mendapatkan rukhshah shalat Jum’at,
artinya mereka masih berkewajiban shalat Jum’at.
Berdasarkan keterangan yang telah penulis ungkapkan di muka, maka pendapat ini tidak dapat dibenarkan, karena dua hadits itu, yaitu hadits Abu Hurairah dan hadits Zaid bin Arqam tidak memberi pengertian seperti yang dipahami oleh ‘Atha’ dan Asy-syaukanie, akan tetapi memberi pengertian bahwa muslimin yang sudah shalat ‘Id mendapat rukhshah shalat Jum’at, yaitu mereka boleh meninggalkannya dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur. Hanya saja imam rawatib disukai menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id, supaya memimpin muslimin yang hendak shalat Jum’at dan muslimin yang belum shalat ‘Id pada pagi hari. Wallahu A’lam.

2.2.2. Analisa Pendapat Kedua
Pendapat ini menegaskan tidak wajib shalat Jum’at bagi musafir (pendatang) sesudah shalat ‘Id. Yang dimaksud musafir (pendatang) di zaman Rasulullah saw., serta yang berkaitan dengan makalah ini adalah penduduk pinggiran Madinah yang datang ke Madinah untuk menunaikan shalat Jum’at, sebab shalat Jum’at tidak ditegakkan di kampung mereka.
‘Ulama yang berpendapat shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir sesudah shalat ‘Id adalah Asy-Syafi’ie,(merupakan qaul qadim beliau) An-Nawawie, dan Ar-Rafi’ie. Mereka berhujjah dengan hadits Abu Hurairah (hlm.15-16, no.2.1.) bahwa berlakunya rukhshah itu hanya bagi penduduk ‘Aliyah saja. Pemahaman ini berdasarkan hadits ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (hlm.45, no.2.7.) dan hadits Abu ‘Ubaid (hlm.49, no.2.8.).
Untuk menanggapi pendapat ini--Wallahu A’lam--penulis mengata-kan bahwa pendapat ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan, bahwa hadits Abu Hurairah tersebut tidak dapat dipahamii dengan melihat hadits ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan hadits Abu ‘Ubaid, sebab hadits ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz berderajat dla’if karena sanadnya mursal serta terdapat rawi kadzdzab
yaitu Ibrahim bin Muhammad. Kemudian hadits Abu ‘Ubaid meskipun shahih, hadits ini mauquf serta matannya menyelisihi hadits-hadits marfu’ yaitu hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Zaid bin Arqam, dan hadits Ibnu ‘Umar, yang memberi pengertian bahwa rukhshah shalat Jum’at pada hari ‘Id bersifat umum bagi semua muslimin yang sudah shalat ‘Id, bukan hanya bagi penduduk ‘Aliyah saja. Walhasil, penulis tidak sependapat dengan pen-
dapat ini, karena tidak mempunyai sandaran hujjah yang kuat.

2.2.3. Analisa Pendapat Ketiga
Pendapat ketiga ini, tidak wajib shalat Jum’at dan mengganti dengan
shalat Dhuhur sesudah shalat ‘Id. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal dan
Al-Khuthabie. Mereka berhujjah dengan hadits Abu Hurairah (hlm.15-16,
no.2.1.) bahwa lafal فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ “maka barang siapa berkehendak shalat ‘Id
mencukupinya”, itu mencukupi dari mendatangi shalat Jum’at, dan masih mendapat beban shalat Dhuhur.
Pendapat ini disanggah oleh Asy-Syaukanie, dengan perkataannya:
000 بِأَنَّ الَّذِىْ إِفْتَرَضَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ فِىْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ هُوَ صَلاَةَ الْجُمُعَةِ فَإِيْجَابُ
صَلاَةُ الظُّهْرِ عَلَى مَنْ تَرَكَهَا لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ مُحْتَاجٌ إِلَى دَلِيْلٍ وَ لاَ دَلِيْلَ يَصْلُحُ لِلتَّمَسُّكِ بِه
عَلَى ذَالِكَ فِيْمَا أَعْلَمُ0

Artinya:
“…Bahwasannya barang yang Allah Ta’ala mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, maka mewajibkan shalat Dhuhur atas orang yang meninggalkan shalat Jum’at karena suatu alasan atau tanpa alasan itu memerlukan dalil, padahal tidak ada dalil yang sesuai untuk menjadi pegangan atas (pendapat) yang demikian itu, menurut (ilmu) yang saya (Asy-Syaukanie) ketahui.”

Maksud perkataan Asy-Syaukanie di atas, bahwa pada hari Jum’at ti-dak ada shalat Dhuhur, adanya adalah shalat Jum’at. Bagi muslimin yang meninggalkan shalat Jum’at, apakah karena udzur syar’i atau tanpa udzur apapun, kemudian menggantikannya dengan shalat Dhuhur, maka tidak ada
dalil yang membenarkan pendapat ini.
Dilihat dari arah lain, apabila hari Jum’at ada shalat Dhuhur, berarti dalam sehari semalam terdapat enam kali shalat. Padahal Allah Ta’ala me-mewajibkan lima kali sehari semalam.
Berdasarkan perincian yang telah dikemukakan di atas, penulis menyatakan bahwa pendapat yang mengatakan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id hukumnya tidak wajib, dan mengganti dengan shalat Dhuhur tidak dapat dijadikan sebagai pegangan yang kuat, karena:
Pertama: Hadits Abu Hurairah yang mereka jadikan dalil, yaitu lafal
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأهُ itu tidak memberi pengertian bahwa muslimin tidak wajib sha-
lat Jum’at dan harus mengganti dengan shalat Dhuhur, akan tetapi lafal tersebut menerangkan tentang rukhshah shalat Jum’at bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id, yaitu mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan tidak ada keterangan yang menyatakan mengganti dengan shalat Dhuhur.
Kedua: Hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah (hlm.43, no.2.6.3.) tidak dapat menguatkan pendapat ini, karena derajatnya dla’if.
Ketiga: Tidak didapatkan satu keterangan pun dari ayat-ayat Al-Qur’an serta hadits-hadits shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw. bahwa pada hari Jum’at ada shalat Dhuhur. Wallahu A’lam.

2.2.4. Analisa Pendapat Keempat
Ini merupakan pendapat keempat mengenai shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, yaitu muslimin tidak wajib shalat Jum’at dan tanpa menggantikan dengan shalat Dhuhur, kecuali imam rawatib bersama tiga orang dari kalangan makmum masih berkewajiban shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id. Pendapat inilah yang dianut oleh Al-Hadie dan sekelompok ahli Fiqih yang lain.
Adapun tentang analisa pendapat ini, penulis telah mengupasnya pa-da analisa sub bab kedua bagian pertama, hlm.83-85, no.2.1.4. pada bab ini. Sebab pendapat ini secara tidak langsung sudah tersirat pada bagian tersebut. Mengulang secara ringkas saja bahwa pendapat ini tidak dapat dijadikan rujukan dalam masalah ini. Adapun alasannya, silahkan lihat kembali alamat yang telah penulis sebutkan di atas. Wallahu A’lam.

2.2.4. Analisa Pendapat Kelima
Yang terakhir dalam masalah ini merupakan pendapat Ibnu Zubair, ‘Atha’, Asy-Sya’bie, An-Nakha’ie dan Al-Auza’ie. Ada juga yang mengata-kan bahwa ini pendapat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbas. Pendapat ini menyatakan bahwa shalat Jum’at hukumnya tidak wajib dan tidak pula mengganti dengan shalat Dhuhur sesudah shalat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah, hadits Zaid bin Arqam dan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah no.2.6.1. & no.2.6.2.
Dalam pengambilan dalil, mereka memahami dhahir hadits Abu Hurairah dan hadits Zaid bin Arqam, bahwa Rasulullah saw. memberi rukhsah shalat Jum’at dan tidak memerintahkan shalat Dhuhur. Keterangan ini sabagaimana yang telah diterangkan oleh Muhammad bin Isma’il Ash-
Shan’anie.
Mengenai pendapat ini--Wallahu A’lam--penulis mengatakan bahwa pendapat ini mendekati kebenaran, karena dalil yang mereka jadikan lan-dasan dapat dijamin kebenarannya, serta pemahaman mereka terhadap hadits-hadits yang dijadikan rujukan itu dapat dipertanggungjawabkan. Adapun tentang hadits ‘Atha’ no.2.6.2., bahwa Ibnu Zubair hanya shalat satu kali di pagi hari, kemudian tidak shalat lagi hingga datang waktu shalat ‘Ashar, dapat dipahamii bahwa Ibnu Zubair tidak shalat Jum’at dan tidak pula Dhuhur. Sebab perlu diketahui bahwa Ibnu Zubair adalah imam pada zaman itu, dan kebiasaan para imam pada zaman dahulu selalu shalat berjama’ah di masjid untuk memimpin makmumnya. Serta sebagaimana disebutkan dalam hadits Wahb bin Kaisan (hlm.32, no.2.5.) dan hadits ‘Atha’ bin Abi Rabah (hlm.37, no.2.6.1.), bahwa tidak keluarnya Ibnu Zubair pada siang hari, Ibnu ‘Abbas menanggapinya, perbuatan Ibnu Zubair tersebut sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.. Sunnah tersebut sebagai-mana diuraikan dalam hadits Abu Hurairah, hadits Ibnu ‘Abbas, hadits Zaid bin Arqam dan hadits Ibnu ‘Umar, yang menjelaskan bahwa apabila shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, Rasulullah saw. memberi rukhshah shalat Jum’at bagi muslimin yang sudah shalat ’Id yaitu mereka boleh me-ninggalkannya, meskipun berkedudukan sebagai imam rawatib dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.
Berkenaan dengan perbuatan Ibnu Zubair tersebut Asy-Syaukanie me-nuturkan,
وَعَدَمُ اْلإِنْكَارِ عَلَيْهِ مِنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ0
Artinya:
Tiada seorang pun dari kalangan shahabat yang mengingkari perbuatan Ibnu
Zubair tersebut.

Sebagaimana penulis sebutkan di atas, bahwa rukhshah shalat Jum’at tersebut bersifat umum bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id,. Namun dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, meskipun Rasulullah saw. sudah shalat ‘Id,
beliau akan menegakkan shalat Jum’at dengan sabdanya إِنَّا مُجَمِّعُوْنَ . Untuk
menanggapi masalah ini--Wallahu A’lam--penulis condong kepada penda-pat As-Sayyid Sabiq, bahwa lafal tersebut tidak menunjukkan wajibnya imam rawatib untuk menegakkan shalat Jum’at, tetapi hanya mustahab (disukai) saja. Adapun pendapat As-Sayyid Sabiq tersebut silakan lihat kembali yang telah penulis cantumkan pada hlm. 84.

Berdasarkan analisis pendapat Fuqaha’ di atas, dapat diketahui bahwa pendapat yang dapat dijadikan rujukan dalam beramal serta yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. adalah pendapat no.2.1.4. pada hlm. ,dan pendapat no.2.2.5. pada hlm. ,yang dapat dirangkumkan sebagai berikut:
1). Shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha hukum-nya tidak wajib bagi muslimin yang sudah shalat ‘Id, karena Rasulullah saw. memberi rukhshah kepada mereka dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.
2). Muslimin yang belum shalat ‘Id berkewajiban menunaikan shalat Jum’at.
3). Imam rawatib disunnahkan untuk menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id. Wallahu A’lam bis-Showwab.

B A B V
P E N U T U P

1. Kesimpulan
Setelah mengadakan penelitian, mengumpulkan data-data, menelaah serta menganalisa hukum dan teknis pelaksanaan shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha yang telah ditampilkan dalam hadits-hadits serta dituturkan oleh Ulama’, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.1. Shalat Jum’at merupakan satu kewajiban bagi setiap orang beriman.
1.2. Apabila shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, maka muslimin yang sudah shalat ‘Id mendapat rukhsah shalat Jum’at, yaitu mereka boleh meninggalkannya dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur.
1.3. Muslimin yang belum shalat ‘Id pada pagi hari wajib menunaikan shalat Jum’at.
1.4. Imam rawatib mustahab ( disukai) untuk menegakkan shalat Jum’at meski-pun sudah shalat ‘Id pada pagi hari. Hal ini dapat bermanfaat supaya me-mimpin muslimin yang hendak shalat Jum’at dan yang belum shalat ‘Id.

2. Saran-saran
Dari beberapa kesimpulan yang penulis kemukakan di atas, penulis dapat mengajukan beberapa saran, yaitu
2.1. Apabila hari Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id, entah ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha, muslimin yang sudah shalat ‘Id pada pagi hari boleh me-ninggalkan shalat Jum’at dan tanpa mengganti dengan shalat Dhuhur. Adapun Muslimin yang belum shalat ‘Id pada pagi hari, mereka tetap mengerjakan shalat Jum’at.
2.2. Bagi imam rawatib, hendaknya menegakkan shalat Jum’at meskipun sudah shalat ‘Id, supaya memimpin muslimin yang hendak shalat Jum’at dan muslimin yang belum shalat ‘Id di pagi hari.
2.3. Penulis sangat berharap, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah hukum shalat Jum’at bertepatan dengan hari ‘Id ini, tidak menyebabkan pertikaian di antara muslimin. Bagi muslimin yang kebetulan berbeda pendapat da-lam masalah ini, hendaklah tetap menghargai pendapat yang lain, karena setiap orang mempunyai hujjah dalam berijtihad yang pantas dihargai. Adapun pendapat penulis di atas, tidak merupakan satu kebenaran yang mutlak yang harus diikuti, tetapi hanya merupakan ijtihad yang diper-kenankan untuk diterima atau ditolak.

3. Kata Penutup
Alhamdulillah, merupakan kebahagiaan yang tak terkirakan akhirnya dengan pertolongan Allah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Puji dan syukur yang tiada terkira penulis panjatkan kepada Allah karena hanya dengan rahmat dan inayah-Nya makalah ini bisa sampai pada tahap akhir penulisan.
Penulis menyadari bahwa karya yang sederhana ini masih jauh dari kesempurnaan, walaupun penulis sudah mengusahakan sedemikian rupa. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati demi perbaikan makalah ini pada edisi selanjutnya.
Akhirnya, hanya kepada Allahlah penulis sampaikan doa dan harapan semoga Allah memberi manfaat bagi penulis secara pribadi dan pembaca pada umumnya. Apabila di dalam makalah ini terdapat kebenaran, maka semua itu datangnya hanya dari Allah semata. Adapun jika terdapat kesalahan,maka itu tidak lain hanyalah datang dari kekhilafan penulis sendiri.
وَ بِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَ الْهِدَايَةُ وَ سَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ0






B I B L I O G R A F I

Al-Quranul Karim.

Kelompok Kitab Tafsir

1. Ath-Thaba’ Thaba’i, Muhammad Husain Ath-Thaba’ Thaba’i, Al-‘Allamah As-Sayyid, Al-Mizan fie Tafsiril Qur’an, Cet.III, Tanpa nama penerbit, Tanpa nama kota, 1393 H /1973 M.

2. Az-Zuhailie, Wahbatuz Zuhailie, Al-Ustadz Ad-Duktur, Tafsirul Munir fil ’Aqidati wasy Syari’ati wal Manhaj, Cet.I., Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1411 H / 1991M,

Kelompok Kitab Hadits

3. ‘Abdurrazaq bin Hammam, Abu Bakar As-Shan’anie, Al-Hafidh, Al-Mushannaf, Cet.I, Majlis ‘Ilmi, Tanpa nama kota, 1392 H / 1972 M.

4. Abu Daud, Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajistanie, Al-Hafidh, As-Sunan, Cet.I, Darul Fikr, Tanpa nama kota, 1410 H / 1990 M.

5. Ad-Darimie, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Fadl bin Bahran, As-Sunan, Daru Ihya’is Sunnah An-Nabawiyyah, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

6. Ahmad bin Hanbal, ‘Abu ‘Abdillah Asy-Syaibanie, Al-Musnad, Al-Maktabul Islamie, Darus Shadir, Beirut, Tanpa tahun.

7. Al-Baihaqie, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, As-Sunanul Kubra, Darus Shadir, Beirut, 1347 H.

8. Al-Bukharie, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah, Al-Jami’us Shahih, Darul Fikr, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

9. Al-Hakim, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah An-Naisaburie, Al-Hafidh, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, Maktabul Mathbu’atul Islamiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun.

10. An-Nasa’ie, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib, As-Sunan, Cet.I, Toha putra, Semarang, 1348 H / 1930 M.

11. Asy-Syafi’ie, Abu Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Musnad, Maktabah Dahlan, Indonesia, 1411 H /1990 M.
13. At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Al-Jami’us Shahih, Cet.I, Mathba’ah Mushthafa, Tanpa nama kota, 1356 H / 1937 M.

14. Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakr bin ‘Abdullah bin Muhammad Al-Kufie, Al- Mushannaf fil Ahadits wal Atsar, Cet.I, Darul Kutubil ‘Alamiyyah, Beirut, Lebanon, 1416 H / 1995 M.

15. Ibnu Hajar, Abul fadhl Ahmad bin ‘Ali Al-Asqalanie, Talhishul Habir Fie Takhriji Ahaditsi Rafi’il kabir, Cet.I, Darul Kutubil ‘Alamiyyah, Beirut, Lebanon, 1419 H / 1998 M.

16. Ibnu Huzaimah, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq As-Sulamie An-Naisaburie, As-Shahih, Cet.II, Al Maktabul Islamie, 1412 H / 1992 M.

17. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini, As-Sunan, Darul Fikr, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

18. Muslim, Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyairie An-Naisaburie, Al- Jami’us Shahih, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun.

Kelompok Kitab Syarah Hadits

19. Abu Thayyib Abadie, Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim, ‘Aunul Ma’bud, Cet.III, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1399 H / 1979M.

20. Al-‘Ainie, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad, Badruddin, ‘Umdatul Qari, Darul Ihya’ut Turatsil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun.

21. Al-Kandahlawie, Muhammad Zakariyya, Aujazul Masalik Ila Muwatha’ Malik, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1400 H /1980 M.

22. Alawi ‘Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Tanpa nama penerbit, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

23. Ibnu Hajar, Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali Al-Asqalanie, Al-Hafidh, Fathul Barie, Maktabah Salafiyyah, Darul Fikr, Lebanon, Tanpa tahun.

24. Ash-Shan’anie, Muhammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamanie, Subulus Salam, Cet.I, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1411 H /1991 M.

Kelompok Kitab Fiqih

25. ‘Abdurrahman Al-Jazairie, Al-Fiqhu ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Darul Fikr, Lebanon, 1411 H/1990 M.
26. An-Nawawie, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf, Muhyiddin, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Darul Fikr, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

27. Asy-Syafi’ie, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Cet.II, Darul Fikr, Beirut, 1403 H / 1983 M.

28. Asy-Syaukanie, Muhammad bin ‘Ali, Nailul Authar, Musthafa Al-Babil Halabie, Mesir, 1347H.

29. Ibnu Hazm, Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad Al-Qurthubie, Al-Muhalla, Darul Fikr, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

30. Ibnu Qudamah, ‘Abdullah bin Ahmad Al-Maqdisi, Al-Muqni’ Fie Fiqhis Sunnah Ahmad bin Hanbal, Maktabah Riyadhul Haditsah, Riyadh, 1400 H / 1980 M.

31. Ibnu Qudamah, ‘Abdullah bin Ahmad Al-Maqdisi, Al-Fiqhu Fie Fiqhi Imam Ahmad bin Hanbal, Maktabah At-Tahariyyah Mushthafa, Makkah Al Mukarramah, Tanpa tahun.

32. Ibnu Rusydi, Abul Walid Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubie, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasyid, Cet.X, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 1408 H/1998 M.

33. As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Darul Kutubil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun.

Kelompok Kitab Ushul Fiqih

34. Ar-Razi, Muhammad bin ‘Umar, Fakhruddin, Al-Mahshul Fie ‘Ilmi Ushulil Fiqh, Cet.I, Daru Ihya’i Kutubil ‘Arabiyah, Indonesia, Tanpa tahun.

35. Drs. Moh. Riva’i, Ushul fiqh, PT. Al Ma’arif, Bandung, Tanpa tahun.

Kelompok Kitab Rijal

36. Adz-Dzahabie, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad, Mizanul I’tidal, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun.

37. Ibnu Hajar, Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali Al -Asqalanie, Al-Hafidh, Tahdzibut Tahdzib, Cet.I, Mathba’ah Majlis Dairah Al-Ma’arif, India, 1366 H.

38. Ibnu Hajar, Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali Al-Asqalanie, Al-Hafidh, Taqribut
Tahdzib, CetI, Darul Fikr, Tanpa nama kota, 1415 H / 1995 M.

39. Ibnu Hajar, Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali Al-Asqalanie, Al-Hafidh, Lisanul Mizan, Muassasah A’lamil Mathbu’ah, Beirut, Lebanon, 1390 H / 1971 M.

Kelompok Kitab Mushthalah

40. A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, Cet.IV, CV. Diponegara, Bandung, 1990 M.

41. Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Mushthalahul Hadits, Darul Fikr, Tanpa Tahun, Tanpa nama kota.

42. Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Cet.VIII, PT. Al- Ma’arif, Bandung.

43. Dr. Subhis Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, Cet.IX, Darul ‘Ilmi Lil Malayiyan, Beirut.

44. M. Mizan Asrori & Iltizam Syamsuddin MH, Tarjamah Taisir Mushthalah Hadits, CV. Al-Ihsan, Surabaya, 1410 H / 1989 M.

Kelompok Kitab Kamus

45. Ibnu Mandhur, Lisanul ‘Arab, Cet.I, Daru Ihya’it-Turrats Al-‘Arabie, Beirut, 1412 H / 1984 M.

46. Ibnul Atsir, An-Nihayah Fie gharibil Hadits Wal Atsar, Cet.II, Darul fikr, tanpa nama kota, 1399 H / 1979 M.

47. Ibrahim Unais, Al-Mu’jamul Wasith, Cet.II, Tanpa nama penerbit, Tanpa nama kota, Tanpa tahun.

48. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.IV, Jakarta, Balai pustaka, 1993 M.

49. Louis Ma’luf, Al-Munjid Fil Lughah Wal A’lam, Darul Masyriq, Beirut, Lebanon, 1986 M.

50. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Cet.XIV, Pustaka Progresif, Surabaya, Tanpa tahun.



Kelompok Kitab Lain-lain

51. Drs. Marzuki, Metodologi Riset, BPFE, UII, Yogyakarta, 1997 M.
52. Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Metodologi Risearch, Cet.VII, Yogyakarta, Gama, 1986 M.


L A M P I R A N

Untuk mempermudah dalam mengikuti pembahasan makalah ini, penulis akan menerangkan sebagian istilah-istilah yang barangkali tidak sama dengan yang pembaca maksudkan.
1. Ilmu Mushthalah Hadits: Ilmu yang menerangkan kebiasaan-kebiasaan yang
terpakai bagi Hadits-hadits.
2. Shahabi artinya shahabat, kawan. Kalau lebih dari dua orang, dikatakan “Shahabat”. Menurut ketetapan ‘ulama Hadits, bahwa yang dikatakan Shahabi itu, ialah seorang yang bertemu dengan Nabi saw., serta beriman kepadanya dan
mati dalam keadaan beragama islam. Kalau perempuan, disebut “Shahabiah”.
3. Tabi’iy. Menurut kebanyakan Ahli Hadits, seperti Al-Hakim, Ibnu’s-Shalah, An-Nawawiy dan Al-‘Iraqy, yang disebut tabi’iy, ialah orang-orang yang menjumpai shahabat dalam keadaan Iman dan Islam, dan mati dalam keadaan islam,
baik perjumpaanya itu lama maupun sebentar.

4. Al-Hadits.
I. Ta’rif Al-Hadits yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhuru’l Muhadditsin, ialah :
مَا أُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ  قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيْرًا أَوْ نَحْوَهَا
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.”

II. Ta’rif Al-Hadits yang luas, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Muhadditsin, tidak hanya mencakup sesuatu yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad saja, tetapi juga perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’iy-pun disebut Al-Hadits. Dengan demikian Al-Hadits menurut ta’rif ini, meliputi segala berita yang marfu’, mauquf, (disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi’iy), sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Mahfudh:
إِنَّ الْحَدِيْثَ لاَ يُجْتَصُّ بِالْمَرْفُوْعِ إِلَيْهِ  بَلْ جَاءَ بِإِطْلاَقِهِ أيْضًا لِلْمَوْقُوْفِ (وَهُوَ مَا أُضِيْفَ إِلَيْ الصَّحَابِيِّ مِنْ قَوْلٍ وَنَحْوِهِ) وَالْمَقْطُوْعِ (وَهُوَ مَا أُضِيْفَ لِلتَّابِعِيِّ كَذَالِكَ)

“Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi s.a.w. saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang “mauquf” (dihubungkan dengan perkataan, dan sebagainya dari sahabat), dan apa yang “maqthu’”
(dihubungkan dengan perkataan, dan sebagainya daritabi’iy).”

5. Rawy ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamak-nya ruwah dan perbuatannya menyampaikan Hadits tersebut dinamakan me-rawy
(riwayat)kan Hadits.
6. Sanad menurut bahasa: “sandaran.”
Menurut istilah ahli hadits: Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits.
7. Matan artinya: Kekerasan, kekuatan, kesangatan.
Matan dalam Ilmu Hadits, ditujukan kepada lafazd-lafazd dan omongan yang terletak sesudah rawi dari akhir sanad.
Akhir Sanad, yakni ditempat orang yang berada di akhir sebelum Nabi saw. kalau yang bersabda itu Rasulullah; atau di tempat orang yang yang ada di penghabisan sebelum sahabat, kalau yang berkata itu sahabat. Kalau yang berkata itu Nabi, maka akhir sanadnya, ialah Shahabat. Jika yang beromong itu shahabat,
maka akhir sanadnya, ialah Tabi’i.
8. Rukhsah.
Rukhsah merupakan lawan bagi ‘Azimah . Menurut bahasa rukhsah adalah
التَّسْهِيْلُ فِيْ اْلأَمْر وَالتَّيْسِيرِ
Artinya:
”Kemudahan dalam suatu perkara.”

Sedang menurut syar’i ialah
مَا يُغَيَّرُ مِنَ اْلأَمْرِ اْلأَصْلِيِّ إِلَيْ يُسْرٍ وَ تَخْفِيْفٍ
Artinya:
“Sesuatu (hukum) yang diubah dari hukum asal menjadi mudah dan ringan.”

Adapun menurut Muhammad bin Ismail Ash-Shan’anie adalah
مَا سَهَّلَهُ لِعِبَادِهِ وَوَسَّعَهُ عِنْدَ الشِّدَّةِ مِنْ تَرْكِ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ وَإِبَاحَةِ بَعْضِ الْمُحَرَّمَاتِ
Artinya:
“Suatu (hukum) yang Allah memudahkan dan memberi kelonggaran kepada hamba-hamba-Nya pada waktu (mendapatkan) kepayahan, yaitu meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban serta membolehkan sebagian keharoman-keharoman.”

Dari definisi rukhsah menurut syar’i di atas, dapat disimpulkan bahwa rukhsah adalah suatu hukum yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memudahkan dan melonggarkan dalam menjalani dien ini tatkala mendapatkan kepayahan. Dengan kata lain, pemberian kelonggaran (izin) untuk tidak melakukan kewjiban, yang kemudian diganti dengan lainnya atau tidak diganti sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar