Rabu, 23 Maret 2011

HUKUM MEMBACAKAN SURAT YASIN ATAS MUSLIM YANG MENGHADAPI SAKARATUL MAUT

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Berkaitan dengan orang yang mengalami sakaratulmaut, penulis menjumpai dua pendapat yang bertolak belakang mengenai membacakan surat Yasin atasnya. Yang satu menganjurkan membacakannya sedangkan yang lain melarangnya.
Adapun anjuran membacakan surat Yasin atas orang yang sedang mengalami sakaratulmaut, penulis jumpai tatkala mengikuti pengajian umum di salah satu mesjid di daerah penulis. Pada pengajian tersebut penulis dapati keterangan bahwa seseorang yang hampir meninggal sebaiknya dibacakan surat Yasin di sampingnya. Selain itu, pada kenyataannya pun penulis pernah mendapati praktek membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal, yakni tatkala diajak teman mengunjungi saudara kerabatnya yang sakit parah. Salah satu anak si sakit tersebut membacakan surat Yasin atasnya.
Adapun larangan membacakannya atas orang yang sedang mengalami sakaratulmaut, penulis menjumpainya pada suatu kejadian ketika penulis dimintai untuk menjaga orang sakit yang sudah dalam keadaan kritis. Penulis diperingatkan agar tidak membacakan surat Yasin atas orang sakit tersebut.
Dari dua pendapat kontradiktif yang penulis jumpai tersebut muncullah sebuah pertanyaan “Bagaimanakah sebenarnya hukum membacakan surat Yasin atas orang yang menghadapi sakaratulmaut? Hal itulah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian masalah tersebut, yang kemudian penulis wujudkan dalam karya ilmiah yang berjudul” Hukum Membacakan Surat Yasin atas Muslim Yang Menghadapi Sakaratulmaut”.

2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, rumusan masalah yang akan penulis ajukan adalah bagaimanakah hukum membacakan surat Yasin atas muslim yang menghadapi sakaratulmaut ?


3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hukum membacakan surat Yasin atas muslim yang menghadapi sakaratulmaut.

4 Kegunaan Penelitian
4.1 Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan agama.
4.2 Untuk melengkapi perpustakaan islam khususnya dalam bidang fiqih.
4.3 menerangkan kepada masarakat masalah bacaan surat yasin atas orang yang hampir meninggal.

5 Methodologi Penelitian
5.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan termasuk penelitian literatur. Penulis tidak perlu mencari data lapangan, melainkan cukup dengan membaca, memahami, mencatat, merangkum dan menganalisis kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah membacakan surat Yasin atas muslim yang menghadapi sakaratulmaut.
5.2 Sumber Data
Data-data yang diperlukan dalam pemelitian ini terbagi menjadi dua bagian :
5.2.1 Data primer, yaitu :”Data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya” . Dengan kata lain, data primer adalah data yang diperoloeh secara langsung dari kitab asalnya, bukan merupakan nukilan dari kitab lain yang dimuat dalam kitab tersebut.
5.2.2 Data sekunder, yaitu :”Data yang tidak diusahakan sendiri oleh peneliti. Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri” . Dengan kata lain, data sekunder ialah data yang diperoleh tidak langsung dari sumber asalnya, melainkan diambil dari kitab-kitab yang pengarangnya menukil data tersebut dari kitab-kitab asalnya atau orang lain
5.3 Teknik Penganalisaan Data
Teknik penganalisaan data yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah :
5.3.1 Analisis induktif, yaitu analisis dengan menarik kesimpulan umum dari data-data yang bersifat khusus.
5.3.2 Analisis deduktif, yaitu analisis dengan menarik kesimpulan khusus dari data yang bersifat umum.

6 Sisitematika Penulisan
Dalam makalah ini, laporan hasil penelitian penulis sajikan sesederhana mungkin agar memudahkan para pembaca dalam memahaminya dengan urutan sebagai berikut:
Pada bagian pertama, dikemukakan judul makalah, halaman pengesahan dan kata pengantar serta halaman daftar isi.
Sedangkan bagian isi terdiri dari lima bab. Bab pertama bereisikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab kedua mengenai dalil membacakan surat Yasin atas muslim yang menghadapi sakaratulmaut dan keutamaan membacakan surat Yasin atas muslim yang menghadapi sakaratulmaut.
Bab ketiga terdiri dari pendapat-pendapat ulama yang berkenaan dengan membacakan surat Yasin atas Muslim yang menghadapi sakaratulmaut.
Bab keempat membahas tentang analisis pendapat-pendapat ulama .
Bab kelima berupa penutup, pertama penulis menyimpulkan semua hasil penelitian yang diperoleh, kemudian memberikan sarran-saran atau nasihat-nasihat berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis dapatkan.
Adapun bagian akhir laporan penelitian ini berupa daftar pustaka dari semua rujukan yang diperlukan dalam makalah ini yang kemudian dilanjutkan dengan lampiran.

BAB II
DALIL- DALIL YANG BERKAITAN DENGAN
BACAAN SURAT YASIN ATAS ORANG YANG SAKARATULMAUT

Dalam bab ini, penulis akan menukilkan dalil-dalil yang berkaitan dengan bacaan surat Yasin atas orang yang sakaratulmaut berupa hadits dan atsar sebagai berikut :
1. Hadits Ma’qil bin Yasar tentang hasungan membacakan surat Yasin atas orang yang meninggal
1.1 Lafal dan arti hadits
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ رَسُلُ الله ُ[النَّبِيُّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ }وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ الْعَلاَءِ.
رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ.
Artinya :
Dari Ma’qil bin Yasar, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah [Nabi] sallallaahu 'alaihi wa sallam :”Kalian bacakanlah surat Yasin atas orang-orang yang meninggal di antara kalian!”. Dan (matan) ini adalah lafal Ibnu Al-‘Ala’.
Abu Dawud telah meriwayatkannya dengan sanad dla’if.

Riwayat Ma’qil bin Yasar tersebut juga dikeluarkan oleh Ahmad , An-Nasaiy , Ibnu Majah , Al-Hakim , Ibnu Hibban , Ath-Thayalisyiy , Ibnu Abi Syaibah , Abu Ali Al-Hasan bin Mas’ud dan Al-Baihaqiy .

1.2 Keterangan hadits
Hadits yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar tersebut menerangkan bahwa Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam menganjurkan supaya membacakan surat Yasin atas orang yang meninggal.
Adapun sabda Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi مَوْتَاكُمْ (orang-orang yang meninggal), At-Turbasytiy menerangkan:
"يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ المُرَادُ بِالمَيِّتِ , الَّذِى حَضَرَهُ المَوْتُ فَكَأَنَّهُ صَارَ فىِ حُكْمِ الأَمْوَاتِ , وَأَنْ يُرَادَ مَنْ قَضَي نَحْبَهُ وَ هُوَ فىِ بَيْتِهِ أَوْ دُوْنَ مَدْفَنَهُ.”
Artinya:
“(Lafal مَوْتَاكُمْ) bisa berarti bahwa yang dimaksud dengan orang yang meninggal adalah orang yang hampir meninggal, karena dia itu seakan-akan sudah dianggap seperti orang-orang yang meninggal dunia; dan juga bisa berarti orang sudah meninggal dunia yang masih berada di rumahnya atau di selain kuburnya.”

Bahkan Ibnu Al-Qayyim menambahkan bahwa makna مَوْتَاكُمْ dapat juga berarti orang-orang meninggal yang sudah dikubur .
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan bahwa lafal مَوْتَى merupakan salah satu bentuk jama’ dari مَيِّتٌ yang mempunyai dua makna , yaitu:
Pertama, المَيِّتُ yang bermakna المَيْتُ, yaitu الَّذِى فَارَقَ الحَيَأةَ (orang yang berpisah dengan kehidupan dunia).
Kedua, المَيِّتُ yang bermakna مَنْ فِى حُكْمِ المَيْتِ وَلَيْسَ بِهِ (orang yang sudah dianggap mati padahal belum meninggal dunia).

Dalam syarah Sunan Abi Dawud, Syamsu Al-Haq Abadiy menerangkan:
“(مَوْتاكُمْ) أي الَّذِ يْنَ حَضَرَهُمُ المَوْ تُ.”
Artinya:
“(orang-orang yang meninggal), maksudnya adalah orang-orang yang hampir meninggal.”

Demikian juga Khalil Ahmad. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud lafal مَوْتاكُمْ tersebut adalah orang yang hampir meninggal .

Menurut Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, beliau berkata bahwa sabda Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi مَوْتَاكُمْ itu berarti orang-orang yang hampir meninggal, bukan orang yang sudah meninggal. Karena orang yang sudah meninggal tidak dibacakan surat Yasin atasnya. Demikian halnya sabda Beliau sallallaahu 'alaihi wa sallam :
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ yang berarti kalian talkinkanlah (membisikkan ke telinga) orang-orang yang meninggal di antara kalian kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah). Kata mautakum (مَوْتَاكُمْ) di sini bermakna orang-orang yang hampir meninggal (menghadapi sakaratulmaut) .
Ibnu Al-Qayyim menambahkan bahwa مَوْتَاكُمْ diartikan orang-orang yang hampir meninggal dengan beberapa alasan, yaitu sebagaimana yang dikutipkan sebagai berikut:

الثَّانِى: انْتِفَاعُ المُحْتَضَرِ بِهَذِهِ السُروْرَةِ لِمَا فِيْهَامِنَ التَّوْحِيْدِ, وَ المَعَادِ وَ البُشْرَى بالجَنَّةِ لأَهْلِ التَوْحِيْدِ, وَ غِبْطَةِ مَنْ مَاتَ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ: { يَا لَيْتَ قَوْمِى يَعْلَمُوْنَ بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَ جَعَلَنِي مِنَ المُكْرَمِيْنَ} سورة يس:الأية 26, فَتَسْتَبْشِرُ الرُّوْحُ بِذَلِكَ, فَتُحِبُّ لِقَاءَ اللهِ, فَيُحِبُّ اللهُ لِقَاءَهَا, فَإِنَّ هَذِهِ السُوْرَةَ قَلْبُ القُرْأَنِ, وَ لَهَا خَاصِيَّةٌ عَجِيْبَةٌ فِي قِرَاءَتِهَا عِنْدَ المُحْتَضَرِ.
وَ قَدْ ذَكَرَ أَبُو الفَرَجِ بْنُ الجَوْزِي قَالَ: كُنَّا عِنْدَ شَيْخِنَا أَبِي الوَقْتِ عَبْدِ الأَوَّلِ وَ هُوَ فِي السِيَاقِ, وَ كَانَ أَخِرَ عِنْدَنَا بِهِ أَنَّهُ نَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ وَ ضَحِكَ وَ قَالَ: { يَا لَيْتَ قَوْمِى يَعْلَمُوْنَ بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَ جَعَلَنِي مِنَ المُكْرَمِيْنَ}, وَ قُضِىَ.
الثَّالِثُ: أَنَّ هَذَا عَمَلُ النَّاسِ وَ عَادَتُهُمْ قَدِيْمًاوَ حَدِيْثًا يَقْرَؤُوْنَ يس عِنْدَ المُحْتَضَرِ.
الرَّابِعُ: أَنَّ الصَّحَابَةَ لَوْ فَهِمُوْا مِنْ قَوْلِه ِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ {اقْرَأُوْا يس عِنْدَ مَوْتَاكُم}ْ, قِرَاءَتَهَا عِنْدَ القَبْرِ, لَمَا أَخْلَوْا بِهِ, وَكَانَ ذَلِكَ أَمْرًا مُعْتَادًا مَشْهُوْرًا بَيْنَهُمْ.
الخَامِسُ: أَنَّ انْتِفَاعَهُ بِاسْتِمَاعِهَا, وَ حُضُوْرِ قَلْبِهِ وَ ذِهْنِهِ عِنْدَ قِرَاءَتِهَا فِي أَخِرِ عَهْدِهِ بِالدُنْيَا هُوَالمَقْصُوْدُ, وَ أَمَّا قِرَاءتُها عِنْدَ قَبْرِهِ فإِنَّهُ لاَ يُثَابُ عَلىَ ذلكَ لأَنَّ الثَّوَابَ إمَّا بالقرَاءةِ أوِ بِالإسْتِمَاعِ وَهُوَ عَمَلٌ وَ قَدِ انْقَطَعَ مِنَ المَيِّتِ.
Artinya:
Kedua, orang yang hampir meninggal mengambil manfaat dari kandungan surat (Yasin) ini, yang berupa ketauhidan, ma’ad (tempat kembali), kabar gembira berupa jannah bagi ahli tauhid, dan kegembiraan orang meninggal atasnya dengan mengatakan : (Alangkah bagusnya kalau kaumku mengetahui apa yang telah Pemeliharaku ampunkan bagiku, dan menjadikanku termasuk dari kalangan orang-orang yang dimulyakan.)surat Yasin ayat 26. lantas ruh merasa senang dengannya, sehingga ingin bertemu dengan Allah, maka Allah pun ingin bertemu dengannya. Sesungguhnya surat (Yasin) ini adalah hati Al-Quran, dan baginya ada kekhususan yang mentakjubkan pada pembacaannya di dekat orang yang hampir meninggal.
Abu Al-Farj Ibnu Al-Jauziy menyebutkan : kami dulu berada di dekat guru kami, yakni Abu Al-Waqt AbdulAwwal yang sedang dalam keadaan sakaratulmaut. Di saat terakhir kami bersamanya, beliau melihat ke langit dan tertawa, lalu berkata :”Alangkah bagusnya kalau kaumku mengetahui apa yang telah Pemeliharaku ampunkan bagiku dan menjadikanku termasuk dari kalangan orang-orang yang dimulyakan”. Kemudian beliau wafat.
Ketiga, bahwasanya amalan membacakan surat Yasin ini adalah perbuatan orang-orang dan merupakan kebiasaan mereka, yang dahulu mau pun yang sekarang. Mereka membacakan surat Yasin di dekat orang hampir meninggal.
Keempat, kalaulah para sahabat Nabi sallallaahu ‘alaihi wa sallam memahami dari sabda beliau : اقْرَأُوْا يس عِنْدَ مَوْتَاكُم bahwa pembacaannya di dekat kubur, niscaya mereka tidak akan melalaikannya, sedang pembacaan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal adalah perbuatan yang biasa dilakukan, yang masyhur di kalangan mereka.
Kelima, orang yang hampir meninggal dapat mengambil manfaat dengan mendengarkannya (surat Yasin) dengan penuh perhatian, dan menghadirkan hati dan ingatannya di saat pembacaannya (surat Yasin) pada akhir hayatnya di dunia, itu adalah yang diinginkan (dalam pembacaan surat Yasin atasnya). Adapun pembacaannya (surat Yasin) di dekat kuburnya, maka sesungguhnya dia (yang ada di dalam kubur) tidak diganjar atas perbuatan tersebut, karena pahala itu ada dengan sebab membaca atau mendengarkan dengan penuh perhatian, dan itu adalah perbuatan yang sudah tidak bisa dilakukan oleh orang yang sudah meninggal.

Secara ringkas, makna kutipan di atas adalah:
Pertama, orang yang hampir meninggal dapat mengambil manfaat dari kandungan surat Yasin.
Kedua, membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal merupakan perbuatan dan kebiasaan orang dahulu dan sekarang.
Ketiga, amalan yang masyhur di kalangan para sahabat adalah membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal.
Keempat, maksud membacakannya atas orang yang hampir meninggal adalah agar orang tersebut dapat mendengarkan bacaan surat Yasin dan menghadirkan hati untuk selalu ingat kepada Allah hingga akhir hayatnya. Sedangkan orang yang sudah meninggal tidak dapat melakukan hal itu.
Menurut Sayyid Sabiq, pendapat Ibnu Hibban dikuatkan oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya. Beliau (Sayyid Sabiq) berkata:
وَ يُؤَيِّدُ هَذَا المَعْنَى مَا رَوَاهُ أَحْمَدُ فِى مُسْنَدِهِ عَنْ صَفْوَانَ قَالَ كَانَتْ المَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ: إِذَا قُرِئَتْ يس عِنْدَ المَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا وَ أَسْنَدَهُ صَاحِبُ مُسْنَدِ الفِرْدَوْسِ إِلَى أَبِى الدَّرْدَاءِ وَ أَبِى ذَرٍّ قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ُصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :{ مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوْتُ فَتُقْرَأَ عِنْدَهُ يس إِلاَّ هَوَّنَ الله ُعَلَيْه}ِ.
Artinya:
“Dan menguatkan makna ini ,riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, dari Shafwan, dia berkata: Adalah para syaikh berkata : Apabila (surat Yasin) dibacakan atas orang yang hampir meninggal ( menghadapi sakaratulmaut), (maka) diringankan (sakaratulmaut) darinya dengan sebabnya (pembacaan surat Yasin tersebut). Pengarang Musnad Al-Firdaus menyandarkannya (perkataan para syaikh) kepada Abu Ad-Darda’ dan Abu Dzar, keduanya berkata, bersabda Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam :’ Tidak ada seorang pun yang hendak meninggal lalu dibacakan di dekatnya (surat) Yasin, melainkan Allah akan memudahkan (sakaratulmaut) atasnya”

Namun Asy-Syaukaniy menyebutkan bahwa pendapat Ibnu Hibban tentang lafal مَوْتَاكُمْ dalam bacaan surat Yasin tersebut ditentang oleh Al-Muhibbu Ath-Thabariy . Beliau, Al-Muhibbu Ath-Thabariy, berkata:
إِنَّ العَمَلَ بِعُمُوْمِ الحَدِيْثِ هُوَ الظَاهِرُ بَلْ هُوَ الحَقُّ لِحَدِيْثِ الدَّارَ قُطْنِى: {مَنْ دَخَلَ القُبُوْرَ فَقَرَأَ ( قُلْ هُوَ الله ُأَحَدٌ) إِحْدَى عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ ثَوَابَهاَ لِلأَمْوَاتِ أُعْطِىَ مِنْ الأَجْرِ بِعَدَدِ الأَمْوَاتِ}.
Artinya:
Sesungguhnya pengamalan berdasarkan keumuman hadits itu adalah pengertian pengamalan yang jelas, bahkan itu yang benar, sebagaimana hadits (yang diriwayatkan oleh) Ad-Daraquthniy : barang siapa yang memasuki kuburan lalu dia membacakan Qul huwa Allahu Ahad (surat Al-Ikhlas) sebanyak sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya (pembacaan surat tersebut) kepada orang-orang meninggal, ia akan diberi pahala sejumlah orang yang meninggal tersebut.

Asy-Syaukaniy pun mengatakan bahwa lafal مَوْتَاكُمْ bermakna orang-orang yang sudah meninggal. Karena orang yang telah meninggal itu merupakan makna asal dari lafal مَوْتَاكُمْ, sedangkan orang yang akan meninggal adalah makna majaz . Adapun makna lafal tersebut, bisa bermakna majaz apabila ada qorinah nya.

Dari perselisihan tersebut, ada juga yang menuturkan bahwa lafal مَوْتَاكُمْ berlaku untuk orang yang hampir meninggal dan orang yang sudah meninggal. Pernyataan tersebut sebagaimana yang diterangkan oleh Abdullah bin Abdur Rahmaan Al-Bassam. Beliau mengatakan bahwa hadits Ma’qil bin Yasar mempunyai dua makna:

Pertama, pembacaan surat Yasin itu untuk orang yang hampir meninggal. Hal itu karena lafal مَوْتَاكُمْ berarti orang yang hampir meninggal. Adapun orang yang hampir meninggal disebut orang yang mati, karena dianggap akan meninggal. Sebagaimana firman Allah :
إِنَّكَ لَمَيِّتٌ وَ إِنَّهُمْ لَمَيِّتُوْن َ .
Artinya
“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan meninggal dan mereka pun juga akan meninggal.”

Kedua, pembacaan surat Yasin itu atas orang yang sudah meninggal. Maksudnya adalah menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada orang yang telah meninggal.

Adapun Ad-Daraquthniy, sebagaimana yang dinukilkan oleh Abu Bakar Al-Arabiy, menyatakan bahwa maksud matan hadits Ma’qil tersebut majhul (tidak diketahui( . Dengan kata lain, maksud hadits tersebut tidak diketahui apakah berlaku untuk orang yang hampir meninggal atau orang yang sudah meninggal).

2. Hadits Abu Ad-Darda’ tentang kutamaan membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal
2.1 Lafal dan arti hadits

أَبُو الدَّرْدَاءِ:{ مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوْتُ فَتُقْرَأَ عِنْدَهُ سُوْرَةُ يـس إِلاَّ هَوَّنَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ عَلَيْهِ}."
رَوَاهُ الدَّيْلَمى بِإسْنادٍ ضَعِيْفٍ.
Artinya :
Abu Ad-Darda’ :’ Tidaklah ada seorang yang hendak meninggal lalu dibacakan di dekatnya surat Yasin, melainkan Allah ِ’azza wa jalla akan memudahkan (sakaratulmaut) atasnya.”

Ad-Dailamiy telah meriwayatkannya dengan sanad dla’if.


2.2 Keterangan hadits
Hadits Abu Ad-Darda’ menyebutkan bahwa Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam menerangkan keutamaan dari membacakan surat Yasin di dekat orang yang hampir meninggal (mengalami sakaratulmaut) adalah Allah akan memudahkan sakaratulmaut atasnya.
Menurut Ash-Shan’aniy, hadits ini menguatkan pendapat Ibnu Hibban bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi مَوْتَاكُمْ , sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Ma’qil bin Yasar, adalah orang-orang yang hampir meninggal .

3. Hadits Abdullah bin Samhaj tentang keutamaan membacakan surat Yasin atas orang sakit yang hampir meninggal

3.1 Lafal dan arti hadits
عَبْدُاللهِ بْنِ سَمْحَجٍ: {مَا مِنْ مَرِيْضٍ يُقْرَأُ عِنْد َ سُوْرَةِ يَس إِلاَّ مَاتَ رَيَّانًا وَ حُشِرَ يَوْمَ القِيَامَةِ رَيَّاًنا}. رَوَاهُ الدَّيْلَمى بِإسْنادٍ ضَعِيْفٍ.

Artinya :
Abdullah bin Samhaj,:’Tidaklah ada orang sakit (yang hampir meninggal) dibacakan di dekat surat Yasin, melainkan meninggal dalam keadaan tidak haus dan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak haus.
Ad-Dailamiy telah meriwayatkannya dengan sanad dla’if .

3.2 Keterangan hadits
Hadits Abdullah bin Samhaj menyebutkan bahwa Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam menerangkan keutamaan dibacakan surat Yasin atas orang sakit yang hampir meninggal (menghadapi sakaratulmaut) adalah meninggal dalam keadaan kenyang dan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan kenyang.
Hadits tersebut menunjukkan disukai membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal.

4. Atsar Ghudlaif bin Al-Harits tentang pengamalan orang-orang dahulu yang membacakan surat Yasin atas orang sakit yang hampir meninggal

4.1 Lafal dan arti atsar

عَنْ صَفْوَانُ, حَدَّثَنِى المَشِيْخَةُ أَنَّهُمْ حَضَرُوْا غُضَيْفَ بْنَ الحاَرِثِ الثُّمَالِىَّ حِيْنَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ, وَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يـس قَالَ: فَقَرَأَهَا صَالَحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُوْنِىُّ. فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ مِنْهَا قُبِضَ, قَالَ :فَكَانَ المَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ: {إِذَا قُرِأَتْ عِنْدَ المَيَّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا}, قَالَ صَفْوَانُ: وَقَرَأَهَا عِيْسَى بْنُ المُعْتَمِرِ عِنْدَ ابْنِ مَعْبَدٍ.
رَوَاهُ أَحْمَدُ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ.
Artinya :
Dari Shafwan, telah menceritakan kepadaku para syaikh, bahwasanya mereka menengok Ghudlaif bin Al-Harits Ats-Tsumaliy tatkala penyakitnya semakin parah. Berkatalah Ghudhaif, Adakah di antara kalian seseorang yang membacakan surat Yasin? Shafwan berkata: Lalu Shalih bin Syuraih As-Sakuniy membacakannya (surat Yasin). Kemudian tatkala bacaan itu sampai empat puluh ayat darinya (surat Yasin), Ghudlaif meninggal. Shafwan berkata:” Adalah para syaikh berkata, apabila (surat Yasin) dibacakan atas orang yang hampir meninggal ( menghadapi sakaratulmaut), (maka) diringankan (sakaratulmaut) darinya dengan sebabnya (pembacaan surat Yasin tersebut). Berkata Shafwan : Isa bin Al-Mu’tamir juga membacakan surat Yasin atas Ibnu Ma’bad.
Ahmad telah meriwayatkannya dengan sanad dla’if .



4.2 Keterangan atsar
Dari atsar tersebut, terdapat beberapa poin penting, yaitu:
pertama, para syaikh tatkala menjenguk Ghudlaif bin Al-Harits yang sudah dalam keadaan sakit parah, salah satu di antara mereka membacakan surat Yasin atas Ghudlaif. Kemudian Ghudhaif meninggal dunia ketika bacaan itu sampai empat puluh ayat.
kedua, perkataan para syaikh bahwa apabila dibacakan surat Yasin atas orang yang menghadapi sakaratulmaut, maka diringankan sakaratulmaut darinya.
ketiga, selain Shalih bin Syuraih yang membacakan surat Yasin atas Ghudlaif, Isa bin Al-Mu’tamir juga membacakannya atas Ibnu Ma’bad.
Berkenaan dengan atsar Shafwan ini, Ash-Shan’aniy menerangkan bahwa pengarang kitab Al-Firdaus menyandarkan atsar ini kepada Abu Ad-Darda dari Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga mengatakan kedua riwayat tersebut ( hadits Abu Ad-Darda’ , beserta atsar Ghudlaif) merupakan dalil yang paling jelas dari riwayat-riwayat lain berkenaan dengan masalah membacakan surat Yasin atas orang yang menghadapi sakaratulmaut .
Selain itu, kejadian yang diceritakan oleh Shafwan menunjukkan bahwa perbuatan membacakan surat Yasin atas orang yang menghadapi sakaratulmaut pernah diamalkan oleh sahabat rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam . Itu pun atas orang yang hampir meninggal, bukan sesudah kematiannya.

BAB III
PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA
TENTANG MEMBACAKAN SURAT YASIN
ATAS MUSLIM YANG MENGHADAPI SAKARATULMAUT

Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa pendapat ulama tentang membacakan surat Yasin atas orang muslim yang menghadapi sakaratulmaut. Adapun pendapat mereka dalam persoalan ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
1. Disukai membacakan surat Yasin.
2. Makruh membacakan surat Yasin.
3. Membacakan surat Yasin merupakan perbuatan bid'ah.
Pendapat- pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Disukai Membacakan Surat Yasin
1.1 Ulama yang berhujjah dengan hadits Ma’qil bin Yasar
Ibrahim bin Ali Asy-Syiraziy berkata:
"وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ سُوْرَةُ يس لِمَا رَوَى مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : اقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يَعْنِى يس."
Artinya:
“Dan disukai membacakan surat Yasin di sampingnya (orang yang menghadapi sakaratulmaut), sebagaimana yang telah Ma'qil bin Yasar riwayatkan, bahwasanya Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Kalian bacakanlah atas orang-orang yang meninggal , yakni surat Yasin.”

Selain Ibrahim bin Ali Asy-Syiraziy, ulama yang berpendapat disukai membacakan surat Yasin dengan dalil hadits Ma’qil bin Yasar adalah Ibnu Qudamah , Al-Qurthubiy , Sayyid Sabiq , An-Nawawiy , Ar-Rafi’iy , Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam , Sulaiman An-Nuriy beserta Alawiy Abbas .
Sulaiman An-Nuriy dan Alawiy Abbas menerangkan bahwa lafal مَوْتَاكُم tersebut bermakna orang yang hampir meninggal berdasarkan hadits Abu Ad-Darda’. Demikian halnya Sayyid Sabiq, beliau menukilkan dari pendapat Ibnu Hibban bahwa lafal tersebut berarti orang yang hampir meninggal.

1.2 Ulama yang berhujjah dengan hadits tentang keutamaan membacakan surat Yasin
1.2.1 Abu Bakr Al-Jazairiy
Dalam kitabnya “Minhaj Al-Muslim” Abu Bakr Al-Jazairiy mengatakan:
وَ إِنِ اشْتَدَّتْ بِهِ سَكَرَاتُ المَوْتِ قُرِئَتْ عَلَيْهِ سُوْرَةُ يس رَجَاءَ أَنْ يُخَفِّفَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ بِبَرَكَاتِهَا, لِقَوْلِه ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوْتُ فَتُقْرَأُ عِنْدَهُ يس إِلاَّ هَوَّنَ اللهُ عَلَيْهِ.
Artinya :
“Dan jika sakaratulmaut memberatkannya ( orang yang hampir meninggal), maka dibacakan surat Yasin atasnya dengan harapan Allah Yang Maha Tinggi akan meringankannya karena barakahnya. (Hal tersebut) berdasarkan sabda beliau sallallaahu 'alaihi wa sallam.: Tidaklah ada seorang yang akan meninggal lalu dibacakan surat Yasin di dekatnya melainkan Allah akan memudahkan atasnya.”

1.2.2 Al-Jaziriy
Dalam kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Mahadzib Al-Arba’ah, Al-Jaziriy berkata:
"وَ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ سُوْرَةُ يس لِمَا وَرَدَ فِى الخَبَرِ : مَا مِنْ مَرِيْضٍ يُقْرَأُ عِنْدَهُ يس إِلاَّ مَاتَ رَيَّانَ وَ أُدْخِلَ قَبْرَهُ رَيَّانَ وَ حُشِرَ يَوْمَ القِيَامَةِ رَيَّانَ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ ."
Artinya:
“Dan disukai dibacakan surat Yasin di dekatnya (orang yang hampir meninggal), sebagaimana hadits : “ Tidaklah orang sakit (yang sakaratulmaut) dibacakan surat Yasin di dekatnya kecuali meninggal dalam keadaan kenyang, dimasukkan ke kuburnya dalam keadaan tidak haus dan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak haus."Abu Dawud telah meriwayatkannya.

Adapun tentang pendapat empat madzhab, Al-Jaziriy menerangkan: وَهَذَا الحُكْمُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه إلاَّ عنْدَ المَالكيَّة , artinya Dan hukum (disukai membacakan Yasin atas orang yang hampir meninggal) ini disepakati atasnya kecuali menurut pendapat ulama Al-Malikiyah.

2 Makruh Membacakan Surat Yasin
Ulama yang mengatakan makruh membacakan surat Yasin adalah sebagian ulama Al-Malikiyah. Hal ini berdasarkan perkataan Al-Jaziriy dalam kitabnya, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, sebagai berikut:

“وَ هَذَا الحُكْمُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه إلاَّ عنْدَ المَالكيَّة:
المَالِكِيَّةُ - رَجَحُوْا القَوْلَ بِكَرَاهِيَّةِ قِرَاءَةِ شَيْئٍ مِنْ القُرْآنِ عِنْدَ المحُْتَضَرِِ ِلاَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِ السَّلَفِ , وَ قَالَ بَعْضُهُمْ : يُسْتَحَبُّ قِرَاءَةُ يس عِنْدَهُ."


Artinya :
“dan hukum (disukai membacakan Yasin atas orang yang hampir meninggal) ini disepakati atasnya kecuali menurut pendapat ulama Al-Malikiyah :
Ulama Malikiyah memilih pendapat yang mengatakan makruh membacakan sesuatu pun dari Al-Quran terhadap orang yang hampir meninggal (menghadapi sakaratulmaut), karena hal itu bukanlah dari perbuatan orang-orang salaf. Sedangkan sebagian dari mereka berkata :’Disukai bacaan surat Yasin di dekatnya.”

Dari perkataan Al-Jaziriy, dapat diambil pemahaman bahwa para ulama Al-Malikiyah memilih bahwa membacakan sesuatu pun dari Al-Quran pada orang yang menghadapi sakaratulmaut merupakan perbuatan makruh. Demikian halnya surat Yasin yang juga merupakan salah satu dari surat dari Al-Quran, makruh membacakannya atas orang yang hampir meninggal. Mereka menganggapnya makruh karena perbuatan tersebut tidak termasuk dari amalan orang-orang salaf.
Akan tetapi, sebagian dari mereka mengatakan bahwa membacakan surat Yasin di dekat orang yang hampir meninggal merupakan perbuatan yang disukai. Dengan demikian, pendapat ulama Al-Malikiyah terpecah menjadi dua, sebagian mengatakan makruh dan sebagian lagi mengatakan disukai membacakannya.

3 Membacakan Surat Yasin Merupakan Perbuatan Bid’ah
Ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Nasruddin Al-Albaniy. Beliau menyatakan bahwa membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada dalil yang shahih, sebagaimana yang telah beliau sebutkan dalam kitab Al-Ahkam Al-Janaiz.

Selain itu, beliau juga menyebutkan dalam kaidah-kaidahnya mengenai hal-hal bid’ah, di antaranya adalah bahwa segala ibadah yang tidak ada caranya kecuali dari hadits dhaif atau maudhu merupakan suatu perbuatan bid’ah belaka, dan setiap peribadatan yang dimutlakkan oleh syariat kemudian dibatasi oleh tempat, waktu atau tata cara dan hitungan, juga termasuk bid’ah .



BAB IV
ANALISIS
PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA

1. Disukai Membacakan Surat Yasin
1.1 Ulama yang berhujah dengan hadits Ma’qil bin Yasar
Sebagaimana telah disebutkan pada bab III sub bab 1, tentang pendapat disukai membacakan surat Yasin, ulama yang berhujah demikian adalah Asy-Syiraziy, Ibnu Qudamah, Al-Qurthubiy, Sayyid Sabiq, An-Nawawiy, Ar-Rafi’iy, Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Sulaiman An-Nuriy beserta Alawiy Abbas. Mereka berhujah dengan hadits Ma’qil bin Yasar yang berbunyi :
اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُم
Artinya:
Kalian bacakanlah surat Yasin atas orang-orang yang meninggal di antara kalian
Mereka mengartikan lafal مَوْتَاكُم dengan orang-orang yang hampir meninggal.
Dalam menanggapi pendapat disukai membacakan surat Yasin berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar, ada dua permasalahan yang akan penulis akan utarakan. Permasalahan makna lafal مَوْتَاكُم pada hadits Ma’qil dan derajat hadits.
Tentang makna lafal مَوْتَاكُم pada hadits Ma’qil, makna lafal tersebut masih diperselisihkan di kalangan ulama, yaitu orang yang hampir meninggal (yang merupakan makna majazi) atau orang yang sudah meninggal (yang merupakan makna hakiki). Ulama yang berpendapat lafal مَوْتَاكُم berarti orang-orang yang hampir meninggal, menguatkan pemahamannya berdasarkan hadits Abu Ad-Darda’ yang menyatakan bahwa Allah akan memudahkan seseorang yang menghadapi sakaratulmaut dengan dibacakan surat Yasin atasnya. Adapun ulama yang berpendapat bahwa lafal مَوْتَاكُم berarti orang-orang yang sudah meninggal, menguatkan pemahamannya berdasarkan ketiadaan qorinah pada hadits tersebut.
Pada hujah pendapat pertama yang menyatakan lafal مَوْتَاكُم berarti orang yang hampir meninggal, penulis katakan bahwa hadits Abu Ad-Darda’ yang menjadi dalil mereka adalah hadits dla’if, karena terdapat rawi yang matruk dan majhul , sehingga tidak bisa dijadikan qarinah lafal مَوْتَاكُم pada hadits Ma’qil.
Meskipun ada di antara mereka yang menguatkan pendapat tersebut dengan menyebutkan manfaat dari pembacaan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal , namun hal itu tidak mengubah pengertian lafal مَوْتَاكُم pada hadits Ma’qil sebagai orang-orang yang hampir meninggal. Walaupun sebanyak apa pun penyebutan manfaatnya. Karena masalahnya bukan pada manfaat yang didapat oleh orang yang hampir meninggal, tetapi ada atau tidaknya qarinah yang membuat lafal tersebut harus diartikan makna majazi, sehingga menghalangi seseorang untuk mengartikannya dengan makna haqiqi. Oleh karena itu, lafal مَوْتَاكُم lebih tepat diartikan orang-orang yang sudah meninggal.
Demikian halnya alasan yang menyatakan bahwa makna lafal مَوْتَاكُم pada hadits Ma’qil sama dengan lafal مَوْتَاكُم pada hadits لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ , yang diartikan orang-orang yang hampir meninggal . Alasan tersebut juga tidak bisa dibenarkan karena kedua hadits tersebut beda pembahasan. Hadits Ma’qil membahas tentang bacaan surat Yasin sedang hadits لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ tentang talqin, sehingga tidak ada jalan untuk menyamakan makna.
Kemudian pada pendapat kedua yang menyatakan lafal مَوْتَاكُم yang berarti orang yang sudah meninggal, menurut penulis pendapat ini dapat diterima. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan qarinah pada hadits Ma’qil bin Yasar tersebut, sehingga lafal مَوْتَاكُم diartikan dengan orang-orang yang sudah meninggal. Selain itu, dalam kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy diterangkan:
...فَإِذَا احْتَمَلَ اللَّفْظُ المَعْنَى الحَقِيْقِىَّ وَ المَجَازِىَّ, حُمِلَ عَلَى الحَقِيْقِةِ لأَِ َنَّ المَجَازَ خِلاَفُ الأََصْلِى.
Artinya:
...maka apabila lafal itu mengandung makna haqiqi dan majazi, lafal tersebut dimaknai secara haqiqah, karena makna majaz itu menyelisihi makna asli.
Az-Zahidiy dalam kitab Taujih Al-Qariy,menyebutkanالحَقِيْقِةُ تُقَدَّمُ عَلَى المَجَاز, artinya makna haqiqi itu didahulukan atas makna majazi .
Dua qaidah di atas menguatkan pendapat yang mengatakan lafal مَوْتَاكُم berarti orang-orang yang sudah meninggal, karena makna haqiqi itu didahulukan dari makna majazi.
Dari dua pendapat yang bertentangan tentang makna lafal مَوْتَاكُم pada hadits Ma’qil bin Yasar, pendapat yang mengartikannya sebagai orang-orang yang sudah meninggal adalah pendapat yang lebih kuat.
Dengan demikian, ulama yang berpendapat disukai membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal berdasarkan hadits Ma’qil, tidak bisa dibenarkan. Karena hadits tersebut tidak menunjukkan kepada anjuran membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal, tetapi justru kepada orang yang sudah meninggal. والله أعلم

Tentang permasalahan berhujah dengan hadits Ma’qil, hadits tersebut berderajat dla’if, karena sanadnya mudltharib serta terdapat dua rawi majhul , sehingga hadits Ma’qil bin Yasar tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujah dalam beramal. والله أعلم
Berdasarkan keterangan di atas, pendapat disukai membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal, berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar mempunyai dua kelemahan. Pertama, dari segi makna مَوْتَاكُم yang tidak bisa diartikan sebagai orang yang hampir meninggal. Kedua, hadits Ma’qil tersebut dla’if .

1.2 Ulama yang berhujah dengan hadits tentang keutamaan membacakan surat Yasin
Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Al-Jazairiy dan Abdurrahman Al-Jaziry. Al-Jazairiy berhujah dengan hadits Abu Ad-Darda’ . Adapun Al-Jaziry berdasarkan hadits Abdullah bin Samhaj . Beliau berdua menganggap surat Yasin tersebut mempunyai keutamaan tersendiri yang berkaitan dengan orang yang hampir meninggal dibandingkan dengan surat-surat lainnya sehingga disukai membacakannya atas orang yang hampir meninggal.
Pendapat beliau berdua ini tidak bisa dibenarkan, karena meskipun Kedua hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaan membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal, namun kedua hadits tersebut berderajat dla’if karena pada kedua hadits tersebut terdapat cacat. Pada hadits Abu Ad-Darda’ terdapat rawi yang matruk dan majhul , sedang pada hadits Abdullah bin Samhaj terdapat rawi dla’if dan rawi majhul . Sehingga kedua hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat disukai membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal itu tertolak, lantaran hadits-hadits yang dijadikan dasar hukum tersebut lemah. والله أعلم

2 Pendapat makruh membacakan surat Yasin
Mereka yang berpendapat demikian adalah sebagian ulama Malikiyah. Mereka menganggapnya sebagai amalan yang makruh dengan alasan bahwa perbuatan tersebut bukanlah dari pengamalan orang-orang salaf. Pernyataan mereka pun tidak terbatas pada surat Yasin tetapi juga pada semua surat yang ada di dalam Al-Quran.
Menurut penulis, makruh yang dituturkan oleh sebagian ulama Al-Malikiyah tersebut adalah makruh yang berarti haram. Hal ini berdasarkan qaidah yang menyatakan bahwa makruh menurut imam malik adalah haram. Abdul Hamid Hakim menyatakan:
قَدْ قَالَ مَالِكٌ فِى كَثِيْرٍ مِنْ أَجْوِبَتِهِ أَكْرَهُ كَذَا وَهُوَ حَرَامٌ. فَمِنْهَا أَنَّ مَالِكًا نَصَّ عَلَى كَراَهَةِ الشَّطْرَنْجِ, وَهذاَ عِنْدَ أَكْثَرِ أَصْحَابِهِ عَلَى التَحْريْمِ.
Artinya:
Sungguh Malik telah banyak menjawab (dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya): Aku menganggap makruh yang demikian itu, sedangkan perkara yang makruh (oleh Malik) itu adalah haram. dari sebagian contoh jawabannya adalah bahwa Malik menentukan permainan catur hukumnya makruh, sedangkan pernyataan makruh oleh Malik ini menurut kebanyakan sahabatnya adalah haram.

Dari nukilan tersebut, dapat diambil pengertian bahwa kebanyakan sahabatnya menyatakan makruh yang dimaksudkan oleh Imam Malik adalah makruh dalam artian haram. Oleh karena itu, tidak mustahil jika pengikutnya, yakni ulama Al-Malikiyah mengikuti cara beliau dalam menyatakan suatu hukum, sehingga mereka menggunakan cara tersebut dalam menyatakan keharaman suatu perbuatan.
Adapun alasan yang mereka kemukakan bahwa perbuatan tersebut bukan dari pengamalan orang-orang salaf, tidak bisa diterima sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh makna orang-orang salaf (dalam kaitannya dengan pembahasan din) adalah orang-orang muslim yang hidup pada zaman Nabi Muhammad sallallaahu ‘alaihi wa sallam. sampai abad ke-3 H . Mereka terdiri dari para sahabat, tabi’in, tabi’u at-tabi’in dan atba’u at-tab’u At-Tabi’in . Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa menurut mereka (sebagian ulama Al-Malikiyah), perbuatan Tabi’in, tabi’u At-Tabi’in dan Atba’u At-Tabi’u At-Tabi’in bisa dijadikan hujjah dalam beramal. Padahal setiap perbuatan yang berkaitan dengan ibadah haruslah berasal dari Allah dan RasulNya.
Adapun pendapat mereka tentang keharaman membacakan surat Yasin tersebut dapat diterima, karena tidak ada dalil yang dapat dijadikan hujah dalam beramal.

Dengan demikian, pendapat sebagian ulama Al-Malikiyah yang menyatakan makruh membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal dapat diterima, karena pemakruhan mereka tersebut bermakna keharaman. والله أعلم
3 Pendapat Membacakan surat Yasin Merupakan Perbuatan Bidah
Ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Al-Albaniy. Beliau berpendapat bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan bidah. Beliau berdalih atas ketidakshahihan hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut. Maksudnya, tidak ada riwayat dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.yang menyebutkan tentang bacaan surat Yasin atas orang yang hendak meninggal kecuali riwayat dlaif.
Menurut penulis pendapat ini bisa diterima والله أعلم. Hal tersebut disebabkan beberapa alasan:

Pertama, menurut penelitian penulis, tidak ada hadits Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.yang menjelaskan tentang bacaan surat Yasin atas orang yang menghadapi sakaratulmaut kecuali hadits dla’if. Sedangkan hadits dlaif tidak bisa dijadikan hujah dalam beramal.
Kedua, mengamalkan hadits dla’if itu sama saja dengan mengerjakan suatu ibadah yang tidak diperintahkan oleh din Al-Islam. Karena pada hakekatnya, hadits dlaif ialah hadits yang tidak diakui datangnya dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar dalam menentukan hukum haram, sunnah, maupun makruh .

Ketiga, setiap perbuatan yang berkaitan dengan masalah ibadah haruslah berasal dari pembuat syariat (Allah dan RasulNya). Diriwayatkan dari Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهاَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ .
Artinya :
“Dari ‘Aisyah berkata, bersabda Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam ‘Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka dia itu tertolak.”

Diriwayatkan oleh Jabir, sebuah hadits dari Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة ٌ
Artinya:
Dan tiap-tiap bid’ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat.
. Dalam qaidah usul disebutkan:
"الأَصْلُ فِى العِبَادَاتِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ"
Artinya:
“Asal (perkara) ibadah adalah batal, sampai terdapat dalil yang memerintahkannya.”

Dengan demikian, perbuatan yang berhubungan dengan ibadah dan bukan berasal dari Allah dan RasulNya, terutama dalam masalah bacaan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal ini adalah tertolak (tidak sah), karena tidak ada satu pun hadits yang bisa dipertanggungjawabkan keberadaanya dari Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam lantaran kedla’ifannya. Adapun Ibadah apabila dikatakan tertolak atau sesat, maka hukumnya haram.
Dari beberapa pendapat di atas, tentang membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal, diambil kesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan pembacaan surat Yasin atasnya merupakan perbuatan bid’ah sehingga haram hukumnya adalah pendapat yang lebih kuat. والله أعلم


BAB V
PENUTUP

1 kesimpulan
Berdasarkan data-data yang telah dianalisis, kesimpulan akhir dari pembahasan hukum membacakan surat Yasin atas muslim yang menghadapi sakaratulmaut adalah sebagai berikut:
Hadits yang berkenaan dengan atas orang yang menghadapi sakaratulmaut, semuanya berderajat dla’if. Oleh karena itu, tidak ada hadits yang bisa dijadikan hujjah.
Oleh karena tidak ada hujjahnya, membacakan surat Yasin atas orang yang menghadapi sakaratulmaut adalah perbuatan yang tidak ada contohnya dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam, alias bid’ah (diada-adakan).
Dengan demikian, hukum membacakan surat Yasin atas orang yang mengalami sakaratulmaut adalah haram.
2 Saran-saran
Dari kesimpulan yang tersebut di atas, ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan :
Dalam beramal, setiap orang hendaknya berpegang kepada hujjah atau dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda :
"مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ"
Artinya:
“Barang siapa berbuat suatu amalan yang tidak ada perintah dariku, maka dia (amalan tersebut) tertolak.”

Berdasarkan sabda Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa sallam di atas, maka kepada yang hendak menjenguk seseorang atau salah satu kerabat yang sakit dalam keadaan kritis atau menjelang sakaratulmaut, penulis sarankan agar tidak membacakan surat Yasin atasnya. Karena perbuatan tersebut tidaklah berasal dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam dan beliau pun berwasiat tentang perkara bid’ah :
وَ إَيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ, فإنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَا لَةٌ.
Artinya:
“Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya tiap-tiap yang diada-adakan itu sesat.

2.3 Segenap muslim dihimbau untuk lebih memperhatikan setiap urusan din agar tidak terjerumus dalam perkara bidah.
Untuk hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, khususnya dalam masalah yang berkenaan dengan orang hampir meninggal, kita cukupkan saja dengan hadits-hadits shahih.

3 Kata Penutup
Alhamdulillah, merupakan kebahagiaan yang tak terkirakan akhirnya dengan pertolongan Allah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Puji dan syukur yang tiada terkira penulis panjatkan kepada Allah karena hanya dengan rahmat-Nya makalah ini bisa sampai pada tahap akhir penulisan.
Penulis menyadari bahwa karya yang sederhana ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran dan kritik dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati demi perbaikan makalah ini.
Akhirnya, kepada Allahlah penulis sampaikan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis secara pribadi dan pembaca pada umumnya. Apabila di dalam makalah ini terdapat kebenaran, maka semua itu datangnya dari Allah semata. Adapun jika terdapat kesalahan, maka itu tidak lain hanyalah datang dari kekhilafan penulis sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Kelompok kitab Hadits

1. Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdillah Asy-Syaibaniy, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota, tanpa tahun.

2. Al-Bukhari ,Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhariy, Shahihul Bukhari, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota, Tahun 1414 H/ 1994 M.

3. Muslim, Abu Husain, Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Qusyairiy An-Naisaburiy, Maktabah Dahlan, Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawiy, tanpa nomor cetak, Indonesia, tanpa tahun

4. Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistaniy, Sunan Abu Dawud, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, Beirut Lebanon 1414 H/ 1994 M.

5. An-Nasa’iy, Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib, Al-Amal Wa Al-Lailah, cet. I, Darul Fikr, Beirut, tahun 1348 h/1930 M.

6. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaniy, Sunan Ibnu Majah, Tanpa Nomor Cetakan, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun

7. Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad Al-Kufiy Al-‘Absiy, Al-Mushannaf Fi Al-Ahadits Wa Al-Atsar, cet. I, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut Lebanon, tahun 1416 H/ 1995 M.

8. Ibnu Hajar, Syihabuddin, Abi Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad Ibnu Hajar Al-Kinaniy Al-Asqalaniy Asy-Syafi’iy, Tahqiq Talhish Al-Habir Fi Takhriji Ahadits Rafi’i Kabir, Cet. I, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut Lebanon tahun 1419 H/1998 M.

9. Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Sa’id bin Sahid, Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibnu Hibban, cet.I, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut-Libanon, 1407 H / 1987 M

10. Ad-Dailamiy, Abu Syuja’ Syirawaih bin Syahradar bin Syirawaih ad-dailamiy al-Hamdzaniy Ilkiya, Al-Firdaus Bi Ma’tsur Al-Khithab, Cet. I, Dar al-Baz ‘Abbas Ahmad al-Baz, Makkah al-Mukarramah, 1406 H./1986 M.,

11. Al-Baihaqiy, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imam al-Muhadditsin Al-Hafidz Al-Jalil, al-Jami’ al-Mushannaf fi Syu’ab al-Iman, Cet. I, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, Beirut-Lebanon, 1410 H.,

12. Al-Baihaqiy, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imamul Muhaditsin Al- Hafidz Al-Jalil, As-Sunan Al-Kubra, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota dan tanpa tahun

13. Al-Baihaqiy, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imamul Muhaditsin Al- Hafidz Al-Jalil, Ma’rifah As-Sunnah Wa Al Atsar ‘An Al-Imam Asy-Syafi’iy, cet. II, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah,beirut, 1412H/1991M.

14. Al-Hakim, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah An-Naisaburiy, Al-Hafidz, Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, tanpa nomor cetakan, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun,

15. Ath-Thayalisiy, Abu Dawud, Musnad Ath-Thayalisiy, Dar Al-Ma’rifah, tanpa nomor cetakan, Beirut, tanpa tahun.

Kelompok kitab Syarh

16. Khalil Ahmad As-Saharanfuriy, Al-‘Alamah Al-Muhadits Al-Kabir Asy-Syaikh, Badzlu Al-Majhud Fi Halli Abu Dawud, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota, tanpa tahun.

17. Abu Thaiyyib Abadiy, Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim, Al-‘Alamah, Aun Al-Ma’bud, cet. III, Darul Fikr, Beirut Lebanon, tahun 399 H/1979 M.

18. Al-Bassam, `Abdullah bin `Abdurrahman. Taudhih Al-Ahkam min Bululgh Al-Maram. Cet.II. Dār Ibni Al-Haitsam: Kairo. 1414 H/1994M

19. Asy-Syaukaniy, Muhammad bin `Ali bin Muhammad, Al-Imam Al-Mujtahid Al-`Allamah. Nailul Authar min Ahaditsi sayyidil Akhyar: Syarhu Muntaqal Akhbar, cet. IV, Dar Al-‘Ilmiyah, Beirut,1420 H/1999 M

20. Ibnu Hajar, Abul Fadhl, Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinaniy, Al-Asqalaniy, Al-Hafidh, Syihabuddin, Talhish Al-Habiri fi Takhriji Ahadits Ar-Rafi’i Al-Kabir, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1419 H / 1998 M

Kelompok kitab fiqih

21. An-Nawawiy, Abu Zakariyya bin Syaraf, Muhyiddin, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota, tanpa tahun.

22. Ibnu Qudamah, Abu Muhammmad Muwafiquddin ‘Abdillah bin Ahmad Al-Maqdisiy, Al-Kafi Fi Fiqhi Imam Ahmad bin Hanbal, tanpa nomor cetak, Maktabah At-Tahariyyah Mushthafa, Makkah Al-Mukarramah, tanpa tahun.

23. A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, cet. V Penerbit cv. DIPONEGORO, Bandung, tahun 1991.

24. Al-Juzairiy, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1424 H/ 2003 M.

25. Al-Jazairiy, Abu Bakar Jabir, Minhaj Al-Muslim, cet. IV, Dar As-Salam, Mesir, tanpa tahun.

26. Mansur Ali Nashib, At-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul fi Ahadits Ar-Rasul, cet.I, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1418 H/ 1998 M.

27. Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, tanpa nomor cetakan, Dar Al-Kitab Al-‘Arabiy, Beirut, tanpa tahun.

28. Asy-Syiraziy, Abu Ishaq Ibrahim bin `Ali bin Yusuf Al-Fairuz-abadiy. Al-Muhadzdzab fī Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi`iy. Tanpa nomor cetakan, Dar Al-Fikr, Beirut, 1414 H / 1994 M

29. Ibnu Hazm, Ali bin Ahmad bin Hazm, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, cet.I, Dar Al-Hadits, Al-Qahirah, 1414H.

30. Hasbi Ash-Shiddiqiy, Koleksi hadits-hadits Hukum, pt. AlMaarif, cet. I, Bandung, 1976.

31. Al-Aziziy, Ali bin Ahmad, As-Siraj Al-Munir, tanpa nomor cetakan, Dar Al-Fikr, tanpa tahun.

32. Abdurrahman bin Muhammad bin ‘Askar Syihabuddin, Al-Baghdadi, Al-Maliki, Irsyadus Salik / Irsyadus Salik ila Asyrafil Masalik fi Fiqhil Imam Malik, Tanpa Nomor Cetakan, Syirkatul Ifriqiyyah, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun.

Kelompok kitab Mushthalah

34. Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota, tanpa tahun.

35. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, cet. V Penerbit cv. DIPONEGORO Bandung tahun 1991.

36. Dr. Muhammad ‘Ujaj Al-Khaththibiy, Ushul Al-Hadits, tanpa nomor cetak, Darul Fikr, tanpa nama kota, tahun 1409 H/ 1989 H.


Kelompok kitab Ar-Rijal

37. Ibnu Hajar, Syihabuddin, Abu Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad Ibnu Hajar Al-Kinaniy Al-Asqalaniy Asy-Syafi’iy, Al-Hafidz, Tahdzibu At-Tahdzib, cet. I, Al-Maktabah At-Tijariyyah, tanpa nama kota, tahun 1415 H/ 1995 M.

38. Adz-Dzahabiy, Ahmad bin ‘Utsman, Mizanu Al-I’tidal, tanpa nomor cetak, Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon, tanpa tahun.

39. Ibnu Hajar, Syihabuddin, Abu Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad Ibnu Hajar Al-Kinaniy Al-Asqalaniy Asy-Syafi’iy, Al-Hafidz, Taqribu At- Tahdzib cet. I, Darul Fikr, tanpa nama kota, tahun 1415 H/ 1995 M.

40. Al-Jazairiy, `Izzuddin bin Al-Atsir. Usdul Ghabah Fi Maqrifatish Shahabah. Darusy Syu`ab. Tanpa Nama Kota. Tanpa Tahun.

41. Ibnu Hajar, Syihabuddin, Abu Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad Ibnu Hajar Al-Kinaniy Al-Asqalaniy Asy-Syafi’iy, Al-Hafidz, Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah, cet. I, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, 1415H/ 1995 M.

Kelompok kamus dan lain-lain

42. Ibrahim Unais, Al-Mu’jam Al-Wasith, cet. II, tanpa penerbit, tanpa nama kota, tanpa tahun.

43. Wahbah Az-Zuhailiy, Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy, Cet.I, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1418 H/1998M.

44. Ibnu Mandhur, Lisan Al-‘Arab, Cet.I, Daru Ihya’it Turrats Al-‘Arabiy, Beirut, 1412 H / 1984 M.

45. Lauis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, tanpa nomor cetakan, Dar Al-Masyriq, Beirut, Lebanon, 1986 M

46. Sutrisno Hadi, Prof. Drs., MA, Metodologi Research, Cet. VII, Gama, Yogyakarta, 1986 M

47. Al-Albaniy, Muhammad Nashiruddin, Tamam Al-Minnah, Dar Ar-Rayah, cet III, tahun 1409 H.

48. Al-Albaniy, Muhammad Nashiruddin, Al-Fath Al-Kabir Dla’if Al-jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadatuhu, Al-Maktab Al-Islamiy, Beirut, cet III, tahun 1410 H. / !990 M

49. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cetakan keempat, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997 M

50. Al-Qurthubiy, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshariy, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, cet.III, Dar al-Kutub al-Arabiy, tanpa nama kota, 1387 H/ 1967 M.

51. An-Nawawiy, Abu Zakariyya bin Syaraf, Muhyiddin, Al-Adzkar Al-Muntakhabah Min Kalam Sayyid Al-Abrar Salallahu’alaihi wa sallam, cet. 4, Toko buku hidayah, surabaya, 1375H/1955M.

52. Ibnu Qoyyim, Syamsuddien, Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Abi Bakar Al-Jauziyyah, Ar-Ruh, cet. III, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut Lebanon, tahun 1413 H/ 1993 M.

53. Al-Albaniy, Muhammad Nashiruddin, Ahkam Al-Janaiz, cet. IV, Al-Maktab Al-‘Islamiy, beirut, 1406H/1986 M. Diterjemahkan dengan Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, cet IV, Gema Insani Press,tanpa nama kota, tahun 2002 M

54. Marzuki, Drs. Metodologi Riset. Cet. VII. BPFE – UII: Yogyakarta. Mei 2000.

55. Az-Zahidiy, Hafidh Tsanallah. Taujihul Qari Ilal Qawa`id Wal Fawa-idil Ushuliyyah Wal Haditsiyyah Wal Isnadiyyah Fi Fat-hil Bari. Darul Fikr, Tanpa Nama Kota. Tanpa Tahun

56. Al-Khazin, ‘Ali bin Ibrahim bin ’Umar bin Khalil, Asy-Syihi, Al-Imam, ‘Ala`uddin, Tafsirul Khazin (Lubabut Ta`wil fi Ma’anit Tanzil), Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1415 H / 1995 M












LAMPIRAN
Lampiran tentang derajat riwayat-riwayat tentang membacakan surat Yasin atas orang yang hampir meninggal.
1 Hadits Ma’qil bin Yasar
Sanad Urutan sanad hadits Ma’qil bin Yasar tersebut sebagai berikut:
1.1 Muhammad bin Al-‘Ala’.
1.2 Muhammad bin Makiy.
1.3 Ibnu Al-Mubarak.
1.4 Sulaiman At-Taimiy.
1.5 Abu 'Utsman yang bukan An-Nahdiy.
1.6 Bapaknya.
1.7 Ma’qil bin Yasar.
1.8 Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam
Keterangan:
Berdasarkan penelitian penulis, pada hadits Ma’qil bin Yasar tersebut, terdapat beberapa illat (cacat) yang berkaitan dengan rawi dan sanad hadits, sebagai berikut:

Pertama, pada sanad tersebut ada dua rawi yang majhul . Mereka adalah Abu 'Utsman dan bapaknya.
Adz-Dzahabiy (673-748 H)dalam kitabnya menyebutkan:
"أَبُوْ عُثْمَانَ يُقَالُ اسْمُهُ سَعْدٌ, عَنْ أَبِيْهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ بِحَدِيْثِ : اقْرَءُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ , لاَ يُعْرَفُ أَبُوْهُ وَ لاَ هُوَ ,لاَ رَوَى عَنْهُ سِوَى سُلَيْمَانَ التَّيْمِى,."
Artinya:
“ Abu ''Utsman, dikatakan (bahwa) namanya adalah Sa'd, dari bapaknya, dari Ma'qil bin Yasar dengan hadits: Kalian bacakanlah surat Yasin atas orang-orang yang meninggal di antara kalian. Tidak diketahui (siapakah) bapaknya dan tidak juga dia (Abu ''Utsman)dan tidaklah seorang pun meriwayatkan darinya (Abu 'Utsman) selain Sulaiman At-Taimiy."
Kedua, Tidak ada yang meriwayatkan hadits Ma’qil bin Yasar tersebut dari Abu 'Utsman selain Sulaiman At-Taimiy. Selain yang telah disebutkan oleh Adz-Dzahabiy di atas, Ahmad bin Abdullah Al-Khazrajiy (wafat setelah tahun 923 H), dalam kitabnya, berkata:
"أَبُوْ عُثْمَانَ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ, وَ عَنْهُ سُلَيْمَانُ التَّيْمِى فَقَطْ."
Artinya:
“ Abu 'Utsman, dari Ma’qil bin Yasar, dan (yang meriwayatkan) darinya (Abu 'Utsman) adalah Sulaiman At-Taimiy saja.”

Demikian juga halnya Ibnu Al-Madiniy) menyebutkan:
"لَمْ يَرْوِ عَنْهُ غَيْرُهُ, وَ هُوَ مَجْهُوْلٌ."
Artinya:
“Tidaklah seorang pun meriwayatkan darinya (Abu 'Utsman) selainnya (Sulaiman At-Taimiy), sedangkan dia (Abu 'Utsman) majhul.”

Adapun Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib tidak menyebutkan adanya keterangan tentang komentar ulama mengenai Abu Utsman tersebut, kecuali perkataan beliau:
وَ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِى الثِّقَاتِ (dan Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab Ats-Tsiqat), dan nukilan dari penuturan Ibnu Al-Madiniy yang menyatakan Abu Utsman sebagai rawi majhul, serta perkataan Al-Ajuriy dari Abu Dawud tentang Abu Utsman: هُوَ ابْنُ عُثْمَانَ السَكَنِى (dia (Abu ''Utsman) adalah anak Utsman As-Sakaniy) . Demikian juga dalam kitab-kitab rijal selain Tahdzib At-Tahdzib. Tidak ada keterangan tentang Abu ‘Utsman mau pun bapaknya.
Adapun pentsiqatan Ibnu Hibban tidak bisa dipakai jika dia bersendirian tanpa ada ulama yang lain .
Ketiga, Sanad hadits tersebut mudltharib . Maksudnya adalah sanad hadits Ma’qil bin Yasar tesebut diperselisihkan serta tidak dapat dikompromikan atau diputuskan sanad manakah yang lebih kuat. Letak perselisihan tersebut adalah:
1 hadits Ma’qil bin Yasar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Baihaqiy,Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah, melalui jalur Abu 'Utsman, dari bapaknya, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.
2 hadits Ma’qil bin Yasar yang dikeluarkan oleh An-Nasaiy dan Ibnu Hibban, melalui jalur Abu 'Utsman, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.
3 hadits Ma’qil bin Yasar yang diriwayatkan oleh An-Nasaiy, Ahmad dan Ath-Thayalisiy, melalui jalur seorang laki-laki (رَجُلٌ), dari bapaknya, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.

Jadi, hadits tersebut mempuyai tiga jalur periwayatan, yaitu:
Pertama adalah jalur Abu 'Utsman, dari bapaknya, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.
Kedua ialah melalui jalur Abu 'Utsman, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam. (tanpa bapaknya)
Ketiga adalah melalui jalur seorang laki-laki (رَجُلٌ), dari bapaknya, dari Ma’qil bin yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.

Adapun periwayatan pertama, yakni jalur Abu 'Utsman, dari bapaknya, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam, dan periwayatan ketiga, yakni jalur seorang laki-laki (رَجُلٌ), dari bapaknya, dari Ma’qil bin yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam, mungkin bisa dikompromikan. Karena kedua sanad itu bersumber pada Sulaiman At-Taimiy, dan matan hadits kedua sanad tersebut semakna. Di samping itu, menurut penelitian penulis, At-Taimiy tidak meriwayatkan hadits dari seorang rawi dari bapaknya selain rawi yang bernama Abu 'Utsman dari bapaknya.
Adapun sanad Abu 'Utsman, dari bapaknya, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam, dan sanad kedua di atas, yakni jalur Abu 'Utsman, dari Ma’qil bin Yasar, dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam. (tanpa bapaknya), tidak ada riwayat atau keterangan yang menjelaskan perihal keduanya, sehingga kedua sanad itu dihukumi mutltharib.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits Ma’qil bin Yasar tersebut berderajat dla'if وَاللهُ أَعْلَمُ

2 Hadits Abu Ad-Darda ‘
Sanad hadits Abu Ad-Darda tersebut adalah sebagai berikut:
• Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim bin bundar.
• Ibnu Abi 'Umar.
• Abdulmajid bin Abi Rawwad.
• Marwan bin Salim
• Shafwan bin Amr.
• Syuraih.
• Abu Ad-Darda'.
• Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam
Keterangan :
Berdasarkan penelitian penulis, pada sanad tersebut di atas terdapat dua rawi yang bermasalah. Pertama adalah rawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim bin bundar. Dia adalah rawi majhul, karena tidak ada penyebutannya dalam kitab-kitab rijal, sehingga tidak diketahui keadaannya (tsiqat atau tidak). Kedua adalah rawi bernama Marwan bin Salim. Dia adalah Marwan bin Salim Al-Ghifariy, Abu Abdillah Asy-Syamiy Al-Jazariy. Tentang komentar ulama-ulama tentang dia, Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib menyebutkan :
1. Al-Imam Ahmad, An-Nasaiy dan Al- 'Uqailiy berkata :لَيْسَ بِثِقَةٍ, (dia bukan seorang rawi tsiqat).
2. Ad-Daraquthniy dan An-Nasaiy di kesempatan lain menuturkan: مَتْرُوْكُ الحَدِيْثِ , ([Marwan itu] seorang rawi yang haditsnya ditinggalkan).

3. Al-Bukhariy dan Muslim berkata bahwa Marwan itu مُنْكَرُ الحَدِيْثِ , (rawi yang haditsnya diingkari).
4. Abu 'Arubah dan As-Sajiy berkata: كَانَ يَضَعُ الحَدِيْثَ(dia (Marwan) biasa memalsukan hadits). As-Sajiy menambahkan bahwa Marwan itu كَذَّابٌ, (pendusta).

5. Abu Hatim menyatakan bahwa Marwan itu مُنْكَرُ الحَدِيْثِ جِدًّا, ضَعِيْفُ الحَدِيْثِ, لَيْسَ لَهُ حَدِيْثٌ قَائِمٌ, (rawi yang haditsnya sangat diingkari dan dla'if, serta tidak punya hadits yang shahih)

Di samping itu, dalam kitab-kitab rijal selain kitab Tahdzib At-Tahdzib, tidak ada seorang ulama pun yang memuji Marwan bin salim. Bahkan mereka mencelanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits Abu Ad-Darda’ tersebut berderajat dla'if وَاللهُ أَعْلَمُ

2 Hadits Abdullah bin Samhaj
Sanad hadits Abdullah bin Samhaj adalah sebagai berikut:
Sanad pertama:
• Abu Al-Qasim Yusuf bin al-Hasan.
• Abu Thalib bin Ghailan.
• Al-Fadl bin al-Husain.
• Abdullah bin Al-Husain
• Seorang perempuan bernama manus.
• Abdullah bin Samhaj
• Nabi sallallaahu 'alaihi wa sallam.
Sanad kedua adalah :
• Abu Turab Al-Maraghiy.
• Al-Muhamiliy,
• Asy-Syafi'iy Al-Fadll bin Al-Husain,.
• Abdullah bin Al-Husain, bagaimana yang tersebut pada sanad pertama, dari Manus, dari Abdullah.
Keterangan:
Berdasarkan penelitian penulis, pada sanad hadits tersebut terdapat rawi-rawi majhul. Mereka adalah Abu Al-Qasim Yusuf bin al-Hasan, Abu Thalib bin Ghailan, Al-Fadl bin al-Husain, Abu Turab Al-Maraghiy, Al-Muhamiliy, Asy-Syafi'iy Al-Fadll bin Al-Husain. Mereka tergolong majhul karena tidak tersebut dalam kitab-kitab rijal, sehingga tidak diketahui keadaan-keadaan mereka. Selain itu, pada sanad hadits tersebut juga ada rawi yang bernama Abdullah bin Al-Husain. Dia adalah Abdullah bin Al-Husain bin Jabir Al-Mushishiy. Mengenai diri rawi, beberapa ulama mengomentari:

1 Ibnu Hibban dalam kitab Adl-Dluafa' mengatakan :
"وَقَدْ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِى كِتَابِ الضُّعَفَاءِ, فَقَالَ: يَقْلِبُ الأَخْبَارَ وَ يُسْرِقُهَا, لاَ يَجُوزُ الإِحْتِجَاجُ بِهِ إِذَا انْفَرَدَ."
Artinya:
"Dan Ibnu Hibban telah menyebutkannya (Abdullah bin Al-Husain)dalam kitab Adl-Dluafa’, beliau berkata:’ dia (Abdullah bin Al-Husain) itu membolak-balikkan hadits-hadits dan mencurinya. Tidak boleh berhujjah dengannya apabila dia bersendirian.”
2 Muhammad bin Al-Mubarak (seorang rawi meriwayatkan darinya) berkata: لَهُ نُسْخَةٌ أَكْثَرُهَا مَقْلُوْبَةٌ, (dia [Al-Mushishiy] mempunyai naskah yang kebanyakannya terbalik.

Selain itu Ibnu hajar sudah mengatakan dalam kitab Lisan Al-Mizan tentang riwayat-riwayat yang Al-Mushishiy bolak-balikkan dan yang dia dicuri .
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits Abdullah bin Samhaj tersebut berderajat dla’if وَالله ُ أَعْلَمُ
3.1 Atsar Ghudhaif
Sanad atsar Ghudhaif tersebut adalah sebagai berikut:
• Abu Al-Mughirah
• Shafwan bin Amr.
• Al-Masyikhah .
• Ghudhaif bin Al-Harits.
Keterangan:
Pada atsar tersebut terdapat rawi rawi mubham , yaitu Al-Masyikhah. Tidak diketahui nama-nama bahkan karakter-karakter mereka (rawi-rawi tsiqat atau tidak), yang mengakibatkan kebenaran cerita mereka masih diragukan.

Selain itu, dalam riwayat Ghudlaif tersebut, Shafwan tidak menjelaskan nama rawi mubham tersebut. demikian juga tidak ada riwayat lain yang menerangkan nama rawi mubham tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa atsar Ghudlaif tersebut berderajat dla'if وَاللهُ أَعْلَم
Adapun khabar Shafwan tentang perbuatan ‘Isa bin Al-Mu’tamir yang membacakan surat Yasin atas Ibnu Ma’bad adalah riwayat yang shahih, karena Shafwan adalah rawi tsiqat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar