Rabu, 23 Maret 2011

KEDUDUKAN HUKUM WALI DALAM AKAD NIKAH

I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat muslim Indonesia, penulis menjumpai pandangan yang berbeda-beda tentang wali dalam akad nikah, yakni apakah wali itu termasuk syarat sah akad nikah ataukah tidak.
Suatu kali penulis mengikuti pengajian dengan pembicara Ustadz Mudzakkir. Beliau menerangkan bahwa wali termasuk syarat sah akad nikah. Apabila wali atau wakilnya tidak ada, maka pernikahan itu pun tidak sah.
Kemudian dalam buku Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, karya A. Hassan dan kawan-kawan, disebutkan bahwa dalam akad nikah wali tidak diperlukan (disyaratkan). Hukum wali hanyalah sunnah.
Ada pula orang-orang yang menilai bahwa wali hanya disyaratkan bagi akad nikah gadis dan tidak untuk janda. Salah satunya adalah KH. Agus Dermawan Iskandar, seorang muballigh muda dari Kampung Melayu, Jakarta Selatan. Hal ini dia ungkapkan sehubungan dengan pernikahan seorang tokoh masyarakat, Hj. Sito Resmi Prabuningrat. Pada akad nikahnya dengan Abu Abdillah Muhammad Abdul Aziz Nasution yang lebih dikenal dengan nama Debby Nasution, istri pertama Debby, Zuyyinahlah yang bertindak selaku wali bagi Sito dan yang mengakadkan pasangan tersebut. Ihwal perwalian ini, Debby beralasan bahwa 'Aisyah radliyallahu 'anha, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah menikahkan keponakan perempuannya, putri ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar tanpa kehadiran ayahnya, 'Abdur Rahman. Alasan kedua karena Sito adalah seorang janda. Maka dengan status jandanya tersebut dia tidak berkewajiban untuk melibatkan wali dalam pernikahannya. Alasan kedua inilah yang kemudian dibenarkan oleh muballigh tersebut dan beliau menambahi keterangan bahwa akad itu sah apabila saksinya laki-laki. Kalau perempuan, tidak sah.
Karena keabsahan akad nikah memiliki makna yang cukup penting dalam sebuah ikatan perkawinan, kenyataan di atas mengusik rasa ingin tahu penulis tentang bagaimana sebenarnya kedudukan hukum wali dalam akad nikah. Oleh sebab itu, penulis kemudian melakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana sebenarnya kedudukan hukum wali dalam akad nikah, lalu penulis menyusun laporan hasil penelitian tersebut dalam bentuk sebuah makalah yang penulis beri judul KEDUDUKAN HUKUM WALI DALAM AKAD NIKAH.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah wali itu menjadi syarat sah akad nikah atau tidak?
3. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalahnya, penelitian ini bertujuan:
Untuk mengetahui dan menerangkan wali itu menjadi syarat sah akad nikah atau tidak.
4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dengan segala hasilnya diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
4.1 Sebagai latihan berpikir ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis.
4.2 Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang Fiqih bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
4.3 Menjadi pedoman supaya para wanita tidak salah memposisikan diri ketika hendak mengadakan akad nikah.
4.4 Sebagai pelengkap literatur-literatur Islam, khususnya dalam bidang Fiqih dan sebagai perbandingan bagi kajian-kajian yang membahas masalah kedudukan hukum wali dalam akad nikah.
5. Metode Penelitian
5.1 Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah penelitian literatur, maka pengumpulan datanya pun penulis lakukan secara literer, yakni dengan cara membaca, mencatat, mengkaji dan menelaah hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan dari sejumlah kitab.
5.2 Sumber Data
Pustaka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini meliputi kitab tafsir, kitab hadits, kitab fiqih, kitab syarah, kitab mushthalahul
hadits, kitab ushul fiqih, kitab rijal (rawi-rawi), kamus dan lain-lain.
5.3 Jenis Data
Data yang menjadi acuan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer ialah:
Data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.

Data primer pada makalah ini ialah data yang diambil dari kitab tempat data itu mula-mula berada, bukan dari tulisan di kitab lain yang merupakan kutipan dari kitab tersebut, misalnya perkataan Ibnu Hajar yang penulis petik dari kitab Fathul Bari, susunan beliau.
Adapun data sekunder ialah:
Data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti.

Salah satu contohnya dalam makalah ini adalah pendapat Imam Malik yang penulis dapatkan dari kitab tulisan Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid.
5.4 Metode Analisa Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul baik yang berupa ayat Al-Qur`an, hadits, atsar maupun pendapat ulama, penulis menerapkan metode reflective thinking, yaitu mengkombinasikan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif.
Metode deduktif adalah cara berpikir dengan bersandarkan pada pengetahuan umum, kemudian dari pengetahuan umum tersebut ditarik suatu kesimpulan khusus.
Berkebalikan dengan metode deduktif, metode induktif ialah cara berpikir dengan bersandarkan pengetahuan-pengetahuan khusus, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
6. Sistematika Penulisan
Guna memberikan gambaran umum tentang isi makalah ini, berikut ini penulis kemukakan sistematika penulisan.
Penulisan makalah ini diawali dengan penulisan judul, pengesahan, kata pengantar dan daftar isi.
Bab pertama adalah bab pendahuluan. Dalam bab ini diterangkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua yang berjudul Wali dalam Akad Nikah menjelaskan perihal pengertian wali, macam-macam perwalian, dan orang-orang yang berhak menjadi wali.
Bab ketiga menampilkan nas-nas yang digunakan ulama untuk menetapkan kedudukan hukum wali dalam akad nikah yang bersumber dari Al-Qur`an dan sunnah.
Bab keempat mengetengahkan pendapat-pendapat ulama tentang kedudukan hukum wali dalam akad nikah.
Bab kelima merupakan analisa dalil-dalil yang digunakan untuk menentukan kedudukan hukum wali dalam akad nikah dan pendapat-pendapat ulama dalam masalah ini.
Bab keenam berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
Akhir makalah ini berisi daftar pustaka dan lampiran.

BAB II
WALI DALAM AKAD NIKAH
Berkaitan dengan pembahasan kedudukan hukum wali dalam akad nikah, ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan sebagai berikut.
1. Pengertian Wali
Kata wali merupakan kata serapan dari bahasa Arab وَلِيٌّ. Kata wali (وَلِيٌّ) mempunyai bentuk jamak أَوْلِيَاءُ. Kata wali merupakan lafdhun musytarak (kata yang mempunyai arti lebih dari satu ). Adapun arti yang penulis maksudkan pada pembicaraan ini adalah:
كُلُّ مَنْ وَلِىَ أَمْرًا أَوْ قَامَ بِهِ.
Setiap orang yang mengurusi suatu perkara atau bertanggung jawab atasnya.

Arti ini terdapat pula di dalam kitab An-Nihayatu fi Gharibil Haditsi wal Atsar. Jadi, menurut pengertian bahasa, orang yang memegang suatu urusan apa pun dan bertanggung jawab atasnya bisa disebut sebagai wali, sebagaimana dalam bahasa Indonesia dikenal istilah wali murid untuk orang yang mengurusi dan bertanggung jawab dengan segala sesuatu yang menyangkut diri seorang murid, wali kelas bagi guru yang mengurusi dan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sebuah kelas di suatu sekolah berikut anak didiknya, dan lain-lain.
Adapun istilah wali yang akan penulis bahas pada makalah ini adalah orang yang memiliki wewenang untuk menikahkan wanita yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah waliyyul mar`ah sebagaimana ditulis oleh Ibnu Mandhur Al-Afriqi dan Ibrahim Unais dalam kamus masing-masing sebagai berikut:
وَلِيُّ الْمَرأَةِ: مَنْ يَلِى عَقْدَ النِّكَاحِ عَلَيْهَا وَلاَ يَدَعُهَا تَسْتَبِدُّ بِعَقْدِ النِّكَاحِ مِنْ دُوْنِهِ.
Wali perempuan: orang yang mengurusi akad nikah atasnya dan tidak membiarkannya melangsungkan akad nikah sendiri tanpa perwaliannya.

2. Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali dalam Akad Nikah
Dari sejumlah kitab yang telah penulis telaah, penulis dapati ada beberapa golongan orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahan, yaitu:
Kerabat
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa menurut segolongan besar ulama, di antaranya: Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits dan Asy-Syafi’i , kerabat yang berhak menjadi wali nikah adalah ‘ashabah saja.
Pemilik budak (bagi budaknya)
Maula (orang yang memerdekakan)
Jumhur ulama berpendapat bahwa maula berhak menjadi wali nikah bagi bekas budaknya. Demikian pula 'ashabah maula tersebut jika maula tidak ada.
Kafil (orang yang menanggung kebutuhan hidup seseorang)
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa kafil seorang wanita mempunyai hak perwalian nikah atas perempuan tersebut dengan syarat-syarat tertentu.
Sulthan (penguasa Islam)
Berdasarkan keterangan Al-Muwaffiq, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahwa sulthan memiliki hak perwalian nikah atas seorang wanita ketika wali-walinya tidak ada atau mereka menghalangi pernikahan wanita tersebut.

BAB III
NAS-NAS YANG DIGUNAKAN UNTUK MENETAPKAN KEDUDUKAN HUKUM WALI DALAM AKAD NIKAH
1. Nas-nas yang Digunakan untuk Mensyaratkan Wali
1.1 Al-Baqarah (2):221
Lafal dan Arti
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّقلى وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْج وَلاَ تُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْاقلى وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْج....
Janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai mereka beriman. Sungguh seorang budak perempuan yang beriman itu lebih baik daripada perempuan musyrik walaupun dia menakjubkan kalian. Janganlah kalian menikahkan dengan lelaki-lelaki musyrik sampai mereka beriman. Sungguh seorang budak laki-laki yang beriman itu lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun dia menakjubkan kalian.

1.2 Al-Baqarah (2):232
Lafal dan Arti
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِقلى....
Apabila kalian mentalak istri-istri kalian lalu mereka sampai pada waktu mereka (masa idah mereka telah berakhir), maka janganlah kalian menghalangi mereka untuk menikah dengan suami-suami mereka apabila mereka rela (yakni, ada kerelaan untuk kembali menjadi suami-istri) di antara mereka dengan (cara) yang baik….

1.3 An-Nisa`(4): 25
Lafal dan Arti
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ فَمِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمْنَاتِقلى وَاللهُ أَعْلَمُ بِإيْمَانِكُمْقلى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍج فَانْكِحُوْهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ....
Barangsiapa dari kalian (orang-orang beriman) tidak mendapatkan kemampuan (dalam soal harta) untuk menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) apa-apa yang dimiliki oleh tangan-tangan kanan kalian, yaitu budak-budak perempuan kalian (budak-budak perempuan milik orang-orang beriman lain) yang beriman. Allah lebih tahu dengan keimanan kalian. Sebagian kalian (merupakan bagian) dari sebagian yang lain. Maka nikahilah mereka dengan ijin tuan mereka ….

1.4 Hadits Abu Musa radliyallahu 'anhu tentang Tidak Adanya Pernikahan kecuali dengan Wali
1.4.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... عَنْ أَبِى مُوْسَى قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ)). رواه الترمذي بإسناد صحيح.
... dari Abu Musa, dia berkata, “Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.’” At-Turmudzi telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh: Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, Abu Ya’la, ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Ibnu Abi Syaibah.
1.4.2 Kedudukan
Hadits Abu Musa ini shahih (shahih li dzatihi).
1.5 Hadits ‘Aisyah radliyallahu 'anha tentang Batalnya Pernikahan tanpa Wali
1.5.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ  قَالَ: ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ)). رواه الترمذى بإسناد حسن.
… dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Siapa pun perempuan yang dinikahi tanpa ijin walinya, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal. Lalu jika lelaki (yang menikahinya) terlanjur mengumpulinya, maka mahar pernikahan itu tetap menjadi hak perempuan tersebut dengan sebab lelaki itu telah menganggap halal kemaluannya. Jika mereka (para wali) berselisih , maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” At-Turmudzi telah meriwayatkannya dengan sanad yang hasan.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh: Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Ad-Darimi, Sa’id bin Manshur, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Humaidi, Asy-Syafi’i, ‘Abdur Razzaq , Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thayalisi, dan Al-Baihaqi.
1.5.2 Kedudukan
Hadits ‘Aisyah ini hasan (hasan li dzatihi).
2. Nas-nas yang Digunakan untuk Tidak Mensyaratkan Wali
2.1 Al-Baqarah (2):232
Ayat ini sudah penulis ketengahkan pada subbab sebelum ini.
2.2 Al-Ahzab (33):50
Lafal dan Arti
... وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً اِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ اَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ قلى....
…dan (Kami halalkan juga) wanita beriman jika menghibahkan dirinya kepada Nabi, jika Nabi berkehendak menikahinya sebagai (suatu ketentuan yang) khusus bagimu (Nabi), bukan untuk seluruh orang beriman….

2.3 Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhuma bahwa Janda Lebih Berhak dengan Dirinya daripada Wali
2.3.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ: ((الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِى نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا)). رواه مسلم.
... dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janda itu lebih berhak dengan dirinya daripada walinya, sedangkan gadis dimintai ijin dalam soal dirinya dan (tanda) ijinnya adalah diamnya.” Muslim telah meriwayatkannya.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh: Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa`i, Ibnu Majah, Malik, Ad-Darimi, Ad-Daraquthni, Sa’id bin Manshur, dan ‘Abdur Razzaq.
2.3.2 Kedudukan
Hadits Ibnu 'Abbas ini berkedudukan shahih.
2.4 Hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu tentang Pensyaratan Ijin Wanita yang akan Dinikahkan
2.4.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ  قَالَ ((لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ أَنْ تَسْكُتَ)). رواه البخاري.
… bahwasanya Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai dimintai perintah, sedang seorang gadis tidak boleh dinikahkan sampai dimintai ijin. Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah! Bagaimana (tanda) ijinnya?" Rasulullah bersabda, "Diamnya.” Al-Bukhari telah meriwayatkannya.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh: Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Sa’id bin Manshur.
2.4.2 Kedudukan
Hadits Abu Hurairah ini shahih.
2.5 Hadits Buraidah radliyallahu 'anhu tentang Gadis yang Dinikahkan Bapaknya tanpa Ijinnya
2.5.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ  فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ قَالَ فَجَعَلَ الأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الآبَاءِ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ. رواه ابن ماجه بسند ضعيف.
... dari Ibnu Abi Buraidah dari bapaknya, dia berkata, “Datanglah seorang gadis kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu dia menuturkan, ‘Sesungguhnya bapakku telah menikahkanku dengan anak laki-laki saudara laki-lakinya (sepupuku) supaya dapat mengangkat kerendahan status sosialnya dengan sebab (pernikahan)ku (dengannya).’" Buraidah berkata, "Maka Rasulullah menyerahkan urusan tersebut kepada gadis itu. Lalu dia berkata, ‘Aku sudah merelakan apa yang telah diperbuat bapakku. Hanya saja, aku ingin para wanita itu tahu bahwa para bapak tidak mempunyai hak dalam urusan pernikahan sama sekali." Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang dla'if


‘Abdur Razzaq juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Mushannaf secara mursal dari Ibnu Buraidah.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Buraidah dari ‘Aisyah dan riwayatnya dimuat oleh An-Nasai dan Ad-Daraquthni dalam kitab masing-masing.
Ibnu Abi Syaibah, Sa’id bin Manshur dan ‘Abdur Razzaq juga meriwayatkan hadits semisal ini dari Abu Salamah bin Abdurrahman dalam hal seorang janda yang dinikahkan tanpa persetujuannya.
2.5.2 Kedudukan
Hadits Buraidah ini hasan li ghairihi karena mempunyai syahid , yaitu hadits Ibnu 'Abbas.

2.6 Hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (dari Jalan ‘Umar bin Abu Salamah) tentang Pernikahannya dengan Rasulullah
2.6.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ لَمَّا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بَعَثَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ فَلَمْ تَزَوَّجْهُ فَبَعَثَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ  عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَخْطُبُهَا عَلَيْهِ فَقَالَتْ أَخْبِرْ رَسُولَ اللهِ  أَنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى وَأَنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدٌ. فَأَتَى رَسُولَ اللهِ  فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَقُلْ لَهَا أَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ غَيْرَى فَسَأَدْعُو اللهَ لَكِ فَيُذْهِبُ غَيْرَتَكِ وَأَمَّا قَوْلُكِ إِنِّي امْرَأَةٌ مُصْبِيَةٌ فَسَتُكْفَيْنَ صِبْيَانَكِ وَأَمَّا قَوْلُكِ أَنْ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِي شَاهِدٌ فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَوْلِيَائِكِ شَاهِدٌ وَلاَ غَائِبٌ يَكْرَهُ ذَلِكَ فَقَالَتْ ِلابْنِهَا يَا عُمَرُ قُمْ فَزَوِّجْ رَسُولَ اللهِ  فَزَوَّجَهُ مُخْتَصَرٌ. رواه النّسائيّ بإسناد ضعيف.
... telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Umar bin Abu Salamah, dari bapaknya, dari Ummu Salamah, tatkala masa idahnya telah berlalu, Abu Bakar mengutus seseorang melamar Ummu Salamah untuknya, namun Ummu Salamah tidak bersedia menikah dengannya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Umar bin Al-Khaththab meminang Ummu Salamah untuk beliau. Maka Ummu Salamah berkata kepada ‘Umar, 'Beritahukanlah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku adalah seorang wanita pencemburu, lagi pula aku mempunyai anak-anak kecil dan tidak ada seorang pun dari wali-waliku yang hadir (saat ini).’ ‘Umar pun mendatangi Rasulullah dan menyebutkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, 'Kembalilah dan katakan kepadanya: Adapun penuturanmu 'sesungguhnya aku adalah wanita pencemburu', maka aku akan mendoakan dirimu kepada Allah hingga Dia pasti akan menghilangkan kecemburuanmu itu. Adapun penuturanmu 'sesungguhnya aku wanita yang mempunyai anak-anak kecil', maka kamu akan dapat mencukupi kebutuhan hidup anak-anakmu yang masih kecil. Adapun penuturanmu 'tidak ada seorang pun dari wali-waliku yang hadir (saat ini)', maka tidak ada seorang pun dari wali-walimu baik yang hadir maupun yang tidak hadir saat ini yang akan tidak suka dengan pernikahan ini.' Maka Ummu Salamah pun memerintah anak laki-lakinya, ‘Wahai ‘Umar, bangkitlah dan nikahkanlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Lalu ‘Umar pun menikahkannya.’” Mukhtashar (diringkas). An-Nasai telah meriwayatkannya dengan sanad yang dla’if..

Hadits ini diriwayatkan juga oleh: Ahmad, Ibnu Sa’d, Al-Maushuli, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi.
2.6.2 Keterangan
Hadits Ummu Salamah ini mengisahkan tentang pernikahannya dengan Rasulullah.
Dalam sebuah riwayat Al-Baihaqi diterangkan:
... أَنَّ النَّبِيَّ خَطَبَ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَ مُرِي ابْنَكِ أَنْ يُزَوِّجَكِ أَوْ زَوَّجَهَا ابْنُهَا، وَهُوَ حِيْنَئِذٍ صَغِيْرٌ لَمْ يَبْلُغْ.
... bahwasanya Nabi meminang Ummu Salamah. Beliau bersabda, “Suruhlah anak laki-lakimu untuk menikahkanmu.” Atau bersabda, “Menikahkannya anak laki-lakinya.” Padahal anak lak-lakinya pada waktu itu masih kecil, belum baligh.

Berdasarkan riwayat di atas dapat dipahami bahwa perintah Ummu Salamah untuk menikahkan pada hadits tersebut berasal dari Nabi.
2.6.3 Kedudukan
Hadits Ummu Salamah ini dla’if.
2.7 Hadits Ummu Habibah radliyallahu 'anha tentang Pernikahannya dengan Rasulullah
2.7.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ ابْنِ جَحْشٍ فَهَلَكَ عَنْهَا وَكَانَ فِيْمَنْ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَزَوَّجَهَا النَّجَاشِيُّ رَسُولَ اللهِ  وَهِيَ عِنْدَهُمْ. رواه أبو داود بإسناد صحيح.
… dari Ummu Habibah, bahwasanya dia dahulu adalah istri Ibnu Jahsy. Lalu Ibnu Jahsy meninggal saat dia masih menjadi istrinya. Ibnu Jahsy termasuk orang yang berhijrah ke tanah Habasyah (Ethiopia). Lalu An-Najasyi menikahkannya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang Ummu Habibah berada di antara mereka. Abu Dawud telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad.
2.7.2 Kedudukan
Hadits Ummu Habibah ini shahih.
2.8 Hadits Sahl bin Sa’d radliyallahu 'anhu tentang Wanita yang Menghibahkan Diri kepada Rasulullah
2.8.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ  فَقَالَتْ إِنِّي وَهَبْتُ مِنْ نَفْسِي فَقَامَتْ طَوِيْلاً فَقَالَ رَجُلٌ زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ قَالَ: ((هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا)) قَالَ: مَا عِنْدِي إِلاَّ إِزَارِي فَقَالَ: ((إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِيَّاهُ جَلَسْتَ لاَ إِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا)) فَقَالَ مَا أَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ: ((الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ)) فَلَمْ يَجِدْ فَقَالَ: ((أَمَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ)) قَالَ نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ سَمَّاهَا فَقَالَ: ((قَدْ زَوَّجْنَاكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ)). رواه البخاريّ.
... dari Sahl bin Sa’d, dia berkata, “Datanglah seorang wanita kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku menghibahkan diriku.’ Lalu dia berdiri lama. Maka berkatalah seorang laki-laki, ‘Nikahkanlah aku dengannya jika engkau tidak berkeperluan dengannya.’ Rasul bersabda, ‘Apakah kamu memiliki sesuatu yang bisa kamu berikan kepadanya sebagai mahar?’ Laki-laki itu berkata, ‘Aku tidak memiliki sesuatu kecuali sarungku.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Jika kamu memberinya sarung itu, niscaya kamu tidak memiliki sarung (lagi). Maka carilah sesuatu (yang lain).' Laki-laki itu berkata, ‘Aku tidak memperoleh sesuatu pun.’ Rasulullah bersabda, ‘Carilah walaupun hanya sebentuk cincin dari besi.' (Namun) laki-laki itu pun tidak mendapatkannya. Maka Rasulullah bersabda, ‘Apakah kamu mempunyai hapalan Al-Qur`an?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ya, surat ini, surat itu – dia menunjuk beberapa surat yang dia sebutkan namanya-. Rasulullah bersabda, ‘Telah kami nikahkan kamu dengannya dengan mahar hapalan Al-Qur`anmu.’” Al-Bukhari meriwayatkannya.

Hadits ini diriwayatkan juga oleh: Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Malik, dan Ibnu Hibban.
2.8.2 Kedudukan
Hadits Sahl bin Sa'd ini shahih.
2.9 Atsar ‘Aisyah radliyallahu 'anha bahwa Ia Menikahkan Hafshah binti ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar
2.9.1 Lafal, Arti dan Takhrij
... أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ  زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمنِ الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ وَعَبْدُ الرَّحْمنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ فَلَمَّا قَدِمَ عَبْدُ الرَّحْمنِ قَالَ وَمِثْلِي يُصْنَعُ هَذَا بِهِ وَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ.... رواه مالك بسند صحيح.
... bahwasanya ‘Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menikahkan Hafshah binti ‘Abdur Rahman dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair sementara ‘Abdur Rahman sedang pergi ke Syam (Syiria). Maka ketika datang (dari safarnya), ‘Abdur Rahman berkata, “Pantaskah orang semisalku diperlakukan seperti ini?! Layakkah orang sepertiku tidak dimintai pertimbangan?! Malik meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.

2.9.2 Kedudukan
Atsar 'Aisyah ini shahih.
2.10 Atsar Ummu Hakim binti Qaridh radliyallahu 'anha tentang Pernikahannya dengan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf
2.10.1 Lafal, Arti dan Takhrij
أَنَّ أُمَّ حَكِيْمٍ بِنْتَ قَارِظٍ قَالَتْ لِعَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ: أَنَّهُ قَدْ خَطَبَنِيْ غَيْرُ وَاحِدٍ فَزَوِّجْنِي أَيَّهُمْ رَأَيْتَ. قَالَ: وَتَجْعَلِيْنَ ذلِكَ إِلَيَّ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ: قَدْ تَزَوَّجْتُكِ. قَالَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ: فَجَازَ نِكَاحُهُ. رواه ابن سعد بسند ضعيف.
(Ibnu Sa’d berkata), Telah mengabari kami Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik, dari Ibnu Abi Dzi`b, dari Sa’id bin Khalid dan Qaridh bin Syaibah bahwasanya Ummu Hakim binti Qaridh berkata kepada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, "Sesungguhnya tidak hanya satu lelaki yang telah meminangku. Maka nikahkanlah aku dengan siapa pun yang kau pandang (baik untukku)." ‘Abdur Rahman berkata, "Kau menyerahkan urusan itu kepadaku?" Ummu Hakim menjawab, "Ya." Lalu ‘Abdur Rahman berkata, "Sungguh telah kunikahi (diri)mu." Ibnu Abi Dzi`b berkata, ‘Maka sah pernikahannya.” Ibnu Sa’d meriwayatkannya dengan sanad yang dla'if.

Atsar ini diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari secara mu’allaq (tergantung).
2.10.2 Kedudukan
Atsar Ummu Hakim radliyallahu 'anha ini dla’if.

BAB IV
PENDAPAT ULAMA TENTANG
KEDUDUKAN HUKUM WALI DALAM AKAD NIKAH
1. Wali Merupakan Syarat Sah Akad Nikah Secara Mutlak
Dengan disyaratmutlakkannya wali, maka siapa pun yang berjenis kelamin perempuan, bagaimana pun sifat dan keadaannya, serta apa pun kelas sosialnya dalam masyarakat, tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengucapkan ijab dan kabul dalam akad nikah atas nama siapa pun.
Pendapat bahwa wali merupakan syarat sah akad nikah secara mutlak ini dipegang oleh jumhur ulama sebagaimana dinyatakan dalam ‘Aunul Ma’bud, Tuhfatul Ahwadzi, Fathul Bari, Nailul Authar, Subulus Salam dan lain-lain. Untuk meringkas, berikut ini penulis hanya mengetengahkan satu kutipan data tentang pendapat para ulama tersebut.
فَذَهَبَ مَالِكٌ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَكُوْنُ النِّكَاحُ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَإِنَّهَا شَرْطٌ فِى الصِّحَّةِ فِى رِوَايَةِ أَشْهَبٍ عَنْهُ.
Malik berpendapat bahwa pernikahan itu tidak ada (tidak sah) kecuali dengan adanya wali dan bahwa perwalian itu merupakan syarat keabsahannya, menurut riwayat Asyhab darinya (Malik).

Yang juga berpendapat seperti ini antara lain 'Umar bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, fuqaha Madinah, Syuraih dan Masruq, Al-Hasan Bashri, Jabir bin Zaid, Abu Ja’far Al-Baqir, yaitu Muhammad bin ‘Ali bin Al-Husain bin ’Ali bin Abi Thalib, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hazm.
2. Wali Merupakan Syarat Sah Akad Nikah secara Tidak Mutlak
Ada tiga pendapat yang berada di bawah subbab ini, yakni:
2.1 Akad Nikah yang Dilaksanakan Sendiri oleh Wanita Sah Apabila Disertai Ijin Wali
Pendapat ini dianut oleh Al-Auza'i dan Abu Tsaur seperti diterangkan Ibnu Hajar sebagai berikut:
وَانْفَصَلَ بَعْضُهُمْ عَنْ هذَا الإِيْرَادِ بِالْتِزَامِهِمِ اشْتِرَاطَ الْوَلِيِّ لكِنْ لاَ يَمْنَعُ ذلِكَ تَزْوِيْجَ نَفْسِهَا وَيَتَوَقَّفُ ذلِكَ عَلَى إِجَازَةِ الْوَلِيِّ كَمَا قَالُوْا فِى الْبَيْعِ وَهُوَ مَذْهَبُ الأَوْزَاعِيِّ وَقَالَ أَبُوْ ثَوْرٍ نَحْوَهُ لكِنْ قَالَ: يُشْتَرَطُ إِذْنُ الْوَلِيِّ لَهَا فِى تَزْوِيْجِ نَفْسِهَا.
Sebagian mereka sedikit berbeda (pendapat) dengan pendapat tersebut (bahwa wali merupakan syarat sah akad nikah) dengan tetap mensyaratkan wali, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan wanita melangsungkan akad nikah sendiri. Kemungkinan itu tergantung kepada pembolehan wali. (Pendapat ini) seperti apa yang mereka katakan dalam soal jual-beli. Ini merupakan madzhab Al-Auza’i. Abu Tsaur juga berpendapat semisal ini, akan tetapi beliau mengatakan, “Ijin wali bagi wanita tersebut untuk melakukan akad nikah sendiri disyaratkan.”

Pernyataan Ibnu Hajar ini dikutip oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi. Adapun pendapat Abu Tsaur dimuat juga oleh Al-Qadli ‘Iyadl, An-Nawawi dan Asy-Syaukani dalam kitab masing-masing.
Selain keduanya, Al-Qasim bin Muhammad dan Muhammad bin Sirin juga berpendapat demikian.
2.2 Wali Merupakan Syarat Sah Pernikahan bagi Gadis, Bukan Janda
Pendapat ini merupakan pendapat Dawud Adh-Dhahiri dan para ulama penganut madzhab Dhahiri yang sependapat dengannya.
وَقَالَ دَاوُدُ يُشْتَرَطُ الْوَلِيُّ فِى تَزْوِيْجِ الْبِكْرِ دُوْنَ الثَّيِّبِ.
Dawud berkata, “Wali itu disyaratkan dalam menikahkan gadis, tidak janda."
وَعَنِ الظَّاهِرِيَّةِ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِى الْبِكْرِ فَقَطْ.
Pendapat ulama ahli dhahir ialah bahwasanya wali disyaratkan bagi wanita yang masih gadis saja.

2.3 Pernikahan tanpa Wali itu Sah Jika Terlanjur Terjadi Hubungan Badan
Ada beberapa riwayat dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa beliau berpendapat demikian. Berikut ini salah satunya.
عَنْ أَبِيْ قَيْسٍ الأََوْدِيِّ أَنَّ عَلِيًّا كَانَ يَقُوْلُ: إِذَا تَزَوَّجَ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيٍّ ثُمَّ دَخَلَ بِهَا، لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا.
… dari Abu Qais Al-Audi bahwa ‘Ali pernah berkata, “Apabila seorang laki-laki menikah tanpa ijin wali (wanita), kemudian dia menggaulinya, maka pasangan suami-istri itu tidak boleh diceraikan. Jika laki-laki itu belum menggaulinya, keduanya boleh diceraikan.

3. Wali Bukan Syarat Sah Akad Nikah
Ulama yang berpendirian bahwa wali bukan syarat sah akad nikah ini adalah Abu Hanifah. Ibnul Hammam Al-Hanafi menyatakan:
عَنْ أَبِي حَنِيْفَةَ تَجُوْزُ مُبَاشَرَةُ الْمَرْأَةِ الْبَالِغَةِ الْعَاقِلَةِ عَقْدَ نِكَاحِهَا وَنِكَاحِ غَيْرِهَا مُطْلَقًا إِلاَّ أَنَّهُ خِلاَفُ الْمُسْتَحَبِّ وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ. وَرِوَايَةُ الْحَسَنِ عَنْهُ إِنْ عَقَدَتْ مَعَ كُفْءٍ جَازَ وَمَعَ غَيْرِهِ لاَ يَصِحُّ، وَاخْتِيْرَتْ لِلْفَتْوَى لِمَا ذُكِرَ أَنَّ كَمْ مِنْ وَاقِعٍ لاَ يُرْفَعُ وَليْسَ كُلُّ وَلِيٍّ يُحْسِنُ الْمُرَافَعَةَ وَالْخُصُوْمَةَ وَلاَ كُلُّ قَاضٍ يَعْدِلُ، وَلَوْ أَحْسَنَ الْوَلِيُّ وَعَدَلَ الْقَاضِي فَقَدْ يُتْرَكُ أَنَفَةً لِلتَّرَدُّدِ عَلَى أَبْوَابِ الْحُكَّامِ وَاسْتِثْقَالاً لِنَفْسِ الْخُصُوْمَاتِ فَيَتَقَرَّرُ الضَّرَرُ فَكَانَ مَنْعُهُ دَفْعًا لَهُ. وَيَنْبَغِي أَنْ يُقَيَّدَ عَدَمُ الصِّحَّةِ الْمُفْتَى بِهِ بِمَا إِذَا كَانَ لَهَا أَوْلِيَاءُ أَحْيَاءٌ لأَنَّ عَدَمَ الصِّحَّةِ إِنَّمَا كَانَ عَلَى مَا وَجَّهَ بِهِ هذِهِ الرِّوَايَةُ دَفْعًا لِضَرَرِهِمْ فَإِنَّهُ قَدْ يَتَقَرَّرُ لِمَا ذَكَرْنَا، أَمَّا مَا يَرْجِعُ إِلَى حَقِّهَا فَقَدْ سَقَطَ بِرِضَاهَا بِغَيْرِ الْكُفْءِ ....
Dari Abu Hanifah (bahwa) pelaksanaan seorang wanita dewasa dan berakal sehat akan akad nikahnya atau akad nikah orang lain itu (hukumnya) boleh (sah) secara mutlak. Hanya saja, perbuatan itu menyelisihi yang mustahab (disukai). (Pendapat) ini merupakan dlahir madzhab. Sedangkan riwayat Al-Hasan darinya, jika wanita itu mengadakan akad nikah dengan pria sekufu (setara), maka akad itu boleh, dan jika dengan orang yang tidak sekufu, tidak boleh (tidak sah). Riwayat inilah yang dipilih untuk fatwa karena dilaporkan berapa banyak kasus yang tidak diperkarakan. (Selain itu) tidak setiap wali sanggup untuk memperkarakan kasus tersebut dan menengkari, serta tidak setiap qadli mampu berbuat adil. Sekalipun wali sanggup dan qadli mampu memberikan keadilan, terkadang kasus itu diabaikan karena enggan untuk bolak-balik menghadap para hakim dan rasa sungkan atas pertengkaran-pertengkaran itu sendiri, sehingga kerugian (akibat pernikahan yang tidak sekufu) itu tetap ada. Maka pelarangan menikah dengan pria yang tidak sekufu itu merupakan satu bentuk antisipasi terhadap hal itu. Sepatutnyalah ketidakabsahan yang difatwakan itu dikaitkan dengan keadaan apabila wanita tersebut mempunyai wali-wali yang masih hidup, karena (maksud) ditidaksahkannya pernikahan itu—menurut kesimpulan yang dituju riwayat ini—tiada lain adalah untuk menghindarkan kerugian yang menimpa mereka, sebab hal itu kadang-kadang masih terjadi karena situasi dan kondisi yang telah kami sebutkan. Sedangkan apa yang kembali kepada hak wanita sudah gugur dengan kerelaannya (untuk menikah) dengan pria yang tidak sekufu….


Ulama lain yang sependapat dengan ini adalah `Atha’ , ulama madzhab Imamiyah, Asy-Sya`bi dan Az-Zuhri .
Pada prinsipnya, para ulama yang berpendapat bahwa wali bukan syarat sah akad nikah membolehkan wanita menjadi wali dalam akad nikah. Namun, pada keadaan tertentu, sebagian mereka tidak mensahkan pernikahan yang dilaksanakan sendiri oleh wanita.

B A B V
A N A L I S A

1. Analisa Nas-nas yang Digunakan untuk Menetapkan Kedudukan Hukum Wali dalam Akad Nikah
1.1 Dalil-dalil yang Digunakan untuk Mensyaratkan Wali.
1.1.1 Al-Baqarah (2):221 (lihat bab III, hlm.9)
Ayat ke-221 dari Surat Al-Baqarah ini menerangkan larangan bagi orang-orang beriman laki-laki menikah dengan perempuan-perempuan musyrik dan larangan menikahkan para lelaki musyrik dengan wanita-wanita beriman.
Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini merupakan dalil disyaratkannya wali dalam akad nikah. Dalam mengambil dalil tentang hal tersebut, beliau mengaitkan ayat ini dengan hadits لا نكاح إلا بولي (tidak ada nikah kecuali dengan wali) .
Selain melarang menikah dengan wanita musyrik, Allah juga melarang orang-orang beriman laki-laki menikahkan para lelaki musyrik dengan para wanita beriman. Jadi, orang-orang beriman baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dilarang menikah dengan orang-orang musyrik. Namun, sewaktu melarang perempuan-perempuan beriman, Allah tidak langsung mengarahkan larangan tersebut kepada wanita-wanita beriman, melainkan melarang orang-orang beriman laki-laki menikahkan mereka dengan lelaki-lelaki musyrik. Adanya larangan menikahkan bagi laki-laki ini mengisyaratkan adanya hak baginya untuk menikahkan. Lalu apabila hal di atas dikaitkan dengan hadits bahwa pernikahan tidak sah kecuali dengan wali, maka dapat dipahami bahwa urusan menikahkan merupakan hak khusus wali. Perempuan tidak boleh melakukan akad nikah sendiri, tetapi harus dinikahkan oleh wali.
Ulama yang sependapat dengan Al-Qurthubi di antaranya adalah: Imam Malik, dan Ibnu Hazm.
1.1.2 Al-Baqarah (2):232 (lihat bab III, hlm.9)
Ayat ini menerangkan tentang larangan menghalangi pernikahan. Para ahli tafsir berselisih pendapat dalam menentukan orang yang dikenai larangan dalam ayat ini. Ar-Razi menyatakan bahwa larangan menghalangi pernikahan ini ditujukan kepada para suami yang mentalak istri mereka. Az-Zamakhsyari, Al-Maraghi, dan Ats-Tsa’alibi berpendapat bahwa larangan tersebut diarahkan kepada segenap muslimin. Adapun mayoritas mufassir mengatakan bahwa larangan itu untuk para wali. Mereka itu antara lain: Ath-Thabari, Al-Khazin, Al-Baghawi, Ibnu Katsir dan Al-Mawardi.
Ulama yang mengatakan bahwa larangan pada ayat ini untuk para wali mendasarkan pendapat ini atas riwayat yang menerangkan sababun nuzul (sebab turun) ayat tersebut. Riwayat tentang sababun nuzul ayat tersebut ada beberapa, tetapi pada prinsipnya riwayat-riwayat itu sama, hanya pelakunya yang berbeda. Salah satu dari riwayat-riwayat itu adalah riwayat dari Ma’qil bin Yasar radliyallahu 'anhu. Berikut ini petikan riwayat dari Ma'qil bin Yasar yang penulis nukil dari kitab Shahihul Bukhari.
... عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ قَالَ: حَدَّثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَّارٍ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِيْهِ قَالَ: زَوَّجْتُ أُخْتًا لِيْ مِنْ رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا جَاءَ يَخْطُبُهَا فَقُلْتُ لَهُ: زَوَّجْتُكَ وَأَفْرَشْتُكَ وَأَكْرَمْتُكَ فَطَلَّقْتَهَا ثُمَّ جِئْتَ تَخْطبُهَا، لاَ وَاللهِ لاَ تَعُوْدُ إِلَيْكَ أَبَدًا وَكَانَ رَجُلاً لاَ بَأْسَ بِهِ وَ كَانَتِ الْمَرْأَةُ تُرِيْدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ فَأَنْزَلَ اللهُ هذِهِ الآيَةَ فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ فَقُلْتُ: الأَنَ أَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ.
... dari Al-Hasan, dia berkata, “Janganlah kalian menghalangi mereka." Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar bahwa ayat itu turun dalam perkaranya. Ma’qil bercerita, ‘Aku menikahkan adik perempuanku dengan seorang pria. Lalu dia mentalaknya. Sampai ketika idahnya selesai, pria itu datang meminangnya. Maka kukatakan kepadanya, ‘Sudah kunikahkan kamu. Sudah kujadikan (saudara perempuanku) istri untukmu dan sudah pula kumuliakan dirimu. Lalu engkau mentalaknya. Kemudian kamu datang meminangnya. Tidak, demi Allah! Dia tidak akan kembali kepadamu selamanya.’ Padahal pria itu orang baik-baik dan perempuan itu pun bersedia untuk rujuk kepadanya. Maka Allah menurunkan ayat ini "Janganlah kalian menghalangi mereka". Aku pun mengatakan, ‘Sekarang juga akan saya laksanakan, wahai Rasulullah!’” Al-Hasan berkata, “Lalu dia pun menikahkan saudara perempuannya dengan pria itu.”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, At-Turmudzi, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban. Hadits Ma’qil ini berderajat shahih.
Apabila orang yang dikenai larangan ini adalah para suami, maka lafal أَجَلَهُنَّ dapat diartikan sebagai waktu sesudah atau menjelang masa idah berakhir .

Jika masa idah sudah berlalu, maka tidak ada lagi hubungan pernikahan antara suami dengan mantan istrinya tersebut sehingga dia menjadi laki-laki ajnabi bagi wanita tersebut. Dengan demikian, tanpa dilarang pun tidak ada hak baginya untuk menghalangi wanita tersebut untuk menikah.
Kemudian jika masa idah belum berlalu, maka wanita itu tidak boleh memiliki ikatan perkawinan dengan siapa pun. Hanya saja, selagi dalam masa idah ini, suami yang telah mentalaknya boleh merujukinya jika bermaksud islah. Oleh karena itu, menjadikan larangan menghalangi pernikahan ini kepada suami merupakan suatu kekeliruan.
Dengan demikian, pendapat bahwa larangan menghalangi pernikahan pada ayat ini kepada para suami dan segenap muslimin tidak dapat penulis terima. Jadi yang benar adalah bahwa larangan menghalangi pernikahan dalam ayat ini ditujukan kepada para wali. Wallahu a’lam.
Ayat ini membenarkan pemahaman orang yang berpegang kepada hadits لانكاح إلا بولي (tidak ada pernikahan kecuali dengan wali) sehingga menunjukkan bahwa wali itu disyaratkan dalam pernikahan. Wallahu a’lam.
1.1.3 An-Nisa` (04):25 (lihat bab III, hlm.9-10)
Yang perlu digarisbawahi dari ayat ke-25 dari surat An-Nisa` terkait dengan pembahasan disyaratkannya wali adalah kalimat فَانْكِحُوْهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ (Maka nikahilah mereka dengan ijin tuan mereka). Menurut Ar-Razi, Asy-Syafi’i menetapkan bahwa ayat ini merupakan dalil disyaratkannya wali dalam akad nikah karena adanya hadits لا نكاح إلا بولي ( tidak ada pernikahan kecuali dengan wali). Begitu pula pendapat Al-Qurthubi.
1.1.4 Hadits Abu Musa radliyallahu 'anhu tentang Tidak Adanya Pernikahan kecuali dengan Wali (lihat bab III, hlm.10)
Hadits Abu Musa ini adalah hadits shahih. Hadits shahih merupakan hadits yang dapat dijadikan hujah.
Hadits ini menyatakan bahwa tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali.
Kata لاَ (tidak) yang berfungsi meniadakan (lam nafi) pada sabda Rasulullah di dalam hadits ini dapat memberi dua pengertian seperti dikemukakan An-Nawawi sebagai berikut:
...أَنَّ حَدِيْثَ ((لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ)) هَلْ يُعَدُّ هذَا النَّفْيُ مُتَوَجِّهًا إِلَى الذَّاتِ الشَّرْعِيَّةِ لأَنَّ الذَّاتَ الْمَوْجُوْدَةَ أَعْنِي صُوْرَةَ الْعَقْدِ بِدُوْنِ وَلِيٍّ لَيْسَتْ بِشَرْعِيَّةٍ؟ أَمْ يَتَوَجَّهُ إِلَى الصِّحَّةِ....
…bahwasanya hadits Abu Musa "Tidak ada nikah kecuali dengan wali" (dipertanyakan) apakah peniadaan ini tertuju kepada pernikahan itu dalam tinjauan syariat? (Dikatakan demikian) karena wujud yang ada—yang kumaksud adalah model akad nikah (yang dilaksanakan) tanpa wali—itu bukanlah suatu (ketentuan) syariat. Ataukah tertuju kepada keabsahan pernikahan tersebut….

Jadi, keberadaan lam nafi pada hadits tersebut dapat berfungsi sebagai salah satu dari dua perkara, yaitu:
1. Peniadaan akad nikah dalam pandangan syariat.
Dipahaminya peniadaan akad nikah ini karena wujud perbuatan itu ada, tetapi tidak diakui keberadaannya dalam Syariat Islam.
2. Peniadaan keabsahan akad nikah.
Maksudnya, walaupun akad nikah telah dilaksanakan akan tetapi hukumnya tidak sah.
Baik meniadakan akad nikah dalam pandangan syariat atau keabsahan akad nikah, wali harus tetap ada dalam akad nikah.
Ulama yang berpendapat bahwa lam nafi pada hadits ini untuk meniadakan keabsahan akad nikah antara lain: An-Nawawi, Ash-Shan’ani, Al-Khaththabi, dan Al-Mubarakfuri. Bahkan menurut Ibnul Mundzir tidak diketahui seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat ini.
Abu Hanifah mengatakan bahwa lam nafi pada hadits tersebut berfungsi untuk meniadakan kesempurnaan.
Mengartikan peniadaan pada hadits ini sebagai peniadaan kesempurnaan, menurut penulis — wallahu a’lam — kurang tepat karena dalam hadits ‘Aisyah dengan tegas dinyatakan bahwa siapa pun wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka pernikahannya batal. Artinya tidak sah.
Menurut Ibnul Hammam hadits Abu Musa ini bertentangan dengan hadits Ibnu 'Abbas bahwa janda lebih berhak dengan dirinya daripada wali. Beliau mengatakan bahwa kata al-ayyim pada hadits tersebut mempunyai arti wanita yang tidak bersuami baik gadis maupun janda. Adapun lafal ahaqqu (lebih berhak) menunjukkan bahwa bagi wanita maupun wali, masing-masing ada hak. Hak wali tiada lain kecuali mubasyaratul 'aqd (pelaksanaan akad nikah). Padahal, sabda Rasulullah ahaqqu telah menjadikan wanita lebih berhak dengan pernikahannya daripada wali. Ringkas kata, hadits Ibnu Abbas menunjukkan bahwa al-ayyim berhak dengan mubasyaratul 'aqd. Sebab itulah hadits Abu Musa dan hadits Ibnu 'Abbas ini dianggap saling bertentangan.
Sebagaimana yang penulis dapatkan, kebanyakan ulama Hijaz dan fuqaha berpendapat bahwa lebih berhaknya al-ayyim terhadap dirinya daripada wali berlaku pada masalah ijin atau persetujuan. Artinya, dia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya, sehingga dia lebih berhak untuk menentukan pria yang akan menjadi suaminya.
Dari segi bahasa, hadits Ibnu ‘Abbas mengandung pengertian bahwa baik al-ayyim maupun wali, masing-masing mempunyai hak atas diri al-ayyim tersebut, akan tetapi hak al-ayyim itu lebih besar daripada hak wali.
Dalam hadits ini tidak diterangkan wujud hak masing-masing. Namun, dhahir matan hadits ini memuat pemahaman bahwa al-ayyim lebih berhak atas dirinya daripada wali dalam hal ijin dan mubasyaratul ‘aqd. Adapun hadits Abu Musa dengan tegas menunjukkan bahwa tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali. Dengan demikian, hadits ini menerangkan bentuk hak wali, yaitu menikahkan.
Oleh karena itu, menganggap bahwa hadits Abu Musa ini bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Abbas adalah tidak benar. Menurut penulis — wallahu a’lam — lebih tepat bila hadits Abu Musa dijadikan sebagai penjelas bagi hadits Ibnu ‘Abbas. Dengan demikian, lebih berhaknya al-ayyim terhadap dirinya daripada wali tidak meliputi masalah mubasyaratul ‘aqd.
Selain itu, jika lebih berhaknya al-ayyim terhadap dirinya meliputi ijin dan mubasyaratul 'aqd, maka wali tidak lagi mempunyai hak dalam pernikahan al-ayyim tersebut. Hal itu menyalahi perkataan Ibnul Hammam sendiri bahwa hak wali hanya pada mubasyaratul ‘aqd. Adapun bila kelebihberhakan itu ditempatkan pada masalah ijin dan persetujuan, maka makna lebih berhaknya al-ayyim atas dirinya daripada wali dapat tergambarkan dengan jelas, sebab wali tidak dapat menggunakan haknya tanpa persetujuan wanita itu.
Para ulama yang berpendapat bahwa kelebihberhakan itu terjadi dalam masalah ijin antara lain: At-Turmudzi, Al-Qadli ‘Iyadl, An-Nawawi Ibnul Jauzi (sebagaimana dikatakan Abu Thayyib Abadi), dan Ash-Shan’ani.
Dengan alasan di atas, penulis menilai bahwa hadits Ibnu 'Abbas tidak menunjukkan berhaknya al-ayyim dengan mubasyaratul ‘aqd. Oleh sebab itu, penulis juga tidak setuju bila hadits Abu Musa dianggap bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Abbas yang karena itu tarjih dan thariqatul jam’i dengan cara mentakhsis keumuman hadits Abu Musa pun tidak dapat penulis terima.
Jadi, thariqatul jam’i yang benar ialah dengan menjadikan hadits Abu Musa sebagai penjelas bagi hadits Ibnu Abbas bahwa lebih berhaknya al-ayyim terhadap dirinya hanya dalam masalah persetujuan, tidak dalam mubasyaratul ‘aqd.
Walhasil, hadits Abu Musa "La Nikaha Illa bi Waliyyin" ini menunjukkan bahwa wali disyaratkan dalam akad nikah semua wanita tanpa kecuali, sama saja kata al-ayyim diartikan dengan janda ataupun semua wanita yang tidak bersuami. Wallahu a’lam bish shawab.
1.1.5 Hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha tentang Batalnya Pernikahan tanpa Wali (lihat bab III, hlm.11)
Hadits 'Aisyah ini hasan. Hadits hasan merupakan hadits yang dapat dijadikan hujah.
Hadits ini menerangkan bahwa hukum pernikahan wanita yang dinikahi tanpa ijin walinya adalah batal atau tidak sah.
Seperti halnya hadits Abu Musa, Ibnu Hammam juga menganggap bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa al-ayyim lebih berhak dengan dirinya daripada wali. Anggapan bahwa dua hadits itu bertentangan, menurut penulis tidak benar. Adapun pembahasannya seperti dalam pembahasan hadits Abu Musa di atas.

1.2 Nas-nas yang Digunakan untuk tidak Mensyaratkan Wali
1.2.1 Al-Baqarah (2):232 (lihat bab III, hlm.9)
Ayat ini menerangkan larangan kepada wali menghalangi pernikahan wanita yang telah selesai dari masa iddahnya. Hal ini sudah dibicarakan dalam subbab sebelumnya.
As-Saharanfuri menjelaskan bahwa dalil tentang tidak disyaratkannya wali dari ayat ini diperoleh dari dua segi. Pertama: Allah menyandarkan perbuatan menikahi kepada wanita. Kedua: Allah melarang wali menghalangi para wanita menikahi mantan suami mereka. Hal ini menunjukkan bahwa wanita mempunyai hak untuk menikah tanpa syarat adanya wali.
Dalam ayat ini perbuatan menikahi memang disandarkan kepada para wanita. Dengan kata lain pelaku dari pekerjaan menikahi adalah wanita, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa akad pernikahan tersebut dilaksanakan juga oleh wanita. Sababun nuzul ayat inilah yang menunjukkan demikian. Dalam riwayat Ma’qil tersebut, dikisahkan bahwa Ma’qillah yang menikahkan saudara perempuannya. Hal ini sebagaimana dikatakan As-Shan’ani dan Muhammad Rasyid Ridla.
Selain hal di atas, Muhammad Rasyid Ridla juga menyatakan bahwa dalam bahasa Arab penyandaran pernikahan kepada wanita dari dulu hingga sekarang dimutlakkan maknanya bagi wanita yang dinikahkan oleh walinya. Orang-orang Arab biasa mengatakan نَكَحَتْ فُلاَنَةٌ فُلاَنًا (si fulanah menikahi si fulan) sebagaimana sampai sekarang mereka mengatakan تَزَوَّجَتْ فُلاَنَةٌ بِفُلاَنٍ (si fulanah menikah dengan si fulan), padahal pelaksana akad tiada lain adalah wali.

Disandarkannya pernikahan kepada para wanita padahal sesungguhnya mereka tidak melaksanakan akadnya, bukan merupakan sesuatu yang perlu dipersoalkan karena pada hakekatnya merekalah yang menjalani pernikahan itu, bukan para wali. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa Allah menyandarkan pernikahan kepada para wanita karena mereka adalah tempat terjadinya pernikahan itu.
Walhasil, penyandaran pernikahan kepada para wanita pada ayat ini tidak dapat dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa wanita boleh melakukan akad nikah.
Adapun larangan menghalangi pernikahan bagi para wali, tidak menunjukkan bahwa wanita boleh menikah tanpa syarat wali.
1.2.2 Al-Ahzab (33):50 (lihat bab III, hlm.12)
Ayat ini menerangkan bahwa Allah menghalalkan wanita yang menghibahkan diri kepada Nabi jika beliau bersedia menikahinya. As-Saharanfuri mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil sahnya akad nikah yang dilakukan sendiri oleh wanita. Adapun istidlal tentang tidak disyaratkannya wali dari ayat ini adalah bahwa ketika wanita tersebut menghibahkan diri kepada Rasulullah, tidak ada seorang pun dari wali-walinya yang hadir. Hal ini sebagaimana dijelaskan Ar-Razi.
Ayat ini tidak dapat digunakan sebagai hujah untuk menetapkan kedudukan hukum wali dalam akad nikah karena hukum pada ayat ini hanya dikhususkan bagi Rasulullah. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya: خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ. Jadi, penghibahan diri oleh seorang wanita tidak boleh dilakukan kecuali kepada Rasulullah.

1.2.3 Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhuma tentang Al-Ayyim Lebih Berhak dengan Dirinya daripada Wali (lihat bab III, hlm.13)
Walaupun shahih, hadits ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa wali tidak disyaratkan dalam akad nikah. Penjelasan tentang hal ini sudah tercakup dalam analisa hadits Abu Musa tentang tidak adanya pernikahan kecuali dengan wali dan hadits ‘Aisyah tentang batalnya pernikahan tanpa wali.
1.2.4 Hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu tentang Pensyaratan Ijin Wanita yang akan Dinikahkan (Lihat bab III, hlm.13 - 14)
Hadits ini menerangkan bahwa janda baru boleh dinikahkan ketika dia menyuruh untuk dinikahkan, sedang gadis berhak untuk dimintai persetujuan ketika hendak dinikahkan. Persetujuan seorang gadis dapat ditunjukkan dengan diamnya.
Hadits ini dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hukum karena hadits ini shahih, namun hadits ini tidak menunjukkan bahwa wali tidak disyaratkan dalam akad nikah.
Kalimat لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَاْمَرَ (seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai perintah) justru menyiratkan bahwa wali disyaratkan. Ibnu Hajar menerangkan:
(حَتَّى تُسْتَأْمَرَ) أَصْلُ الإِسْتِئْمَارِ طَلَبُ الأَمْرِ. فَالْمَعْنَى لاَ يُعْقَدُ عَلَيْهَا حَتَّى يُطْلَبَ الأَمْرُ مِنْهَا، وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ تُسْتَأْمَرَ أَنَّهُ لاَ يَعْقِدُ إِلاَّ بَعْدَ أَنْ تَأْمُرَ بِذلِكَ، وَلَيْسَ فِيْهِ دَلاَلَةٌ عَلَى عَدَمِ اشْتِرَاطِ الْوَلِيِّ فِى حَقِّهَا، بَلْ فِيْهِ إِشْعَارٌ بِاشْتِرَاطِهِ.
(sehingga dia dimintai perintah). Asal makna isti`mar adalah meminta perintah. Maka makna kalimat tersebut ialah tidak boleh dilakukan akad nikah atasnya sampai perintahnya diminta. Dari sabda beliau "dia dimintai perintah" dapat diambil (pemahaman) bahwa wali tidak boleh mengakadnikahkan melainkan sesudah sang janda memerintahkan hal itu. Dalam sabda ini tidak ada petunjuk bahwa wali tidak disyaratkan dalam pernikahan janda, bahkan padanya tersirat pengertian tentang pensyaratannya.

Dari lafal "sehingga dia dimintai perintah", dapat dipahami bahwa bila ingin menikah, seorang janda harus memerintahkan kepada walinya secara jelas. Dari sinilah tersirat makna bahwa pernikahan janda juga harus dilaksanakan oleh wali. Wallahu a’lam bish shawab.
1.2.5 Hadits Buraidah radliyallahu 'anhu tentang Gadis yang Dinikahkan Bapaknya tanpa Ijinnya (lihat bab III, hlm.14-15)
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah memberikan pilihan kepada gadis yang dinikahkan oleh bapaknya tanpa dimintai persetujuan terlebih dahulu, antara menerima atau membatalkan pernikahan tersebut.
Hadits Buraidah ini berkedudukan hasan li ghairihi. Hadits hasan li ghairihi termasuk salah satu hadits yang dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hukum.
Ibnul Hammam Al-Hanafi mengatakan:
وَهذَا يُفِيْدُ بِعُمُوْمِهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ الْمُبَاشَرَةُ حَقًّا ثَابِتًا بَلِ اسْتِحْبَابٌ. وَفِيْهِ دَلِيْلٌ مِنْ جِهَةِ تَقْرِيْرِهِ  قَوْلَهَا ذَلِكَ أَيْضًا....
Hadits ini dengan keumumannya memberi pengertian bahwa wali tidak memiliki hak yang tetap untuk melangsungkan akad nikah. Namun, (pelaksanaan akad nikah oleh wali merupakan) suatu istihbab (hal yang disukai). Di dalamnya terdapat dalil pula dari segi taqrir (penetapan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan ucapan gadis tersebut…

Menurut penulis, hadits ini tidak menunjukkan bahwa wanita berhak dengan mubasyaratul ‘aqd (pelaksanaan akad nikah), sehingga wanita tidak boleh melakukan akad nikah sendiri karena dalam masalah akad nikah terdapat hadits sahih yang tidak memungkinkan hal itu bagi wanita. Namun, hadits ini memberikan pengertian bahwa wanita mempunyai hak untuk mengambil sikap apabila dirinya dinikahkan oleh wali tanpa ijinnya.
Adapun perkataan sang gadis yang ditaqrir oleh Rasulullah bahwa para bapak tidak memiliki wewenang sama sekali dalam pernikahan anak gadisnya, maka itu berkaitan dengan adanya hak persetujuan dan kerelaan bagi sang gadis sebagaimana dapat diketahui dari alur cerita ini. Artinya, seorang bapak tidak berhak sama sekali untuk memaksakan kehendaknya kepada anak gadisnya dalam masalah perkawinan. Jadi, hadits ini tidak dapat dijadikan hujah bahwa wali tidak disyaratkan. Wallahu a’lam.
1.2.6 Hadits Ummu Salamah radliyallahu 'anha (dari jalan ‘Umar bin Abu Salamah) tentang Pernikahannya dengan Rasulullah (lihat bab III, hlm.16-17)
Hadits ini mengisahkan tentang pernikahan ummul mukminin Ummu Salamah dengan Rasulullah.
Pengambilan dalil tentang tidak disyaratkannya wali dari hadits ini berasal dari perkataan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dari walinya yang hadir.
Hadits Ummu Salamah ini dla’if. Hadits dla’if tidak dapat digunakan sebagai hujah dalam menetapkan hukum.
1.2.7 Hadits Ummu Habibah radliyallahu 'anha tentang Pernikahannya dengan Rasulullah (lihat bab III, hlm.17-18)
Hadits ini menjelaskan bahwa akad nikah Ummu Habibah dengan Rasulullah dilangsungkan di negeri Habasyah dan dilaksanakan oleh An-Najasyi. Hadits ini berderajat shahih.
As-Saharanfuri mengatakan:
وَمُنَاسَبَةُ الْحَدِيْثِ بِتَرْجَمَةِ الْبَابِ أَنَّ أُمَّ حَبِيْبَةَ رضي الله عنها زَوَّجَتْ نَفْسَهَا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَلَمْ يَكُنْ هُنَاكَ لَهَا وَلِيٌّ، وَلَفْظُ الْحَدِيْثِ فَزَوَّجَهَا النَّجَاشِيُّ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ النَّجَاشِيَّ تَوَلَّى النِّكَاحَ وَهُوَ لَيْسَ بِوَلِيٍّ لَهَا فَلاَ يَثْبُتُ اشْتِرَاطُ الْوَلِيِّ فِي النِّكَاحِ أَوْ يُقَالُ إِنَّ النَّجَاشِيَّ كَانَ سُلْطَانًا , وَ السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ فَعَقْدُهُ عَقْدُ الْوَلِيِّ
Hubungan hadits dengan judul bab adalah bahwa Ummu Habibah menikahkan dirinya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal di sana tidak ada walinya. Lafal hadits فَزَوَّجَهَا النَّجَاشِيُّ (lalu An-Najasyi menikahkannya) menunjukkan bahwa An-Najasyi menjadi wali pernikahan itu, padahal dia bukan walinya. Maka pensyaratan wali dalam akad nikah tidak benar. Atau dikatakan sesungguhnya An-Najasyi adalah seorang sulthan, sedangkan sulthan itu wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, maka pengakadannya adalah pengakadan wali.

Karena tidak pasti menunjukkan bahwa wanita boleh melakukan akad nikah sendiri, maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil bolehnya wanita menikahkan. Wallahu a’lam.
1.2.8 Hadits Sahl bin Sa’d radliyallahu 'anhu tentang Wanita yang Menghibahkan Diri kepada Rasulullah (lihat bab III, hlm.18-19)
Hadits ini menceritakan tentang seorang wanita yang menghibahkan diri kepada Rasulullah yang pada akhirnya oleh beliau dinikahkan dengan salah seorang sahabatnya.
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita itu menikah tanpa ijin wali dari kalangan kerabatnya, sebab Rasulullah langsung menikahkannya begitu sang sahabat mendapatkan sesuatu yang dapat diberikan sebagai mahar.
Hadits ini dapat dijadikan hujah karena hadits ini shahih. Namun, menurut penulis hadits ini tidak menunjukkan bahwa wanita tersebut menikah tanpa wali, sebab dia dinikahkan oleh Rasulullah. Sebelum pernikahan ini terjadi, wanita tersebut telah menghibahkan dirinya kepada beliau, yang itu sama artinya dengan menyerahkan urusan dirinya kepada beliau. Oleh karena itu, beliau berhak menjadi wali nikahnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Ibnul Qayyim dalam menanggapi dakwaan sebagian ulama bahwa hadits ini mansukh dengan hadits "Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali".
Walhasil, hadits ini tidak dapat dipakai sebagai dalil untuk tidak mensyaratkan wali dalam akad nikah. Wallahu a’lam.
1.2.9 Atsar ‘Aisyah radliyallahu 'anha bahwa Ia Menikahkan Hafshah binti ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar (lihat bab III, hlm.19)
Atsar ini menerangkan bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah pernah menikahkan keponakan wanitanya yang bernama Hafshah, putri ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar.
Dhahir atsar ini memberikan pemahaman bahwa menurut ‘Aisyah wanita boleh menikahkan.
Atsar ‘Aisyah ini berderajat shahih. Meskipun demikian, atsar atau hadits mauquf 'Aisyah ini tidak dapat digunakan sebagai hujah bahwa wanita boleh melakukan akad nikah, sebab hadits mauquf tidak dapat dipakai hujah untuk menetapkan hukum.
1.2.10 Atsar Ummu Hakim binti Qaridh radliyallahu 'anha tentang Pernikahannya dengan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf (lihat bab III, hlm.20)
Atsar ini menerangkan bahwa Ummu Hakim binti Qaridh menyerahkan urusan pernikahannya kepada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Lalu ‘Abdur Rahman sendiri yang menikahinya. Penyerahan urusan pernikahan yang dilakukan oleh Ummu Hakim kepada ‘Abdur Rahman justru menunjukkan bahwa dia membutuhkan perwalian dalam pernikahan.
Selain itu, Imam Al-Bukhari memasukkan atsar ini dalam bab Idza kanal waliyyu huwal khatib (apabila wali adalah orang yang melamar). Hal ini mengisyaratkan bahwa menurut Al-Bukhari, ‘Abdur Rahman adalah wali Ummu Hakim. Jadi, tidak benar bila difahami bahwa Ummu Hakim menikah dengan ‘Abdur Rahman tanpa wali. Wallahu a’lam.
2. Analisa Pendapat Ulama tentang Kedudukan Hukum Wali dalam Akad Nikah
2.1 Wali Merupakan Syarat Sah Akad Nikah Secara Mutlak (lihat bab IV, hlm.21-22)
Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama, antara lain: ‘Umar, ‘Ali, ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Fuqaha Madinah, Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ja’far Al-Baqir, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hazm.
Kebanyakan ulama yang mensyaratmutlakkan wali berdalil dengan surat Al-Baqarah (2):221 dan 232, hadits Abu Musa tentang tidak adanya pernikahan kecuali dengan wali, dan hadits ‘Aisyah tentang batalnya pernikahan tanpa wali.
Pendapat bahwa wali merupakan syarat sah akad nikah secara mutlak berikut alasan yang mendasarinya dapat penulis terima karena sesuai dengan hasil penganalisaan dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan kedudukan hukum wali dalam akad nikah. Wallahu a’lam bish shawab.
2.2 Wali Merupakan Syarat Sah Akad Nikah secara tidak Mutlak
2.2.1 Akad Nikah yang Dilaksanakan Sendiri oleh Wanita Sah Apabila Disertai Ijin Wali (lihat bab IV, hlm.25-26)
Pendapat ini dipegang oleh ‘Abdur Rahman bin Qasim, Muhammad bin Sirin, Abu Tsaur dan Al-Auza’i.
Perihal hujah yang dikemukakan Abu Tsaur, Al-Qadli ‘Iyadl mengatakan:
وَ أَمَّا أَبُوْ ثَوْرٍ فَلَهُ قَوْلُهُ  ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِن اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ))، وَدَلِيْلُ هذَا الْخِطَابِ: أَنَّهَا إِذَا نَكَحَتْ بِإِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكاحُهَا صَحِيْحٌ، وَأَيْضًا فَإِنَّ الْوَلِيَّ إِنَّمَا أُثْبِتَ لِمَا يَلْحَقُهُ مِنَ الْمَعَرَّةِ بِأَنْ تَضَعَ نَفْسَهَا فِى غَيْرِ كُفْءٍ، فَإِذَا أَذِنَ سَقَطَ حَقُّهُ فِى ذلِكَ، فَلاَ مَعْنَى لِتَوَلِّيْهِ الْعَقْدَ.
Adapun hujah Abu Tsaur adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam "Siapa pun perempuan yang menikah tanpa ijin walinya, maka pernikahannya batal, lalu jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali". Yang ditunjukkan oleh pembicaraan ini adalah apabila wanita menikah dengan ijin walinya, maka pernikahannya sah. Lagi pula, ditetapkannya wali sesungguhnya tidak lain karena sesuatu yang tidak baik akan menimpa wali jika wanita yang diampunya menempatkan dirinya di (bawah kekuasaan) pria yang tidak sekufu. Maka apabila wali mengijinkan, gugurlah haknya (yakni untuk mendapatkan kesepadanan) dalam pernikahan itu, sehingga pelaksanaan akad oleh wali tidak ada artinya.

Penulis tidak setuju dengan pendapat ini karena adanya ijin wali tidak menyebabkan wanita berhak untuk menikahkan diri sendiri, sebab jika wali tidak mengijinkan maka sulthan yang akan menjadi wali. Jadi, dalam akad nikah tetap harus ada wali. Wallahu a’lam bish shawab.

2.3.1. Wali Merupakan Syarat Sah Pernikahan bagi Gadis, bukan bagi Janda (lihat bab IV, hlm.26)
Ulama yang berpendapat bahwa wali merupakan syarat sah pernikahan bagi gadis, bukan bagi janda adalah Dawud Adh-Dhahiri dan ulama penganut madzhab Dhahiri yang sependapat dengan beliau.
Dalam Ikmalul Mu’lim, Al-Qadli ‘Iyadl menerangkan dasar pendapat ini sebagai berikut:
وَأَمَّا دَاوُدُ فَلَهُ قَوْلُهُ : ((الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا)) الْحَدِيْثُ الْمُتَقَدِّمُ، فَفُرِّقَ فِيْهِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ، فَلَوْ كَانَا يَسْتَوِيَانِ فِي افْتِقَارِهِمَا إِلَى الْوِلاَيَةِ لَمْ يَكُنْ لِلتَّفْرِقَةِ مَعْنًى، وَقَدْ نُصَّ فِي الثََّيِّبِ أَنَّهَا أَحَقُّ بِنَفْسِهَا منْ وَلِيِّهَا، وَفِي الْبِكْرِ أَنَّهَا تُسْتَأْمَرُ، وَهذَا نَصُّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مِنَ التَّفْرِقَةِ.
Adapun Dawud, beliau memiliki (dalil, yaitu) sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam "Janda itu lebih berhak dengan dirinya daripada walinya", hadits yang lalu. Dalam hadits itu dibedakan antara (ketentuan bagi) gadis dan (ketentuan bagi) janda. Kalaulah keduanya sama-sama membutuhkan perwalian, niscaya tidak ada makna bagi pembedaan itu. Sungguh telah ditetapkan bagi janda bahwa dia lebih berhak dengan dirinya daripada walinya, sedangkan bagi gadis bahwasanya dia dimintai perintah, dan inilah penetapan pendapat Dawud (tentang) pembedaan ketentuan untuk janda dan gadis.

Menurut penulis pendapat ini tertolak karena:
1. Dalil-dalil yang mensyaratkan wali tidak membedakan antara gadis dan janda.
2. Saudara perempuan Ma’qil pada riwayat tentang sababun nuzul ayat ke-232 dari surat Al-Baqarah yang lalu adalah seorang janda. Jika dalam pernikahan seorang janda itu wali tidak perlu dilibatkan, niscaya Ma’qil tidak berhak menjadi wali baginya.
2.3.2. Pernikahan tanpa Wali itu Sah jika Terlanjur Terjadi Hubungan Badan (lihat IV, hlm.26)
Menurut sebuah riwayat, ‘Ali berpendapat bahwa pernikahan tanpa wali itu sah jika terlanjur terjadi hubungan badan.
Penulis tidak mendapati ayat Al-Qur`an maupun hadits yang membenarkannya. Lagi pula, pendapat ini tidak masuk akal karena mensahkan sesuatu yang asal hukumnya tidak sah dengan perbuatan yang haram untuk dilakukan. Berkaitan dengan hal ini, Al-Baihaqi menuturkan:
وَاشْتِرَاطُ الدُّخُوْلِ فِى تَصْحِيْحِ النِّكَاحِ إِنْ كَانَ ثَابِتًا وَالدُّخُوْلُ لاَ يُبِيْحُ الْحَرَامَ.
Pensyaratan hubungan badan untuk mensahkan pernikahan tersebut — jika benar sekalipun — hubungan badan tidak membolehkan sesuatu yang haram.

Oleh sebab itu, penulis tidak dapat menerima pendapat ini. Wallahu a’lam bish shawab.
2.3 Wali bukan Syarat Sah Akad Nikah (lihat bab IV, hlm.22-25)
Wali bukan syarat sah akad nikah merupakan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabah, Abu Hanifah, ulama madzhab Imamiyyah, Az-Zuhri, dan Asy-Sya’bi.
Alasan yang dikemukakan Abu Hanifah adalah qiyas. Di dalam Ikmalul Mu’lim disebutkan:
وَأَمَّا أَبُوْ حَنِيْفَةَ فَلَهُ الْقِيَاسُ عَلَى الْبِيَاعَاتِ، فَإِنَّهَا تَنْعَقِدُ وَإِنْ بَاشَرَتْهَا الْمَرْأَةُ بِنَفْسِهَا، وَكَذلِكَ إِجَارَتُهَا لِنَفْسِهَا. وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ بَيْعَهَا وَإِجَارَتَهَا لاَ يَفْتَقِرُ إِلَى وِلاَيَةٍ، [وَالنِّكَاحُ لاَ يَخْلُو أَنْ يَكُوْنَ بَيْعًا أَوْ إِجَارَةً، وَأَيُّ ذلِكَ كَانَ وَجَبَ أَلاَّ يَفْتَقِرُ إِلَى وِلاَيَةٍ] قِيَاسًا عَلَى مَا قُلْنَاهُ، وَتُحْمَلُ الظَّوَاهِرُ الْوَارِدَةُ بِإِثْبَاتِ الْوِلاَيَةِ عَلَى الأَمَةِ وَالْبِكْرِ الصَّغِيْرَةِ، وَيُخَصُّ عُمُوْمُهَا بِهذَا الْقِيَاسِ وَتَخْصِيْصُ الْعُمُوْمِ بِالْقِيَاسِ مُخْتَلَفٌ فِيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الأُصُوْلِ .
Adapun Abu Hanifah, maka dia memakai qiyas dengan akad-akad jual beli, karena ikatan jual-beli sah meskipun wanita sendiri (yang) melaksanakan akadnya. Begitu pula ijarah (upah atau sewa )nya untuk dirinya. Apabila jual-beli dan ijarahnya tidak membutuhkan perwalian, (sedang pernikahan itu tidak luput dari unsur jual-beli dan ijarah, maka apapun hakikatnya, perkawinan itu tidak membutuhkan perwalian), menurut qiyas terhadap apa yang telah kami katakan. Sedangkan hadits-hadits yang dhahirnya menetapkan perwalian ditujukan kepada budak perempuan serta gadis kecil, dan keumuman hadits-hadits tersebut ditakhsis dengan qiyas ini. Padahal, menakhsis keumuman dengan qiyas itu diperselisihkan oleh ahli ushul fikih.

Keterangan seperti ini terdapat pula di dalam kitab Shahihu Muslim bi Syarhin Nawawi, Fathul Bari, dan Subulus Salam.
Selain dengan qiyas, penulis mendapati bahwa Abu Hanifah juga berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur`an, beberapa hadits dan atsar. Sebagaimana dikatakan Ash-Shagharji, dalil-dalil tersebut adalah Surat Al-Baqarah ayat 230, 234 dan 240, hadits Ibnu ‘Abbas bahwa al-ayyim lebih berhak dengan dirinya daripada wali, hadits Abu Hurairah tentang pensyaratan ijin wanita yang akan dinikahkan, hadits ‘Aisyah tentang gadis yang dinikahkan bapaknya tanpa ijinnya dan hadits Khansa` binti Khidam tentang janda yang dinikahkan bapaknya tanpa ijinnya.
Adapun hujah yang dikemukakan Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi adalah hadits Ummu Salamah tentang perkawinannya dengan Rasulullah. Sementara itu, ulama madzhab Imamiyyah berdalil dengan ayat ke-232 dari surat Al-Baqarah dan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa al-ayyim lebih berhak dengan dirinya daripada wali.
Penggunaan metode qiyas dengan akad jual-beli untuk menarik hukum bolehnya wanita melaksanakan akad nikah tidak dapat penulis terima, karena jual beli tidak sama dengan pernikahan walaupun ada persamaan dalam sebagian perkara.
Tentang dalil yang berupa nas dari ayat-ayat Al-Qur`an maupun hadits-hadits yang diajukan baik oleh Abu Hanifah, Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, maupun ulama madzhab Imamiyyah juga tidak dapat penulis terima karena nas-nas tersebut tidak dapat dijadikan hujah untuk menggugurkan pensyaratan wali dalam akad nikah berdasarkan analisa yang telah penulis lakukan.
Alhasil pendapat ini beserta dasar yang dipijakinya tidak dapat penulis terima. Wallahu a'lam bish shawab.

BAB VI
PENUTUP
1. Kesimpulan
Wali itu menjadi syarat sah akad nikah secara mutlak.
2. Saran-saran
Berkaitan dengan pembahasan tentang kedudukan hukum wali dalam akad nikah ini, terdapat beberapa saran yang ingin penulis sampaikan sebagai berikut:
2.1 Wali hendaknya bersikap bijaksana dalam menikahkan wanita yang diampunya dengan meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada wanita yang bersangkutan.
2.2 Dalam mencarikan calon suami, seharusnya wali mengutamakan kemaslahatan bagi wanita yang diampunya daripada kepentingan pribadinya.
2.3 Perempuan jangan menikahkan dirinya sendiri, tetapi hendaknya meminta kepada wali untuk menikahkannya sebagaimana ditetapkan oleh syari’at.
انْتَهَى بِعَوْنِ اللهِ فَلِلّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ


DAFTAR PUSTAKA
Mushaf Al-Qur`anul Karim.
Kelompok Kitab Tafsir
1. Al-Baghawi, Abu Muhammad, Al-Husain bin Mas’ud, Al-Farra`, Asy-Syafi’i, Al-Imam, Tafsirul Baghawi, (Ma’alimut Tanzil), Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1415 H / 1995 M

2. Al-Baidlawi, Abu Sa’id, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad, Asy-Syirazi, Imamul Muhaqqiqin, Qudwatul Mudaqqiqin, Al-Qadli, Nashiruddin, Tafsirul Baidlawi (Anwarut Tanzili wa Asrarut Ta`wil), Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1408 H / 1988 M

3. Al-Khazin, ‘Ali bin Ibrahim bin ’Umar bin Khalil, Asy-Syihi, Al-Imam, ‘Ala`uddin, Tafsirul Khazin (Lubabut Ta`wili fi Ma’anit Tanzil), Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1415 H / 1995 M

4. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Shahibul Fadlilah, Al-Ustadzul Kabir, Al-Marhum, Tafsirul Maraghi, cet.II, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1394 H / 1974 M

5. Al-Mawardi, Abul Hasan, ‘Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Bashri, Tafsirul Mawardi (An-Nukatu wal ‘Uyun), Tanpa Nomor Cetak, Muassasatul Kutubits Tsaqafiyyah, Beirut, Tanpa Tahun

6. Al-Qurthubi, Abu 'Abdillah, Muhammad bin Ahmad, Al-Anshari, Al-Jami’u li Ahkamil Qur’an, Cet.III, Darul Katibil ‘Arabi, Tanpa Kota, 1387 H / 1967 M

7. Ar-Razi, Fakhruddin, Abu ‘Abdillah, Muhammad bin ‘Umar bin Al-Husain, bin ‘Ali, Al-Imam, Fakhruddin, At-Tafsirul Kabir (Mafatihul Ghaib), Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1441 H / 1990 M

8. Ash-Shabuni, Muhammad 'Ali, Al-Ustadzu bi Kulliyyatisy Syari'ati wad Dirasatil Islamiyyah, Shafwatut Tafasir, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Tahun

9. Ats-Tsa’alibi, ‘Abdurrahman, Al-Imam, Al-‘Allamah, Asy-Syaikh, Sidi, Al-Jawahirul Hisanu fi Tafsiril Qur`an, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1412 H / 1992 M

10. Ath-Thabari, Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayani fi Tafsiril Qur`an, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1408 H / 1988 M

11. Az-Zamakhsyari, Abul Qasim, Mahmud bin ‘Umar, Al-Khawarizmi, Jarullah, Al-Kasysyafu ‘an Haqa`iqit Tanzil wa ‘Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta`wil, Tanpa Nomor Cetak, Darul Ma’arif, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

12. Ibnu Katsir, Abul Fida’, Isma’il bin Katsir, Al-Qurasyi, Ad-Dimasyqi, Al-Imamul Jalil, Al-Hafidz, 'Imaduddin, Tafsirul Qur`anil ‘Adzim, Tanpa Nomor Cetak, Daru Ihya`il Kutubil 'Arabiyyah, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

13. Rasyid Ridla, Muhammad, As-Sayyid, Tafsirul Mannar, Cet.II, Darul Ma’rifah, Beirut, Tanpa Tahun
Kelompok Kitab Hadits
14. ‘Abdur Razzaq bin Hammam, Abu Bakr, As-Shan’ani, Al-Hafidhul Kabir, Al-Mushannaf, Cet.I, Al-Majlisul ‘Ilmi, Tanpa Kota, 1390 H / 1970 M

15. Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats, As-Sijistani, Al-Hafidh, Sunanu Abi Dawud, Cet.I, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1410 H / 1990 M

16. Abu Dawud Ath-Thayalisi, Sulaiman bin Dawud bin Al-Jarud, Al-Farisi, Al-Bashri, Al-Hafidhul Kabir, Musnadu Abi Dawud, Ath-Thayalisi, Tanpa Nomor Cetak, Darul Ma’rifah, Beirut, Tanpa Tahun

17. Abu Ya’la Al-Maushuli, Ahmad bin ‘Ali bin Al-Mutsanna, Al-Imamul Hamam, Syaikhul Islam, Musnadu Abi Ya’la Al-Maushuli, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1418 H / 1998 M

18. Ad-Darimi, Abu Muhammad, ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman bin Al-Fadl-l bin Bahram, Al-Imamul Kabir, Sunanud Darimi, Tanpa Nomor Cetak, Daru Ihya`is Sunnatin Nabawiyyah, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

19. Ad-Daraquthni, ‘Ali bin ‘Umar, Al-Imamul Kabir, Sunanud Daraquthni, Tanpa Nomer Cetak, Darul Fikr, Beirut, 1414 H / 1994 M

20. Ahmad bin Hanbal, ‘Abu ‘Abdillah, Asy-Syaibani, Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal, Tanpa Nomor Cetak, Al-Maktabul Islami, Darush Shadir, Beirut, Tanpa Tahun

21. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Irwa’ul Ghalili fi Takhriji Ahaditsi Manaris Sabil, Cet.II, Al-Maktabul Islami, Beirut, 1405 H / 1985 M

22. Al-Baihaqi, Abu Bakar, Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imamul Muhadditsin, Al-Hafidhul Jalil, As-Sunanul Kubra, Cet I, Math ba'atu majlisi Da`iratil Ma'arifin Nidhamiyyah, India, 1344 H

23. Al-Baihaqi, Abu Bakr, Ahmad bin Al-Husain bin Ali, Al-Imam, Asy-Syaikh, Ma’rifatus Sunani wal Atsari ‘anil Imami Abi Abdillah, Muhammadibni Idris, Asy-Syafi’i, Cet.I, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, 1412 H/1991 M

24. Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah, Al-Ju’fi, Al-Imam, Shahihul Bukhari, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1414 h / 1994 M

25. Al-Bushairi, Abul 'Abbas, Ahmad bin Abu Bakr bin 'Abdur Rahman bin Isma'il, Al-Kinani, Al-Qahiri, Asy-Syafi'i, Asy-Syaikh, Syihabuddin, Zawaidubni Majah 'alal Kutubil Khamsah, Cet.I, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, 1414 H / 1993 M

26. Al-Hakim, Abu ‘Abdillah, An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Hafidh, Al-Mustadraku ‘alash Shahihain, Tanpa Nomor Cetak, Maktabul Mathbu’atil Islamiyyah, Aleppo, Tanpa Tahun

27. Al-Humaidi, Abu Bakr, ‘Abdullah bin Az-Zubair, Al-Imam, Al-Hafidzul Kabir, Musnadul Humaidi, Tanpa Nomor Cetak, Darul Baz, Makkah Al-Mukarramah, Tanpa Tahun
28. Al-Khawarizmi, Abul Mu`ayyad, Muhammad bin Mahmud, Al-Imam, Jami’ul Masanid, Tanpa Nomor Cetak, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Tanpa Tahun

29. An-Nasai, Abu Abdir Rahman, Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr, Al-Imam, Sunanun Nasa`i, Al-Mathba’atul Mishriyyah, Al-Azhar, Mesir, Cet.I, 1348 H / 1930 M

30. As-Sindi, Muhammad bin 'Abid, Abu Abdillah, Muhammad bin Idris, Al-Imamul Mu’dham, Al-Mujtahid, Tartibu Musnadil Imamil Mu'dhami wal Mujtahidil Muqaddami, Abi 'Abdillah, Muhammadibni Idris, Asy Syafi’i, Tanpa Nomor Cetak, Maktabah Dahlan, Indonesia, 1411 H /1990 M

31. At-Turmudzi, Abu Isa, Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-Jami’ush Shahihu wa huwa Sunanut Turmudzi, Cet II, Mathba’atu Musthafal Babil Halabi wa Auladuhu, Mesir, 1388 H / 1968 M

32. Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakr, ‘Abdullah bin Muhammad, Al-Kufi, Al-‘Anbasi, Al-Kitabul Mushannafu fil Ahaditsi wal Atsar, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1416 H / 1995 M

33. Ibnu Balban, ‘Ali bin Balban, Al-Farisi, Al-Amir, ‘Ala`uddin, Al-Ihsanu bi Tartibi Shahihibni Hibban, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1407 H / 1987 M

34. Ibnu Hajar, Abul Fadl-l, Ahmad bin Ali bin Hajar, Al-Asqalani, Al-Imam, Bulughul Marami min Adillatil Ahkam, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Beirut, 1409 H /1989 M

35. Ibnu Hajar, Abul Fadl-l, Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani, Al-Asqalani, Asy-Syafi'i, Syihabuddin, Talkhishul Habiri fi Takhriji Ahaditsir Rafi’il Kabir, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1419 H / 1998 M

36. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Yazid, Al-Qazwini, Sunanubni Majah, Tanpa Nomor Cetak, Daru Ihya`il Kutubil 'Arabiyyah, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

37. Malik bin Anas bin malik bin Abu 'Amir bin 'Amr bin Ghaiman bin Khutsail bin Al-Harits, Muwaththa`ul Imami Malik (Riwayat Yahya bin Yahya Al-Laitsi), Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Tanpa Nomor Cetak, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

38. Muslim, Abul Husain, Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim, Al-Qusyairi, An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Jami’us Shahih, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Tahun

39. Sa’id bin Manshur bin Syu’bah, Al-Khurasani, Al-Maki, Sunanu Sa'idibni Manshur, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1405 H / 1985 M

Kelompok Kitab Syarah Hadits
40. Abu Thayyib Abadi, Muhammad Syamsul Haqqil ‘Adhim, Al-‘Allamah, ‘Aunul Ma’bud, Cet.III, Darul Fikr, Beirut, 1399 H / 1979 M

41. Al-Kandahlawi, Muhammad Zakariyya, Al-‘Allamah, Syaikhul Hadits, Aujazul Masaliki ila Muwaththa`i Malik, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Beirut, 1400 H /1980 M

42. Al-Khaththabi, Abu Sulaiman, Ahmad bin Muhammad, Al-Busti, Ma’alimus Sunan (Syarhu Sunani Abi Dawud), Tanpa Nomor Cetak, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, 1416 H / 1996 M

43. Al-Mubarakfuri, Abul 'Ali, Muhammad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdur Rahim, Al-Imam, Al-Hafidh, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Turmudzi, Cet.III, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1399 H / 1979 M

44. Al-Qadli ‘Iyadl, Abul Fadl-l, Musa bin ‘Iyadl, Al-Yahshibi, Al-Imam, Al-Hafidh, Ikmalul Mu’lim bi Fawa`idi Muslim (Syarhu Shahihi Muslim), Cet.I, Darul Wafa`, Tanpa Kota, 1419 H / 1998 M

45. An-Nawawi, Abu Zakariyya, Muhyiddin bin Syaraf, Al-Majmu’u Syarhul Muhadzdzab, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

46. An-Nawawi, Abu Zakariya, Muhyiddin bin Syaraf, Al-Imam, Shahihu Muslim bi Syarhin Nawawi, Darul Fikr, 1401 H / 1981 M

47. As-Saharanfuri, Khalil Ahmad, Al-‘Allamah, Al-Muhadditsul Kabir, Asy-Syaikh, Badzlul Majhudi Fi Halli Abi Dawud, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

48. Ibnu Abdil Barr, Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, Al-Qurthubi, Al-Imam, Al-Hafidh, At-Tamhidu lima fil Muwaththa`i minal Ma’ani wal Masanid, Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut, Cet.I, 1419 H /1999 M

49. Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Al-Asqalani, Al-Imam, Al-Hafidh, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Imami Abi 'Abdillah, Muhammadibni Isma'il, Al-Bukhari, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Tahun

Kelompok Kitab Fiqih
50. Al-Jaziri, ‘Abdur Rahman, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, 1411 H / 1990 M

51. Ash-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il, Al-‘Amir, Al-Yamani, Al-Imam, Subulus Salam (Syarhu Bulughil Maram), Cet.I, Darul Fikr, Beirut, 1411 H / 1991 M

52. Asy-Syafi’i, Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Idris, Al-Imam, Al-Umm, Cet.II, Darul Fikr, Beirut, 1403 H / 1983 M

53. Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, Asy-Syaikh, Al-Mujtahid, Al-‘Allamah, Nailul Authar bi Syarhi Muntaqal Ahbari min Ahaditsi Sayyidil Akhyar, Math ba'atu Musthafal Babil Halabi wa Auladuhu, Mesir, 1347 H

54. Ibnul Hammam Al-Hanafi, Muhammad bin ‘Abdul Wahid, As-Siwasi, As-Sakandari, Al-Imam, Kamaluddin, Syarhu Fathil Qadir, Cet. II, Darul Fikr, Beirut, Tanpa tahun

55. Ibnu Hazm, Abu Muhammad, ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id, Al-Imamul Jalil, Al-Muhaddits, Al-Faqih, Al-Muhalla, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

56. Ibnu Qudamah, Abu Muhammad, ‘Abdullah bin Ahmad, Al-Maqdisi, Muwafiquddin, Al-Kafi fi Fiqhil Imami Ahmadabni Hanbal, Al-Maktabatut Tijariyyah Mushthafa Ahmad Al-Baz, Mekah Al-Mukarramah, Tanpa Tahun

57. Ibnu Qudamah, Ahmad bin Mahmud, Asy-syaikh, Al-Imam, Al-‘Allamah, Muwaffiquddin, Al-Mughni, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Tanpa Tahun

58. Ibnu Rusyd, Abul Walid, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahidi wa Nihayatul Muqtasyid, Cet.X, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1408 H / 1998 M

59. Ismuha (penterjemah) Doktor, Sarjana Hukum, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fikih, Cet.III, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1985

60. Masykur A.B et al. (penterjemah), Fikih Lima Mazhab, Cet.V, Lentera, Jakarta, 2000

61. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Tanpa Nomor Cetak, Darul Kitabil ‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun

Kelompok Kitab Ushul Fiqih
62. ‘Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Tanpa Nomor Cetak, CV. Sa’adiyah Putra, Jakarta, Tanpa Tahun

63. ‘Abdul Wahhab Khallaf, Ustadzusy Syari’atil Islamiyyati bi Kulliyyatil Huquq, ‘Ilmu Ushulil Fiqh, Cet.XI, Darul Qalam, Beirut, 1397 H /1977 M

64. Az-Zuhaili, Wahbah, Ad-Duktur, Ushulul Fiqhil Islami, Cet.I, Darul Fikr, Beirut, 1418 H / 1998 M

Kelompok Kitab Rijal
65. Adz-Dzahabi, Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Mizanul I’tidali fi Naqdir Rijal, Cet.I, Darul Ma’rifah, Beirut, 1382 H / 1963 M

66. As-Sam’ani, ‘Abdul Karim bin Muhammad bin Manshur, Abu Sa’d, Al-Imam, Al-Ansab, Cet.I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1419 H / 1998 M

67. Ibnu ‘Adi, Abu Ahmad, ‘Abdullah bin ‘Adi, Al-Jarjani, Al-Imam, Al-Hafidz, Al-Kamilu fi Dlu’afa`ir Rijal, Cet.III, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1409 H / 1988 M

68. Ibnu Hajar, Abul Fadl-l, Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kannani, Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Tahdzibut Tahdzib, Cet.I, Math ba'atu majlisi Da`iratil Ma'arifin Nidhamiyyah, India, 1366 H

69. Ibnu Hajar, Abul Fadl-l, Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kannani, Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Taqribut Tahdzib, Cet I, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1415 H / 1995 M.

70. Ibnu Sa’d, Muhammad bin Sa’d bin Mani’, Al-Hasyimi, Al-Bashri, Ath-Thabaqatul Kubra, Cet.II, Darul Kutubil ‘Arabiyyah, Beirut, 1418 H / 1997 M

Kelompok Kitab Mushthalah Hadits
71. Al-Khatib, Muhammad Hajjaj, Ad-Duktur, Ushulul Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Beirut, 1409 H / 1989 M

72. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa’idut Tahditsi min Fununi Musthalahil Hadits, Tanpa Nomor Cetak, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Tanpa Tahun

73. A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, Cet.IV, CV. Diponegoro, Bandung, 1990 M

74. Ath-Thahhan, Mahmud, Ad-Duktur, Taisiru Mushthalahil Hadits, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

Kelompok Kitab Kamus
75. Abdul Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.I, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996

76. Ibnul Atsir, Abus Sa’adat, Al-Mubarak bin Muhammad, Al-Jazari, An-Nihayatu fi Gharibil Haditsi wal Atsar, Cet.II, Darul Fikr, Tanpa Kota, 1399 H / 1979 M

77. Ibnu Mandhur, Al-Imam, Al-‘Allamah, Lisanul ‘Arab, Cet.I, Daru Ihya’it Turatsil ‘Arabi, Beirut, 1408 H / 1988 M.

78. Ibrahim Unais et al., Al-Mu’jamul Wasith, Cet.II, Tanpa Penerbit, Tanpa Kota, Tanpa Tahun

79. Taufik Abdullah et al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002

Kelompok Kitab Lain-lain
80. A. Hassan dkk, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Cet.V, CV. Diponegoro, Bandung, 1980

81. Al-Qaththan, Manna' Khalil, Mabahitsu fi 'Ulumil Qur`an, Cet.III, Mansyuratul 'Asyril Hadits, Tanpa Kota, 1399 H / 1973 M

82. Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE, UII, Yogyakarta, 1997

83. Sutrisno Hadi, Prof. Drs., MA, Metodologi Research, Cet.VII, Yogyakarta, Gama, 1986 M

84. Aris Amirris, "Di Balik Motivasi Religius," Tiras, 37 (Oktober, 1997)

L A M P I R A N I
1. Hadits Abu Musa radliyallahu 'anhu tentang tidak Adanya Pernikahan kecuali dengan Wali (lihat hlm.10)
Sanad hadits yang diriwayatkan At-Turmudzi ini adalah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيْكُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ إِسْرَائِيْلَ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِى زِيَادٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ يُوْنُسَ بْنِ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوْسَى.
(At-Turmudzi berkata) Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hujr, telah mengabarkan kepada kami Syarik bin ‘Abdullah dari Abu Ishaq. Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Abu Ishaq. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami ‘Abdur Rahman bin Mahdi, dari Israil, dari Abu Ishaq. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Ziyad, telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab, dari Yunus bin Abi Ishaq, dari Abu Ishaq, dari Abu Burdah, dari Abu Musa.

Setelah meneliti para rawi pada sanad-sanad At-Turmudzi di atas, penulis mendapati bahwa rawi-rawi pada sanad ketiga dari empat sanad yang disebutkan oleh At-Turmudzi tersebut adalah orang-orang tsiqah dan sanadnya pun bersambung. Sanad tersebut terdiri dari rawi-rawi berikut ini:
1. At-Turmudzi
2. Muhammad bin Basysyar
3. 'Abdur Rahman bin Mahdi
4. Israil (bin Yunus)
5. Abu Ishaq (As-Sabi’i)
6. Abu Burdah
7. Abu Musa
8. Nabi shallahu 'alaihi wa sallam
Oleh karena itu, penulis memilih sanad tersebut untuk mewakili sanad-sanad yang lain dalam membahas keadaan periwayatan hadits ini selanjutnya.
Pada sanad di atas, Israil (rawi no.4) meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq (rawi no.5) secara maushul. Sementara itu Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri yang juga murid Abu Ishaq, meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq secara mursal. Padahal, menurut keterangan Shalih bin Ahmad yang dia peroleh dari bapaknya, Israil pernah mendengar hadits dari Abu Ishaq di akhir umur Abu Ishaq. Ringkasnya, periwayatan Israil akan hadits ini secara maushul secara dhahir merupakan suatu syudzudz. Persoalan lain dalam periwayatan hadits ini adalah ‘an’anah Abu Ishaq, padahal beliau adalah seorang mudallis.
Dalam hal ini ada beberapa faktor yang mendorong penulis untuk menilai bahwa riwayat maushul Israil lebih layak untuk diterima. Faktor-faktor tersebut adalah:
Pertama: Banyak ahli hadits yang menetapkan bahwa hadits ini shahih, antara lain: ‘Ali bin Al-Madini, Muhammad bin Yahya, ‘Abdur Rahman bin Mahdi, Waki’, Yahya bin Adam, Yahya bin Zakariyya bin Abu Za`idah, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi.
Kedua: Dalam periwayatan dari Abu Ishaq, Israil adalah seorang rawi yang dapat diandalkan. Hal ini terbukti dari ta’dil (sanjungan) para ahli hadits antara lain: Yunus bin Abi Ishaq, At-Turmudzi, dan Abu Hatim atas periwayatan Israil dari Abu Ishaq. Bahkan, ‘Abdur Rahman bin Mahdi dan Syu’bah sendiri lebih mengedepankan riwayat Israil daripada riwayat Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri.
Ketiga: Sebagaimana dikatakan At-Turmudzi, orang-orang yang memaushulkan hadits ini—termasuk Israil tentunya—mendengar hadits ini dari Abu Ishaq pada waktu yang tidak bersamaan; sementara itu Syu’bah meriwayatkan dalam satu majlis dengan Sufyan Ats-Tsauri. Sebagai dasar bukti untuk pernyataan bahwa Syu’bah meriwayatkan dalam satu majlis dengan Sufyan Ats-Tsauri, At-Turmudzi menyertakan sebuah riwayat dari Mahmud bin Ghailan. Jadi, pemaushulan hadits ini lebih sering diceritakan daripada pemursalannya.
Dalam riwayat Mahmud bin Ghailan ini sekaligus terdapat penegasan bahwa Abu Ishaq benar-benar telah menerima hadits ini dari Abu Burdah. Walhasil, riwayat ‘an’anah Abu Ishaq ini dapat diterima.
Keempat: Ziyadah (tambahan) yang diberikan Israil adalah ziyadah maqbulah (tambahan yang diterima) karena berasal dari orang tsiqah yang tidak lebih rendah derajatnya daripada orang yang riwayatnya diberi ziyadah (Syu’bah dan Ats-Tsauri). Demikian menurut Al-Bukhari berdasarkan riwayat Muhammad bin Harun Al-Miski yang dicatat oleh Al-Baihaqi.
Kelima: Adanya mutaba’ah bagi Israil dan Abu Ishaq dalam meriwayatkan hadits ini secara maushul.
Sebagaimana dapat kita ketahui dari sanad-sanad di muka, Israil tidak bersendiri dalam memaushulkan hadits ini. Bahkan, dari keterangan Al-Hakim, setidaknya ada empat orang mutabi’ (pelaku mutaba'ah) bagi Israil tanpa tiga rawi pada sanad di depan (Syarik bin 'Abdullah, Abu 'Awanah dan Yunus bin Abu Ishaq).
Di antara para mutabi’ Israil, terdapat Syarik bin ‘Abdullah. Berdasarkan perkataan Ahmad dan Ibnu Ma’in, Syarik termasuk orang yang mendengar dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Penjelasan ini dapat menghapus keraguan kalau-kalau hadits ini dimaushulkan Abu Ishaq sesudah ikhtilath meskipun sesungguhnya penulis juga tidak mendapati seorang ahli hadits pun mengatakan bahwa hadits ini diterima Israil dari Abu Ishaq ketika Abu Ishaq telah mengalami ikhtilath.
Adapun rawi yang mengikuti Abu Ishaq dalam memaushulkan hadits ini adalah Yunus bin Abi Ishaq dan Abu Hushain, ‘Utsman bin ‘Ashim Ats-Tsaqafi.
Karena pemaushulan Israil dan kawan-kawan yang menyelisihi pemursalan Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri bukan merupakan suatu syudzudz, sedangkan persoalan tentang kemungkinan adanya ‘illah pada periwayatan Israil dari Abu Ishaq dan periwayatan Abu Ishaq dari Abu Burdah juga sudah teratasi, maka penulis menyimpulkan bahwa hadits Abu Musa ini adalah hadits shahih sebab rawi-rawinya merupakan orang-orang tsiqah, sanadnya bersambung serta tidak ada syudzudz maupun ‘illah. Wallahu a’lam bish shawab.
2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha tentang Pernikahan tanpa Wali (lihat hlm.11)
Sanad hadits yang diriwayatkan At-turmudzi ini adalah:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ.
(At-Turmudzi berkata) Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari 'Aisyah.

Menurut keterangan Ibnu Hajar, hadits ini dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Adapun At-Turmudzi selaku pemilik sanad yang penulis kutip ini menilai bahwa hadits ini hasan.
Adapun keadaan pribadi dan periwayatan para rawi hadits ini, Al-Albani memberikan komentar:
إِنََّّ الْحَدِيْثَ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ رِجَالُ مُسْلِمٍ، إِلاَّ أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوْسَى مَعَ جَلاَلَتِهِ فِى الْفِقْهِ فَقَدْ قَالَ الذَّهَبِيُّ فِى ((الضُّعَفَاءِ)): ((صَدُوْقٌ))، قَالَ الْبُخَارِيُّ: ((عِنْدَهُ مَنَاكِيْرُ)) وَقَالَ الْحَافِظُ فِى ((التَّقْرِيْبِ)): ((صَدُوْقٌ فَقِيْهٌ فِى حَديْثِهِ بَعْضُ لَيِّنٍ وَخُوْلِطَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِقَلِيْلٍ))....
Rijal hadits itu, semuanya adalah orang-orang tsiqah, rijal Imam Muslim. Hanya saja, Sulaiman bin Musa—bersama keluasan ilmu Fikih beliau—Adz-Dzahabi di dalam kitab Adl-Dlu’afa` mengatakan, "(ia) seorang shaduq. Al-Bukhari berkata, “Pada riwayatnya ada hadits-hadits munkar .” Al-Hafidh (Ibnu Hajar) dalam kitab At-Taqrib menuturkan, “Beliau seorang yang shaduq, ahli Fikih, dalam haditsnya ada sedikit kelemahan dan beliau mengalami ikhtilath menjelang wafatnya.”

Penilaian yang mengandung ta’dil (sanjungan) dan jarh (celaan) sekaligus seperti penuturan Ibnu Hajar di atas dilontarkan pula oleh Abu Hatim dan An-Nasai. Sa'id bin 'Abdul 'Aziz, Atha’ bin Abi dan Rabah dan Az-Zuhri menyanjungnya, sedangkan Duhaim, Ibnu Sa’d, dan Ad-Daraquthni mentsiqahkannya. Ibnu Ma'in menilai bahwa Sulaiman tsiqah dalam periwayatan dari Az-Zuhri. Ibnu 'Adi mengatakan bahwa Sulaiman adalah seorang faqih yang juga meriwayatkan hadits. Orang-orang tsiqah menyampaikan hadits darinya dan ia adalah salah satu ulama penduduk Syam. Ia pernah meriwayatkan beberapa hadits tanpa ada rawi lain yang meriwayatkannya, sedangkan menurut Ibnu 'Adi, ia tsabt dan shaduq. Berdasarkan penilaian para ulama hadits tersebut penulis menyimpulkan bahwa Sulaiman adalah seorang rawi maqbul (diterima riwayatnya) yang secara umum riwayatnya berderajat hasan.
Sebagaimana dituturkan Abu Dawud, sebagian ahli hadits mendla’ífkan hadits ini karena kisah Ibnu Juraij. Ibnu Juraij bercerita bahwa ia pernah menemui Az-Zuhri dan menanyakan perihal hadits ini kepadanya, akan tetapi, ternyata Az-Zuhri tidak mengetahuinya.
Pengingkaran Az-Zuhri yang diceritakan oleh Ibnu ‘Ulayyah ini diragukan kebenarannya oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Dengan menyertakan sanad yang dihukumi shahih oleh Al-Albani, Ibnu ‘Adi meriwayatkan penuturan Ibnu Ma’in tersebut sebagai berikut:
لَيْسَ يَقُوْلُ هذَا إِلاَّ ابْنُ عُلَيَّةَ وَعَرَضَ ابْنُ عُلَيَّةَ كُتُبَ ابْنِ جُرَيْجٍ عَلَى عَبْدِ الْمَجِيْدِ ابْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ فَأَصْلَحَهَا لَهُ.
Tidak ada yang mengatakan hal ini melainkan Ibnu ‘Ulayyah. Padahal, Ibnu ‘Ulayyah (hanyalah) menyodorkan kitab-kitab (yang berisi riwayat-riwayat) Ibnu Juraij kepada ‘Abdul Majid bin ‘Abdul ‘Aziz. Lalu ‘Abdul Majid mengoreksikannya untuk Ibnu ‘Ulayyah.

Sementara itu, Ahmad bin Hanbal menyatakan:
إِنَّ إبْنَ جُرَيْجٍ لَهُ كُتُبٌ مُدَوَّنَةٌ وَلَيْسَ هذَا فِى كُتُبِهِ يَعْنِي حِكَايَةَ ابْنِ عُلَيَّةَ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ.
Sesungguhnya Ibnu Juraij mempunyai beberapa kitab yang ditulis, sedangkan kisah ini tidak terdapat di dalam kitab-kitabnya. Maksud Imam Ahmad adalah hikayat Ibnu ‘Ulayyah dari Ibnu Juraij.

Dengan demikian, diketahui bahwa dasar berpijak untuk mendla'ifkan kedudukan hadits ini tidak kuat. Oleh karena itu, cerita Ibnu Juraij tersebut bukan merupakan suatu ‘illah bagi hadits ini.
Jika cerita Ibnu Juraij ini benar sekalipun, maka ketidaktahuan Az-Zuhri terhadap hadits tersebut tidak berarti bahwa Sulaimanlah yang telah keliru menyebutkan nama syekhnya atau berdusta. Ada beberapa ahli hadits yang menganggap bahwa pengingkaran Az-Zuhri ini disebabkan oleh kelupaan. Mereka itu antara lain: Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu ‘Abdil Barr, Adz-Dzahabi dan Rauh Al-Karabisi.
Untuk menyatakan bahwa justru Az-Zuhri yang sudah lupa dengan hadits ini, Adz-Dzahabi berhujah dengan rawi-rawi yang mendengar hadits tersebut dari Ibnu Juraij. Adz-Dzahabi mengatakan:
سَمِعَهُ أَبُوْ عَاصِمٍ مِنْهُ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ وَيَحْيَ بْنُ أَيُّوْبَ وَحَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ مِنِ ابْنِ جُرَيْجٍ مُصَرِّحِيْنَ بِالسِّمَاعِ مِنَ الزُّهْرِيِّ فَلاَ يُعَلُّ هذَا فَقَدْ يَنْسَى الثِّقَةُ.
Abu ‘Ashim, ‘Abdur Razzaq, Yahya bin Ayyub dan Hajjaj bin Muhammad telah mendengarnya dari Ibnu Juraij, masing-masing menegaskan pendengaran (Sulaiman) dari Az-Zuhri. Oleh karena itu, hadits ini tidak ter'illah; sebab terkadang orang tsiqah pun bisa lupa.

Empat riwayat dari para rawi di atas dapat ditahkik di dalam kitab Al-Mustadrak, karya Al-Hakim.
Adapun alasan yang dikemukan oleh Rauh Al-Karabisi ialah karena peristiwa yang mirip dengan ini pernah terjadi pada diri Az-Zuhri, sehingga tidak mustahil jika hal yang sama terulang kembali. Kejadian tersebut dialami oleh ‘Amr bin Dinar. ‘Amr bin bin Dinar pernah mendengar suatu hadits dari Az-Zuhri, lalu dia menyampaikannya kepada Ibnu ‘Uyainah. Ketika Ibnu ‘Uyainah menanyakan hadits yang diterimanya dari ‘Amr bin Dinar tersebut kepada Az-zuhri, Az-Zuhri mengaku tidak mengetahuinya. Maka Ibnu ‘Uyainah pun menyampaikan hal itu kepada ‘Amr bin Dinar dan ‘Amr bin Dinar memberitahukan kepadanya kapan dia mendengar hadits tersebut dari Az-Zuhri. Alasan yang diajukan Rauh Al-Karabisi ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu ‘Adi dalam kitab masing-masing. Perbedaan antara dua kejadian tersebut ialah dalam kejadian sulaiman ini tidak ada keterangan ihwal permintaan konfirmasi Ibnu Juraij kepada Sulaiman seperti yang diperbuat Ibnu ‘Uyainah terhadap ‘Amr bin Dinar.
Lebih-lebih lagi, Sulaiman tidak meriwayatkan hadits ini dari Az-Zuhri seorang diri. Ibnu ‘Adi menerangkan bahwa Hajjaj bin Arthah, Yazid bin Abu Hubaib, Qurrah bin Abu Haiwa`il, Ayyub bin Musa, Ibnu ‘Uyainah dan Ibrahim bin Sa’d juga meriwayatkan hadits ini dari Az-Zuhri. Selain mereka, ada pula Muhammad bin Ishaq, Musa bin ‘Uqbah dan Hisyam bin Sa’d menurut pendataan yang dilakukan Al-Qasim bin Mandah yang dinukil Al-Mubarakfuri.
Walhasil, tidak ada alasan yang tepat untuk mendla’ifkan kedudukan hadits ini dengan cerita Ibnu Juraij tersebut.
Dengan demikian, karena keberadaan Sulaiman bin Musa di antara rawi-rawi tsiqah pada sanad At-Turmudzi yang bersambung ini, serta tidak adanya syudzudz maupun ‘illah, penulis menyatakan bahwa hadits ini hasan. Wallahu a’lam bish shawab.
3. Hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwa Wanita Tidak Menikahkan (lihat hlm.12)
Sanad hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah ini adalah:
حدثنا جَمِيْلُ بْنُ الْحَسَنِ الْعَتَكِيُّ. ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ الْعُقَيْلِيُّ. ثنا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ.
(Ibnu Majah berkata) Telah menceritakan kepada kami Jamil bin Al-
Hasan Al-‘Ataki, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwan Al-‘Uqaili, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah.

Berdasarkan penelitian penulis, sanad di atas bersambung dan marfu’ (terangkat). Adapun rawi-rawinya—menurut Al-Albani—adalah orang-orang tsiqah kecuali Muhammad bin Marwan Al-‘Uqaili (rawi no.3).
Sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib, Muhammad bin Marwan ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in dan Abu Dawud. Abu Zur’ah mendla’ifkannya. Ahmad bin Hanbal sengaja tidak meriwayatkan darinya, tampaknya dia menilai bahwa Muhammad bin Marwan adalah seorang rawi yang dla’if. Menurut Ibnu Hajar, Muhammad bin Marwan adalah seorang shaduq (sangat jujur) yang mempunyai beberapa kesalahpahaman dalam periwayatan. Berdasarkan penilaian para ulama di atas penulis menyimpulkan bahwa Muhammad bin Marwan adalah seorang rawi maqbul yang tidak mencapai derajat tsiqah. Oleh karena itu, sanad di atas berderajat hasan.
Hadits ini juga diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan secara mauquf pada Abu Hurairah melalui jalur Sufyan bin ‘Uyainah dan An-Nadlr bin Syumail. Riwayat mauquf tersebut diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i dan Ad-Daraquthni. Agar lebih jelas, berikut ini penulis sebutkan susunan sanad masing-masing.
a.1. Asy-Syafi’i
2. Sufyan bin ‘Uyainah
3. Hisyam bin Hassan
4. Muhammad bin Sirin
5. Abu Hurairah
b.1. Ad-Daraquthni
2. Muhammad bin Makhlad
3. Ahmad bin Manshur
4. An-Nadlr bin Syumail
5. Hisyam bin Hassan
6. Muhammad bin Sirin
7. Abu Hurairah
An-Nadlr dan Sufyan adalah dua rawi tsiqah. Bahkan, tidak ada seorang pun ahli hadits yang mencela An-Nadlr baik pada pribadi maupun periwayatannya. Adapun Ahmad bin Manshur (rawi no.3 pada sanad b) adalah seorang yang shaduq, sedangkan Muhammad bin Makhlad (rawi no.2 pada sanad b) adalah rawi tsiqah. Dengan demikian, riwayat yang memauqufkan hadits ini berderajat shahih.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa riwayat mauquf hadits ini lebih kuat daripada riwayat yang marfu’ karena riwayat yang mauquf sanadnya shahih, sedangkan sanad riwayat yang marfu’ berderajat hasan. Karena tidak ada hujah lain yang menguatkan kedudukan riwayat yang marfu’, maka penulis menetapkan bahwa hadits Abu Hurairah ini adalah hadits mauquf, akan tetapi sanadnya shahih. Wallahu a’lam bish shawab.
4. Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhuma bahwa Al-Ayyim Lebih Berhak dengan Dirinya daripada Wali (lihat hlm.13)
Hadits ini dimuat Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam Al-Bukhari merupakan hadits yang menempati peringkat ketiga dari tujuh tingkatan hadits shahih.
5. Hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu tentang Pensyaratan Ijin Wanita yang akan Dinikahkan (lihat hlm.13-14)
Hadits Abu Hurairah ini adalah hadits shahih karena hadits ini muttafaqun ‘alaih. Ath-Thahhan mengatakan:
إِذَا قَالَ عُلَمَاءُ الْحَدِيْثِ عَنْ حَدِيْثٍ ((مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)) فَمُرَادُهُمُ اتِّفَاقُ الشَّيْخَيْنِ، أَيْ اتِّفَاقُ الشَّيْخَانِ عَلَى صِحَّتِهِ، لاَ اتِّفَاقُ الأُمَّةِ. إِلاَّ أَنَّ ابْنَ الصَّلاَحِ قَالَ: ((لكِنِ اتِّفَاقَ الأُمَّةِ عَلَيْهِ لاَزِمٌ مِنْ ذلِكَ وَحَاصِلٌ مَعَهُ، لاتِّفَاقِ الأُمَّةِ عَلَى تَلَقِّي مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ بِالْقَبُوْلِ.
Apabila ulama hadits berkomentar tentang suatu hadits "muttafaqun 'alaih", maka maksud mereka adalah kesepakatan dua syekh (Al-Bukhari dan Muslim) atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat (ulama). Hanya saja, Ibnush Shalah mengatakan, "Akan tetapi kesepakatan umat (ulama) terwujud dari hal itu dan terjadi bersamanya (kesepakatan dua syekh) karena umat (ulama) sepakat untuk menerima hadits yang disepakati oleh keduanya."

6. Hadits Buraidah radliyallahu 'anhu tentang Gadis yang Dinikahkan Bapaknya tanpa Ijinnya (lihat hlm. 14-15)
Sanad hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah ini adalah:
حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ كَهْمَسِ بْنِ الْحَسَنِ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ.
(Ibnu Majah berkata) Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As-Sari, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Kahmas bin Al-Hasan, dari Ibnu Abi Buraidah dari bapaknya.

Dalam Zawa`idubni Majah, Al-Bushairi menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan rawi-rawinya orang-orang tsiqah. Akan tetapi, penulis mendapati sanad hadits 'Abdullah bin Buraidah dari Buraidah ini terputus. Demikian pula sanad hadits ‘Abdullah bin Buraidah dari 'Aisyah. Dalam tarjamah ‘Abdullah bin Buraidah disebutkan bahwa Ahmad bin Hanbal mendla’ifkan riwayat ‘Abdullah dari bapaknya. Ibrahim Al-Harbi menyatakan bahwa ia tidak mendengar hadits dari bapaknya. Selain itu, Ad-Daraquthni mengatakan bahwa ‘Abdulah tidak mendengar hadits dari ‘Aisyah. Walhasil, hadits tentang gadis yang dinikahkan bapaknya tanpa ijinnya yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Buraidah—baik dari Buraidah maupun dari ‘Aisyah—ini dla’if karena sanadnya munqathi’ (terputus).
Hanya saja, hadits ini mempunyai syahid dari Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:
حدّثنا أَبُو السَّقْرِ يَحْيَ بْنُ يَزْدَادَ الْعَسْكَرِيُّ. ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَرُوْذِيُّ. حَدَّثَنِى جَرِيْرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنْ أَيُّوْبَ, عَنْ عِكْرِمَةَ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ  فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ. فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ .
(Ibnu Majah berkata) Telah menceritakan kepada kami Abu Saqr, Yahya bin Yazdad Al-'Askar, telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad Al-Marwarudzi , telah menceritakan kepadaku Jarir bin Hazim, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya (ada) seorang gadis datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia menyebutkan kepada beliau bahwa bapaknya telah menikahkannya, sedangkan dia tidak suka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun memberikan pilihan kepadanya.

Sanad hadits Ibnu ‘Abbas ini bersambung dan rawi-rawinya maqbul. Oleh sebab itu, dengan keberadaan syahid dari Ibnu ‘Abbas ini kedudukan hadits Buraidah menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a’lam.
7. Hadits Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman radliyallahu 'anhu tentang Janda yang Dinikahkan Bapaknya tanpa Persetujuannya (lihat hlm.15-16)
Sanad hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah ini adalah:
حَدَّثَنَا سَلاَّمٌ وَجَرِيْرٌ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ رُفَيْعٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ.
(Ibnu Abi Syaibah berkata) Telah menceritakan kepada kami Sallam dan Jarir, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Rufai’, dari Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman.

Setelah melakukan pemeriksaan, penulis mendapati bahwa sanad di atas mursal karena Abu Salamah, seorang tabiin , meriwayatkan langsung dari Nabi. Seharusnya sesudah Abu Salamah ada sahabat yang menyampaikan hadits ini dari Nabi kepadanya.
Namun, hadits ini mempunyai syahid shahih dari hadits Khansa` bin ‘Abdur Rahman yang diriwayatkan antara lain oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan An-Nasai. Berikut ini kutipan hadits tersebut yang penulis ambil dari kitab Shahihul Bukhari.
... عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِدَامٍ الأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذلِكَ، فَأَتَتْ رَسُوْلَ اللهَ  فَرَدَّ نِكَاحَهُ.
… dari Khansa` binti Khidam Al-Anshariyyah, bahwasanya bapaknya telah menikahkannya, sedangkan dia adalah seorang janda. Maka dia tidak suka dengan pernikahan itu. Lalu dia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk melaporkan perkaranya). Maka beliau pun menolak pernikahannya.

Oleh karena itu, kedudukan hadits Abu Salamah ini menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a'lam.
8. Hadits Ummu Salamah radliyallahu ‘anha (dari jalan ‘Umar bin Abu Salamah) tentang Pernikahannya dengan Rasulullah (lihat hlm.16-17)
Sanad hadits yang diriwayatkan An-Nasa`i ini adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْن ِإِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ حَدَّثَنِي ابْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ.
(An-Nasai berkata) Telah mengabari kami Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim, dia berkata, "Telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit Al-Bunani, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Umar bin Abu Salamah, dari bapaknya, dari Ummu Salamah.

Sanad di atas dla’if karena padanya terdapat rawi majhul (tidak dikenal), yaitu Ibnu ‘Umar bin Abu Salamah (rawi no.5). Hal ini sebagaimana dinyatakan Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil.
Adapun informasi tentang kemajhulan Ibnu ‘Umar bin Abi Salamah terdapat di dalam kitab Mizanul I’tidal sebagai berikut:
اِبْنُ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ الْقُرَشِيُّ الْمَخْزُوْمِيُّ, عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أًمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ: يَا عُمَرُ قُمْ،
فَزَوِّجْ رَسُوْلَ اللهِ. فَهذَا لاَ يُعْرَفُ قَالَهُ عَبْدُ الْحَقِّ الأَزْدِيِّ وَ مَدَارُ الْحَدِيْثِ عَلَى ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَفِيْهِ مَقَالٌ لِجَهَالَتِهِ.
Ibnu ‘Umar bin Abu Salamah Al-Qurasyi, Al-Makhzumi (meriwayatkan) dari bapaknya bahwasanya Ummu Salamah berkata, “Wahai ‘Umar, bangkitlah, lalu nikahkanlah Rasulullah.” Orang ini tidak diketahui, ‘Abdul Haq telah mengatakannya. Tempat perputaran (sanad) hadits itu (terdapat) pada Tsabit Al-Bunani. Padahal, pada diri Ibnu ‘Umar bin Abu Salamah ada pembicaraan karena jahalah (ketidakdikenalan)nya.

Karena orang yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar hanyalah Tsabit Al-Bunani, maka penulis menyimpulkan bahwa dia adalah rawi yang majhul ‘ain. Oleh sebab itu, sanad hadits ini dla’if.
9. Ummu Habibah radliyallahu ‘anha tentang Pernikahannya dengan Rasulullah (lihat hlm.17-18)
Sanad hadits yang diriwayatkan Abu Dawud ini adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ.
(Abu Dawud berkata) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya bin Faris, telah mengabari kami ‘Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari Ummu Habibah.

Penulis tidak mendapati ulama hadits membicarakan sanad hadits ini, apalagi mendla'ifkannya. Adapun penelitian penulis membuktikan bahwa rawi-rawi hadits ini adalah orang-orang tsiqah, sanadnya bersambung serta tidak ada syudzudz maupun ‘illah. Oleh karena itu, kedudukan hadits ini shahih.
10. Hadits Sahl bin Sa’d radliyallahu 'anhu tentang Wanita yang Menghibahkan diri kepada Rasulullah (lihat hlm.18-19)
Hadits ini muttafaqun ‘alaih.
11. Atsar ‘Aisyah radiyallahu ‘anha bahwa Ia Menikahkan Hafshah binti ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar (dari hlm.19)
Sanad atsar yang diriwayatkan Malik ini adalah:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عَائِشَةَ.
(Malik berkata) dari ‘Abdur Rahman bin Al-Qasim, dari bapaknya bahwasanya ‘Aisyah.

Penulis mendapati sanad di atas bersambung, rawi-rawinya orang-orang tsiqah dan tidak ada syudzudz maupun ‘illah padanya. Oleh karena itu, sanad tersebut shahih. Wallahu a’lam bish shawab.
12. Atsar Ummu Hakim bin Qaridh radliyallahu ‘anha tentang Pernikahannya dengan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf (lihat hlm.20)
Sanad atsar yang diriwayatkan Ibnu Sa'd ini adalah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ أَبِي فُدَيْكٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَقَارِظِ بْنِ شَيْبَةَ أَنَّ أُمَّ حَكِيْمٍ بِنْتَ قَارِظٍ قَالَتْ لِعَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ.
(Ibnu Sa’d berkata), Telah mengabari kami Muhammad bin Isma’il bin Abu Fudaik, dari Ibnu Abi Dzi`b, dari Sa’id bin Khalid dan Qaridh bin Syaibah bahwasanya Ummu Hakim binti Qaridh berkata kepada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf.
Atsar ini adalah atsar Ummu Hakim. Sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib, dia adalah Ummu Hakim binti Qaridh bin Khalid bin Tamilah bin Qaridh Al-Laitsiyyah. Ibnu Hajar menyatakan bahwa iaمَذْكُوْرَةٌ فِي الصَّحَابَةِ (disebut di kalangan sahabat). Selain itu, tidak ada keterangan lain yang berkaitan dengan Ummu Hakim kecuali satu riwayat yang tengah penulis bahas ini.
Adapun dalam Ath-Thabaqatul Kubra pada tarjamah ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, Ummu Hakim adalah salah satu istri ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Sedangkan tarjamah Ummu Hakim sendiri, oleh Ibnu Sa’d ditempatkan dalam golongan النِّسَاءُ اللَّوَاتِي لَمْ يَرْوِيْنَ مِنْ رَسُوْلِِ اللهِ وَيَرْوِيْنَ عَنْ أَزْوَاجِهِ وَغَيْرِهِنَّ (wanita-wanita yang tidak meriwayatkan dari Rasulullah, akan tetapi dari istri-istri beliau dan lain-lain). Kecuali riwayat ini dan penyebutan nama berikut nasabnya, tidak ada lagi informasi tentang Ummu Hakim.

Jika benar Ummu Hakim adalah seorang sahabat, maka tidak ada yang perlu dipersoalkan tentang Ummu Hakim karena semua sahabat ‘adil. Namun, karena tidak tegas menunjukkan bahwa Ummu Hakim adalah seorang sahabat, data-data yang telah penulis kemukakan di atas tidak bisa dijadikan hujah untuk memastikan bahwa ia adalah seorang sahabat. Oleh sebab itu, untuk menentukan derajat riwayat ini, jati diri Ummu Hakim harus diketahui.
Karena tidak ada penjelasan mengenai keadaan pribadi Ummu Hakim, bahkan namanya pun tidak tercantum dalam daftar guru-guru Qaridh bin Syaibah dan Sa’id bin Khalid selaku orang yang meriwayatkan cerita ini darinya, maka penulis menyimpulkan bahwa Ummu Hakim adalah rawi yang majhul hal. Akibatnya, atsar ini menjadi dla’if. Wallahu a’lam.
13. Hadits Ma'qil bin Yassar radliyallahu 'anhu tentang Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah (2):232 (lihat hlm.37-38)
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dengan sanad yang muttashil, sedangkan hadits yang demikian merupakan hadits yang disepakati keshahihannya oleh umat (ulama). Dengan demikian, hadits ini adalah hadits shahih.

LAMPIRAN II
1 Ahliyyatul ada`:
صَلاَحِيَّةُ الْمُكَلَّفِ لأَنْ تُعْتَبَرَ شَرْعًا أَقْوَالُهُ وَأَفْعَالُهُ.
Kelayakan seorang mukalaf untuk dianggap (sah) perkataan dan perbuatannya menurut syariat.

2 Hadits shahih:
Ath-Thahhan dalam Taisiru Mushthalahil Hadits, hlm. 30 mendefinisikan hadits shahih sebagai berikut:
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍِ.
Hadits yang sanadnya bersambung, dinukilkan oleh rawi-rawi ‘adil (dan) dlabith dari permulaan sampai penghabisan sanad tanpa terdapat syudzudz maupun ‘illah.

Sanad bersambung ialah:
أَنَّ كُلَّ رَاوٍ مِنْ رُوَاتِهِ قَدْ أَخَذَهُ مُبَاشَرَةً عَمَّنْ فَوْقَهُ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاهُ
bahwa tiap-tiap rawi dari awal sampai akhir sanad mengambil hadits itu secara langsung dari gurunya.

Rawi ‘adil ialah:
اتَّصَفَ بِكَوْنِهِ مُسْلِمًا بَالِغًا عَاقِلاً غيْرَ فَاسِقٍ وَغَيْرَ مَخْرُوْمِ الْمُرُوْءَةِ.
berciri-ciri: muslim, dewasa, berakal sehat, tidak fasiq, dan muruahnya terjaga.

Rawi dlabith ialah:
كَانَ تَامَّ الضَّبْطِ. إِمَّا ضَبْطُ صَدْرٍ أَوْ ضَبْطُ كِتَابٍ.
berdaya ingat sempurna, baik hapal di luar kepala atau hapal dengan membaca kitab.

Syudzudz ialah:
مُخَالَفَةُ الثِّقَةِ لِمَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ.
penyelisihan seorang rawi tsiqah akan [riwayat] orang yang lebih tsiqah daripadanya.

‘Illah ialah:
سَبَبٌ غَامِضٌ خَفِيٌّ يَقْدَحُ فِي صِحَّةِ الْحَدِيْثِ مَعَ أَنَّ الظَّاهِرَ السَّلاَمَةُ مِنْهُ.
suatu sebab yang samar lagi tersembunyi yang membatalkan keshahihan hadits, padahal [menurut] yang tampak hadits itu tanpa cacat.
Adapun rawi tsiqah adalah rawi yang ‘adil dan dlabith.
3 Hadits hasan:
مَا اتَّصَلَ سَنُدُهُ بِعَدْلٍ خَفَّ ضَبْطُهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
Hadits yang bersambung sanadnya dengan (penukilan) orang ‘adil yang kurang kuat hapalannya tanpa ada syudzudz maupun ‘illah.

4 Hadits mauquf:
مَا أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ.
Apa-apa yang disandarkan kepada sahabat, yang berupa omongan, perbuatan atau taqrir (penetapan).

5 Hadits mursal:
مَا سَقَطَ مِنْ أَخِرِ إِسْنَادِهِ مَنْ بَعْدَ التَّابِعِيِّ.
Hadits yang gugur pada akhir sanadnya rawi sesudah tabiin.

6 Syahid:
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِى يُشَارِكُ فِيْهِ رُوَاتُهُ رُوَاةَ الْحَدِيْثِ الْفَرْدِ لَفْظًا وَمَعْنًى أَوْ مَعْنًى فَقَطْ مَعَ الإِخْتِلاَفِ فِي الصَّحَابِيِّ.
Hadits yang rawi-rawinya menyerikati rawi-rawi hadits fard dalam lafal dan makna atau makna saja disertai adanya perbedaan pada sahabat. Hadits fard adalah nama lain dari hadits gharib, yaitu:
مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٍ.
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.

7 Hadits hasan li ghairihi:
هُوَ الضَّعِيْفُ إِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ، وَلَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضُعْفِهِ فِسْقَ الرَّوِى أَوْ كَذِبَهُ.
Hadits dla'if apabila jalan periwayatannya berbilang dan sebab kedla'ifannya bukan kefasikan atau kedustaan rawi.

8 Hadis dla’if:
هُوَ كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ، وَقَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءُ هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ.
Setiap hadits yang ciri-ciri diterimanya suatu hadits tidak terpenuhi padanya. Mayoritas ulama hadits mengatakan (bahwa) hadits dla'if adalah hadits yang tidak memenuhi ciri hadits shahih dan hadits hasan.
9 Atsar:
مَا أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابَةِ وَ التَّابِعِيْنَ مِنْ أَقْوَالٍ أَوْ أَفْعَالٍ.
Apa-apa yang disandarkan kepada para sahabat atau tabiin yang berupa omongan atau amalan.

Atsar sahabat juga bisa disebut dengan hadits mauquf. (lihat definisi hadits mauquf no.4)
10 Hadits mu’allaq:
مَا حُذِفَ مِنْ مَبْدَإِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ عَلَى التَّوَالِي. مِنْ صُوَرِهِ: أَنْ يُحْذَفَ جَمِيْعُ السَّنَدِ ثُمَّ يُقَالُ مَثَلاً ((قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم كَذَا)). وَمِنْهَا أَنْ يُحْذَفَ كُلُّ الإِسْنَادِ إِلاَّ الصَّحَابِيَّ، أَوْ إِلاَّ الصَّحَابِيَّ وَالتَّابِعِيَّ.
Hadits yang dari permulaan sanadnya dibuang seorang rawi (atau) lebih secara berturut-turut. Sebagian bentuknya adalah: seluruh sanadnya dibuang kemudian dikatakan misalnya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda begini dan seluruh sanadnya dibuang kecuali sahabat saja atau sahabat dan tabiin.

11 Madzhab Imamiyyah: Salah satu mazhab fikih dalam aliran Syiah yang dirintis oleh Imam Ja’far as-Sadiq, salah seorang dari dua belas imam Syiah.
12 Madzhab Dhahiri: Aliran yang berdasarkan dhahiriyah (tekstual nas). Madzhab Adh-Dhahiri merupakan salah satu dari madzhab fiqih yang pernah ada dan muncul pertama kali di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Ad-Dhahiri, madzhab ini juga dikenal dengan nama madzhab Ad-Daudi. Para pengikut madzhab ini disebut ahludz dzahir atau adh-dhahiriyyah (penganut ajaran dhahiriyah). Madzhab ini dibangun oleh seorang faqih besar yang bernama Dawud bin 'Ali bin Khalaf Al-Isfahani, Abu Sulaiman (Dawud Adh-Dhahiri).
13 ‘Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan:
النَّصُّ الشَّرْعِيُّ-أَوِ الْقَانُوْنِيُّ- يَجِبُ الْعَمَلُ بِمَا يُفْهَمُ مِنْ عِبَارَتِهِ، أَوْ إِشَارَتِهِ أَوْ دَلاَلَتِهِ، اَوِاقْتِضَائِهِ؛ لأَنَّ كُلَّ مَا يُفْهَمُ مِنَ النَّصِّ بِطَرِيْقٍ مِنْ هذِهِ الطُّرُقِ الأَرْبَعَةِ هُوَ مِنْ مَدْلُوْلاَتِ النَّصِّ، وَالنَّصُّ حُجَّةٌ عَلَيْهِ.
Apa yang dipahami dari isyarah, dalalah atau iqthidla` nas syar’i (yang dibangsakan kepada syariat) atau qanuni (yang dibangsakan kepada undang-undang) wajib diamalkan, sebab setiap makna yang dipahami melalui salah satu metode dari empat metode ini termasuk dari madlul nas tersebut, dan nas itu merupakan hujah untuknya (dalam beramal dengan madlul nas tersebut).

14 Al-Qaththan menuliskan:
التَّفْسِيْرُ بِالْمَأْثُوْرِ هُوَ الَّذِى يَجِبُ اتِّبَاعُهُ وَالأَخْذُ بِهِ لأَنَّهُ طَرِيْقُ الْمَعْرِفَةِ الصَّحِيْحَةِ، وَهُوَ آمَنُ سَبِيْلٍ لِلْحِفْظِ مِنَ الزَّلَلِ وَالزَّيْغِ فِى كِتَابِ اللهِ.
Tafsir bil Ma`tsur merupakan tafsir yang wajib diikuti dan diambil karena dia adalah cara untuk mengetahui tafsir yang benar dan jalan yang paling aman supaya terjaga dari ketergelinciran serta ketersimpangan dalam memahami kitab Allah.

15 Ath-Thahhan menjelaskan tentang hukum hadits shahih sebagai berikut:
وُجُوْبُ الْعَمَلِ بِهِ بِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَمَنْ يُعْتَدُّ بِهِ مِنَ الأُصُوْلِيِّيْنَ وَالْفُقَهَاءِ، فَهُوَ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ. لاَ يَسَعُ الْمُسْلِمَ تَرْكُ الْعَمَلِ بِهِ.
Wajib beramal dengannya (diterima) menurut ijmak ahli hadits dan orang-orang yang terbilang dalam golongan ahli Ushul Fiqih dan ahli Fiqih. Maka dia merupakan suatu hujah dari hujah-hujah syariat yang tidak membolehkan seorang muslim untuk meninggalkan pengamalannya.

16 'Abdul Wahhab Khallaf menerangkan:
وَالْفَرْقُ بَيْنَ رُكْنِ الشَّيْءِ وَشَرْطِهِ، مَعَ أَنَّ كُلاًّ مِنْهُمَا يَتَوَقَّفُ وُجُوْدُ الْحُكْمِ عَلَى وُجُوْدِهِ أَنَّ الرُّكْنَ جُزْءٌ مِنْ حَقِيْقَةِ الشَّيْءِ. وَأَمَّا الشَّرْطُ فَهُوَ أَمْرٌ خَارِجٌ عَنْ حَقِيْقَتِهِ وَلَيْسَ مِنْ أَجْزَاءِهِ.
Perbedaan antara rukun dan syarat dari sesuatu—padahal keduanya sama-sama menjadi tempat bergantung keberadaan hukum—ialah bahwa rukun itu merupakan bagian dari hakekat sesuatu. Adapun syarat merupakan perkara yang berada di luar hakekat sesuatu dan tidak termasuk salah satu unsurnya.

17 Al-Khathib menjelaskan:
يُحْتَجُّ بِالْحَدِيْثِ الْحَسَنِ بِنَوْعَيْهِ كَمَا يُحْتَجُّ بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ، وَيُعْمَلُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ الْحَسَنُ دُوْنَ الصَّحِيْحِ فِي الْقُوَّةِ....
Hadits hasan dengan kedua macamnya (hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi dapat dijadikan hujah sebagaimana hadist shahih dapat dijadikan hujah dan diamalkan meskipun hadits hasan di bawah hadits shahih dalam hal kualitas.

18 Ath-Thahhan mengatakan:
...أَنَّ الأَصْلَ فِي الْمَوْقُوْفِ عَدَمُ الإِحْتِجَاجِ بِهِ، لأَنَّهُ أَقْوَالُ وَأَفْعَالُ صَحَابَةٍ.
…bahwasanya asal (hukum) hadits mauquf adalah tidak bolehnya berhujah dengannya karena ia merupakan perkataan dan perbuatan sahabat.

19 Al-Khathib mengatakan:
وَقَدِ اعْتَادَ الْمُحَدِّثُوْنَ وَالْمُصَنِّفُوْنَ فِي عُلُوْمِ الْحَدِيْثِ وَمُصْطَلَحِهِ اِدْخَالَهُمَا فِي الضَّعِيْفِ، وَاِنْ صَحَّ طَرِيْقُهُمَا.
Para ahli hadits dan para penyusun kitab tentang ilmu-ilmu hadits dan peristilahannya biasa memasukkan keduanya (hadits mauquf dan hadits maqthu') ke dalam (kelompok) hadits dla'if meskipun shahih jalan periwayatannya.

20 Al-Qasimi mengatakan:
قَالَ الْمُحَقِّقُ جَلاَلُ الدِّيْنِ الدَّوَانِى فِى رِسَالَتِهِ أَنْمُوْدَجِ الْعُلُوْمِ: ((اتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْحَدِيْثَ الضَّعِيْفَ، لاَ تَثْبُتُ بِهِ الأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةِ....
Al-Muhaqqiq Jalaluddin Ad-Dawani dalam risalahnya, Anmudzajul ‘Ulum menyatakan, “Mereka (para ulama) bersepakat bahwa hadits dla’if tidak dapat (dipakai untuk) menetapkan hukum-hukum syar’i....

21 Al-Qasimi menyatakan:
وَلاَ يَضُرُّهُ عَمَلُ الرَّاوِي لَهُ بِخِلاَفِهِ، خِلاَفًا لِجُمْهُوْرِ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ، لأَنَّا مُتَعَبِّدُوْنَ بِمَا بَلَغَ إِلَيْنَا مِنَ الْخَبَرِ، وَلَمْ نَتَعَبَّدْ بَمَا فَهِمَهُ الرَّاوِي، وَلَمْ يَأَْتِ مَنْ قَدَّمَ عَمَلَ الرَّاوِي عَلَى رِوَايَتِهِ بِحُجَّةٍ تَصْلُحُ لِلإِِسْتِدْلاَلِ بِهَا.
Pengamalan rawi yang menyelisihi hadits shahih yang diriwayatkannya tidak memadlarati (keabsahan) hadits tersebut. (Kaidah) ini menyalahi (kaidah) jumhur ulama madzhab Hanafi dan sebagian ulama madzhab Maliki. (Hal ini disebabkan oleh) kita beribadah menurut kabar yang sampai kepada kita dan tidak beribadah berdasarkan apa yang dipahami oleh rawi (yang menyampaikan kabar tersebut kepada kita). Sementara orang-orang yang mengedepankan pengamalan rawi atas riwayatnya tidak mendatangkan argumen yang layak untuk dijadikan pegangan.

22 Hadits munkar:
1 هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِى فِي إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَخُشَ غَلَطُهُ أَوْ كَثُرَتْ غَفْلَتُهُ أَوْ ظَهَرَ فِسْقُه.
2 هُوَ مَا رَوَاهُ الضَّعِيْفُ مُخَالِفًا لِمَا رَوَاهُ الثِّقَةُ.
1. Hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi yang fatal kesalahannya, sering lalainya atau nyata kefasikannya.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dla’if (tidak adil dan dlabith) menyelisihi hadits yang diriwayatkan orang tsiqah.

23 Al-Khathib mengatakan:
لَقَدْ بَذَلَ الشَّيْخَانِ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مَا فِي وُسْعِهِمَا فِي تَصْنِيْفِ صَحِيْحَيْهِمَا تَصْنِيْفًا عِلْمِيًّا دَقِيْقًا, يَقُوْمُ عَلَى شُرُوْطِ الصِّحَّةِ الَّتِي لاَ يَخْتَلِفُ فِيْهَا أَئِمَّةُ هذَا الشَّأْنِ، فَتَلَقَّتْهُمَا الأُمَّةُ بِالْقَبُوْلِ، وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُمَا أَصَحُّ كِتَابَيْنِ بَعْدَ الْقُرْأنِ الْكَرِيْمِ....
Dua syekh, Al-Bukhari dan Muslim benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuan keduanya dalam menyusun kitab shahih keduanya dengan penyusunan yang ilmiah, teliti, serta memenuhi syarart-syarat keshahihan suatu hadits yang tidak diperselisihkan para ahli dalam bidang ini (hadits). Maka umat pun menerima keduanya dan para ahli ilmu bersepakat bahwa keduanya merupakan kitab paling shahih sesudah Al-Qur`anul Karim....

24 Majhulul 'ain:
هُوَ مَنْ ذُكِرَ اسْمُهُ، وَلكِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلاَّ رَاوٍ وَاحِدٌ.
Orang yang namanya dikenal, akan tetapi tidak ada yang meriwayatkan darinya melainkan satu rawi saja.

25 Majhulul Hal:
هُوَ مَنْ رَوَي عَنْهُ اثْنَانِ فَأَكْثَرُ، لَكِنْ لَمْ يُوَثَّقْ.
Rawi yang telah meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, akan tetapi tidak ditsiqahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar