Rabu, 23 Maret 2011

POSISI TANGAN PADA WAKTU I’TIDAL DALAM SHALAT

I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an dan As-Sunah adalah warisan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk umat beliau sebagai pedoman hidup dalam menjalankan dinul Islam ini. Al-Islam telah mengatur pengikut-pengikutnya dalam segala urusan, baik ibadah maupun mu’amalah, begitu pula dalam hal shalat, yang merupakan salah satu ibadah yang agung kedudukannya, tak lepas dari aturan-aturan yang harus diperhatikan. Maka dari itu shalat harus dilaksanakan dengan benar menurut apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam contohkan, sebagaimana tersebut dalam sabda beliau : صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنٍيْ أُصَلِّى yang artinya “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, merupakan satu perintah bagi tiap individu untuk melaksanakan shalat sesuai dengan cara yang beliau lakukan.
Penulis mendapati adanya perbedaan di kalangan masyarakat dalam mengerjakan shalat. Salah satu wujud nyata yang penulis dapatkan di daerah tempat tinggal penulis, adalah perbedaan di kalangan masyarakat dalam melakukan cara shalat. Salah satu contohnya adalah perihal posisi tangan ketika i’tidal (berdiri tegak) setelah ruku’. Sebagian mereka melakukan cara i’tidal dengan posisi tangan bersedekap pada dada, sedang sebagian yang lain melakukannya dengan posisi tangan lurus ke bawah. Mengingat bahwa selama ini penulis melakukan cara i’tidal dengan posisi tangan lurus ke bawah, sedangkan sebagian muslimin melakukan cara i’tidal dengan tangan bersedekap pada dada, maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian guna mendapatkan jawaban yang tepat dan mewujudkannya dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul POSISI TANGAN PADA WAKTU I’TIDAL DALAM SHALAT .
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah yang penulis ajukan adalah, bagaimanakah sebenarnya posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat menurut syari’at?

3. Tujuan Penelitian
Searah dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat menurut syariat.

4. Kegunaan Penelitian
Harapan penulis, hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca, antara lain :
4.1 Sebagai penjelasan/pedoman bagi masyarakat tentang posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.
4.2 Sebagai pelengkap literatur yang memuat pembahasan posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.
4.3 Sebagai tambahan wawasan bagi penulis khususnya dalam bidang fikih.

5. Metodologi Penelitian
5.1 Jenis Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Menurut bidangnya, penelitian ini tergolong penelitian dalam bidang agama, khususnya dalam masalah fikih. Ditinjau dari segi obyeknya, penelitian yang digunakan pada makalah ini termasuk penelitian terpakai (Applied Research), karena dilatarbelakangi adanya perbedaan sebagian masyarakat dalam masalah ini. Sedang ditinjau dari segi tempatnya, penelitian ini tergolong penelitian literatur (perpustakaan), sebab penulis menjadikan kitab-kitab sebagai sumber data. Adapun menurut tujuan umum, penelitian ini merupakan penelitian verifikatif (Verifikative Research), yaitu riset yang ditujukan untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan cara membaca, mempelajari serta meneliti beberapa kitab yang berhubungan dengan pembahasan posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.
5.2 Sumber dan Jenis Data
Literatur yang menjadi sumber data dalam penelitian ini meliputi kitab hadits, kitab syarah, kitab fikih, kitab ushul fikih, kitab musthalahul hadits, kamus dan lain-lain.
Data-data yang penulis kumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer adalah :
“Data yang diperoleh langsung dari sumbernya; diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.”

Sedang data sekunder adalah :
“Data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Misalnya dari Biro Statistik, majalah, keterangan-keterangan, maupun publikasi lainnya. Jadi, data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri.“
Sebagai contoh, yang dimaksud dengan data primer dalam studi pustaka ini adalah data yang diperoleh dari kitab asal, bukan nukilan seseorang dari kitab lain yang kemudian dimuat dalam kitabnya sendiri. Dapat diambil contoh ialah nukilan hadits-hadits Al-Bukhari yang penulis kutip dari kitab susunan beliau, Shahihul Bukhari.
Adapun data sekunder adalah data yang diperoleh bukan dari kitab asal. Data sekunder dalam penelitian ini di antaranya adalah nukilan hadits yang diambil bukan dari kitab asal. Misalnya nukilan hadits riwayat Ath-Thabrani yang penulis kutip dari kitab Majma’uz Zawaid yang disusun oleh Al-Haitsami. Pengutipan data sekunder ini penulis lakukan apabila -setelah diusahakan- penulis tidak mendapatkan data tersebut dari sumbernya.
5.3 Metode Analisa Data.
Dalam menganalisis data-data penelitian ini, penulis menggunakan metode Reflective Thinking yaitu mengkombinasikan metode Induksi dan metode Deduksi.
Adapun pengertian metode induksi adalah berpikir untuk menarik konklusi yang bersifat umum dari data-data yang khusus, sedangkan yang dimaksud dengan metode deduksi ialah penarikan kesimpulan dari dasar-dasar pengetahuan yang umum untuk menilai suatu persoalan yang bersifat khusus.

6. Sistematika Penulisan
Makalah ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian; bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami alur pembahasan makalah ini, penulis menyusun sistematika sebagai berikut :
Bagian awal, dimulai dengan halaman judul, halaman pengesahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.
Adapun pada bagian tengah yang merupakan isi pembahasan makalah ini terdiri dari lima bab yaitu :
Bab pertama, pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat, yang memuat dua subbab. Subbab pertama berisikan pengertian i’tidal. Sedang subbab kedua tentang hadits-hadits yang berkenaan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.
Bab ketiga, menguraikan pendapat ulama perihal posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat yang terbagi menjadi dua subbab. Subbab pertama memaparkan pendapat yang menyatakan posisi tangan lurus ke bawah. Subbab kedua memaparkan pendapat yang menyatakan posisi tangan disedekapkan pada dada.
Bab keempat, berisi uraian tentang analisa hadits-hadits dan pendapat ulama yang berkaitan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.
Bab kelima, penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran
Bagian akhir makalah ini berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


B A B II
PENGERTIAN I’TIDAL DAN HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN POSISI TANGAN PADA WAKTU I’TIDAL DALAM SHALAT

Bab dua ini terbagi menjadi dua subbab. Subbab pertama berisi pengertian i’tidal dalam shalat. Subbab kedua memaparkan hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal.
1. Pengertian I’tidal.
Lafal i’tidal merupakan masdar dari kata kerja (fi’il)إِعْتَدَلَ-يَعْتَدِلُ-إِعْتِدَالاً Dalam kamus Tajul ‘Arus disebutkan sebagai berikut :
أَلإِعْتِدَالُ أي اَلْقَوَامُ.
“Lafal أَلإِعْتِدَالُ yaitu lurus.”
Sinonim (padan kata) bagi lafal tersebut adalah إِِسْتِوَاءٌ إِِسْتِقَامَةٌ dan إِِِنْتِصَابٌ yang semuanya mempunyai kesamaan arti yaitu : menjadi lurus.
Adapun pengertian i’tidal menurut istilah fikih adalah berikut ini sebagaimana diutarakan oleh An-Nawawi:
أَلإِعْتِدَالُ الْوَاجِبُ هُوَ اَنْ يَعُوْدَ بَعْدَ رُكُوْعِهِ اِلَى الْهَيْئَةِ الَّتِى كَانَ عَلَيْهَا قَبْلَ الرُّكُوْعِ سَوَاءً صَلَّى قَائِمًا اَوْ قَاعِدًا.
“I’tidal yang harus dilakukan adalah kembalinya (posisi tubuh) setelah ruku’ pada keadaan semula sebelum ruku’ sama (saja) shalat dalam keadaan berdiri atau duduk.”
Pengertian di atas dikemukakan juga oleh Imam Taqiyyuddin dan ulama madzhab empat (Al-Hanafiyyah, Asy-Syafi’iyyah, Al-Malikiyyah dan Al-Hanabilah).
Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa i’tidal ialah bangkit dari ruku’ dengan posisi tubuh kembali pada keadaan semula dengan posisi tegak lurus disertai thuma’ninah, baik shalat dilaksanakan dengan berdiri ataupun duduk.

2. Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Posisi Tangan pada Waktu I’tidal dalam Shalat
Berdasarkan pengkajian, tidak didapati hadits yang menunjukkan secara tersurat perihal posisi tangan ketika berdiri i’tidal. Oleh sebab itu pada subbab ini dimuat hadits-hadits yang tidak secara langsung membahas tentang posisi tangan pada waktu i’tidal.
2.1 Hadits Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi
2.1.1 Lafal, Arti, dan Takhrij Hadits
...عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ اَلزُّرَقِيِّ. وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ  قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَ رَسُوْلُ اللهِ  جَالِسٌ فِى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّى قَرِيْبًا مِنْهُ. ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  :"اَعِدْ صَلاَتَكَ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ." قَالَ، فَرَجَعَ فَصَلَّى كَنَحْوٍ مِمَّا صَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ، فَقَالَ لَهُ "اَعِدْ صَلاَتَكَ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ." فَقَالَ:"يَا رَسُوِْلَ اللهِ عَلِّمِْني كَيْفَ اَصْنَعُ." قاَلَ :"إِذَا اسْتَقْبَلْتَ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْأَنِ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا شِئْتَ. فَإِذَا رَكَعْتَ فَاجْعَلْ رَاحَتَيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ وَامْدُدْ ظَهْرَكَ وَمَكِّنْ لِرُكُوْعِكَ، فإَِِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا. وَإِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُوْدِكَ، فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَاجْلِسْ عَلَى فَخِذِكَ الْيُسْرَى، ثُمَّ اصْنَعْ ذَالِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ وَ سَجْدَةٍ." رواه أحمد بإسناد حسن.
“...Dari Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi –salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam - dia berkata : Datanglah seorang laki-laki, sedang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di dalam masjid. Lalu dia shalat di dekat beliau. Kemudian ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ulangilah shalatmu, karena engkau belum shalat.” Maka (rawi) berkata: Lalu dia kembali, kemudian shalat semisal ia shalat (sebelumnya). Kemudian ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda (lagi) kepadanya : “Ulangilah shalatmu, karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Maka ia berkata : “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku bagaimana aku melakukannya.” Beliau bersabda : “Apabila engkau menghadap kiblat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah Ummul Qur’an (Al-Fatihah), kemudian bacalah apa saja yang engkau kehendaki (dari Al-Qur’an). Kemudian apabila engkau ruku’ letakkan kedua telapak tanganmu pada dua lututmu dan datarkanlah punggungmu, serta tepatkan (posisi) ruku’mu. Bila engkau mengangkat kepalamu, tegakkan punggungmu, sehingga tulang-tulang kembali pada persendiannya. Dan bila engkau sujud, maka tepatkan (posisi) sujudmu. Bila engkau mengangkat kepalamu (dari sujud), maka duduklah dengan bertekanan pada pahamu yang kiri, kemudian lakukan yang demikian itu pada setiap rakaat atau sujudan.”
Ahmad telah meriwayatkannya dengan sanad hasan.

Hadits Rifa’ah bin Rafi’ di atas dikeluarkan juga oleh beberapa imam antara lain : Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i, dan Ath-Thayalisi.
2.1.2 Maksud Hadits
Hadits di atas menceritakan tentang seseorang yang tidak membaguskan shalatnya, sehingga Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk mengulangi shalat sebagaimana shalat yang telah beliau ajarkan, yaitu:
Memulai shalat dengan menghadap kiblat, kemudian bertakbir. Lalu membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah), dan dilanjutkan dengan bacaan surat yang lain. Kemudian ruku’ dalam keadaan thuma'ninah dengan posisi punggung benar-benar lurus, dan kedua telapak tangan diletakkan pada kedua lutut. Sesudah itu bangkit dari ruku’ (i’tidal) dengan menegakkan punggung sehingga tulang-tulang kembali pada persendiannya. Kemudian berangkat sujud dua kali dengan disertai duduk di antara keduanya. Tata cara shalat ini dilakukan pada tiap rakaat hingga shalat berakhir.

2.1.3 Derajat Hadits
Derajat hadits Rifa’ah bin Rafi’ ini adalah hasan.

2.2 Hadits Abu Humaid As-Sa’idi
2.2.1 Lafal, Arti, dan Takhrij Hadits
...عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ اَصْحَابِ النَّبْيِّ  فَذَكَرْنَا صَلاَةَ النَّبِيِّ  فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ :"أَنَا كُنْتُ أَحْفَظُكُمْ لِصَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ . رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ. فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ. فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهَ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ اَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ. فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اليُمْنَى. وإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلأَخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ."
رواه البخاري بسند صحيح.
“...Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, bahwasanya dia duduk bersama sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu kami memperbincangkan tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu berkata Abu Humaid As-Sa'idi: “Akulah orang yang paling hafal tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku telah melihat beliau jika bertakbir, menjadikan kedua tangan beliau sejajar dengan kedua pundak beliau. Dan bila beliau ruku’ beliau menempatkan kedua tangan pada kedua lututnya. Kemudian beliau menghamparkan punggung beliau. Maka apabila mengangkat kepala dari ruku’ beliau berdiri tegak sehingga semua tulang punggung kembali pada tempatnya. Lalu bila beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangan tanpa merenggangkan ataupun menggenggam jari-jari kedua tangannya. Dan beliau menghadapkan ujung jari-jari kaki beliau ke arah kiblat. Lalu bila beliau duduk pada dua raka’at, beliau duduk pada telapak kaki yang kiri dan menegakkan telapak kaki yang kanan. Dan bila duduk pada raka’at terakhir beliau mengedepankan telapak kaki yang kiri dan menegakkan telapak kaki beliau yang kanan, dan duduk pada tempat duduknya.”
Al-Bukhari telah meriwayatkannya dengan sanad shahih.

Hadits Abu Humaid tersebut dicantumkan juga oleh mukharrij lain pada kitab mereka yaitu : Ahmad bin Hanbal, At-Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad-Darimi, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah .
2.2.2 Maksud Hadits
Hadits Abu Humaid ini menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu :
Apabila memulai shalat, beliau bertakbir dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundak beliau. Kemudian bila ruku’ beliau meluruskan punggung dan meletakkan kedua tangan pada dua lutut. Lalu beliau bangkit dari ruku’ dengan mengangkat kepala, lalu berdiri tegak sehingga semua tulang punggung kembali pada tempatnya. Kemudian, bila beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangan tanpa merenggangkan jari-jari tangan dan tidak pula menggenggamnya, dan menjadikan semua ujung jari kaki dalam keadaan menghadap kiblat. Kemudian duduk pada dua raka’at pertama, beliau menegakkan telapak kaki yang kanan, dan menduduki telapak kaki yang kiri. Adapun pada raka’at terakhir, beliau duduk dengan memasukkan telapak kaki beliau yang kiri, dan menegakkan telapak kaki yang kanan.

2.2.3 Derajat Hadits
Hadits Abu Humaid di atas berderajat shahih.

2.3 Hadits Uqbah bin ‘Amr radliyallahu ‘anhu
Lafal, Arti, dan Takhrij Hadits
...عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو قَالَ :"أَلاَ أُصَلِّى لَكُمْ كَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يُصَلِّى." فَقُلْنَا :"بَلَى." فَقَامَ، فَلَمَّا رَكَعَ، وَضَعَ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَ جَعَلَ اَصَابِعَهُ مِنْ وَرَاءِ رُكْبَتَيْهِ وَجَافَى اِبْطَيْهِ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ شَيْئٍ مِنْهُ. ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ حَتَّى اسْتَوَى كُلُّ شَيْئٍ مِنْهُ. ثُمَّ سَجَدَ فَجَافَى اِبْطَيْهِ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ شَيْئٍ مِنْهُ. ثُمَّ قَعَدَ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ شَيْئ ٍمِنْهُ. ثُمَّ سَجَدَ حَتَّى اسْتَقَرَّ كُلُّ شَيْئٍ مِنْهُ. ثُم صَنَعَ كَذَالِكَ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ قَالَ :"هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يُصَلِّي. وَهَكَذَا كَانَ يُصَلِّيْ بِنَا." رواه النسائى بإسناد حسن.
“...Dari Uqbah bin ‘Amr radliyallahu ‘anhu berkata : ”Maukah aku (tunjukkan) shalatku pada kalian sebagaimana aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.” Maka kami pun berkata: “Ya.” Lalu dia pun berdiri. Tatkala ruku’ dia meletakkan dua telapak tangannya di atas dua lututnya dan menjadikan jari-jari tangannya di belakang dua lututnya serta merenggangkan (kedua lengan dari) dua ketiaknya sehingga menetaplah seluruh anggota tubuhnya. Kemudian mengangkat kepalanya, lalu berdiri sehingga menjadi lurus semua anggota badannya. Kemudian sujud, lalu merenggangkan dua ketiaknya dari badannya, sehingga menetaplah semua anggota badannya. Kemudian duduk, sehingga menetaplah semua anggota badannya. Lalu sujud sehingga menetaplah semua anggota badannya. Dia berbuat demikian empat rakaat. Kemudian berkata :”Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (melakukan) shalat, dan demikian (pula) beliau shalat bersama kami.”
An-Nasa’i telah meriwayatkannya dengan sanad hasan.

Hadits di atas dikeluarkan juga oleh Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud.

Maksud Hadits
Hadits tersebut menjelaskan tentang cara shalat Uqbah bin ‘Amr seperti yang ia lihat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dimulai dengan berdiri, kemudian ruku’ dengan meletakkan dua telapak tangan di atas dua lutut, dan dua ketiak direnggangkan dari badan. Setelah itu bangkit dari ruku’ (i’tidal), kemudian berdiri tegak, sehingga semua anggota badan kembali lurus pada posisinya. Selanjutnya sujud dua kali dengan merenggangkan dua ketiak dari badan dan diselingi duduk antara keduanya. Hal itu dilakukan hingga shalat selesai.
Derajat Hadits
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amr ini berderajat hasan.

2.4 Hadits Wail bin Hujr
2.4.1 Lafal, Arti, dan Takhrij Hadits
...عَنِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ:"رَأَيْتُ النَّبِيَّ  حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ اُذُنَيْهِ، ثُمَّ حِيْنَ رَكَعَ ثُمَّ حِيْنَ قَالَ سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَ رَأَيْتُهُ مُمْسِكًايَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ. فَلَمَّا جَلَسَ حَلَقَ بِالْوُسْطَى وَ اْلإِبْهَامِ، وَ أَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى. رواه أحمد بسند ضعيف.
“...Dari Wail bin Hujr, dia berkata : “Aku telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dua telinga beliau. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan tatkala ruku’ (dan) tatkala mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Dan aku melihat beliau dalam keadaan memegang tangan kanan pada tangan kiri dalam shalat tersebut. Maka tatkala beliau duduk, beliau melingkarkan jari tengah dan ibu jari beliau, dan berisyarat dengan jari telunjuk. Dan beliau meletakkan tangan kanan pada paha kanan beliau dan tangan kiri pada paha kiri beliau.”
Ahmad telah meriwayatkannya dengan sanad yang dla’if.

Hadits Wail bin Hujr ini dikeluarkan juga oleh, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban.
2.4.2 Maksud Hadits
Hadits di atas menerangkan bahwa Wail bin Hujr melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bertakbiratul ihram, beliau mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua telinga beliau. Beliau juga mengangkat kedua tangan tersebut ketika hendak ruku’ dan ketika mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Kemudian pada shalat tersebut beliau bersedekap dengan tangan kanan memegang tangan kiri. Lalu ketika bertasyahud beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan meletakkan tangan kanan pada paha kanan beliau dan meletakkan tangan kiri pada paha kiri.

2.4.3 Derajat Hadits
Derajat hadits Wail bin Hujr tersebut adalah hasan lighairihi.





B A B III
PENDAPAT ULAMA TENTANG POSISI TANGAN
PADA WAKTU I’TIDAL

Berikut ini, penulis kemukakan pendapat-pendapat ulama tentang posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.
1. Posisi Tangan Lurus Ke Bawah
Ulama yang menyatakan pendapat ini antara lain :
1.1 Al-‘Aini
وَقْتُ وَضْعِ الَْيَدَيْنِ. وَ اْلأَصْلُ فِيْهِ أََنَّ كُلَّ قِيَامٍ فِيْهِ ذِكْرٌ مَسْنُوْنٌ يُعْتَمَدُ فِيْهِ، اَعْنِي اِعْتِمَادَ يَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، وَ مَا لاَ فَلاَ. فَيُعْتَمَدُ فِي حَالَةِ الْقُنُوْتِ وَ صَلاَةِ الْجَنَازَةِ، وَ لاَ يُعْتَمَدُ فِي الْقُوْمَةِ عَنِ الرُّكُوْعِ وَ بَيْنَ تَكْبِيْرَاتِ الْعِيْدَيْنِ الزَّوَائِدِ وَ هَذَا هُوَ الصًّحِيْحُ.

“Waktu meletakkan dua tangan. Pada asalnya (adalah), bahwa setiap berdiri yang terdapat penyebutan tentang disunahkannya (penyedekapan kedua tangan) padanya, (maka) kedua tangan dipegangkan, yang saya maksudkan adalah berpegangnya tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap). Sedang apa-apa yang tidak ada, maka tidak ada (penyedekapan) padanya. Maka dipegangkan (tangan kanan pada tangan kiri) pada waktu berdiri (dalam shalat) maupun shalat jenazah, dan tidak dipegangkan (tangan kanan pada tangan kiri) pada saat bangkit dari ruku’ serta antara takbir-takbir tambahan pada shalat dua hari raya. Dan inilah (pendapat) yang benar.”

Maksud dari pendapat Al-‘Aini di atas secara ringkas ialah, bahwa pada asalnya hukum meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) disunahkan pada setiap berdiri dalam shalat. Akan tetapi jika tidak ada penyebutan tentang sunahnya untuk bersedekap ketika berdiri, maka tidak ada penyedekapan tangan padanya.
Adapun penyedekapan kedua tangan ini dilakukan ketika berdiri dalam shalat maupun shalat jenazah, dan tidak dilaksanakan pada berdiri ketika bangkit dari ruku’ (i’tidal) serta antara takbir-takbir pada shalat dua hari raya.
Hal ini sebagaimana diutarakan pula oleh Ibnul Hammam Al-Hanafi dalam kitabnya.
1.2 Imam An-Nawawi
وَ سَبَقَ هُنَاكَ بَيَانُ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فَإِذَا اعْتَدَلََ قَائِِِمًا حَطََّّّ يَدَيْهِِ، وَ السُّنَّةُ أَنْ يَقُوْلَ حَالَ ارْتِفَاعِهِ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ.
“Dan telah lewat keterangan madzhab-madzhab ulama maka apabila (orang yang shalat) telah berdiri tegak, dia menurunkan kedua tangannya, dan sunahnya bahwasanya dia mengucapkan sami’allahu liman hamidah pada waktu bangkit dari ruku’.”

1.3 Ar-Rafi’i
وَ يُسْتَحَبُّ عِنْدَ اْلاِعْتِدَالِ رَفْعُ الْيَدَيْنِ إِلَى حَذْوِ الْمَنْكِبَيْنِ. فَإِذَا اعْتَدَلَ قَائِمًا حَطَّهُمَا.
“Dan disukai mengangkat kedua tangan ketika i’tidal, hingga sejajar dengan dua pundak. Maka apabila (orang yang shalat) telah berdiri tegak, dia menurunkan kedua (tangannya). “

1.4 Al-Albani
إِنَّ الْمُرَادَ مِنْ هَذَا الْحَدِيْثِ بَيِّنٌ وَاضِحٌ، وَ هُوَ اْلاِطْمِئْنَانُ فِي هَذَا الْقِيَامِ. وَأَمَّا اسْتِدْلاَلُ بَعْضِ إِخْوَانِنَا مِنْ أَهْلِ الْحِجَازِ وَ غَيْرِهَا بِهَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ وَضْعِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِي هَذَا الْقِيَامِ، فَبَعِيْدٌ جِدًّا عَنْ مَجْمُوْعِ رِوَايَاتِ الْحَدِيْثِ، وَ هُوَ الْمَعْرُوْفُ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ بِ(حَدِيْثِ الْمُسِيْئِ صَلاَتَهِ) بَلْ هُوَ اسْتِدْلاَلٌ بَاطِلٌ.
1
“Maksud dari hadits ini jelas dan terang, yaitu thuma’ninah pada berdiri ini (bangkit dari ruku’). Adapun sebagian saudara-saudara kami dari Ulama Hijaz yang menjadikan hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya meletakkan tangan kanan pada tangan kiri ketika berdiri i’tidal ini, maka sangat jauh dari pemahaman riwayat hadits yang dikenal di kalangan fuqaha’ dengan (hadits Al-Musi’ Shalatah), bahkan (hal itu merupakan) pengambilan dalil yang tidak benar.”

Menurut beliau, pensyari’atan peletakan tangan kanan di atas tangan kiri -sebagaimana pendapat ulamaHijaz- berdasarkan hadits riwayat Ahmad bin Hanbal merupakan pengambilan dalil yang tidak benar. Jadi, menurut keterangan ini beliau berpendapat bahwa hadits tersebut memberikan pengertian posisi tangan lurus ke bawah ketika berdiri bangkit dari ruku’ (i’tidal).

2. Posisi Tangan Disedekapkan pada Dada
Berikut ini pemaparan ulama tentang pendapat posisi tangan disedekapkan pada dada :
2.1 Syaikh Bin Baz
أَمَّا إِنْ كَانَ مَأْمُوْمًا فَإِنَّهُ يَقُوْلُ عِنْدَ الرَّفْعِ رَبَّنَا وَ لَكَ الْحَمْدُ إِلَى أََخِرِ مَا تَقَدَّمَ. وَ يُسْتَحَبُّ أنْ يَضَعَ كُلٌّ مِنْهُمْ يَدَيْهِ عَلَى صَدْرِهِ، مَا فُعِلَ فِي قِيَامِهِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ.
“Adapun jika menjadi makmum, maka tatkala bangkit (dari ruku’) dia mengucapkan “rabbana wa lakal hamdu” dan seterusnya (seperti) yang telah lewat. Dan disukai (bagi) semuanya untuk meletakkan kedua tangan pada dada (ketika i’tidal), sebagaimana yang dilakukan pada (waktu) berdiri sebelum ruku’.”

2.2 A. Qadir Hasan
“Bangkit dari ruku’ sambil mengangkat kedua-dua tangan dan mengucap “sami’allahu liman hamidah”, tangan kanan di atas tangan kiri diletakkan di dada.”

Demikianlah uraian pendapat ulama tentang posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat.


BAB IV
ANALISA

Berdasarkan data-data yang telah terkumpul, penulis menganalisis dua hal yaitu : Pertama, analisa hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi tangan ketika i’tidal yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman hadits-hadits tersebut dalam kaitannya dengan ihwal kedua tangan tatkala berdiri bangkit sesudah ruku’.
Kedua, analisa pendapat ulama tentang posisi tangan pada waktu i’tidal. Berikut ini uraian masing-masing analisa.

1. Analisa Hadits-Hadits Yang Berkaitan Dengan Posisi Tangan Pada Waktu I’tidal
Dalam masalah ini, penulis mengemukakan empat hadits yang berkaitan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal. Dua hadits berderajat shahih, satu hadits berderajat hasan lidzatihi dan satu hadits berderajat hasan lighairihi. Adapun para ulama telah sepakat bahwa hadits shahih dan hasan dapat dijadikan hujjah dan wajib untuk diamalkan.
Berikut ini uraian analisa hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal :

1.1 Hadits Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi
Hadits Rifa’ah bin Rafi’ ini berderajat shahih. Hadits ini dikenal dengan sebutan hadits Al-Musi’ fi Shalatih, yaitu hadits tentang seseorang yang berbuat kesalahan dalam shalatnya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah untuk mengulangi shalatnya menurut tata cara shalat yang telah beliau ajarkan kepadanya. Adapun salah satunya adalah berdiri setelah bangkit dari ruku’, seperti yang telah beliau sabdakan berikut ini:
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا.
“Maka apabila engkau telah mengangkat kepalamu (dari ruku’), maka tegakkan punggungmu sehingga tulang-tulang kembali pada persendiannya.”

Hadits di atas menjelaskan bahwa setelah bangkit dari ruku’, punggung ditegakkan sehingga tulang-tulang menjadi tegak dan kembali pada persendiannya.
Huruf أل pada kata اَلْعِظَامُ tersebut adalah li ta’rifil jinsi yang menunjukkan pada makna istighraq (keseluruhan), artinya sehingga pada waktu i’tidal posisi badan tegak berdiri sampai tulang-tulang kembali pada persendiannya. Tulang-tulang yang dimaksud di sini mencakup semua tulang badan termasuk padanya tulang tangan.
Jika huruf أل tersebut lil ‘ahd yang menunjuk pada kata صُلْبَكَ maka ketika i’tidal hanya tulang punggung yang kembali tegak pada persendiannya. Lalu di manakah kedua tangan diletakkan? Sementara pada posisi ruku’, punggung harus dalam keadaan lurus mendatar dan kedua tangan bertekanan pada kedua lutut. Jika demikian maka pada waktu bangkit dari ruku’ pun bukan hanya punggung yang ditegakkan kembali namun kedua tangan pun demikian. Maka huruf al pada kata al-'idham tersebut tidak bisa menunjukkan lil 'ahd, karena setelah bangkit dari ruku' semua tulang kembali pada persendiannya.
Jadi, huruf al pada lafal al-'idham tersebut lebih tepat menunjuk pada makna istighraq, sebab kata al-'idham tersebut menunjukkan kepada semua jenis tulang badan yang mencakup padanya tulang tangan.
Dengan demikian diperoleh pengertian bahwa hadits Rifa'ah bin Rafi' Az-Zuraqi tersebut menunjukkan bahwa posisi tangan pada waktu i'tidal adalah lurus ke bawah. Wallahu 'alam bish shawab.

1.2 Hadits Abu Humaid As-Sa’idi
Hadits Abu Humaid As-Sa’idi ini berderajat shahih. Hadits Abu Humaid As-Sa’idi ini menjelaskan tentang tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah berdiri setelah bangkit dari ruku’, sebagaimana disebutkan pada lafal berikut ini :
فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اِسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ.
“Maka apabila beliau mengangkat kepala dari ruku’, beliau berdiri tegak sehingga semua tulang punggung kembali pada tempatnya.”

Hadits di atas menerangkan bahwa sesudah mengangkat kepala dari ruku’, posisi tubuh berdiri tegak sehingga semua tulang punggung kembali pada posisinya. Jadi, dari lafal hadits di atas diperoleh pemahaman bahwa setelah mengangkat kepala dari ruku', tulang punggung kembali dalam keadaan tegak lurus.
Hadits Abu Humaid tersebut di atas dikeluarkan juga oleh At-Turmudzi dengan lafal berikut :
ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِيْ مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً.
“Kemudian beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah, sambil mengangkat kedua tangan dan berdiri tegak, sehingga semua tulang kembali pada tempatnya dalam keadaan lurus.”

Matan hadits riwayat At-Turmudzi tersebut menggunakan lafal kullu 'adzmin yang berarti semua tulang badan, yang termasuk padanya kullu faqar (semua tulang punggung). Adapun matan hadits riwayat Al-Bukhari menggunakan lafal kullu faqar yang berarti semua tulang punggung.
Matan hadits riwayat Al-Bukhari menerangkan bahwa setelah bangkit dari ruku', Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri tegak sehingga semua tulang punggung kembali pada posisinya. Adapun maksud matan hadits riwayat At-Turmudzi adalah ketika berdiri i'tidal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sami'allhu liman hamidah, lalu berdiri tegak sehingga semua tulang kembali pada posisinya dengan lurus.
Pada hadits Abu Humaid riwayat At-Turmudzi tersebut, tidak disebutkan secara eksplisit posisi kedua tangan ketika berdiri i’tidal. Matan hadits di atas menjelaskan apabila bangkit dari ruku’, posisi tubuh dalam keadaan tegak, sehingga semua tulang kembali pada tempatnya dengan lurus pula. Dengan demikian, hadits tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang dapat diperoleh dalam kaitannya dengan posisi kedua tangan pada waktu berdiri i'tidal. Pemahaman tersebut diambil dari bunyi hadits :
وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِيْ مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً.
Kata مُعْتَدِلاً merupakan hal (kata yang menerangkan keadaan) bagi lafal كُلُّ عَظْمٍ. Lafal kullu ‘adhmin ini adalah bentuk umum yang menunjuk pada seluruh tulang badan, artinya tulang tangan pun termasuk dalam kata-kata ini. Jika pada waktu berdiri i’tidal, tulang tangan dikembalikan pada posisinya dalam keadaan lurus, maka tentunya posisi kedua tangan pun lurus ke bawah, dan tidak bisa dipahami bahwa kedua tangan disedekapkan.
Dengan demikian posisi tangan ketika i’tidal adalah lurus ke bawah bukan disedekapkan, karena tulang tangan termasuk dalam kata kullu ‘adhmin yang merupakan bentuk umum yang menunjuk pada keseluruhan tulang badan.
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan bahwa hadits ini memberikan pengertian bahwa posisi tangan pada waktu i’tidal adalah lurus ke bawah. Wallahu a’lam bish shawab.

1.3 Hadits ‘Uqbah bin ‘Amr (Abu Mas’ud) radliyallahu ‘anhu
Hadits ini berderajat hasan. Hadits ini menjelaskan tentang cara shalat ‘Uqbah bin ‘Amr seperti yang ia lihat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam melakukannya. Salah satu gerakan shalat yang ia praktikkan berdasarkan yang ia contoh dari beliau adalah cara berdiri i’tidal yaitu :
ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ حَتَّى يَسْتَوِيَ كُلُّ شَيْئٍ مِنْهُ.
“Kemudian ia mengangkat kepala, lalu berdiri sehingga seluruh anggota badannya menjadi lurus.”

Maksud dari lafal كُلُّ شَيْئٍ dalam hadits ini adalah كُلُّ عُضْوٍ sebagaimana yang disebutkan dalam Badzlul Majhud berikut ini :
((كُلُّ شَيْئٍ)) أي كُلُّ عُضْوٍ.
“Lafal ((كُلُّ شَيْئٍ)) maksudnya adalah semua anggota badan.”

Adapun yang dimaksud dengan anggota badan yaitu bagian-bagian tubuh seperti tangan dan kaki.
Jadi, hadits ‘Uqbah bin ‘Amr ini menerangkan bahwa setelah mengangkat kepala dari ruku’, kemudian dia berdiri sehingga semua anggota badan menjadi lurus. Apabila pada waktu berdiri i’tidal posisi tubuh kembali dalam keadaan berdiri tegak sehingga semua anggota badan menjadi lurus, maka kedua tangan pun kembali lurus, sebab kedua tangan merupakan bagian anggota badan. Oleh karena itu lafal hadits tersebut memberikan pengertian posisi tangan lurus ke bawah ketika berdiri i’tidal.
Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa hadits ini menguatkan hadits Abu Humaid, karena memberikan pengertian dengan jelas tentang posisi tangan lurus ke bawah pada waktu i’tidal. Wallahu a’lam bis shawab.

1.4 Hadits Wail bin Hujr
Hadits Wail bin Hujr yang dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal ini berderajat dla’if. Hadits tersebut menjelaskan tentang kesaksian Wail bin Hujr pada sebagian cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau ketika bertakbir, ketika hendak ruku’, dan tatkala mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Pada shalat tersebut beliau bersedekap dengan tangan kanan memegang tangan kiri.
Berdasarkan keterangan ini dapat dimengerti bahwa hadits Wail bin Hujr tersebut menjelaskan tentang bersedekap pada waktu berdiri dalam shalat. Akan tetapi tidak dijelaskan pada keadaan yang bagaimanakah hal itu dilakukan. Pada lafal yang lain dari hadits Wail bin Hujr ini diterangkan bahwa bersedekap dalam shalat dilaksanakan pada berdiri sebelum ruku’, yaitu setelah takbiratul ihram. Hal ini sebagaimana yang disebutkan pada hadits-hadits di bawah ini :
1. Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud dari jalur ‘Alqamah bin Wail dari Wail bin Hujr
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ وَ مَوْلًى لَهُمْ أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِيْهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ  رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ كَبَّرَ -وَصَفَ هَمَّامُ-حِيَالَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى. فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ. فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا سَجَدَ، سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ.
“Dari ‘Alqamah bin Wail dan maula mereka bahwa keduanya menceritakan dari bapaknya, Wail bin Hujr, bahwasanya dia (Wail bin Hujr) melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau tatkala melakukan shalat (lalu) bertakbir, -Hammam mensifatkan- sejajar dengan kedua telinga beliau. Kemudian beliau berselimut dengan kain, lalu meletakkan tangan kanan beliau pada tangan kiri. Maka tatkala beliau hendak ruku’, beliau mengeluarkan kedua tangan beliau dari (dalam) baju kemudian mengangkat keduanya sambil bertakbir, lalu ruku’. Maka ketika beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah, beliau mengangkat kedua tangan pula. Dan tatkala sujud, beliau sujud di antara kedua telapak tangan.”

2. Hadits riwayat An-Nasa’i, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban dari jalan ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Wail bin Hujr
فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَ الرُّسْغِ وَ السَّاعِدِ....
3. Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dari jalan ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya.
فَرَأَيْتُ حِيْنَ افْتَتَحَ الصَّلاَةَ كَبَّرَ، فَرَفَعَ-يَعْنِي يَدَيْهِ-، فَرَأَيْتُ إِبْهَامَيْهِ بِحَذَّاءِ أُذُنَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ قَرَأَ.
Dari lafal-lafal hadits yang telah disebutkan di atas diketahui bahwa meletakkan tangan kanan pada tangan kiri dilakukan tatkala berdiri sebelum ruku’ yaitu setelah takbiratul ihram sampai berdiri membaca surat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Al-‘Aini bahwa tidak ada penyedekapan tangan ketika berdiri dalam shalat kecuali ada sunah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya. Adapun bersedekap pada waktu berdiri i’tidal tidak dijelaskan pada hadits-hadits di atas, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan dalil yang baru.
Bertolak dari keterangan ini diketahui bahwa hadits Wail bin Hujr menjelaskan tentang bersedekap pada waktu berdiri sebelum ruku’ yakni setelah takbiratul ihram.Wallahu a’lam bish shawab.
Berdasarkan uraian tentang analisa hadits-hadits di muka ditarik kesimpulan akhir bahwa hadits Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi, hadits Abu Humaid As-Sa’idi, dan hadits ‘Uqbah bin ‘Amr (Abu Mas’ud) memberikan pengertian tentang posisi tangan ketika i’tidal adalah lurus ke bawah. Wallahu a’lam bish shawab.

2. Analisa Pendapat Ulama tentang Posisi Tangan pada Waktu I’tidal dalam Shalat
Ada dua pendapat dalam masalah ini : Pendapat pertama menyatakan bahwa, posisi tangan lurus ke bawah, sedang pendapat kedua yaitu, posisi tangan disedekapkan. Berikut ini uraian analisa masing-masing pendapat :
2.1 Posisi Tangan Lurus ke Bawah
Pendapat ini dikemukakan oleh Al-‘Aini, An-Nawawi, Ar-Rafi’i, dan Al-Albani. Pendapat ini menyatakan bahwa ketika berdiri i’tidal kedua tangan lurus ke bawah. Dari keempat ulama di atas hanya Al-‘Aini dan Al-Albani yang memberikan alasan untuk pendapatnya.
Al-Albani, beliau mengatakan bahwa maksud hadits Rifa’ah bin Rafi’ itu dengan jelas menunjukkan untuk thuma’ninah pada waktu berdiri i’tidal. Beliau menyanggah jika hadits tersebut dipahami bahwa pada waktu berdiri i’tidal tangan disedekapkan, maka hal itu tidak sesuai dengan maksud hadits yang dikenal dengan sebutan hadits Al-Musi’ fi Shalatih, karena hadits tersebut tidak menjelaskan tentang sedekap pada waktu i’tidal. Beliau juga mengatakan bahwa meletakkan tangan kanan pada tangan kiri ketika berdiri i’tidal tersebut merupakan bid’ah yang sesat, karena tidak ada hadits yang menunjukkan tentang sedekap ketika berdiri i’tidal.
Penulis menerima pendapat Al-Albani di atas, karena sesuai dengan pemahaman hadits yang telah diuraikan di muka.
Adapun Al-‘Aini berpendapat bahwa posisi tangan ketika i’tidal adalah lurus ke bawah, karena tidak ada penyebutan yang menyunahkan untuk bersedekap padanya.
Pendapat Al-‘Aini tersebut dapat diterima, sebab sesuai dengan analisa hadits yang telah diuraikan di muka, bahwa hadits-hadits yang membicarakan tentang Wadl’ul Yadain (peletakan dua tangan) itu menunjukkan bahwa bersedekap dilakukan pada berdiri sebelum ruku’, yaitu setelah takbiratul ihram sampai berdiri membaca surat. Wallahu a’lam bish shawab.

2.2 Posisi Tangan Bersedekap pada Dada
Ini merupakan pendapat Syaikh Bin Baz dan A. Qadir Hasan. Syaikh Bin Baz berpegang pada hadits Wail bin Hujr dan Sahl bin Sa’d sebagai dalil pada pendapatnya. Beliau memahami bahwa hadits itu berlaku pada semua berdiri dalam shalat, sehingga ketika i’tidal pun kedua tangan juga disedekapkan.
Adapun A. Qadir Hasan berpegang pada lima hadits di bawah ini:
1. Dari Sahl bin Sa’d
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ فِى الصَّلاَةِ. البخاري
Artinya: Dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Adalah orang-orang (Shahabat) diperintahkan (Nabi saw), bahwa seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan tangan kirinya.
(SR. Bukhary, bab meletakkan tangan kanan atas yang kiri dalam shalat: FB 2: 152, Shahih Bukhary 1: 180, Ahmad: FR 3: 173)
2. Dari Gha-dhief bin Harits, ia berkata:
مَا نَسِيْتُ مِنَ اْلأََََشْيَاءِ مَا نَسِيْتُ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  وَاضِعًا يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِي الصَّلاَةِ. أحمد
Artinya: Aku tidak lupa dari kejadian-kejadian sama sekali: sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah saw. meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya dalam shalat. (SR. Ahmad 4: 105: FR. 3: 173: Majma’uz Zawaid 2: 104)
3. Ibnu ‘Abbas berkata;
سَمِعْتُ نَبِيَّ اللهِ  يَقُوْلُ : إِنَّا مَعْشَرَ اْلأَنْبِيَاءِ أُمِرْناَ بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا وَ تَأْخِيْرِ سَحُوْرِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِيْ الصَّلاَةِ. الطبراني.
Artinya: Aku pernah mendengar Nabiyullah saw. bersabda : Sesungguhnya kami golongan Nabi-nabi diperintah melekaskan buka puasa, melambatkan sahur. dan hendaklah kami meletakkan tangan-tangan kanan kami atas tangan-tangan kiri kami dalam shalat. (SR. Thabrany: M. Zawaid 2: 105)
4. Kata shahabat yang bernama Hulb :
رَأَيْتُ النَّبِيَّ  وَاضِعًا يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ. أحمد.
Artinya: Aku pernah melihat Nabi saw. meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya dalam shalat. (SR. Ahmad: FR. 3: 172, I. Majah 809, Turmudzi No. 252)
5. Dari Wail bin Hujr, ia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ وَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَي يَدِهِ اليُسْرَى عَلَى
صَدْرِهِ. ابن خزيمة.
Artinya: Aku pernah shalat bersama Rasulullah saw. Dan beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di dada. (R. Ibnu Khuzaimah No. 479)
PENJELASAN :
A. Dalam 5 riwayat dari 5 shahabat tersebut dan lainnya, tidak diterangkan di bagian yang mana saja kita harus “meletakkan tangan kanan atas tangan kiri” itu. Berarti di semua bagian. Yang begini disebut umum.

B. Kalau kita berpegang kepada keumuman riwayat-riwayat itu, maka kita harus meletakkan tangan tersebut :
a. Sesudah takbiratul-ihram sampai ruku’.
b. Dalam waktu ruku’.
c. Di waktu berdiri setelah bangkit dari ruku’ yang biasa disebut berdiri i’tidal.
d. Dalam sujud.
e. Di waktu duduk setelah bangkit dari sujud pertama dan kedua.
f. Dalam duduk Attahiyat awal dan akhir.

C. Tetapi terdapat hadits-hadits dan riwayat-riwayat pengecualian yaitu :
a. Bahwa dalam ruku’ diperintah meletakkan kedua-dua tangan atas lutut. (SR. Turmudzy, Ahmad dan Abu Dawud)
b. Bahwa dalam sujud diperintah bersujud atas tujuh anggota badan, termasuk tangan. (SR. Bukhary)
c. Bahwa dalam duduk setelah bangkit sujud, diperintah seperti duduk Attahiyat. (Muslim)
d. Bahwa dalam duduk Attahiyat awal atau Attahiyat akhir, diperintah meletakkan tangan atas paha dan lutut.

D. Setelah kita mengetahui pengecualian-pengecualian tersebut pada (C), maka tinggallah bahwa “meletakkan tangan atas dada” itu, adalah di waktu berdiri saja. Berdiri dalam shalat itu ada empat :
I. Sesudah takbiratul ihram.
II. Sesudah bangkit dari ruku’ (i’tidal).
III. Sesudah bangkit dari sujud rak’at pertama dan rak’at ketiga.
IV. Bangkit sesudah duduk Attahiyat awal.

Tentang meletakkan tangan atas dada sesudah takbiratul ihram itu, kita sama-sama sudah maklum. (R. Muslim)
Tentang bangun dari sujud, lalu berdiri, dan bangun dari Attahiyat awal, lalu berdiri, harus meletakkan tangan atas dada itu, juga sudah kita ketahui. (R. Muslim dan lainnya)
Tinggal : soal di mana “meletakkan tangan sesudah bangkit dari ruku’. Di atas sudah saya katakan bahwa kebiasaan kita sesudah bangkit dari ruku’ kita menggantungkan kedua tangan.
Keterangan dari Nabi saw. tentang ini sama sekali tidak ada. Oleh karena itu, seharusnya kita berpegang kepada hadits-hadits dan riwayat tersebut di atas, yaitu : ketika bangkit dari ruku’ harus meletakkan tangan kanan atas tangan kiri di dada, karena hadits-hadits tersebut tidak menentukan peletakan tangan itu sebelum ruku’ atau sesudah ruku’, hadits itu adalah umum.

Ringkasan pemikiran yang diuraikan A. Qadir Hasan di atas adalah bahwa riwayat-riwayat tentang bersedekap tangan adalah umum, sehingga bersedekap tangan dilakukan pada semua keadaan berdiri dalam shalat. Maksudnya, pada waktu i’tidal pun kedua tangan disedekapkan.
Pemikiran yang serupa juga dikemukakan oleh Syaikh Bin Baz sebagaimana dimuat dalam buku yang berjudul “Tiga Risalah Shalat” karya Hawin Murtadho.
Menurut penulis, pendapat mereka tidak dapat diterima. Walaupun hadits-hadits tentang Wadl’ul Yadain (peletakan dua tangan) di atas masih umum, artinya bersedekap dilakukan pada semua berdiri dalam shalat, akan tetapi telah dijelaskan pada matan yang lain dari hadits tentang peletakan dua tangan ini, bahwa bersedekap dilakukan pada waktu berdiri dalam shalat, setelah takbiratul ihram sebelum ruku’. Salah satu hadits tersebut adalah yang dikeluarkan oleh Muslim dari jalur periwayatan ‘Alqamah bin Wail dari Wail bin Hujr, yang menerangkan tentang posisi tangan disedekapkan pada waktu berdiri sebelum ruku’ setelah takbiratul ihram.
Imam Muslim, mukharrij hadits Wail bin Hujr tersebut, memasukkannya pada bab:
((وَضْعُ يَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى بَعْدَ تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ تَحْتَ صَدْرِهِ فَوْقَ سُرَّتِهِ وَوَضْعُهُمَا فِي السُّجُوْدِ عَلَى اْلأَرْضِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ)).
“Meletakkan tangan kanan pada tangan kiri di bawah dada di atas pusar setelah takbiratul ihram, dan peletakan keduanya di atas tanah pada waktu sujud sejajar dengan kedua pundak.”
Hadits semisal ini dikeluarkan juga oleh : Abu Dawud, An-Nasai, Ad-Darimi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, yang menerangkan bahwa bersedekap itu dilakukan setelah takbiratul ihram sampai berdiri membaca surat.
Dari uraian di atas, diperoleh penjelasan bahwa bersedekap dengan cara meletakan tangan kanan pada tangan kiri dilakukan setelah takbiratul ihram, sebab kalimat yang menunjukkan peletakan dua tangan disebutkan setelah lafal kabbara. Oleh karena itu hadits ini menjadi penjelas bahwa bersedekap dilakukan pada waktu berdiri setelah takbiratul ihram sampai takbir untuk ruku’. Wallahu a’lam bish shawab.

Demikanlah analisa pendapat ulama tentang posisi tangan pada waktu i’tidal. Pendapat yang dapat diterima adalah bahwa posisi tangan pada saat berdiri i’tidal adalah lurus ke bawah bukan disedekapkan. Wallahu a’lam bish shawab wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.

BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari data-data yang telah penulis kumpulkan, uraikan dan analisis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : posisi kedua tangan ketika berdiri i’tidal adalah lurus ke bawah. Wallahu a’lam bish shawab.

2. Saran
Sesuai dengan pembahasan makalah ini, saran yang penulis sampaikan yaitu:
2.1 Hendaklah muslimin mempunyai keyakinan maupun hujah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam memilih pendapat posisi tangan lurus ke bawah dan bukan hanya mengikuti kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat.
2.2 Hendaklah muslimin bersungguh-sungguh untuk menjelaskan kebenaran tentang masalah posisi tangan pada waktu i’tidal ini disertai dalil-dalilnya, dan menghargai pendapat orang lain serta tidak menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ini sebagai sebab timbulnya perselisihan.

Al-hamdulillah, merupakan suatu kebahagiaan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan idzin Allah. Penulis menyadari bahwa karya ini masih terdapat banyak kekurangan, karena itu kritik dan saran pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah ini.
Akhirnya kepada Allah penulis serahkan harapan mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Apabila terdapat kebenaran dalam makalah ini, maka itu tiada lain hanyalah datang dari Allah semata. Adapun jika terdapat kesalahan maka tidak lain datang dari kekhilafan penulis sendiri.
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ


DAFTAR PUSTAKA

Kelompok Kitab Hadits
1. Abdur Razzaq, Abu Bakar ‘Abdur Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani, Al-Hafidh, Al-Kabir, Al-Mushannaf, Cet. I, Al-Majlisul Ilmi, Beirut, Lebanon, 1390 H / 1971 M.

2. Abu ‘Awanah, Ya’kub bin Ishaq. Musnad Abi ‘Awanah, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetak , Tanpa Tahun.

3. Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats, As-Sijistani, Al-Hafidh, Sunan Abi Dawud, Cet. I, Darul Fikr, 1410 H / 1990 M.

4. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imamul Muhadditsin, Al-Hafidh, Al-Jalil, As-Sunanul Kubra, Darus Shadir, Beirut, 1347 H.

5. Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, Al-Imam, Shahihul Bukhari, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, 1414 H./ 1994 M.

6. Ad-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman bin Al-Fadl bin Bahran, Al-Imamul Kabir, Sunanud Darimi, Tanpa Nomor Cetak, Dar Ihya-is Sunnatin Nabawiyyah, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun.

7. Ad-Daruquthni, ‘Ali bin Umar, Sunanud Daruquthni, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1414 H / 1994 M.

8. Ahmad bin Hanbal, ‘Abu ‘Abdillah Asy-Syaibani, Musnadul Imami Ahmad bin Hanbal, Al-Maktabul Islami, Darus Shadir, Beirut, Tanpa Tahun.

9. Ali bin Balban, ‘Alauddin Al-Farisi, Al-Ihsan bi Tartib Shahih Ibni Hibban, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1407 H / 1987 M.

10. Al-Hakim, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah An-Naisaburi, Al-Hafidh, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, Maktabul Mathbu’atil Islamiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Tahun.

11. Al-Haitsami, Nuruddin ‘Ali bin Abu Bakar, Al-Hafidh, Majma’uz Zawaid wa Mamba’ul Fawaid, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 1408 H / 1988

12. An-Nasa’i, Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bahr, Al-Imam, Al-‘Alim, Al-Hafidh, Al-Hujjah, Sunanun Nasa’i bi Syarhil Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi wa Hasyiyatil Imamis Sindi, Al-Mathba’atul Mishriyyah, Al-Azhar, Cet. I, 1348 H / 1930 M.

13. Asy-Syafi’i, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Imam, Al-Mu’dham, Al-Mujtahid, Musnadul Imamisy Syafi’i, Maktabah Dahlan, Indonesia.

14. Ath-Thayalisi, Sulaiman bin Dawud bin Al-Jarud Al-Farisi Al-Bashri, Al-Hafidh Al-Kabir, Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi, Tanpa Nomor Cetak, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Tanpa Tahun.

15. At-Turmudzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Al-Jami’ush Shahih (Sunanut Turmudzi), Cet. I, Mathba’ah Mushthafa, Kairo, 1356 H / 1937 M.

16. Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad bin Ishaq As-Sulami An-Naisaburi, Al-Imamul Aimmah, Shahih Ibni Khuzaimah, Cet. II, Al-Maktabul Islami, 1412 H / 1992 M.

17. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan Ibni Majah, Darul Fikr, Tanpa Tahun, Tanpa Nama Kota.

18. Muslim, Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Jami’ush Shahih, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Tahun.

Kelompok Kitab Syarh
19. Al-‘Aini, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad Badruddin, Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-‘Allamah, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, Darul Ihya-it Turatsil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Tahun.

20. An-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf, Muhyiddin, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Darul Fikr, 1401 H / 1981 H.

21. As-Saharanfuri, Khalil Ahmad, Al-‘Allamah, Al-Muhadditsul Kabir, Asy-Syaikh, Badzlul Majhud Fi Halli Abu Dawud, Tanpa Nomor Cetak, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun.

22. Ibnu Hajar, Abul Fadhil Ahmad bin ‘Ali Al-‘Asqalani, Al-Hafidh, Fathul Bari, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun.

Kelompok Kitab Fikih
23. Al-Juzairi, ‘Abdur Rahman, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, Darul Fikr, Lebanon, 1414 H / 1990 M.

24. An-Nawawi, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf, Muhyiddin, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Tahun.

25. Ibnul Hammam Al-Hanafi, Kamaluddin Muhammad bin ‘Abdul Wahid, Al-Imam, Syarhu Fathil Qadir, Cet. II, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun.

26. Taqiyyuddin Al-Husaini, Abu Bakar bin Muhammad Al-Himsha Ad-Dimasyqi, Al-Imam, Kifayatul Ahyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Dar Ihya-il Kutubil ‘Arabiyyah, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetak, Tanpa Tahun.

Kelompok Kitab Rijal
27. Adz-Dzahabi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad, Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Tanpa Tahun.

28. Ibnu Abu Hatim, Abu Muhammad ‘Abdur Rahman bin Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Al-Mundzir Ar-Razi, Al-Imam, Al-Hafidh, Syaikhul Islam, Al-Jarhu wat Ta’dil, Cet. I, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 1372 H / 1952 M.

29. Ibnul Atsir, ‘Izzuddin bin Al-Atsir Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al-Jazri, Usdul Ghabah Fi Ma’rifatis Shahabah, Darul Fikr. Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomer Cetak, Tanpa Tahun.

30. Ibnu Hajar, Abul Fadhil Ahmad bin ‘Ali Al-‘Asqalani, Al-Hafidh, Tahdzibut Tahdzib, Cet. I, Mathba’ah Majlis Dairah Al-Ma’arif, India, 1366 H.

31. Ibnu Hajar, Abul Fadhil Ahmad bin ‘Ali Al-‘Asqalani, Al-Hafidh, Taqribut Tahdzib, Cet. I, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, 1415 H / 1995 M.

Kelompok Kitab Ilmu Musthalah
32. A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, Cet. IV, Penerbit CV. Diponegoro, Bandung, 1994 M.

33. Mahmud At-Thahhan, Dr, Taisir Mushthalahil Hadits, Cet. IX, Maktabatul Ma’arif, Riyadl, 1417 H/1996 M.

34. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1409 H / 1989 M.

Kelompok Kitab Kamus
35. Az-Zubaidi, Muhammad Murtadla, Al-Imamul Lughawi, Tajul ‘Arus, Cet. I, Al-Mathba’atul Khairiyyah, Mesir, Tanpa Tahun.

36. Ibnu Mandhur, Muhammad bin Al-Mukarram, Al-Imam, Al-‘Allamah, Lisanul ‘Arab, Cet. I, Dar Ihya-it Turatsil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, 1408 H/1988 M.

37. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Hasan Alwi, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3, Cet. I. Jakarta, Balai Pustaka, 2001 M.

Lain-lain
38. A. Qadir Hasan, Cara Berdiri I’tidal (Penjelasan Tentang Kewajiban Meletakkan Tangan Kanan Atas Tangan Kiri Di Dada), Cet. IV Lajnah Penerbitan Pesantren Persis Bangil (LP3B), 1992 M.

39. ‘Abdul ‘Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. IV, PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1997 M.
40. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shifatu Shalatin Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, Cet. II, Maktabatul Ma’arif, 1417 H / 1996 M.

41. Bin Baz, ‘Abdul ‘Aziz Bin ‘Abdillah, Kaifiyyatu Shalatin Nabi, Darul Qasim, Al-Mamlakatul ‘Arabiyyatis Su’udiyyah, Riyadl, 1417 H.

42. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, et al., Ensiklopedi Islam, Cet. IV, PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1997 M.

43. Hawin Murtadho, Tiga Risalah Shalat (Terjemah dari Tsalatsu Rasail fi Ash-Shalah, buah karya Syaikh Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz), Al-Qowam, Cemani, Tanpa Tahun.

44. Marzuki, Drs, Metodologi Riset, Tanpa Nomor Cetak, BPFE, UII, Yogyakarta, 1997 M.

45. Mubarak B. Mahfudh Bumu’allim, LC., Biografi Syaikh Al-Albani (Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini), Cet. I, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Bogor, 1424 H / 2003 M.

46. Sutrisno Hadi, Prof., Drs, MA, Metodologi Research, Cet. VII, Yogyakarta, Gama, 1986 M


















LAMPIRAN
URAIAN DERAJAT HADITS-HADITS

Bagian lampiran ini berisikan uraian-uraian tentang derajat hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal dalam shalat yang sudah dicantumkan pada bab II di muka. Di bawah ini uraian tiap-tiap derajat hadits :
1. Kedudukan hadits-hadits yang berkaitan dengan posisi tangan pada waktu i’tidal (pada bab II).
1.1 Hadits Rifa’ah bin Rafi’ Az-zuraqi
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan rangkaian sanad sebagai berikut :
1) Abdullah, dengan nama lengkap Abdullah adalah Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani (213 H-290 H).
2) Bapaknya (bagi Abdullah) yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy-Syaibani (w. 241 H ).
3) Yazid bin Harun As-Sulami (117 H-209 H).
4) Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi Al-Madani (w. 144 H).
5) ‘Ali bin Yahya bin Khallad Az-Zuraqi (w. 129 H)
6) Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi, sahabat Nabi dari ahli Badr.
Sanad hadits di atas bersambung, tiap perawi meriwayatkan dari gurunya. Semua perawi tersebut di atas tsiqat kecuali seorang perawi yaitu, Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi Al-Madani. Perawi ini salah satu murid ‘Ali bin Yahya bin Khallad dan ia telah meriwayatkan darinya. Berkaitan dengan perawi ini, ulama membicarakan perihal tsiqat dan tidaknya. Mereka yang mentsiqatkannya antara lain: Ibnu Main, Murrah dan Ibnu Hibban. Abu Hatim mengatakan : ِصَالِحُ الْحَدِيْثِ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ وَهُوَ شَيْخٌ. (orang yang boleh dipakai haditsnya, haditsnya juga ditulis, dan dia seorang guru). Sedang Al-Qaththan berkomentar, Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah adalah : رَجُلٌ صَالِحٌ لَيْسَ بِأَحْفَظِ النَّاسِ لِلْحَدِيْثِِ (seorang yang baik hanya saja bukan orang yang paling hapal dalam urusan hadits).
Adapun An-Nasa’i dan Ibnul Mubarak menuturkan: لَيْسَ بِِهِِِِِِِِِ ِبَأْسٌ (tidak ada bahaya terhadap dirinya). Berdasar keterangan-keterangan tersebut dapat disimpulkan, Muhammad bin ‘Amr tergolong rawi bermartabat hasan, sebab ungkapan-ungkapan yang disandangkan padanya merupakan suatu pujian tetapi menunjukkan berkurangnya daya ingat. Selain itu ia juga bukan termasuk perawi yang paling hafal dalam soal hadits.
Dari serangkaian penjelasan di atas maka ditarik kesimpulan akhir bahwa hadits ini berderajat hasan, karena diriwayatkan oleh perawi-perawi yang ‘adl, namun terdapat seorang perawi yang berkurang kedlabitannya, dan tidak ada syudzudz ataupun illah (cela) padanya. Wallahu a’lam bis shawab.

1.2 Hadits Abu Humaid As-Sa’idi
Hadits Abu Humaid ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahihnya. Ulama telah sepakat dengan keshahihan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan menduduki derajat kedua.

1.3 Hadits ‘Uqbah bin ‘Amr (Abu Mas’ud)
Sanad hadits Uqbah bin ‘Amr dengan urutan perawi sebagai berikut :
1) An-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan Abu Abdur Rahman (213 H-302 H).
2) Ahmad bin Sulaiman Ar-Rahawi (w. 261 H).
3) Husein bin ‘Ali bin Walid Al-Ju’fi (119 H-203 H ).
4) Zaidah bin Qudamah Ats-Tsaqafi (w. 160 H).
5) ‘Atha’ bin As-Saib bin Malik Ats-Tsaqafi (w. 136 H).
6) Salim Al-Barrad Abu ‘Abdillah Al-Kufi
7) ‘Uqbah bin ‘Amr (Abu Mas’ud), sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam.

Rangkaian sanad di atas bersambung. Perawi tersebut semuanya tsiqat, kecuali ‘Atha’ bin As-Saib bin Malik Ats-Tsaqafi. Dia salah seorang guru Zaidah bin Qudamah. Ulama ahli jarh membicarakan tentang perawi ini. Di antara mereka yang mentsiqatkannya adalah : Hammad bin Zaid, Abdullah bin Ahmad, Al-‘Ajali, Ibnu Hibban, Ya’kub bin Sufyan, As-Saji, dan Ibnu Sa’d.
Ibnu Ma’in menyatakan : عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ اِخْتَلَطَ (Atha’ bin As-Saib mengalami ikhtilat).
Ahmad bin Hanbal menambahkan komentar :
عَطَاءُ بْنُ السَّائِب ثِقَةٌ ثِقَةٌ رَجُلٌ صَالِحٌ، وَمَنْ سَمِعَ مِنْهُ قَدِيْمًا كَانَ صَحِيْحًا.
“Atha’ bin As-Saib adalah seorang rawi tsiqat lagi shalih, dan barang siapa yang mendengar pada masa sebelum mengalami ikhtilat maka apa yang dia dengar adalah shahih”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Atha’ termasuk perawi shaduq mengalami ikhtilat di akhir umurnya. Beliau wafat pada tahun 136 H.
Berkaitan dengan periwayatan perawi mukhtalith –dalam hal ini periwayatan Zaidah dari ‘Atha’- terdapat dua hukum : Pertama, riwayat seorang rawi sebelum ikhtilah dapat diterima. Kedua, riwayat seorang rawi setelah mengalami ikhtilat, tidak dapat diterima; demikian juga periwayatan yang diragukan apakah riwayat tersebut sebelum ikhtilat atau sesudahnya.
Pada rangkaian sanad ini diketahui bahwa periwayatan ‘Atha’ bin As-Saib ini sebelum mengalami ikhtilath, karena Zaidah bin Qudamah, salah seorang murid ‘Atha’ yang meriwayatkan darinya sebelum terjadi ikhtilath. Dengan demikian periwayatan keduanya dapat diterima.
Berdasarkan ulasan tersebut disimpulkan bahwa derajat hadits ini tergolong hasan, sebab diriwayatkan oleh perawi-perawi yang ‘adl tetapi kurang dlabith, dengan sanad yang bersambung tanpa ada syudzudz ataupun illah (cela) padanya. Wallahu a’lam bish shawab.

1.4 Hadits Wail bin Hujr
Rangkaian perawi pada sanad hadits Wail bin Hujr adalah sebagai berikut :
1) Abdullah, dengan nama lengkap Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani (213 H-290 H).
2) Bapaknya (bagi Abdullah) yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy-Syaibani (w. 241 H ).
3) Abdullah bin Al-Walid bin Maimun Al-Amawi.
4) Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsauri (97 H-161 H).
5) ‘Ashim bin Kulaib bin Al-Majnun Al-Jarmi (w. 137 H).
6) Bapaknya (bagi ‘Ashim) yaitu Kulaib bin Syihab bin Al-Majnun Al-Jarmi.
7) Wail bin Hujr, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (w. 61 H).

Dari urut-urutan tujuh perawi tersebut di atas didapatkan ada dua orang perawi yang tidak tergolong tsiqat.
Pertama, Abdullah bin Al-Walid bin Maimun Al-Amawi, murid Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri. Dia dinyatakan sebagai perawi shaduq, terkadang wahm (bingung) pada sebagian hadits. Pernyataan shaduq tersebut merupakan suatu pujian tetapi tidak menunjukkan kedlabitan seorang perawi, dengan kata lain ia mempunyai kekurangan dalam hal dlabitnya. Berdasarkan hal ini disimpulkan bahwa ‘Abdullah bin Al-Walid tergolong perawi bermartabat hasan.
Kedua, Ashim bin Kulaib bin Al-Majnun Al-Jarmi, putra sekaligus murid yang meriwayatkan dari bapaknya yaitu Kulaib bin Syihab. Ulama membicarakan ihwal ‘Ashim bin Kulaib ini. Mereka yang mentsiqatkannya, antara lain : Ibnu Ma’in, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin, Ahmad bin Shalih, dan Ibnu Sa’d.
Adapun Ibnu Hajar memberikan penilaian bahwa ‘Ashim seorang rawi shaduq, pengikut Murji’ah, wafat pada tahun 137 H.
Syuraik bin Abdillah memberikan komentar : ‘Ashim pengikut bid’ah Murji’ah. Ibnul Madini lebih tegas lagi menyatakan bahwa ‘Ashim : لاَيُحْتَجُّ بِهِ اِذَا انْفَرَدَ (dia tidak dapat dijadikan hujjah jika bersendiri dalam periwayatan).
Dari keterangan-keterangan tersebut diketahui bahwa ‘Ashim bin Kulaib adalah rawi shaduq, tetapi jika bersendiri dalam meriwayatkan, haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah.
Berdasarkan penelitian penulis pada sanad hadits Wail bin Hujr ini, ‘Ashim bin Kulaib terbukti bersendiri dalam periwayatannya, karena tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dari bapaknya selain dia.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, diketahui bahwa semua perawi pada rangkaian sanad di atas adalah perawi maqbul. Sanad hadits ini pun muttashil (bersambung), semua perawi meriwayatkan dari para guru mereka. Akan tetapi hadits ini tidak dapat dijadikan hujah, karena keberadaan ‘Ashim bin Kulaib yang bersendiri dalam meriwayatkan hadits ini dari bapaknya. Hadits ini disebut hadits Gharib yang tergolong dla’if, karena bersendirinya ‘Ashim bin Kulaib dalam meriwayatkan hadits ini dari bapaknya. Akan tetapi hadits Wail bin Hujr ini mempunyai jalur periwayatan lain yaitu dari ‘Alqamah bin Wail dari Wail bin Hujr, yang salah satunya dikeluarkan oleh Muslim dalam kitabnya. Dengan demikian hadits Wail bin Hujr yang dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal di muka naik pada peringkat hasan lighairihi dengan sebab ada jalan periwayatan lain yang lebih kuat. Wallahu ‘alam bish shawab.

1.5 Hadits Wail bin Hujr (dari riwayat Muslim)
Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Ulama telah bersepakat bahwa hadits yang dikeluarkan Muslim tanpa bersama Al-Bukhari menduduki sebagai hadits shahih tingkat ketiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar