Rabu, 23 Maret 2011

HUKUM BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam perjalanan penulis untuk memperdalam ilmu agama dengan mengikuti kajian-kajian agama, baik yang diselenggarakan di sekolah sejak penulis duduk di bangku Ibtida’iyah sampai bangku ‘Aliyah, maupun kajian di luar sekolah, penulis mendapatkan keterangan dari para guru/ustadz bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu dilarang dalam agama Islam.
Selain kajian-kajian tersebut, ada satu hal lain yang memperkuat keterangan ini, yaitu ketika penulis melihat seorang kerabat dekat penulis yang berstatus sebagai salah seorang guru pada pondok pesantren Islam di Surakarta, menolak untuk berjabat tangan ketika seorang tamu perempuan mengulurkan tangan ke arah nya. (DIGANTI: kepadanya)
Namun, -meskipun demikian- rupanya pengetahuan penulis di atas masih berada dalam suatu taraf yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya, mengingat banyaknya lelaki muslim yang mau berjabat tangan dengan perempuan ajnabi, baik pada acara silaturahmi keluarga, resepsi pernikahan, maupun acara-acara lainnya.
Karena itu, maka muncullah suatu motivasi yang mendorong penulis untuk meneliti bagaimana sebetulnya “hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi” menurut Islam, sebagai suatu usaha memperjelas masalah.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis akan meneliti masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi menurut Islam?


3. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan tulisan ilmiah ini, penulis bertujuan untuk menjawab masalah yang penulis hadapi, yaitu tentang bagaimana sebenarnya hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi menurut Islam.

4.Kegunaan Penelitian
Dari tulisan ilmiah ini, penulis ingin meraih tiga kegunaan sebagai berikut:
4.1 Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang fiqih, khususnya dalam hal hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.
4.2 Hasil tulisan ilmiah ini bisa dijadikan sebagai masukan bagi mereka yang ingin mengetahui hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi menurut pandangan Islam.

5. Metodologi Penelitian
5.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam tulisan ilmiah ini, penulis mempergunakan metode studi kitab, yaitu mengumpulkan data-data dari beberapa kitab, seperti kitab tafsir, kitab hadits, kitab fiqih, serta kitab-kitab lain yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan. Jadi, penelitian ini adalah penelitian literatur.
Data-data tersebut berupa data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya; diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.

Sedang data sekunder adalah:
Data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan maupun publikasi lainnya. Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya, artinya melewati salah satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri.
5.2 Metode Analisis Data
Untuk menyelesaikan masalah yang telah penulis rumuskan dalam makalah ini, penulis menganalisis semua data yang telah terkumpul dan tersusun, dengan dua metode. Masing-masing adalah:
5.2.1 Analisis Deduktif
Analisis deduktif adalah:
Penganalisaan data yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

5.2.2 Analisis Induktif
Analisis induktif adalah:
Penganalisisan yang bersifat khusus yang mempunyai unsur-unsur persamaan kemudian dibuat kesimpulan yang bersifat umum.

6. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami tulisan ilmiah ini, penulis membuat urut-urutan penyajiannya sebagai berikut:
Dimulai dengan penulisan judul, kata pengantar, dan daftar isi, lalu dilanjutkan dengan tujuh bab, yaitu:
Bab I berisi latar belakang masalah, perumusannya, serta tujuan penelitian, kegunaan dan metodologinya, lalu diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab II mengetengahkan tentang pengertian “ajnabi”, baik “perempuan ajnabi” maupun “lelaki ajnabi”.
Bab III berisi ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, terjemah dan maksudnya, serta penjelasan yang berhubungan dengannya.
Bab IV memuat hadits-hadits tentang berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, dilengkapi dengan arti, alamat, maksud, dan derajatnya, serta keterangan yang berhubungan dengannya.
Bab V berisi pendapat ulama’ tentang berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.
Bab VI berupa analisis penulis terhadap data-data tentang berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi pada bab III, IV, dan V.
Bab VII merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulis kepada para pembaca tulisan ilmiah ini.
Tulisan ilmiah ini diakhiri dengan daftar pustaka yang merupakan rujukan data-data pada tulisan ilmiah ini, lalu diikuti dengan beberapa lembar lampiran.




BAB II
AJNABI
1. Perempuan Ajnabi
Lafal “ajnabi” menurut bahasa mempunyai beberapa pengertian. Salah satu pengertiannya adalah اَلْبَعِيْدُ فِى الْقَرَابَةِ, artinya: orang yang jauh hubungan kekerabatannya.
Di sini penulis hanya menukil salah satu pengertiannya di atas, karena itulah arti yang berkaitan dengan pembahasan dalam tulisan ilmiah ini.
Sedang menurut istilah yang biasa digunakan oleh ulama’, ajnabi adalah:
غَيْرُ الزَّوْجَةِ أَوِ الْمَحَارِمِ مِنَ النِّسَاءِ, artinya: selain istri atau perempuan mahram. Sedang lafal “mahram” menurut bahasa adalah اَلْحَرَامُ, artinya: sesuatu yang haram.
Adapun menurut istilah yang biasa digunakan oleh ulama, “mahram” adalah:
اَلْمُحَرَّمُ نِكَاحُهَا عَلَيْهِ لِذَاتِهَا عَلَى التَّأْبِيْدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ.
Artinya:
(Perempuan) yang selamanya diharamkan atasnya (seorang lelaki)
-karena dzatnya- untuk menikahinya, karena suatu sebab yang dibolehkan, berupa nasab atau susuan atau persemendaan.

Dengan kata lain, “mahram” adalah orang yang selama-lamanya haram dinikahi, disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, yaitu faktor keturunan, susuan, atau persemendaan.
Keharaman dinikahinya orang-orang tersebut, berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah ass. Ayat-ayat Al-Qur’an yang penulis maksud adalah surat An-Nisa’ (4): 22-23, sebagai salah satu dari beberapa ayat Al-Qur’an tentang peraturan pernikahan dalam Islam. Lafal dan arti surat An-Nisa’ (4): 22-23 adalah:
﴿وَلاَ تَنكِحُوا مَا نَكَحَ أبَآؤُكُمْ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ, إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيْلاً 22 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهتُكُمْ وَبَنتُكُمْ وَأَخَوتُكُمْ وَعَمّتُكُمْ وَخلتُكُمْ وَبَنتُ اْلأََخِ وَبَنتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهتُكُمُ الّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِّنْ نِسَآئِكُمْ الّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ, فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ, وَحَلآئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ, إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا 23 ﴾.
سُوْرَةُ النِّسَاءِ 4: 22-23.
Artinya:
Dan janganlah kamu berkawin kepada perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh bapa-bapa kamu, kecuali apa yang telah lalu, karena sesungguhnya (yang demikian) itu adalah satu kejelekan dan satu kemurkaan dan satu jalan yang jahat. Diharamkan atas kamu (bernikah dengan) ibu-ibu kamu, dan anak-anak perempuan kamu, dan saudara-saudara perempuan kamu, dan bapa-bapa kamu punya saudara-saudara perempuan, dan ibu-ibu kamu punya saudara-saudara perempuan, dan saudara laki-laki (kamu) punya anak-anak perempuan, dan saudara-saudara perempuan (kamu) punya anak-anak perempuan, dan ibu-ibu kamu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan kamu yang sesusu, dan istri-istri kamu punya ibu-ibu, dan anak-anak tiri yang di pangkuan kamu dari istri-istri yang telah kamu campuri, tetapi sekiranya kamu tidak campuri mereka, maka tidak ada halangan atas kamu, dan anak-anak laki-laki kamu sendiri punya istri-istri, dan (diharamkan) bahwa kamu memadukan dua saudara, kecuali apa yang telah lalu, karena sesungguhnya Allah itu adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.
Surat an-Nisa’ (4): 22-23.
Adapun hadits yang menjadi dalil keharaman menikahi para mahram adalah sabda Nabi Muhammad ass. ketika beliau ditawari oleh ‘Ali bin Abi Thalib kw. untuk menikahi putri paman beliau, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib ra. Lafal dan arti hadits tersebut yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فِي بِنْتِ حَمْزَةَ: ((لاَ تَحِلُّ لِي, يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ. هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ)).
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ مُسْلِمٌ.
Artinya:
Dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata: Nabi saw. bersabda tentang anak perempuan Hamzah: ”Dia itu tidak halal bagiku. Haram karena susuan, apa saja yang haram karena nasab. Dia adalah anak perempuan saudara laki-laki susuanku.”
Dikeluarkan oleh Al-Bukhari -lafal ini milik beliau- dan Muslim.
Berdasarkan surat An-Nisa (4): 22-23 dan hadits Ibnu ‘Abbas ra. di atas, ulama’ memerinci perempuan mahram secara mendetail dalam tiga golongan, sebagaimana yang penulis dapatkan pada kitab Rawa-i’ Al-Bayan, yaitu:
1.1 Perempuan Mahram Karena Keturunan
Mereka adalah:
1.1.1 Ibu, nenek, ibu nenek, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
1.1.2 Anak perempuan, cucu perempuan, cicit perempuan, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
1.1.3 Saudara perempuan, baik kandung/seayah/seibu.
1.1.4 Saudara perempuan ayah/ibu, saudara perempuan kakek/nenek, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
1.1.5 Keponakan perempuan, baik dari saudara laki-laki maupun perempuan yang sekandung/seayah/seibu, anak perempuan keponakan perempuan, cucu perempuan keponakan perempuan, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
1.2 Perempuan Mahram Karena Susuan
Mereka adalah:
1.2.1 Ibu susuan, ibu dari ibu susuan, nenek dari ibu susuan, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
1.2.2 Anak perempuan susuan, cucu perempuan susuan, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
1.2.3 Saudara perempuan susuan.
1.2.4 Saudara perempuan ibu susuan/ayah susuan (suami ibu susuan), saudara perempuan ayah/ibu dari ibu susuan/ayah susuan, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
1.2.5 Keponakan perempuan susuan, baik dari saudara laki-laki maupun perempuan susuan, anak perempuan keponakan perempuan susuan, cucu perempuan keponakan perempuan susuan, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
1.3 Perempuan Mahram Karena Persemendaan
Mereka adalah:
1.3.1 Menantu (istri anak) kandung/susuan, anak perempuannya, cucu perempuannya, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
1.3.2 Mertua perempuan, ibunya, neneknya, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
1.3.3 Anak perempuan tiri, anak perempuannya, cucu perempuannya, dan urut-urut ke bawah setelahnya, bila ibu anak perempuan tiri tersebut telah disetubuhi oleh bapak tirinya. Namun bila ibunya tersebut belum disetubuhi oleh bapak tirinya, maka anak perempuan tiri dan urut-urut ke bawah setelahnya ini halal dinikahi oleh bapak tiri tersebut, setelah ibu tiri itu wafat atau dicerai.
1.3.4 Istri ayah (ibu tiri).
Selain perincian perempuan mahram dalam tiga golongan di atas, ulama’ menjelaskan pula tentang lafal:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ
(: “dan (diharamkan) bahwa kamu memadukan dua saudara, kecuali apa yang telah lalu”) yang terdapat pada surat An-Nisa’ (4): 23 di atas, bahwa seorang lelaki diharamkan menikahi saudara perempuan istrinya, kecuali bila istri tersebut telah meninggal dunia atau dicerai. Jadi, larangan terhadap seorang lelaki untuk menikahi saudara perempuan istrinya itu bersifat sementara . Ini menunjukkan bahwa saudara perempuan istri tidak termasuk perempuan mahram. Karena itulah, ulama’ tidak memasukkan saudara perempuan istri ke dalam golongan perempuan mahram tersebut.
Walhasil, -sebagai penutup sub bab “Perempuan Ajnabi” ini-, yang di maksud dengan perempuan ajnabi bagi seorang lelaki adalah setiap perempuan yang bukan istrinya, dan bukan pula sebagai salah satu dari perempuan-perempuan mahramnya, baik mahram karena keturunan, susuan, maupun persemendaan. Wallahu AWJ. a’lam, walhamdu lillah.
2. Lelaki Ajnabi
Manakala di antara para perempuan itu ada yang boleh dinikahi dan ada yang tidak, yaitu ada yang ajnabi dan ada yang mahram, maka secara pasti hal itu pun terdapat pula pada kalangan lelaki. Tegasnya, di antara para lelaki itu pun -bagi seorang perempuan-, ada yang boleh menikahi dan ada yang tidak boleh; ada yang ajnabi dan ada yang mahram.
Berdasarkan uraian pada sub bab “Perempuan Ajnabi” di atas, diketahui bahwa lelaki ajnabi itu adalah selain tiga kelompok mahram berikut ini:
2.1 Lelaki Mahram Karena Nasab
Perinciannya adalah sebagai berikut:
2.1.1 Bapak, kakek, bapak kakek, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
2.1.2 Anak laki-laki, cucu laki-laki, cicit laki-laki, dan urut-urut ke bawah se-telahnya.
2.1.3 Saudara laki-laki, baik sekandung maupun seayah atau seibu.
2.1.4 Saudara laki-laki ayah/ibu (paman), saudara laki-laki kakek/nenek (paman ayah/ibu), dan urut-urut ke atas sebelumnya.
2.1.5 Keponakan laki-laki, baik dari saudara laki-laki atau dari saudara pe-rempuan, anak laki-laki keponakan laki-laki, cucu laki-laki keponakan laki-laki, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
2.2 Lelaki Mahram Karena Susuan
Perinciannya adalah sebagai berikut:
2.2.1 Bapak susuan (suami ibu susuan), kakek susuan, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
2.2.2 Anak laki-laki susuan, cucu laki-laki susuan, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
2.2.3 Saudara laki-laki susuan.
2.2.4 Saudara laki-laki ayah susuan/ibu susuan (paman susuan), saudara laki-laki ayah/ibu dari ayah susuan/ibu susuan, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
2.2.5 Keponakan laki-laki susuan, baik dari saudara laki-laki susuan maupun saudara perempuan susuan, anak laki-laki keponakan laki-laki susuan, cucu laki-laki keponakan laki-laki susuan, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
2.3 Lelaki Mahram Karena Persemendaan
Perinciannya adalah sebagai berikut:
2.3.1 Menantu (suami anak) kandung/susuan, anaknya, cucunya, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
2.3.2 Mertua laki-laki, bapaknya, kakeknya, dan urut-urut ke atas sebelumnya.
2.3.3 Anak laki-laki tiri, anaknya, cucunya, dan urut-urut ke bawah setelahnya.
2.3.4 Bapak tiri.
Bapak tiri menjadi mahram seorang perempuan bila ibunya telah dikumpuli oleh bapak tiri tersebut.


BAB III
AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH
BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI
1. Surat Al-Isra’ (17): 32
1.1 Lafal dan Arti Ayat
﴿وَلاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً قلى وَ سَآءَ سَبِيْلاً﴾.
اَ ْلإِسْرَاءُ (17):32.
Artinya:
“Dan janganlah kamu menghampiri zina, karena sesungguhnya adalah ia itu satu kejahatan dan jelek perjalanannya.”
Al-Isra’ (17): 32.
1.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa menghampiri zina itu dilarang, sebab zina merupakan perbuatan buruk yang amat jahat dan jalan yang sangat buruk ke neraka Jahannam.
1.3 Penjelasan
Tentang lafal وَ لاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا (“Dan janganlah kalian mendekati zina!)”, An-Nasafi berkata:
هُوَ نَهْيٌ عَنْ دَوَاعِى الزِّنَى كَاللَّمْسِ وَ الْقُبْلَةِ وَ نَحْوِهِمَا وَ لَوْ أُرِيْدَ النَّهْيُ عَنْ نَفْسِ الزِّنَى لَقَالَ: لاَ تَزْنُوْا.
Artinya:
(Lafal) itu merupakan larangan (melakukan) hal-hal yang dapat menyeret (seseorang) untuk melakukan zina, seperti menyentuh, mencium, dan semisalnya. Bila (yang) dimaksud (adalah) larangan untuk (melakukan) zina itu sendiri, sungguh (pastilah) Dia berfirman: ((لاَ تَزْنُوْا)) (: “Janganlah kalian berzina!”).
Sependapat dengan An-Nasafi, Ash-Shabuni berkata:
﴿وَ لاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا﴾ أَيْ لاَ تَدْنُوْا مِنَ الزِّنَى وَ هُوَ أَبْلَغُ مِنْ لاَ تَزْنُوْا لأَِنَّهُ يُفِيْدُ النَّهْيَ عَنْ مُقَدِّمَاتِ الزِّنَى كَاللَّمْسِ وَ الْقُبْلَةِ وَ النَّظْرَةِ وَ الْغَمْزِ وَ غَيْرِ ذلِكَ مِمَّا يَجُرُّ إِلىَ الزِّنَى فَالنَّهْيُ عَنِ الْقُرْبِ أَبْلَغُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ الْفِعْلِ.
Artinya:
(Lafal) وَ لاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا maksudnya (adalah:) Janganlah kalian mendekati zina! Lafal ini lebih kuat (arti pelarangannya) daripada lafal لاَ تَزْنُوْا (:”Janganlah kalian berzina!”), sebab (lafal) ini memberikan (pengertian) larangan untuk (melakukan) pendahuluan-pendahuluan zina, seperti menyentuh, mencium, memandang, meraba, dan lain-lain yang termasuk (perbuatan) yang (dapat) menyeret (seseorang) kepada perbuatan zina. Maka larangan untuk mendekati itu lebih kuat daripada larangan untuk melakukan.

2. Surat al-An’am (6): 151
2.1 Lafal dan Arti Ayat
﴿ قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ج وَ لاَ تَقْتُلُوْا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ قلى نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ج وَ لاَ تَقْرَبُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ مَا بَطَنَ ج وَ لاَ تَقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ قلى ذلِكُمْ وَصَّيكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ﴾.
اَ ْلأَنْعَامُ (6): 151.
Artinya:
Katakanlah: ”Marilah! Supaya aku bacakan apa yang Tuhan kamu haramkan atas kamu, (yaitu) bahwa janganlah kamu sekutukan dengan Dia sesuatu; dan hendaklah (kamu) berlaku baik kepada ibu-bapa; dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena (takut) kepapaan, (karena) Kami memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu hampiri kejahatan, yang terang daripadanya dan yang tersembunyi; dan janganlah kamu membunuh jiwa yang Alloh haramkan, melainkan dengan haq. Demikianlah Alloh perintah kamu, supaya kamu mengerti.
Al-An’am (6): 151.
2.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa Allah SWT mengharamkan manusia mendekati kelakuan-kelakuan jahat, baik yang lahir maupun yang batin.
2.3 Penjelasan
Al-Maraghi berkata:
اَلْفَوَاحِشُ وَاحِدُهَا فَاحِشَةٌ, وَهِيَ الْخَصْلَةُ الَّتِى يَقْبُحُ فِعْلُهَا لَدَى أَرْبَابِ الْفِطَرِ السَّلِيْمَةِ وَ الْعُقُوْلِ الرَّاجِحَةِ, وَ يُطْلِقُوْنَهَا أَحْيَانًا عَلَى الزِّنَا وَ الْبُخْلِ وَ الْقَذَفِ بِالْفَحْشَاءِ وَ الْبَذَاءِ الْمُتَنَاهِى فِى الْقُبْحِ.
Artinya:
(Kata) “al-fawahisy” bentuk tunggalnya adalah “fahisyah”, yaitu pekerti yang buruk (untuk) dilakukan, menurut orang-orang yang memiliki fitrah yang sehat dan akal yang kuat. Kata ini kadangkala digunakan oleh mereka (yang melafalkannya) dengan artian zina, pelit, menuduh (orang lain) melakukan perbuatan keji, atau ucapan yang teramat jorok.

3. Surat an-Nur (24): 30
3.1 Lafal dan Arti Ayat
﴿قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَ يَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ قلى ذلِكَ أَزْكَى لَهُمْ قلى إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ﴾.
اَلنُّوْرُ (24):30.
Artinya:
Suruhlah mu’minin menundukkan sebagian dari pandangan-pandangan mereka. dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih bersih buat mereka; sesungguhnya Allah amat Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Surat an-Nur (24): 30.
3.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa Allah SWT menyuruh para hamba-Nya yang beriman untuk menahan pandangan mereka dari melihat hal-hal yang haram untuk dilihat.
3.3 Penjelasan
Pada penelitian tentang hukum berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, yang menjadi pokok pembicaraan dari ayat di atas adalah lafal: يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ (: ”Supaya mereka menundukkan sebagian dari pandangan-pandangan mereka”). Sebab, lafal ini dianggap oleh sebagian ulama’ (seperti Asy-Syanqithi dan (DIHAPUS) A. Hassan ), berkaitan dengan masalah berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.



BAB IV
HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH
BERJABAT TANGAN LELAKI DENGAN PEREMPUAN AJNABI
Dalam bab ini penulis mengetengahkan beberapa hadits yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan masalah berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.
1. Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih tentang Beberapa Macam Zina
1.1 Lafal dan Arti Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ:((عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ بَنِى آدَمَ كُتِبَ حَظُّهُ مِنَ الزِّنَى أَدْرَكَ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ, فَالْعَيْنُ زِنَاهَا النَّظَرُ وَ اْلآذَانُ زِنَاهَا اْلإِسْتِمَاعُ وَ الْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَ الرِّجْلُ زِنَاهَا الْمَشْيُ وَ اللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَ الْقَلْبُ يَهْوَى وَ يَتَمَنَّى وَ يُصَدِّقُ ذلِكَ وَ يُكَذِّبُهُ الْفَرْجُ0
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ وَ أَبُو دَاوُدَ0
Artinya:
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw. bahwa beliau telah bersabda: “Telah ditetapkan atas tiap jiwa dari anak turun Adam akan bagiannya dari perbuatan zina yang pasti dia dapatkan (lakukan). Penglihatan itu, zinanya adalah melihat. Adapun kedua telinga, zinanya adalah mendengar. Adapun tangan, zinanya adalah menyentuh. Adapun kaki, zinanya adalah berjalan. Adapun lidah, zinanya adalah berbicara. Adapun hati, zinanya adalah menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang akan membenarkan hal itu atau mendustakannya.”
Dikeluarkan oleh Ahmad -dan lafal ini miliknya-, Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.

1.2 Maksud Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih
Maksud hadits yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa zina yang dilakukan oleh seseorang dengan tangannya itu berupa menyentuh sesuatu yang haram disentuh.
1.3 Keterangan
Setiap manusia pasti melakukan zina. Ada yang melakukan zina dengan kemaluannya), dan ada pula yang hanya melakukan “zina-zina majasi ”, yaitu melakukan hal-hal haram dengan mata, telinga, tangan, kaki, mulut, atau hati, yang bisa jadi berakhir dengan zina kemaluan.
Dinamakannya “melihat sesuatu yang haram dilihat” dengan sebutan “zina” pada hadits di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa perbuatan tersebut terlarang/haram dilakukan.
Contoh zina tangan -yang disebutkan pada hadits di atas- adalah menyentuh perempuan ajnabi dengan tangan, memegangnya, menulis “surat” (seperti surat cabul dan sejenisnya) untuknya, atau menggodanya dengan lemparan kerikil.
1.4 Derajat Hadits Abu Hurairah Ra.
Hadits ini shahih. Wallahu a’lam.)
2. Hadits Ma'qil Bin Yasar Ra. Tentang Siksaan Untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
2.1 Lafal dan Arti Hadits Ma’qil Ra.
حَدَّثَناََ نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبِي حَدَّثَناَ شَدَّادُ بْنُ سَعِيْدٍ عَنْ أَبِى الْعَلاَءِ حَدَّثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: ((َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ))0
أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ وَ الطَّبَرَانِيُّ وَ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ الصَّحِيْحِ وَ الرُوْياَنِيُ وَ اللَّفْظُ لَهُ.
Artinya:
Nashr bin ‘Ali telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Bapakku telah mengabari kami, Syaddad bin Sa’id telah menceritakan kepada kami dari Abu al-‘Ala’, Ma’qil bin Yasar Ra. telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh bahwa kepala seorang lelaki ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal untuknya.”
Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang baik, ath-Thabarani –para perawi (hadits) ath-Thabarani adalah orang-orang tsiqat; para perawi (hadits) shahih-, dan ar-Ruyani –lafal ini miliknya-.
2.2. Maksud Hadits Ma’qil Bin Yasar Ra.
Penyiksaan berupa tusukan senjata tajam pada kepala itu lebih ringan dibanding siksa bagi lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi.
2.3 Keterangan
Hadits ini merupakan ancaman keras bagi lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi.
2.4 Derajat Hadits Ma’qil bin Yasar Ra.
Hadits ini hasan. Wallahu a’lam.
3. Hadits 'Aisyah Ra. Tentang Pembai’atan Nabi Muhammad Ass. Terhadap Para Perempuan
3.1 Lafal dan Arti Hadits ‘A-isyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلاَمِ بِهذِهِ اْلآيَةِ ﴿لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئاً﴾ قَالَتْ: وَ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا.
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ الْبُخَاريُّ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ مُسْلِمٌ وَ التُّرْمُذِيُّ وَ ابْنُ مَاجَهْ0
Artinya:
Dari ‘A-isyah ra., dia berkata: “Adalah Nabi saw. membai’at (mengambil janji setia) para perempuan secara lisan dengan ayat ini لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئاً (: “mereka -para perempuan- tidak akan menyekutukan sesuatu pun dengan Allah”).” Dia (‘A-isyah ra.) berkata: “Dan tidaklah tangan Rasulullah saw. menyentuh tangan seorang perempuan pun kecuali perempuan yang beliau miliki”.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari -dan lafal ini miliknya-, Muslim, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah.

3.2 Maksud Hadits ‘A-isyah ra.
Maksud hadits yang berkaitan dengan makalah ini adalah:
3.2.1 Nabi Muhammad ass. membai’at (mengambil janji setia) para perempuan secara lisan.
3.2.2 Tangan mulia Nabi Muhammad ass. tidak beliau gunakan untuk menyentuh tangan seorang perempuan pun selain yang beliau miliki, yaitu istri, budak, atau putri beliau .
3.3 Derajat Hadits ‘A-isyah ra.
Hadits ini shahih.
4. Hadits Ibrahim an-Nakha'I Rah.a.a. Tentang Berjabat Tangan Nabi Muhammad ass. Dengan Para Perempuan
4.1 Lafal dan Arti Hadits Ibrahim an-Nakha’I Rah.a.a.
حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنِ الثَّوْرِيِّ عَنْ مَنْصُوْرٍ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصَافِحُ النِّسَاءَ وَ عَلَى يَدِهِ ثَوْبٌ0
أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ مُرْسَلاً0
Artinya:
‘Abdur-Razzaq telah menceritakan kepada kami dari ats-Tsauri dari Manshur dari Ibrahim, dia berkata: “Adalah Rasulullah saw. menjabat tangan para perempuan, sedangkan pada tangan beliau ada sehelai kain.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdur-Razzaq secara mursal.

4.2 Maksud Hadits Ibrahim an-Nakha’I Rah.a.a.
Nabi Muhammad ass. biasa menjabati tangan para perempuan dengan melapiskan sehelai kain pada tangan.
4.3 Derajat Hadits Ibrahim an-Nakha’i Rah.a.a.
Hadits ini shahih.
5. Hadits Asma' Binti Yazid Ra. Tentang Bai’at Antara Nabi Muhammad Ass. Dengan Para Perempuan
5.1 Lafal dan Arti Hadits Asma’ Ra.
حَدَّثَناَ عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا هَاشِِمٌ هُوَ ابْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيْدِ قَالَ: حَدَّثَنَا شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ قَالَ: حَدَّثَتْنِي أَسْمَاءُ بِنْتُ يَزِيْدَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم جَمَعَ نِسَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ لِلْبَيِْعَةِ, فَقَالَتْ لَهُ أَسْمَاءُ: أَلاَ تَحْسُرُ لَنَا عَنْ يَدِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: ((إِنِّي لَسْتُ أُصَافِحُ النِّسَاءَ وَ لكِنْ آخُذُ عَلَيْهِنَّ 000)).
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ الطَّبَرَانِيُّ وَ الدَّيْلَمِيُّ وَ الْحُمَيْدِيُّ وَ ابْنُ سَعْدٍ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ لِضَُعْفِ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ فِيْهِ.
Artinya:
‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, bapakku (Ahmad bin Hanbal) telah menceritakan kepada saya, Hasyim -yaitu Ibnu al-Qasim- telah menceritakan kepada kami, ‘Abdul Hamid telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Syahr bin Hausyab telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Asma’ binti Yazid telah menceritakan kepada saya bahwa Rasulullah saw. telah mengumpulkan perempuan-perempuan muslim untuk dibai’at, lalu Asma’ berkata kepada beliau: “Tidakkah Engkau singkapkan (saja kain itu) dari tanganmu untuk kami, wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan para perempuan, tetapi saya (hanya) mengambil (bai’at) atas mereka ….”.
Dikeluarkan oleh Ahmad -dan lafal ini miliknya-, ath-Thabarani, ad-Dailami, al-Humaidi, dan Ibnu Sa’d dengan sanad yang dla’if karena kedla’ifan Syahr bin Hausyab (yang terdapat) padanya.

5.2 Maksud Hadits Asma’ Ra.
Maksud hadits yang berkaitan dengan makalah ini adalah:
5.2.1 Asma’ binti Yazid ra. menawarkan kepada Nabi Muhammad ass. agar beliau menyingkapkan kain yang ada di tangan beliau, ketika melangsungkan bai’at terhadap dia dan rekan-rekannya.
5.2.2 Nabi Muhammad ass. menyikapi usul Asma’ ra. di atas dengan menyatakan bahwa beliau tidak akan menjabat tangan para perempuan, dan bahwa beliau hanya mengambil bai’at dari mereka.
5.3 Keterangan
Hadits Asma’ ra. Ini dimuat pada Musnad Ahmad juz 6, halaman 454 dan 459.
Ada perbedaan teks antara hadits Asma’ ra. yang tertulis di halaman 454 dengan yang tertulis di halaman 459. Pada halaman 459 tidak dimuat perkataan Asma’ ra.:(أَلاَ تَحْسُرُ لَنَا عَنْ يَدِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟) (: “Ti-dakkah Engkau singkapkan (saja kain itu) dari tanganmu, wahai Rasulullah?”). Sedang halaman 454 memuat perkataan Asma’ ra. tersebut.
Adapun pada kitab-kitab lain (al-Mu’jam al-Kabir, al-Firdaus, Musnad al-Al-Humaidi, dan ath-Thabaqat al-Kubra), hadits Asma’ ra. ini tidak memuat perkataan di atas.
Di dalam al-Mu’jam al-Kabir, hadits Asma’ ra. ini diberi footnote yang menyatakan bahwa dalam sebuah riwayat pada Musnad Ahmad, ada ziadah/tambahan yang munkar (munkar artinya: yang diingkari, yang ditolak, atau yang tertolak ), dan bahwa Syaikh al-Albani telah membuat sebuah pernyataan peringatan tentang ziadah tersebut pada kitab ash-Shahihah (= Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah).
Al-Albani setelah mengutip hadits Asma’ ra. yang memuat ziadah di atas mengatakan:
وَ هذِهِ الزِّياَدَةُ تُشْعِرُ بِأَنَّ النِّسَاءَ كُنَّ يَأْخُذْنَ بِيَدِهِ عِنْدَ الْمُبَايَعَةِ مِنْ فَوْقِ ثَوْبِهِ صلى الله عليه و سلم, وَ قَدْ رُوِيَ فِى ذلِكَ بَعْضُ الرِّوَايَاتِ اْلأُخْرَى وَ لكِنَّهَا مَرَاسِيْلُ كُلُّهَا, ذَكَرَهَا الْحَافِظُ فِى الْفَتْحِ (8/488) فَلاَ يُحْتَجُّ بِشَيْئٍ مِنْهَا لاَ سِيَّمَا وَ قَدْ خَالَفَتْ مَا هُوَ أَصَحُّ مِنْهَا كَهذَا الْحَدِيْثِ وَ اْلآتِى بَعْدَهُ وَ كَحَدِيْثِ عَائِشَةَ فِى مُبَايَعَةِ النِّسَاءِ.
Dan ziadah ini mengandung pengertian implisit bahwa para perempuan ketika dibai’at, memegang tangan Nabi saw. dari balik kain beliau saw. (maksudnya, tangan beliau dalam keadaan berlapiskan kain). Dan telah diriwayatkan dalam hal itu sebagian riwayat-riwayat yang lain, namun semuanya mursal -al-Hafidz (Ibnu Hajar) telah menyebutkannya dalam al-Fath (8/488)- sehingga tidak dapatlah satu pun dari riwayat-riwayat tersebut digunakan sebagai hujah, lagi pula itu menyelisihi apa yang lebih shahih daripada riwayat-riwayat itu, seperti hadits ini (yaitu hadits Umaimah ra. ) dan hadits berikutnya (yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ra. ), juga seperti hadits ‘A-isyah ra. tentang pembai’atan para perempuan.

5.4 Derajat Hadits Asma’ Ra.
Hadits ini dla’if.
6. Hadits Abu Umamah Ra. Tentang Keburukan Berdesakan Antara Lelaki Dengan Perempuan Ajnabi
6.1 Lafal dan Arti Hadits Abu Umamah Ra.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنْبَأَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ زَحْرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيْدَ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ((إِيَّاكُمْ وَ الْخَلْوَةَ بِالنِّسَاءِ, وَ الَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَلاَ رَجُلٌ وَ امْرَأَةٌ إِلاَّ دَخَلَ الشَّيْطَانُ بَيْنَهُمَا, وَلَيَزْحَمُ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِّخًا بَطِيْنٍ أَوْ حَمْأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ)).
أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ.
Artinya:
Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abu Maryam telah menceritakan kepada kami, Yahya bin Ayyub telah memberitahu kami, dari ‘Ubaidah bin Zahr dari ‘Ali bin Yazid dari Qasim dari Abu Umamah dari Rasulullah saw., beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian akan khalwat dengan para perempuan! Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya! Tidaklah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan, melainkan pasti masuklah setan (ke tengah-tengah) antara mereka berdua. Dan sungguh bahwa seorang lelaki berhimpitan dengan seekor babi yang berlumuran lumpur atau lumpur hitam berbau busuk itu lebih baik baginya daripada bahunya berhimpitan dengan bahu seorang perempuan yang tidak halal baginya.”
Dikeluarkan oleh ath-Thabarani.

6.2. Maksud Hadits Abu Umamah Ra.
6.2.1 Nabi Muhammad ass. melarang seseorang berkhalwat dengan lawan jenisnya yang ajnabi.
6.2.2 Dua manusia berlainan jenis kelamin yang berkhalwat itu pasti ditemani oleh setan.
6.2.3 Berhimpitan dengan lawan jenis itu lebih buruk bagi seorang lelaki daripada berhimpitan dengan seekor babi yang berbau busuk oleh lumpur hitam yang menempel di badannya.
6.3 Derajat Hadits Abu Umamah Ra.
Hadits ini dla’if.
7. Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariya Tentang Pedihnya Siksaan Untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
7.1 Lafal dan Arti Hadits ‘Abdullah Bin Abu Zakariyya Rah.a.a.
حَدَّثَنَا سَعِيْدٌ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أنْبَأَنَا دَاودُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِى زَكَرِيَّا الْخُزَاعِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِِ صلى الله عليه و سلم: (( َلأَنْ يُقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا يَخْلُصُ الْقَرْعُ إِلَى عَظْمِ رَأْسِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ تَضَعَ امْرَأَةٌ يَدَهَا عَلَى سَاعِدِهِ, لاَ تَحِلُّ لَهُ )).
أَخْرَجَهُ سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ, وَ فِى سَنَدِهِ انْقِطَاعٌ.
Artinya:
Sa’id telah mengabari kami, Husyaim telah menceritakan kepada kami, Dawud bin ‘Amr telah mengabari kami, ‘Abdullah bin Abu Zakariyya al-Khuza’i telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Rasululllah saw. bersabda: “Sungguh bahwa seorang lelaki dipukul dengan sebuah pukulan hingga ke tulang kepalanya itu lebih baik baginya daripada bahwa ada seorang perempuan meletakkan tangannya pada lengan lelaki tersebut, (padahal) dia (perempuan) tersebut tidak halal baginya.”
Dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur, dan terdapat inqitha’ dalam sanadnya.

7.2. Maksud Hadits ‘Abdullah bin Abu Zakariyya Rah.a.a.
Lebih baik seorang lelaki dipukul dengan pukulan amat keras yang sampai ke tulang kepalanya daripada lengannya disentuh oleh seorang perempuan ajnabi.
7.3 Keterangan
Hadits di atas mengandung sebuah ancaman keras ditujukan kepada lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi.
7.4 Derajat Hadits ‘Abdullah Bin Abi Zakariyya Rah.a.a.
Hadits ini dla’if.
8. Hadits Anas bin Malik Ra. Tentang Budak Perempuan Penduduk Madinah
8.1 Lafal dan Arti Hadits Anas Ra.
(عَنْ) أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَتِ اْلأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَائَتْ.
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ الْبُخَاريُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ- وَ ابْنُ مَاجَهْ.
Artinya:
(Dari) Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah budak perempuan dari kalangan para budak perempuan milik penduduk Madinah sungguh memegang tangan Rasulullah saw., lalu dia mengajak beliau pergi ke mana saja dia kehendaki.”
Dikeluarkan oleh Ahmad, Al-Bukhari –dan lafal ini miliknya-, dan Ibnu Majah.
8.2 Maksud Hadits Anas Ra.
8.2.1 Dari kalangan budak-budak penduduk Madinah ada yang biasa memegang tangan Nabi Muhammad ass. untuk diajak pergi ke tempat yang dikehendaki oleh budak tersebut, atau:
8.2.2 Nabi Muhammad ass. bersedia menyertai budak perempuan penduduk Madinah ke tempat yang dia kehendaki
8.3 Derajat Hadits Anas Ra. tentang Budak Perempuan Madinah
Hadits ini shahih.
9. Hadits Anas Bin Malik Ra. tentang Persentuhan Antara Nabi Muhammad Ass. dengan Ummu Haram ra.
9.1 Lafal dan Arti Hadits Anas Ra.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ (قاَلَ): كَانَ رَسُوْلُ اللهِِ صلى الله عليه و سلم إِذَا ذَهَبَ إِلَى قُبَاءٍَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ –وَ كَانَتْ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ-, فَدَخَلَ عَلَيْهَا يَوْماً, فَأَطْعَمَتْهُ وَ جَلَسَتْ تَفْلِى رَأْسَهُ. -وَ سَاقَ هذَا الْحَدِيْثَ, قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وَ مَاتَتْ بِنْتُ مِلْحَانَ بِقُبْرُصَ-.
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ وَ أَبُو دَاوُدَ –وَ اللَّفْظُ لَهُ- وَ التُّرْمُذِيُّ وَ ابْنُ مَاجَهْ وَ الدَّارِمِيُّ وَ مَالِكٌ.
Artinya:
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah saw. bila pergi ke Quba’ , beliau masuk ke (rumah) Ummu haram binti Milhan –dia adalah istri ‘Ubadah bin ash-Shamit-. Maka pada suatu hari beliau memasuki (rumah)nya, lalu dia menghidangkan makanan kepada beliau dan dia duduk sambil menyelisik kepala beliau.” Dia (al-Qa’nabi) membaca hadits ini sampai selesai. Abu Dawud berkata: “Binti Milhan wafat di Siprus .”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud –dan lafal ini milik Abu Dawud-, At-Turmudzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, ad-Darimi, dan Malik.
9.2 Maksud Hadits Anas Ra. .
Maksud hadits yang berkaitan dengan makalah ini adalah bahwa Ummu Haram binti Milhan ra. pernah menyelisik kepala Nabi Muhammad ass. ketika beliau singgah di rumahnya.
9.3 Derajat Hadits Anas Ra. tentang Ummu Haram Ra.
Hadits ini shahih.



BAB V
PENDAPAT ULAMA’ YANG BERKAITAN DENGAN
MASALAH BERJABAT TANGAN LELAKI
DENGAN PEREMPUAN AJNABI
Di sini penulis mengemukakan pendapat ulama’ tentang berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, juga tentang persentuhan antara keduanya. Sebagian pendapat menyatakan keharaman persentuhan/jabat tangan tersebut dengan menyebutkan persyaratan keharaman, sedang sebagian yang lain tidak menyebutkannya. Karena itu, penulis merinci pendapat mereka dalam dua sub bab berikut:
1. Pendapat Pertama
Pendapat pertama adalah bahwa berjabat tangan atau persentuhan lelaki dengan perempuan ajnabi itu haram (dilarang; tidak boleh dilakukan, atau yang semakna dengan itu) secara mutlak, yaitu tanpa menyebutkan syarat keharamannya. Ulama’ yang menyatakan hal tersebut adalah:
1.1 Ibnu Al-‘Arabi Rah.a.a.
Beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُصَافِحُ الرِّجَالَ فِى الْبَيْعَةِ بِالْيَدِ تَأْكِيْدًا لِشِدَّةِ الْعَقْدِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْلِ. فَسَأَلَ النِّسَاءُ ذلِكَ فَقَالَ لَهُنَّ: "قَوْلِيْ لاِمْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ كَقَوْلِيْ لمِاِئَةِ امْرَأَةٍ"، وَ لَمْ يُصَافِحْهُنَّ لِمَا أَوْعَزَ إِلَيْنَا فِى الشَّرِيْعَةِ مِنْ تَحْرِيْمِ المْبُاَشَرَةِ لَهُنَّ إِلاَّ مَنْ يَحِلُّ لَهُ ذلِكَ مِنْهُنَّ0
Artinya:
Adalah Nabi saw. menjabat tangan para lelaki dalam bai’at dengan tangan (beliau) untuk lebih memperkuat ikatan janji, (yaitu) dengan ucapan dan perbuatan (sekaligus). Maka para perempuan pun meminta (untuk dilakukan pula jabat tangan) tersebut, namun beliau bersabda kepada mereka: ”Ucapanku kepada seorang perempuan seperti ucapanku kepada seratus orang perempuan”, dan beliau tidak menjabat tangan mereka
-karena (adanya) pengharaman menyentuh kulit mereka, yang telah beliau beritahukan kepada kita dalam syari’at ini- kecuali dari kalangan mereka yang halal bagi beliau (untuk melakukan) persentuhan itu.
1.2 A. Hassan Rah.a.a.
Setelah A. Hassan mengutip dalil-dalil tentang larangan terhadap lelaki untuk memandang perempuan ajnabi, beliau berkata:
“Dari situ kita dapat mengerti dengan terang bahwa kalau pandang-memandang sudah dilarang, sudah tentu berjabat tangan lebih keras lagi”

1.3 Dr. Asy-Syanqithi Rah.a.a.
Beliau berkata:
إِعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ اْلاَجْنَبِيِّ أَنْ يُصَافِحَ امْرَأَةً أَجْنَبِيَّةً مِنْهُ وَ لاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَمَسَّ شَيْئٌ مِنْ بَدَنِهِ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهَا0
Artinya:
Ketahuilah bahwasanya lelaki ajnabi itu tidak boleh berjabat tangan dengan seorang perempuan ajnabi! Tidak boleh (juga) suatu bagian tubuhnya menyentuh suatu bagian tubuh (perempuan ajnabi) itu.
Beliau juga berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم ثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: (اِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ) اَلْحَدِيْثَ. وَ اللهُ يَقُوْلُ: (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ), فَيَلْزَمُنَا أَلاَّ نُصَافِحَ النِّسَاءَ اقْتِدَاءً بِهِ صلى الله عليه و سلم. ….وَكَوْنُهُ صلى الله عليه و سلم لاَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ وَقْتَ الْمُبَايَعَةِ دَلِيْلٌ وَاضِحٌ عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ لاَ يُصَافِحُ الْمَرْأَةَ وَ لاَ يَمَسُّ شَيْئٌ مِنْ بَدَنِهِ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهَا ِلأَنَّ أَخَفَّ أَنْوَاعِ اللَّمْسِ الْمُصَافَحَةُ. فَإِذَا امْتَنَعَ مِنْهَا صلى الله عليه و سلم فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَقْتَضِيهَا وَ هُوَ وَقْتُ الْمُبَايَعَةِ دَلَّ ذلِكَ عَلَى أَنَّهَا لاَ تَجُوْزُ. وَ لَيْسَ لأَحَدٍ مُخَالَفَتُهُ صلى الله عليه و سلم لأَنَّهُ هُوَ الْمُشَرِّعُ ِلأُمَّتِهِ بِاَقْوَالِهِ وَ اَفْعَالِهِ وَ تَقْرِيْرِهِ0
Artinya:
Bahwasanya telah benar (riwayat) dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: ”Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para perempuan.” Al-hadits. Sedang Allah berfirman: “Sungguh benar-benar pada (diri) Rasulullah itu (terdapat) suri teladan yang baik buat kalian”. Maka, merupakan suatu keharusan bagi kita bahwa kita tidak berjabat tangan dengan para perempuan, untuk mengikuti/meniru beliau saw. Keberadaan beliau saw. tidak menjabat tangan para perempuan ketika membai’at (mereka) merupakan bukti nyata bahwa seorang lelaki tidak (boleh) berjabat tangan dengan seorang perempuan, dan tidak (boleh pula) suatu bagian tubuhnya menyentuh suatu bagian tubuh (perempuan) itu, karena berjabat tangan adalah bentuk persentuhan paling ringan. Bila beliau saw. menahan diri darinya (dari berjabat tangan) pada saat yang menuntut (adanya) berjabat tangan itu, yaitu pada saat membai’at, (maka) hal itu menunjukkan bahwa berjabat tangan itu tidak boleh (dilakukan). Dan tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihi beliau saw., sebab beliaulah pembuat undang-undang untuk umat beliau dengan sabda-sabda, perbuatan-perbuatan, dan penetapan beliau.

1.4 Al-Albani Rah.a.a.
Setelah mengutip hadits Ma’qil bin Yasar ra. dan hadits ‘Abdullah bin Abu Zakariya , al-Albani berkomentar sebagai berikut:
وَ فِى الْحَدِيْثِ وَعِيْدٌ شَدِيْدٌ لِمَنْ مَسَّ امْرَاَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ، فَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ مُصَافَحَةِ النِّسَاءِ لأَنَّ ذلِكَ مِمَّا يَشْمُلُهُ دُوْنَ شَكٍّ. وَ قَدْ بُلِيَ بِهَا كَثِيْرٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ فِيْهِمْ بَعْضُ اَهْلِ الْعِلْمِ … بَلْ اِنَّ بَعْضَ اْلاَحْزَابِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ قَدْ ذَهَبَتْ إِلَى الْقَوْلِ بِجَوَازِ الْمُصَافَحَةِ الْمَذْكُوْرَةِ، وَ فَرَضَتْ عَلَى كُلِّ حِزْبٍ تَبْنِيْهِ. وَ احْتَجَّتْ لِذلِكَ بِمَا لاَ يَصْلُحُ مُعْرِضَةً عَنِ اْلاِعْتِبَارِ بِهَذَا الْحَدِيْثِ وَ اْلاَحَادِيْثِ اْلاُخْرَى الصَّرِيْحَةِ فِى عَدَمِ مَشْرُوْعِيِّةِ الْمُصَافَحَةِ0
Artinya:
Pada hadits ini terdapat ancaman keras bagi orang (laki-laki) yang menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya. Jadi, di dalamnya terdapat dalil diharamkannya berjabat tangan dengan para perempuan. Sebab, tidak diragukan (lagi) bahwa (berjabat tangan) itu termasuk dalam kategori “bersentuhan” tersebut. Dan sungguh kebanyakan muslimin di masa ini telah tertimpa “bencana” berjabat tangan ini, dan (bahkan) termasuk (pula) sebagian ahli ilmu (agama) … bahkan sesungguhnya sebagian partai Islami berpendapat boleh melakukan jabat tangan tersebut, dan mengharuskan kepada setiap partai yang mereka dirikan (untuk berpendapat seperti itu). Dan untuk (pendapat) tersebut, mereka menggunakan argumen yang tidak layak, seraya tidak mau mempedulikan hadits ini serta hadits-hadits lain yang jelas (menunjukkan) bahwa berjabat tangan tersebut tidak disyari’atkan.

1.5 Ash-Shabuni hafidzanallahu wa-iyyah (…-…)
Beliau berkata:
وَ قَدْ صَحَّ فِي الْحَدِيْثِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم لَمْ يُصَافِحْ فِي الْبَيْعَةِ امْرَأَةً، وَ إِنَّمَا بَايَعَهُنَّ بِالْكَلاَمِ، وَ دَلَّ ذلِكَ عَلَى حُرْمَةِ مُصَافَحَةِ النِّسَاءِ .
وَ لَمْ يَثْبُتْ عَنْهُ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ صَافَحَ النَّسَاءَ فِى بَيْعَةٍ أَوْ غَيْرِهَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عِنْدَمَا يَمْتَنِعُ عَنْ مُصَافَحَةِ النِّسَاءِ مَعَ أنَّهُ الْمَعْصُوْمُ فَإِنَّمَا هُوَ تَعْلِيْمٌ لِلأُمَّةِ وَ إِرْشَادٌ لَهَا لِسُلُوْكِ طَرِيْقِ اْلإِسْتِقَامَةِ. وَ إِذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ الطَّاهِرُ، الفَاضِلُ، الشَّرِيْفُ الَّذِى لاَ يَشُكُّ إِنْسَانٌ فِي نَزَاهَتِهِ وَ طَهَارَتِهِ وَ سَلاَمَةِ قَلْبِهِ لاَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ وَيَكْتَفِى بِالْكَلاَمِ فِي مُبَايَعَتِهِنَّ مَعَ أَنَّ اَمْرَ الْبَيْعَةِ اَمْرٌ عَظِيْمُ الشَّأْنِ, فَكَيْفَ يُبَاحُ لِغَيْرِهِ مِنَ الرِّجَالِ مُصَافَحَةُ النِّسَاءِ مَعَ اَنَّ الشَّهْوَةَ فِيْهِمْ غَالِبَةٌ؟ وَ الْفِتْنَةَ غَيْرُ مَأْمُوْنَةٍ وَ الشَّيْطَانَ يَجْرِى فِيْهِمْ مَجْرَى الدَّمِ؟! وَ كَيْفَ يَزْعُمُ بَعْضُ النَّاسِ اَنَّ مُصَافَحَةَ النِّسَاءِ غَيْرُ مُحَرَّمَةٍ فِى الشَّرِيْعَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ؟! سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ!
Artinya:
Dan sudah benar -(sebagaimana yang tersebut) pada hadits- bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan seorang perempuan pun dalam bai’at, namun beliau membai’at mereka hanya dengan ucapan semata. Hal itu menunjukkan keharaman berjabat tangan dengan para perempuan.
Dan tidaklah ada (riwayat) dari beliau saw. bahwa beliau menjabat tangan para perempuan, baik dalam bai’at maupun di selain bai’at. Sedang, manakala Rasulullah saw. menahan diri dari berjabat tangan dengan para perempuan padahal beliau adalah seorang yang maksum, maka tidak lain hal itu sebagai pengajaran bagi umat beliau serta sebagai pengarahan buat mereka untuk menempuh jalan istiqamah. Dan bilamana Rasulullah saw. -yang suci, yang berkeutamaan (budi pekerti) lagi mulia, yang tidak diragukan tentang kebersihan, kesucian dan kelurusan hatinya oleh seorang pun-, tidak menjabat tangan para perempuan, dan hanya cukup dengan ucapan saja ketika membai’at mereka -padahal perkara bai’at adalah sebuah perkara yang amat penting-, maka bagaimana (mungkin) berjabat tangan dengan perempuan ini diperbolehkan untuk para lelaki selain beliau, padahal syahwat menguasai mereka? Sedangkan tidaklah dirasa aman (dari timbulnya) fitnah (pada mereka), dan setan merasuk pada (jiwa) mereka selaras aliran darah mereka? Dan bagaimana (mungkin) sebagian manusia beranggapan bahwa berjabat tangan dengan perempuan itu tidak diharamkan dalam syari’at Islam? Maha Suci Engkau! Ini adalah sebuah kebohongan besar!

1.6 Al-Jaza-iri hafidzanallahu wa-iyyah (…-…)
Beliau berfatwa sebagai berikut:
اَلتَّعْزِيْرُ وَاجِبٌ فِى كُلِّ مَعْصِيَةٍ لَمْ يَضَعِ الشَّارِعُ لَهَا حَدًّا، وَ لاَ كَفَّارَةً، وَ ذلِكَ كَالسَّرِقَةِ الَّتِى لَمْ تَبْلُغْ نِصَابَ الْقَطْعِ، أَوْ كَلَمْسِ اْلاَجْنَبِيَّةِ أَوْ قُبْلَتِهَا، أَوْ ….
Artinya:
Ta’zir (sanksi) itu wajib (ditegakkan) pada setiap perbuatan maksiat yang Pembikin syari’at (Allah AWJ. dan Rasul-Nya) tidak menetapkan hukum had atau kifarat padanya, seperti pencurian yang belum sampai kepada nishab (yang mengharuskan ditegakkannya hukuman) potong (tangan), atau seperti menyentuh perempuan ajnabi, menciumnya, atau ….

1.7 Dr. Wuhbah Az-Zuhaili hafidzanallahu wa-iyyah (…-…)
Dalam menerangkan larangan zina yang terkandung pada lafal وَ لاَ يَزْنِيْنَ pada surat al-Mumtahanah (60): 12, beliau mengatakan begini:
وَ تَحْرِيْمُ الزِّنَى عَامٌّ. قَالَ صلى الله عليه و سلم: (( اَلْيَدَانِ تَزْنِيَانِ وَ الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَ الرِّجْلاَنِ تَزْنِيَانِ وَ الْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ)).
Artinya:
Pengharaman zina ini umum. Beliau saw. bersabda: “Kedua tangan itu berzina, kedua mata itu berzina, dan kedua kaki itu berzina, sedangkan kemaluan akan membenarkan hal itu atau mendustakannya.
1.8 Al-Malibari Rah.a.a (…-…)
Beliau berkata:
“Sebagaimana keharaman memandang perempuan lain, maka memegang atau meraba-raba wanita lain juga haram.”
1.9 Dr. Musthafa Sa’id al-Khin, Dr.Musthafa al-Bugha, Muhyiddin Mastu, Ali Syirbaji dan Muhammad Amin Luthfi hafidzanallahu wa-iyyahum (Para Pengarang Kitab Nuzhah Al-Muttaqin)
Mereka berpendapat sebagai berikut:
أَبْتُلِيِ بَعْضُ الْمُسْلِمِيْنَ فِى هذَا الْعَصْرِ بِتَقْلِيْدِ غَيْرِهِمْ فِى مُصَافَحَةِ الْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ وَ اْلإِنْحِنَاءِ أَمَامَهَا بِحُجَّةِ احْتِرَامِهَا, وَ هذَا أَمْرُ مُنَافٍ لأَحْكَامِ الشَّرْعِ وَ مُخَالِفُ لِهُدَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم الَّذِى لَمْ تَمُسَّ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ قَطُّ0
Artinya:
Sebagian muslimin pada masa ini terkena musibah (berupa) meniru (kelompok-kelompok) selain muslimin dalam (hal) berjabat tangan dengan perempuan ajnabi dan merundukkan badan di hadapannya dengan alasan (untuk) menghormatinya. Hal ini adalah suatu perkara yang bertentangan dengan hukum-hukum syara’ dan menyelisihi petunjuk Nabi saw yang tangan beliau tidak (pernah) sama sekali menyentuh tangan seorang perempuan ajnabi.

1.10 Ulama’ di Lajnah Dai-mah hafidzanallahu wa-iyyahum
Menurut mereka,
“Seorang lelaki tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan seorang wanita ajnabi pun, walau wanita tersebut melapisi tangannya dengan sehelai kain ketika berjabat tangan.”

1.11. Khaulah Binti ‘Abdul Qadir Darwisy hafidzanallahu wa-iyyaha

Beliau adalah mantan Penasehat Ahli Pendidikan dan Direktur perguruan al-Qiblah al-Islamiah di Makkah al-Mukarramah. Beliau menulis:
Wanita yang menyalami laki-laki yang bukan suami atau muhrimnya [sic: mahramnya], jelas merupakan perbuatan haram. Inilah teladan kita Rasulullah saw. sewaktu Bai’atul-‘Aqidah [sic: ‘Aqabah], ada seseorang yang berkata kepada beliau: “Ini ada dua orang wanita yang datang untuk berbai’at kepada Engkau.” Beliau berkata: “Aku telah membai’at meraka berdua sebagaimana aku membai’at kamu sekalian. Namun aku tidak menyalami para wanita.”
Andaikata [sic: apabila] hamba Allah yang paling baik saja tidak berjabat tangan dengan para sahabat wanita, yang notabenenya mereka hidup di suatu jaman yang paling baik pula, maka bagaimanakah keadaan laki-laki dan wanita di jaman yang sudah terlalu banyak dipolesi kerusakan dan keburukan ini? Mereka (laki-laki dan wanita) saling berjabat tangan, dengan alasan toh hati mereka bersih dan jiwa mereka suci. Sebenarnya manakah yang lebih suci hatinya dan lebih tinggi perasaannya? Ucapan yang seperti buih ini ataukah para sahabat yang telah ditinggalkan oleh Islam? Kami bertanya-tanya sendiri dan semoga Anda juga berbuat hal yang sama: mana yang lebih baik?
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jabat tangan antara laki-laki dan wanita adalah perbuatan haram. Seseorang yang takut akan suatu hari pembalasan, maka janganlah melakukannya …. Janganlah kita menciptakan tradisi baru yang bertentangan dengan jalan keselamatan, termasuk dalam tingkah laku kita sehari-hari.

2. Pendapat Kedua
2.1 Persentuhan lelaki dengan perempuan ajnabi itu diharamkan bila dilakukan dengan syahwat.
Pendapat ini dikemukakan oleh Tgk. Hasbi ash-Shiddiqi, sebagaimana ditulis oleh A. Hassan berikut ini:
“Tuan Hasbi teruskan: Maka yang dapat kita qiyaskan kepada hukum nazhar yang diharamkan lantaran syahwat, ialah hukum menjamah dengan karena syahwat pula.”

2.2 Persentuhan lelaki dengan perempuan ajnabi itu dilarang bila dilakukan pada selain keadaan darurat
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani Rah.a.a.:
وَفِى الْحَدِيْثِ أَنَّ كَلاَمَ الأَجْنَبِيَّةِ مُبَاحٌ سِمَاعُهُ وَ أَنَّ صَوْتَهَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ، وَ مَنْعُ لَمْسِ بَشَرَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ضَرُوِرَةٍ لِذلِكَ0
Artinya:
Dan pada hadits tersebut (hadits ‘Aisyah ra. ), bahwa perkataan perempuan ajnabi itu mubah (boleh) didengar, dan bahwa suaranya bukan aurat, dan (terdapat) larangan menyentuh kulit perempuan ajnabi tanpa adanya (keadaan) darurat (yang mendesak) untuk (dilakukannya persentuhan) itu.

Pendapat ini dikemukakan pula oleh DR. Sa’id Ramadlan hafidzanallahu wa-iyyah:
عَلِمْتَ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ مِنْ كَيْفِيَّةِ بَيْعَةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم لِلنِّسَاءِ أَنَّ مُبَايَعَتَهُنَّ إِنَّمَا كَانَتْ بِالْكَلاَمِ فَقَطْ مِنْ غَيْرِ أَخْذِ الْكَفِّ، وَ ذلِكَ عَلَى خِلاَفِ بَيْعَةِ الرِّجَالِ. فَدَلَّ ذلِكَ عَلَى أَنَّهُ لاَيَجُوْزُ مُلاَمَسَةُ الرَّجُلِ بَشَرَةَ امْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ مِنْهُ. وَ لاَ اَعْلَمُ خِلاَفًا فِى ذلِكَ عِنْدَ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ. أَلَّلهُمَّ إِلاَّ أّنْ تَدْعُوَ إِلَى ذلِكَ ضَرُوْرَةٌ كَتَطْبِيْبٍ وَفَصْدٍ وَقَلْعِ ضِرْسٍ وَنَحْوِ ذلِكَ. وَ لَيْسَ مِنَ الضَّرُوْرَةِ شُيُوْعُ الْعُرْفِ بِمُصَافَحَةِ النِّسَاءِ كَمَا قَدْ يَتَوَهَّمُ بَعْضُ النَّاسِ0
Artinya:
Telah Anda ketahui dari cara pembai’atan Nabi saw. terhadap para perempuan yang telah kami sebutkan, bahwa pembai’atan terhadap mereka tidak lain hanya (dilakukan) dengan ucapan, tanpa memegang telapak tangan, dan hal itu berbeda dengan pembai’atan para lelaki. Maka hal itu menunjukkan bahwa seorang lelaki tidak boleh menyentuh kulit perempuan ajnabi -saya tidak mengetahui (adanya) perselisihan di antara ulama’ muslimin dalam (masalah) tersebut-, kecuali bila ada keadaan darurat yang menyebabkan terjadinya (persentuhan) itu, seperti mengobati penyakit, melakukan operasi (pembedahan), mencabut gigi geraham (gigi pemamah), dan lain sebagainya. Sedangkan membudayanya kebiasaan berjabat tangan dengan perempuan itu tidak termasuk hal-hal yang mengharuskan (terjadinya berjabat tangan) tersebut, sebagaimana disangka (demikian) oleh sebagian orang.

2.3 Berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu dilarang bila perempuan tersebut gadis muda
Pendapat ini dikemukakan oleh al-Marghinani Rah.a.a.:
وَ هذَا إِذَا كَانَتْ شَابَّةً تُشْتَهَى، أَمَّا إِذَا كَانَتْ عَجُوْزًا لاَ تُشْتَهَى فَلاَ بَأْسَ بِمُصَافَحَتِهَا وَ مَسِّ يَدِهَا لاِنْعِدَامِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ. وَ قَدْ رُوِيَ أنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُدْخِلُ بَعْضَ الْقَبَائِلِ الَّتِي كَانَ مُسْتَرْضَعًا فِيْهِمْ وَ كَانَ يُصَافِحُ الْعَجَائِزَ، وَ عَبْدَ اللهَ بْنَ الزُبَيْرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اسْتَاْجَرَ عَجُوْزًا لِتُمَرِّضَهُ, و َكَانَتْ تَغْمِزُ رِجْلَيْهِ وَ تَفْلِى رَأْسَهُ.
Artinya:
Dan (keharaman) ini (berlaku) bila perempuan tersebut adalah seorang gadis yang masih menarik selera. Adapun bila ia adalah seorang perempuan tua yang sudah tidak digairahi lagi, maka tidak mengapa untuk dijabat tangannya atau disentuh tangannya, karena ketiadaan rasa khawatir dari (timbulnya) fitnah. Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakr ra. memasukkan (mempersilakan masuk ke dalam tempat tinggalnya) sebagian kabilah yang dahulu dia disusukan pada mereka, dan beliau menjabati tangan para perempuan tua. Sedang ‘Abdullah bin Zubair ra. menjadikan seorang perempuan tua sebagai pembantu untuk merawatnya ketika sakit. Dan ia (pembantu itu) memijat kedua kakinya dan membersihkan kepalanya dari kutu.


BAB VI
ANALISIS
Analisis ini terdiri dari tiga bahasan, yaitu analisis ayat-ayat, analisis hadits-hadits, dan analisis pendapat ulama’ tentang masalah jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi.
1. Analisis Ayat-Ayat yang Berkaitan dengan Masalah Jabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
1.1 Analisis Surat Al-Isra’ (17): 32

Lafal ayat ini adalah:
﴿وَلاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً قلى وَ سَآءَ سَبِيْلاً﴾.
Mufassirin (al-Qurthubi, ash-Shabuni, dan al-Jaza-iri) menafsirkan lafal لاَ تَقْرَبُوْا الزِّنَا dengan لاَ تَدْنُوا مِنَ الزِّنَا . Kata تَدْنُوا berasal dari isim mashdar دُنُوٌّ yang artinya ضِدُّ الْبُعْدِ (: kebalikan “jauh”), yaitu “dekat”. Jadi, لاَ تَدْنُوا مِنَ الزِّنَا artinya: “Janganlah kalian mendekati zina!”
Sedang yang dimaksud dengan “mendekati zina” adalah melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang melakukan zina, sebagaimana pernyataan mufassirin dalam menerangkan kalimat tersebut, yaitu:
... بِمُبَاشَرَةِ مُقَدِّمَاتِهِ.
Artinya:
(Yaitu) dengan (cara) melakukan pendahuluan-pendahuluannya (Pendahuluan-pendahuluan zina).
... بِمُبَاشَرَةِ مَبَادِيْهِ الْقَرِيْبَةِ أَوِ الْبَعِيْدَةِ.
Artinya:
… (yaitu) dengan cara melakukan permulaan-permulaannya, (baik) yang dekat atau yang jauh.
... إِتْيَانُ الْمُقَدِّمَاتِ مِنَ الْقُبْلَةِ وَ الْغَمْزَةِ وَ النَّظَرِ بِالشَّهْوَةِ.
Artinya:
… (yaitu) melakukan pendahuluan-pendahuluan (zina), berupa ciuman, rabaan, atau melihat dengan (disertai) syahwat.
... بِالْعَزْمِ وَ اْلإِتْيَانِ بِالْمُقَدِّمَاتِ.
Artinya:
… (yaitu) dengan (cara) bertekad (untuk berzina) atau melakukan pendahuluan-pendahuluan(nya).
... بِمُبَاشَرَةِ أَسْبَابِهِ وَ دَوَاعِيْهِ.
Artinya:
… (yaitu) dengan (cara) melakukan penyebab-penyebab dan pemicu-pemicunya.
... مُقَدِّمَاتِ الزِّنَا كَاللَّمْسِ وَ الْقُبْلَةِ وَ النَّظْرَةِ وَ الْغَمْزِ وَ غَيْرِ ذلِكَ مِمَّا يَجُرُّ إِلَى الزِّنَا.
Artinya:
… (yaitu) pendahuluan-pendahuluan zina, seperti menyentuh, mencium, meraba, dan selain itu yang berupa hal-hal yang dapat menyeret (seseorang) kepada perbuatan zina.

Pernyataan bahwa menyentuh perempuan ajnabi itu termasuk mendekati zina, dapat diterima berdasarkan hadits shahih dari Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih bahwa zina tangan itu menyentuh, dan bahwa zina tangan tersebut dapat saja berlanjut dengan zina kemaluan . Na’udzu billahi min dzalika wa ikhwanih. Artinya, bisa saja seorang lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi, bangkit syahwatnya karena merasakan kenikmatan dalam persentuhan tersebut, lalu menghendaki zina yang lebih besar daripada zina sentuhan tangan, yaitu zina kemaluan. Dengan kata lain, zina tangan itu dapat menjadi perantara dilakukannya zina kemaluan. Sesuatu yang dapat menghantarkan kepada perkara yang haram (seperti zina), sangatlah pantas untuk diharamkan pula. Sebuah kaidah dalam ushul fiqih menyatakan:
اَلذَّرِيْعَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ.
“Perantara kepada keharaman itu haram (pula)”.
Mufassirin seperti As-Suyuthi, Ash-Shabuni, dan Al-Jaza-iri menyatakan, bahwa larangan mendekati zina ini, tentu saja berarti pula larangan melakukan zina itu sendiri . Pernyataan ini sangat logis, sehingga dapat diterima. Wallahu a’lam.

1.3 Surat an-Nur (24): 30
Ayat ini digunakan oleh ulama’ (seperti A. Hassan) untuk mengharamkan jabat tangan antara lelaki dengan perempuan ajnabi, dengan pertimbangan bahwa apabila memandang perempuan ajnabi tidak boleh, maka berjabat tangan dengannya tentu lebih tidak boleh . Menurut penulis, pertimbangan ini logis, sebab sentuhan terhadap suatu anggota badan perempuan itu tentu saja lebih kuat pengaruhnya terhadap lelaki daripada sekedar memandang anggota badan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asy-Syanqithi yang menegaskan bahwa itu sudah maklum menurut orang yang dapat menilai sesuatu secara adil . Hal ini pun juga sesuai dengan jalan berpikir ulama’ madzhab Syafi’i, ketika mereka membedakan antara keluarnya sperma lelaki karena memandang perempuan, dengan keluarnya sperma yang disebabkan menyentuh perempuan. Mereka berkata:
وَ كَذَا اْلأِنْزَالُ بِسَبَبِ تَقْبِيْلٍ أَوْ لَمْسٍ أَوْ نَحْوِ ذلِكَ فَإِنَّهُ يُفْسِدُ الصَّوْمَ وَ يُوْجِبُ الْقَضَاءَ فَقَطْ. أَمَّا اْلأِنْزَالُ بِسَبَبِ النَّظَرِ أَوِ الْفِكْرِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ عَادَةٍ لَهُ فَإِنَّهُ لاَ يُفْسِدُ الصَّوْمَ كَاْلإِحْتِلاَمِ.
Artinya:
Demikian juga keluar sperma dengan sebab mencium, menyentuh, dan sebagainya, maka (hal) itu merusak (membatalkan) puasa dan mengharuskan (dilakukannya) mengganti (puasa yang batal itu) saja. Adapun keluar sperma dengan sebab memandang atau memikirkan, bila hal itu bukan merupakan hal yang biasa (terjadi) pada diri(nya), maka itu tidak merusak puasanya, seperti (keluarnya sperma yang disebabkan) mimpi basah.

Pembedaan antara menyentuh dengan melihat ini, mengisyaratkan bahwa derajat kedua hal itu tidak sama. Menyentuh dikatakan membatalkan puasa, sedang memandang tidak. Itu karena menyentuh suatu anggota badan perempuan lebih merangsang syahwat daripada memandang anggota badan tersebut, sehingga menyentuh lebih mudah menyebabkan keluarnya sperma daripada memandang. Karena itu, sudah sepantasnyalah bahwa puasa seseorang dinyatakan batal bila spermanya keluar gara-gara menyentuh perempuan, sebab seakan-akan ia bersengaja dalam keluarnya sperma tersebut, yaitu dengan cara menyentuh perempuan. Wallahu Ta’ala a’lam.

2. Analisis Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Masalah Berjabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
2.1 Analisis Hadits Abu Hurairah Ra. Tentang Beberapa Macam Zina
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih ini, Rasulullah saw. bersabda: وَ الْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ (: “Tangan itu zinanya adalah menyentuh”). Ulama’ menyatakan bahwa contoh zina tangan adalah menyentuh/memegang perempuan .
Menurut bahasa, berzina itu artinya فَجَرَ (: melakukan kemesuman/kemaksiatan ). Jadi, maksud hadits di atas adalah bahwa kemesuman/kemaksiatan yang dilakukan dengan tangan itu berupa menyentuh. Berdasarkan ini, tepatlah contoh zina tangan yang dikemukakan oleh ulama’ tadi, yaitu berbuat suatu kemesuman terhadap lawan jenis yang berupa menyentuh perempuan.
Karena berjabat tangan itu termasuk penyentuhan, maka tampak jelaslah hubungan antara lafal hadits di atas dengan masalah jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi, yaitu bahwa menyentuh perempuan yang merupakan kemaksiatan (karena dilarang dalam al-Isra’ ayat 32 yang lalu) itu dianggap sebagai zina tangan.
Dinamakannya menyentuh tersebut dengan zina (zina tangan), mengisyaratkan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. Sebab, zina adalah suatu kemaksiatan yang sudah barang tentu tidak boleh diperbuat. Hal ini sejalan dengan pemikiran asy-Syanqithi yang menyatakan bahwa pemberian nama “zina” untuk perbutan melihat sesuatu yang tidak halal untuk dilihat, menunujukkan haramnya perbuatan tersebut .
Hadits ini shahih, sehingga dapat dijadikan sebagai dalil bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu tidak boleh. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

2.2 Hadits Ma'qil Bin Yasar Ra. tentang Siksaan Untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
((َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ))
Adanya siksa bagi orang yang menyentuh lawan jenisnya yang ajnabi –sebagaimana difaham dari hadits ini- menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah suatu kemaksiatan. Sebab Allah SWT. –sebagaimana telah dimaklumi- tidak akan menyiksa seseorang kecuali karena kemaksiatan yang ia lakukan.
Adapun hubungan hadits ini dengan masalah jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi sangatlah jelas, yaitu bahwa jabat tangan termasuk penyentuhan. Jadi, hadits ini berisi ancaman siksa bagi orang yang menjabat tangan lawan jenisnya, yaitu lawan jenis yang bukan mahramnya. Adapun lawan jenis yang mahram, karena ia halal disentuh, maka tidak termasuk dalam pembicaraan ini, sebagaimana diketahui dari lafal لاَ تَحِلُّ لَهُ dalam hadits ini.
Hadits ini hasan, sehingga dapat dijadikan sebagai dalil bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu tidak boleh. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

2.3 Analisis Hadits 'Aisyah Ra. tentang Bai’at Rasulullah Saw. dengan Para Perempuan
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلاَمِ … وَ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم يَدَ امْرَأَةٍ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا.
Dari ucapan ‘Aisyah ra. dalam hadits muttafaqun ‘alaih di atas, difaham bahwa Nabi saw. membai’at perempuan hanya secara lisan, dan bahwa tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuan pun selain istri, anak, atau budak beliau.
Telah dimaklumi bahwa jabat tangan adalah sesuatu yang biasa dilakukan dalam bai’at. Namun demikian, ternyata Nabi saw. tidak melakukannnya bila yang membai’at adalah perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini.
Dari hal itu dapat diambil kesimpulan bahwa jabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu tidak disyari’atkan, sekalipun dalam even-even yang biasanya dilakukan jabat tangan, seperti bai’at. Karena itu, dalam even-even selain bai’at yang juga biasa terjadi jabat tangan padanya, seperti ketika bertemu, berkunjung, menjenguk pasien, dan lain-lain, hendaklah lelaki tidak berjabat tangan dengan perempuan ajnabi.
Jadi, hadits muttafaqun ‘alaih ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu tidak boleh. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

2.4 Analisis Hadits Ibrahim an-Nakha'i tentang Berjabat Tangan Rasulullah Saw. dengan Para Perempuan dalam Bai’at
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصَافِحُ النِّسَاءَ وَ عَلَى يَدِهِ ثَوْبٌ0
Hadits ini menunjukkan bahwa lelaki boleh berjabat tangan dengan perempuan ajnabi bila terdapat kain yang menghalangi persentuhan langsung antara kedua telapak tangan mereka. Namun karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Andaipun hadits ini dianggap hasan lighairihi karena adanya hadits-hadits lain yang semakna, tetaplah tidak dapat dijadikan sebagai dalil, karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih, yaitu riwayat Al-Bukhari yang menegaskan dengan jelas bahwa Nabi saw bersabda ketika bai’at, “Aku tidak berjabat tangan dengan perempuan”. Tentang tidak berjabat tangan beliau ini lebih dipertegas lagi dengan hadits lain bahwa beliau bersabda قَدْ بَايَعْتُكُنَّ كَلاَماً (: Aku telah membai’at kalian dengan ucapan) yang diterangkan oleh Ibnu Hajar sebagai berikut:
أَىْ يَقُوْلُ ذلِكَ كَلاَماً فَقَطْ لاَ مُصَافَحَةً بِالْيَدِ.
(: Maksudnya, beliau mengucapkan (perkataan) itu secara lisan saja, tidak (disertai) dengan berjabat tangan).

Jadi, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa berjabat tangan lelaki dengan perempuan ajnabi itu boleh asalkan tidak dengan bersentuhan langsung antar kulit. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

2.5 Analisis Hadits Asma' Binti Yazid Ra. tentang Bai’at Rasulullah Saw. Terhadap Para Perempuan
Dalam hadits yang dla’if ini disebutkan bahwa Asma’ ra. berkata kepada Nabi saw. ketika bai’at: أَلاَ تَحْسُرُ لَنَا عَنْ يَدِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ (: Tidak-kah Anda singkap saja (kain itu) dari tanganmu wahai Rasulullah?), yang dapat menimbulkan faham bahwa Nabi saw. ketika itu menjabat tangan para perempuan dengan berlapiskan kain pada tangan, sehingga Asma’ ra. menanyakan apakah kain itu tidak disingkap saja.
Karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk membolehkan jabat tangan antar lawan jenis yang ajnabi dengan tangan yang berlapis kain. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

2.6 Analisis Hadits Abu Umamah Ra. tentang Keburukan Berdesakan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi
Dalam hadits yang menerangkan buruknya berdesakan dengan lawan jenis yang ajnabi disebutkan:
وَلَيَزْحَمُ رَجُلٌ خِنْزِيْرًا مُتَلَطِّخًا بَطِيْنٍ أَوْ حَمْأَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَزْحَمَ مَنْكِبُهُ مَنْكِبَ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ.
Dalam berdesakan terjadi persentuhan. Ini menunjukkan bahwa bersentuhan dengan lawan jenis itu buruk. Berangkat dari pemikiran ini, dapat dinyatakan bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis adalah suatu keburukan, sebab termasuk persentuhan.
Namun karena hadits ini dla’if, maka tidak dapat dijadikan hujah untuk menunjukkan buruknya bersentuhan (termasuk jabat tangan) dengan lawan jenis yang ajnabi. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
2.7 Analisis Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariya Ra. tentang Pedihnya Siksaan Untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
((َلأَنْ يُقْرَعَ الرَّجُلُ قَرْعًا يَخْلُصُ الْقَرْعُ إِلَى عَظْمِ رَأْسِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ تَضَعَ امْرَأَةٌ يَدَهَا عَلَى سَاعِدِهِ, لاَ تَحِلُّ لَهُ)).
Hadits dla’if ini menunjukkan beratnya siksa bagi lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi. Perlu diingat bahwa selain hadits ini, terdapat hadits Ma’qil bin Yasar ra. , yang juga menunjukkan beratnya siksa bagi lelaki yang menyentuh perempuan, yang berderajat hasan. Maka, keputusan tentang adanya siksa yang berat tersebut adalah benar dan dapat diterima. Hanya saja perlu dimengerti bahwa keputusan ini didasarkan pada hadits Ma’qil ra. yang berderajat hasan, bukan hadits ‘Abdullah bin Abu Zakariyya ra. yang dla’if ini. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

2.8 Analisis Hadits Anas bin Malik Ra. tentang Budak Perempuan Penduduk Madinah
كَانَتِ اْلأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَائَتْ.
Hadits shahih ini dapat memberikan dua pengertian yang berbeda, tergantung bagaimana memahami lafal تَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ pada hadits ini.
Terdapat perbedaan pendapat dalam memahami lafal di atas. Dr. al-Qaradlawi mengartikannya dengan “memegang tangan Rasulullah” . Pengartian ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kamus bahasa Arab, bahwa salah satu arti أَخَذَ adalah أَمْسَكَ (: memegang ). Jadi, arti “memegang” untuk kata تَأْخُذُ adalah arti asal/arti hakiki.
Sedang Ibnu Hajar dalam menerangkan maksud lafal tersebut mengatakan:
وَ التَّعْبِيْرُ بِاْلأَخْذِ بِالْيَدِ إِشَارَةٌ إِلَى غَايَةِ التَّصَرُّفِ, حَتىَّ لَوْ كَانَتْ حَاجَتُهَا خَارِجَ الْمَدِيْنَةِ وَ الْتَمَسَتْ مِنْهُ مُسَاعَدَتَهَا فِى تِلْكَ الْحَاجَةِ لَسَاعَدَ عَلَى ذلِكَ.
Artinya:
Penggunaan istilah اْلأَخْذِ بِالْيَدِ (itu untuk) menunjukkan puncak tindakan, sehingga meskipun keperluan budak perempuan itu (harus diselesaikan) di luar Madinah, dan ia meminta beliau supaya membantunya dalam keperluan tersebut, sungguh pastilah beliau (mau) membantu untuk (menyelesaikan)nya.

Al-Kirmani menyatakan hal senada dengan keterangan di atas .
Ringkasnya, maksud تَأْخُذُ بِيَدِ رَسُوْلِ اللهِ menurut keterangan di atas, bahwa budak perempuan itu meminta bantuan Nabi saw. untuk menyelesaikan keperluannya. Pengartian ini, karena tidak menggunakan arti asal lafal tersebut, bisa disebut dengan arti majasi.
Dalam kaidah ushul fiqih disebutkan:
الْحَقِيْقَةُ أَصْلٌ, فَمَهْمَا أَمْكَنَ لاَ يَصِحُّ الْعُدُوْلُ عَنْهُ.
“(Arti) hakikat itu (adalah arti yang) asal. Maka kapan saja (penggunaan arti hakikat itu) memungkinkan, tidak benar (untuk) dipalingkan darinya (kepada arti lain)”.
Jadi, mengartikan sesuatu dengan arti hakiki itu didahulukan daripada arti majasi, kecuali bila penggunaan arti hakiki tidak memungkinkan. Menurut penulis تَأْخُذُ بِيَدِ tidak bisa diartikan dengan arti hakikinya (yaitu memegang tangan), karena dua pertimbangan:
1. Bilaتَأْخُذُ diartikan secara hakiki, berarti Nabi saw. membiarkan budak perempuan penduduk Madinah memegang tangan beliau. Hal ini bertolak belakang dengan penolakan beliau atas permintaan para wanita untuk berjabat tangan dengan mereka dalam bai’at . Juga bertentangan dengan keumuman ucapan 'Aisyah ra.: “Sama sekali tangan beliau tidak menyentuh tangan seorang perempuan pun selain perempuan yang beliau miliki” .
2. Bila تَأْخُذُ diartikan secara hakiki, maka lafal “beliau tidak mencabut tangan beliau dari tangannya hingga ia mengajak beliau pergi ke mana saja ia mau” membuahkan faham bahwa tangan Nabi saw. tetap dipegang oleh budak perempuan sepanjang perjalanan menuju ke tempat yang dituju. Lafal “… kemana saja ia mau” bila maksudnya adalah pasar, berarti sepanjang perjalanan menuju ke pasar, Nabi saw. tidak melepas tangan beliau dari pegangan budak perempuan itu. Logiskah hal itu? Menurut penulis sama sekali tidak, bahkan itu adalah suatu hal yang amat ganjil dan lucu. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
2.9 Analisis Hadits Anas Bin Malik Ra. tentang Persentuhan Antara Rasulullah saw. dengan Ummu Haram Ra.
Hadits shahih ini dengan tegas menceritakan bahwa Nabi saw. bersentuhan dengan Ummu Haram ra., yaitu ketika kepala beliau ditelisik oleh Ummu Haram ra. ini. Tentang Ummu Haram ra., diperselisihkan oleh ulama’. Bila ia termasuk mahram Nabi saw, maka tidak ada masalah yang perlu dibahas dalam hal ini. Namun bila tidak, tentu timbul pertanyaan, “Kenapakah Nabi saw. bersentuhan dengannya?”
Pendapat bahwa Ummu Haram ra. termasuk mahram, ditolak oleh ad-Dimyathi karena tidak sesuai dengan kenyataan. Adapun pertanyaan yang timbul di atas, terjawab oleh pendapat Ibnu Hajar bahwa hal itu merupakan suatu kekhususan bagi Nabi saw.. Pendapat ini ditolak oleh al-Qadli ‘Iyadl dengan argumen bahwa kekhususan bagi Nabi saw. tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang mengandung unsur kemungkinan. Penolakan ini disangkal oleh Ibnu Hajar dengan menegaskan bahwa pendapat yang ia pilih tersebut tidak dapat ditolak dengan argumen seperti itu, karena dalil bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi saw. amat jelas. Dr. al-Qaradlawi setelah mengutip ucapan Ibnu Hajar tersebut dalam buku fatwanya, berkomentar:
Namun saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?
Lalu beliau menetapkan suatu kesimpulan dari kejadian persentuhan tersebut bahwa:
Semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

Jawaban penulis terhadap ungkapan Dr. al-Qaradlawi di atas adalah:
تَقَرَّرَ فىِ اْلأُصُوْلِ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم إِذَا فَعَلَ فِعْلاً لَمْ يُصَاحِبْهُ دَلِيْلٌ خَاصٌّ يَدُلُّ عَلَى التَّـأَسِّى بِهِ فِيْهِ, كَانَ مُخَصَّصًا لَهُ عَنْ عُمُوْمِ الْقَوْلِ الشَّامِلِ لَهُ بِطَرِيْقِ الظُّهُوْرِ.
Artinya:
Telah menjadi keputusan dalam (ilmu) ushul (fiqih), bahwa Nabi saw. itu bila melakukan suatu perbuatan yang tidak disertai (adanya) dalil khusus yang menunjukkan diikutinya beliau dalam (melakukan perbuatan) itu, (berarti perbuatan) itu merupakan sesuatu yang dikhususkan untuk beliau dari keumuman ucapan (nash) yang secara lahir mencakup beliau.

Dalam hal ini, hadits Ma’qil ra. yang lalu (lihat hlm. 20) merupakan nash yang secara lahir mencakup beliau, yaitu beliau tercakup dalam kemumuman lafal:
((َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ))
(: “Sungguh bahwa kepala seorang lelaki di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada sentuhannya terhadap perempuan yang tidak halal untuknya”),
sebab beliau juga seorang lelaki. Sehingga, persentuhan antara Nabi saw. dengan Ummu Haram ra. secara lahir bertentangan dengan hadits ini. Karena itulah, sesuai keputusan ushul fiqih di atas, diperlukan adanya dalil khusus yang menunjukkan bahwa beliau tetap merupakan tauladan bagi umatnya dalam hal persentuhan tersebut. Namun, karena belum menemukan dalil khusus tersebut, penulis menetapkan bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi saw.. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

4. Analisis Pendapat Ulama’ tentang Berjabat Tangan Lelaki dengan Perempuan Ajnabi

Penulis membagi pendapat ulama' menjadi dua, yaitu pendapat pertama dan kedua.
Pendapat pertama menunjukkan bahwa persentuhan lelaki dengan perempuan itu haram dilakukan, dengan pernyataan yang bersifat umum, yaitu tanpa menyebutkan syarat keharaman. Dengan kata lain, tanpa membatasi keharamannya dengan suatu batasan apapun.
Ulama’ mempergunakan lafal yang berbeda-beda dalam menyampaikan pendapat di atas, seperti: مُحَرَّمَةٌ (diharamkan) , لاَ تَحِلُّ (tidak halal) , لاَ يَجُوْزُ (tidak boleh) , َمنْعٌ (larangan) , مَعْصِيَةٌ (maksiat) , atau مُنَافٍ ِلأَحْكَامِ الشَّرْعِ (bertentangan dengan hukum syara’) .
Pendapat kedua membatasi keharaman persentuhan tersebut dengan syarat yang berbeda-beda. Sebagian ulama’ membatasinya dengan syarat bila hal itu dilakukan dengan adanya syahwat pada salah satu pihak (apalagi pada kedua belah pihak). Sebagian yang lain membatasi keharaman tersebut pada wanoja/perempuan muda (sedang perempuan tua, diperbolehkan bagi lelaki untuk menyentuhnya), atau pada keadaan darurat (seperti: melakukan pengobatan, operasi, mencabut gigi, dan lain-lain ), atau bila salah satu dari kedua belah pihak menguatirkan terjadinya fitnah pada pihak yang lain (apalagi bila keduanya saling menguatirkannya).
Pendapat pertama, meskipun tanpa menyebutkan batasan keharaman, namun dapat diterima bila dinyatakan bahwa keadaan darurat yang mengharuskan terjadinya persentuhan itu merupakan perkecualian dari pendapat tersebut, sebagaimana diterangkan dalam kaidah ushul fiqih:
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ.
Artinya:
Keadaan darurat itu membolehkan (dilakukannya) perkara-perkara yang dilarang.

Pendapat pertama sesuai dengan dlahir hadits Ma’qil ra. yang telah lalu, yaitu:
((َلأَنْ يُطْعَنَ فِى رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ)).
Pada hadits tersebut, lafal يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ (: “menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya”) bersifat umum; tanpa penjelasan tentang “menyentuh” atau tentang “perempuan”, sehingga berdasarkan keumumumannya tersebut dapat difaham bahwa menyentuh perempuan itu menjadikan seorang lelaki berhak mendapatkan siksa Allah SWT., baik persentuhan tersebut dilakukan dengan bersyahwat maupun tidak, dengan perempuan ajnabi muda maupun tua, dalam bai’at atau selainnya, dengan melapiskan kain pada tangan maupaun tidak, dan seterusnya. Dalam hal ini penulis belum mendapatkan dalil yang membatasi keumumannya ini. Tentu saja selain keadaan darurat, sebagaimana diterangkan di muka.
Adapun pendapat kedua, bertentangan dengan dlahir hadits Ma’qil ra. di atas. Membatasi keharaman menyentuh lawan jenis dengan syarat “adanya syahwat”, “kekuatiran terjadinya fitnah”, atau dengan batasan-batasan lainnya, berarti telah memalingkan dlahir hadits Ma’qil ra. di atas. Penulis belum mendapatkan dalil yang dapat dijadikan hujah untuk memalingkan kedlahiran tersebut, sehingga tidak menerima pendapat kedua ini.
Dalam membatasi keumuman persentuhan yang terlarang di atas dengan “adanya syahwat”, Hasbi ash-Shiddiqi berhujah bahwa pandangan antar lawan jenis yang dilarang pada surat an-Nur (24): 30 adalah pandangan yang dilakukan dengan disertai syahwat, sehingga persentuhan antar lawan jenis yang dapat difaham keterlarangannya dari ayat tersebut adalah persentuhan yang dilakukan dengan disertai syahwat pula . Dasar ini tidak dapat diterima, mengingat adanya hadits shahih berikut:
قَالَ جَرِيرٌ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ, فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي.
Artinya:
Jarir berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau pun menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.

Pandangan secara tiba-tiba yang sudah barang tentu dilakukan tanpa sengaja dan tidak karena bersyahwat dilarang oleh Nabi  untuk diteruskan. Jadi, meski pandangan tersebut tidak disertai dengan syahwat, tetaplah tidak boleh dilakukan bila tidak diperlukan.
Sedangkan dalil yang dijadikan dasar untuk membatasi keharaman jabat tangan tersebut pada wanoja saja, adalah hadits mauquf yang menceritakan bahwa Abu Bakr Ra. menjabati tangan para perempuan lanjut usia, serta hadits mauquf lainnya tentang ‘Abdullah bin Zubair Ra. yang menjadikan seorang perempuan tua sebagai pembantu yang merawatnya di kala sakit, menyelisik kepala dan memijatnya.
Kedua riwayat di atas hanya penulis dapatkan pada sebuah kitab fiqih yang tidak menyertakan sanadnya maupun derajatnya, sehingga penulis tidak mempergunakannya sebagai dalil untuk membolehkan jabat tangan antara lelaki dengan perempuan ajnabi lanjut usia. Bila pun kedua riwayat tersebut diketahui sebagai riwayat yang shahih atau hasan, maka yang boleh dijadikan sebagai dalil hanyalah perbuatan Abu Bakr Ra. saja, berdasarkan sabda Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits shahih:
(عَنِ) الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ (قَالَ: قَالَ) رَسُولُ ِ صلى الله عليه و سلم: ((عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ)).
Artinya:
(Dari) ‘Irbadl bin Sariyah, (dia berkata: Rasulullah saw. bersabda:) “Hendaklah kalian melazimi sunnahku dan sunnah para khalifah(ku) yang memberi dan mendapatkan petunjuk! Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian!”

Adapun dalil yang dijadikan dasar untuk membatasi dengan “kekhawatiran terjadinya fitnah pada salah satu dari kedua belah pihak yang melakukan jabat tangan”, tidak penulis dapatkan sepanjang penelitian, sehingga faham ini tidak penulis terima.
Berangkat dari semua pengertian yang telah penulis uraikan di atas, penulis berpendapat bahwa berjabat tangan antara lelaki dengan perempuan ajnabi itu haram, baik dilakukan dengan persentuhan antar kulit secara langsung maupun tidak, baik dilakukan dengan wanoja maupun perempuan tua, dan baik dilakukan dalam keadaan mengkhawatirkan terjadinya fitnah sebagaimana disebut-sebut oleh sebagian ulama’ maupun tidak mengkhawatirkannya. Wallahu Ta’ala a’lam, wa ‘ilmu-Hu atamm. Walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.



BAB VII
PENUTUP
Berdasarkan uraian data-data berupa dalil-dalil dan pendapat ulama’ serta analisa data-data tersebut, maka penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kesimpulan
1.1 Lelaki tidak boleh bersentuhan dengan perempuan ajnabi, kecuali pada keadaan-keadaan yang mengharuskan terjadinya persentuhan tersebut.
1.2 Lelaki yang menyentuh perempuan ajnabi itu berhak mendapat siksa yang lebih pedih daripada penusukan kepala dengan jarum besi.
1.3 Berjabat tangan tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk membolehkan terjadinya persentuhan antar lawan jenis yang ajnabi.
1.4 Tidak ada dalil shahih bahwa larangan menyentuh lawan jenis yang ajnabi itu dibatasi dengan adanya syahwat, atau dibatasi pada perempuan tua, atau dibatasi dengan adanya kekhuatiran akan terjadi fitnah dalam persentuhan tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam wa ‘ilmu-Hu atamm. Walahamdu lillahilladzi fadldlalana ‘ala katsirin min ‘ibadiil mukminin.
2. Saran-Saran
Berkaitan dengan masalah berjabat tangan antar lawan jenis yang ajnabi, penulis menyampaikan beberapa saran berikut:
Lelaki muslim dan perempuan muslimah jangan sekali-kali berjabat tangan dengan lawan jenis yang ajnabi, baik dia itu berusia tua atau muda.
Lelaki muslim dan perempuan muslimah bila diajak berjabat tangan oleh lawan jenis yang ajnabi, hendaklah menolaknya dengan halus, disertai penjelasan yang enak didengar bahwa hal itu tidak boleh dilakukan, karena pelakunya akan disiksa oleh Alloh SWT.
Hendaklah Nabi Muhammad saw. dijadikan sebagai teladan dalam hal tidak berjabat tangan dengan perempuan ajnabi.



3. Kata Penutup
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ .
. اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ.
سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ, سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ, أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ.



BIBLIOGRAFI

I. Kitab Istimewa:

1. Allah , Al-Qur’an Al-Karim, 30 juz.

II. Kelompok Kitab Tafsir Al-Qur’an:

2. A. Hassan , Hasan bin Ahmad, al-Furqan, Cet. II, Penerbit al-Ikhwan, Surabaya, 1988 M., LIII + 1240 halaman.

3. Al-Alusi, Abu al-Fadll Mahmud al-Alusi al-Baghdadi al-‘Allamah Syihabuddin as-Sayyid, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim wa as-Sab’ al-Matsani, Cet. I, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 1415 H./1994 M., 15 jilid.

4. Al-Baghawi , Abu Muhammad al-Husain bin Mahmud al-Farra’, Ma’alim at-Tanzil fi at-Tafsir wa at-Ta’wil (Tafsir al-Baghawi), Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1405 H./1985 M., jilid.

5. Al-Brussawi , Isma’il Haqqi, Ruh al-Bayan, Tanpa nomor cetakan, Dar-al-Fikr, Beirut, Tanpa tahun, jilid.

6. Al-Fairuz Abadi , Abu Thahir bin Ya’qub, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni ‘Abbas, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 528 halaman.

7. Al-Mahalli dan As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad dan Jalaluddin ‘Abdur-Rahman, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim (Tafsir Al-Jalalain), Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa tahun, 518 halaman.

8. Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, Tanpa nomor cetakan, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa tahun, 10 jilid.

9. Al-Qurthubi, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (Tafsir Al-Qurthubi), Tanpa nomor cetakan, 1414 H./1994 M., Dar Al-Fikr, Beirut-Lebanon, 11 jilid.

10. An-Nasafi, ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi al-Imam, Madarik at-tanzil wa Haqa-iq at-Ta’wil (Tafsir an-Nasafi), Cet. I, 1415H./1995 M., Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2 jilid.

11. Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali al-Ustadz bi Kulliyah asy-Syari’ah, Rawa-i’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 2 jilid.

12. Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali al-Ustadz bi Kulliyah asy-Syari’ah, Shafwah at-Tafasir, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1410 H., 3 jilid.
13. Asy-Syanqithi, Muhammad al-Amin, Adlwa’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an, Cet. I,Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 1417 H., 10 jilid.

14. Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Yamani ash-Shan’ani al-Qadli al-Hafidz adl-Dlabith al-Muhaddits al-Mufassir asy-Syahir, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fannai ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘Ilm at-Tafsir, Tanpa nomor cetakan, Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, Mesir, 1350 H., 5 jilid.

15. Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil aay Al-Qur’an (Tafsir ath-Thabari), Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1408 H., 15 jilid.

16. Ath-Thabathaba-i, Muhammad Husain Ath-Thabathaba-i, Al-‘Allamah As-Sayyid, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, Tanpa nomor cetakan, Mu-assasah Al-A’lami li al-Mathbu’at, Beirut, 1411 H., jilid.

17. Az-Zuhaili, Wuhbah/Wahbah az-Zuhaili, Al-Ustadz Ad-Duktur, Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Cet. I, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1410 H./1990 M., 16 jilid.

18. Salim Bahreisy, H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Cet. I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1991, 9 jilid.

19. Ibnu Katsir, Isma’il bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim (Tafsir Ibni Katsir), Syirkah an-Nur Asia, Tanpa kota, Tanpa tahun, 4 jilid.

20. Rasyid Ridla, Muhammad Rasyid Ridla as-Sayyid Munsyi’ al-Mannar, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Mannar), Cet. II, Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa tahun, 11 jilid.

21. Sayyid Quthb, Fi Dzilal Al-Qur’an, Dar asy-Syuruq, Beirut, 1402 H., 6 jilid.

22. Thanthawi Jauhari, al-Ustadz al-Hakim as-Syaikh, al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim al-Musytamil ‘ala ‘Aja-ib Bada-i’ al-Mukawwanat wa Ghara-ib al-Ayat al-Bahirat, Cet. II, Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, Mesir, 1350 H., 13 jilid.

III. Kelompok Kitab Hadits:

23. ‘Abdur-Razzaq, Abu Bakr ‘Abdur-Razzaq bin Hammam ash-Shan’ani, al-Hafidz al-Kabir, al-Mushannaf, Cet. I, al-Majlis al-‘Ilmi, Johannesburg, 1390 H., 11 jilid.

24. Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani al-Azdi, al-Imam al-Hafidz al-Mushannif al-Mutqin, As-Sunan, Tanpa nomor cetak, Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, Tanpa kota, Tanpa tahun, 2 jilid.

25. Abu Nu’aim, Ahmad bin ‘Abdillah al-Asfahani al-Hafidz, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Tanpa nomor cetak, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 11 jilid.

26. Ad-Dailami, Abu Syuja’ Syirawaih bin Syahradar bin Syirawaih ad-dailami al-Hamdzani Ilkiya, al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab (Musnad al-Firdaus), Cet. I, Dar al-Baz ‘Abbas Ahmad al-Baz, Makkah al-Mukarramah, 1406 H./1986 M., 6 jilid.

27. Ad-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdir-Rahman bin Al-Fadll bin Bahran, Al-Imam al-Kabir, As-Sunan, Tanpa nomor cetakan, Dar Ihya’ as-Sunnah An-Nabawiyyah, Tanpa kota, Tanpa tahun, 2 jilid.

28. Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Abdillah Asy-Syaibani, Al-Musnad, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 6 jilid.

29. Al-Albani, Muhammad Nashirudddin, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (jilid kedua), Cet. IV, al-Maktab al-Islami, Tanpa kota, 1405 H., 836 halaman.

30. Al-Albani, Muhammad Nashirudddin, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (jilid ketiga), Cet. I, Dar as-Salafiyah, Kuwait, 1399 H., 517 halaman.

31. Al-Albani, Muhammad Nashirudddin, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (jilid keempat), Cet. II, Syirkah asy-Sarqi al-Ausath li ath-Thiba’ah, Tanpa kota, 1404 H., 766 halaman.

32. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imam al-Muhadditsin Al-Hafidz Al-Jalil, al-Jami’ al-Mushannaf fi Syu’ab al-Iman, Cet. I, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, Beirut-Lebanon, 1410 H., 9 jilid.

33. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, As-Sunan al-Kubra, Dar as-Shadir, Beirut, 1347 H., 10 jilid.

34. Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, Al-Imam, Al-Jami’ ash-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Umuri Rasulillahi Saw. Wa Sunanihi wa Ayyamihi (Shahih al-Bukhari), Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1414 H., 5 jilid.

35. Al-Haitsami, Nurudddin ‘Ali, Majma’ az-Zawa-id wa Manba’ al-Fawa-id, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut-Lebanon, 1408 H., 10 jilid.

36. Al-Hakim, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah An-Naisaburi, Al-Hafidz, Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun, 4 jilid.

37. Al-Humaidi,Abu Bakr ‘Abdullah bin az-Zubair al-Imam al-Hafidz al-Kabir, al-Musnad, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Baz li an-Nasyr wa at-Tauzi’ ‘Abbas Ahmad al-Baz, Marwa, Makkah al-Mukarramah, 2 jilid.

38. Al-Kandahlawi, Muhammad Yusuf, Hayat ash-Shahabah, Cet. II, Dar al-Qalam, Damaskus-Halbuni, 1403 H./1983 M., 3 jilid.
39. Al-Mundziri, Abu Muhammad Zakiyuddin bin ‘Abdil ‘Adzim bin ‘Abdil Qawi al-Mundziri al-Hafidz, at-Targhib wa at-Tarhib min al-Hadits asy-Syarif, Cet. III, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut-Lebanon, 1388 H./1968 M., 4 jilid.

40. An-Nasa-i, Abu ‘Abdir-Rahman Ahmad bin Syu’aib, As-Sunan, Cet. I, Toha Putra, Semarang, 1348 H./1930 M., 4 jilid.

41. As-Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdur-Rahman bin Abi Bakr al-Imam al-Hafidz Khadim as-Sunnah Qami’ al-Bid’ah, al-Jami’ ash-Shaghir min Kalam al-Basyir an-Nadzir,Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 208 halaman.

42. At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Al-Jami’ ash-Shahih (Sunan at-Tirmidzi), Cet. I, Mathba’ah Mushthafa, Tanpa kota, 1356 H./1937 M., 5 jilid.

43. Ath-Thabarani, Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Ausath, Cet. I, Maktabah al-Ma’arif, Riyadl, 1405, 1 + 11 jilid.

44. Ath-Thabarani, Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Ibni Taimiyyah, Kairo, Tanpa tahun, 25 jilid.

45. Ibnu Hajar, Abu al-Fadll Ahmad bin ‘Ali Al-‘Asqalani, Al-Hafidz, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Cet. II, Syirkah an-Nur Asia, Tanpa kota, Tanpa tahun, 352 halaman.

46. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, As-Sunan, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 2 jilid.

47. Ibnu Sa’d, Muhammad bin Sa’d bin Mani’ al-Hasyimi al-Bashri, ath-Thabaqat al-Kubra, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1418 H./1997 M., 9 jilid.

48. Malik, Anas, al-Muwaththa’, Cet I, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1408 H., 688 halaman.

49. Muslim, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi, Al-Imam, Al-Jami’ ash-Shahih (Shahih Muslim), Tanpa nomor cetakan, Maktabah Dahlan, Bandung, Tanpa tahun, 5 jilid.

50. Sa’id bin Manshur, Sa’id bin Manshur bin Syu’bah al-Khurasani al-Makki al-imam al-Hafidz, Sunan Sa’id Bin Manshur, Cet. I, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Makkah al-Mukarramah, 1405 H./1985 M., 2 jilid.

IV. Kelompok Kitab Syarah Hadits:

51. Al-Khin et.al., Musthafa Sa’id ad-Duktur et.al., Nuzhah al-Muttaqin , Cet. 21, Mu-assasah ar-Risalah, Beirut, 1414 H./1993 M., 2 jilid.

52. Abu ath-Thayyib Abadi, Muhammad Syams al-Haq Al-‘Adzim, Al-‘Allamah, ‘Aun al-Ma’bud, Cet. III, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1399 H./1979M., 13 jilid.
53. Al-‘Aini, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad, Badruddin, Asy-Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 12 jilid.

54. Al-Asy’ari, Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi asy-Syafi’I al-Asy’ari al-Makki, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadl ash-Shalihin, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut, tanpa Tahun, 4 jilid.

55. Al-Jaza-iri, Abu Bakr Jabir al-Wa’idz bi al-Masjid an-Nabawi asy-Syarif, Nahr al-Khair ‘ala Aisar at-Tafsir, Cet. III, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, Madinah al-Munawwarah-Kerajaan Arab Saudi, 1418 H./1997 M., jilid.

56. Al-Kandahlawi, Muhammad Zakariya, Aujaz al-Masalik Ila Muwaththa’ Malik, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1400 H./1980 M., 15 jilid.

57. Al-Kirmani, al-Kawakib ad-Darari, Cet. III, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut-Lebanon, 1405 H., 9 jilid.

58. Al-Mubarakfuri, Abu al-‘Ula Muhammad bin 'Abdir-Rahman bin ‘Abdir-Rahim, al-Imam al-Hafidz, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Turmudzi, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 10 jilid.

59. Al-Qasthallani, Syihabuddin, Irsyad as-Sari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 1416 H., 15 jilid.

60. An-Nawawi, Abu Zakariya bin Syaraf, Muhyidddin, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim Ibn Al-Hajjaj, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, 1401 H., 9 jilid.

61. As-Sa’ati, Ahmad ‘Abdurarhman al-Banna, Bulugh al-Amani min Asrar Fath ar-Rabbani, Tanpa nomor cetakan, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 6 jilid.

62. Ash-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il Al-Amir Al-Yamani, Subul as-Salam, Cet. I, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1411 H./1991 M., 4 jilid.

63. Ibnu al-‘Arabi, Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdillah al-Asybili al-Maliki al-Hafidz al-Qadli, ‘Aridlah al-Ahwadzi bi Syarh Shahih at-Tirmidzi, Tanpa nomor cetakan, Dar Umm al-Qura li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, Kairo, Tanpa tahun, 7 jilid.

64. Ibnu Hajar, Abu al-Fadll Ahmad bin ‘Ali Al-‘Asqalani, Al-Hafidz, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Tanpa nomor cetakan, Maktabah Salafiyah, Dar al-Fikr, Lebanon, Tanpa tahun, 12 jilid.

V. Kelompok Kitab Fiqih:

65. Al-Marghinani, ‘Ali bin Abi Bakr Burhanuddin Syaikh al-Islam, Al-Hidayah Syarh Bidayah al-Mubtadi (pada kolom pertama dari kitab Nata-ij al-Afkar fi Kasyf ar-Rumuz wa al-Asrar karya Qadli Zadah Afandi Qadli ‘Askar ar-Rumalilli), Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 10 jilid.

66. An-Nawawi, Abu Zakariya bin Syaraf, Muhyidddin, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 20 jilid.

67. Ar-Rumalilli, Ahmad bin Qaudar Qadli Zadah Afandi Qadli ‘Askar, Nata-ij al-Afkar fi Kasyf ar-Rumuz wa al-Asrar, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 3 jilid (sebagai jilid ke-8, 9, dan 10 setelah jilid ke-1 sampai 7 dari kitab Syarh Fath al-Qadir).

68. Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, Asy-Syaikh Al-Mujtahid Al-‘Allamah, Nail al-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Jil, Beirut-Lebanon, 1973 H., 4 jilid.

69. Ibnu Qudamah, Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad Al-Maqdisi Muwafiquddin, al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa tahun, 4 jilid.

70. Ibnu Taimiyah, Taqiyyuddin al-I mam al-‘Allamah, al-Fatawa/al-Fatawi al-Kubra, Cetakan 1, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, lebanon, 1408 H./1987 M., 6 jilid.

VI. Kelompok Kitab Ushul Fiqih:

72. ‘Abdul Hamid Hakim, as-Sullam, Tanpa nomor cetakan, al-Maktabah as-Sa’adiyah Putra, Jakarta, Tanpa tahun, 80 halaman.

73. ‘Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyyah, Tanpa nomor cetakan, Penerbit Sa’adiyah Putra, Jakarta, Padang Panjang, Tanpa tahun, 48 halaman.

73. Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali al-Imam al-Hafidz, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Kutub, Tanpa kota, Tanpa tahun, 2 jilid.

VII. Kelompok Kitab Rijal:

74. Ahmad bin ‘Abdillah, al-Khazraji al-Anshari al-Imam al-‘Allamah al-Hafidz Shafiyuddin, Khulashah Tadzhibi Tahdzib al-Kamal, Cet. III, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, Beirut, 1391 H./1971 M., 500 halaman.

75. Adz-Dzahabi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, Dar al-Ma’rifah, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 4 jilid.

76. Al-‘Uqaili, Abu Ja’far Muhammada bin ‘Amr bin Musa bin Hammad al-‘Uqaili al-Makki al-Hafidz, Kitab adl-Dlu’afa’ al-Kabir, Cet. II, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 1418 H./1998 M., 4 jilid.

77. Ibnu ‘Adiy, Abu Ahmad ‘Abdillah bin ‘Adiy al-Jarjani al-Imam al-Hafidz, al-Kamil fi Dlu’afa’ ar-Rijal, Cet. III, Dar al-Fikr, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1409 H./1988 M., 8 jilid.

77. Al-Mizzi , Abu al-Hajjaj Yusuf Jamaluddin al-Hafidz al-Mutqin, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, Cet. I, Mu-assasah ar-Risalah, Beirut, 1413 H./1992 M., 23 jilid.

78. Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani al-Imam al-Hafidz, al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Cet. I, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 1415 H/1995 M., 8 jilid.

79. Ibnu Hajar, Abu al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani Al-Hafidz Syihabuddin, Tahdzib at-Tahdzib, Cet. I, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1415 H./1995 M., 14 jilid.

80. Ibnu Hajar, Abu al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani Al-Hafidz Syihabuddin, Taqrib at-Tahdzib, Cet. I, Dar al-Fikr, Tanpa kota, 1415 H./1995 M., 2 jilid.

VIII. Kelompok Kitab Mushthalah Hadits (Ilmu Dirayatil Hadits):

81. Al-Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1409 H./1989 M., 491 halaman.

82. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Cet. IV, CV. Diponegoro, Bandung, 1990 M., 490 halaman.

83. At-Tirmisi, Muhammad Mahfudz bin ‘Abdillah, Manhaj Dzawi an-Nadhar Syarh Mandzumah ‘Ilm al-Atsar, Cet. III, Syirkah wa Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, Mesir, 1394 H./1974 M., 302 halaman.

84. Ath-Thahhan, Mahmud ad-Duktur, Taisir Mushthalah al-Hadits, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 200 halaman.

IX. Kelompok Kitab Kamus:

84. Al-Fairuuz Aabaadi, Majduddin Abu Thahir, al-Qamus al-Muhith, Cet. III, al-Mathba’ah al-Mishriyah, Tanpa kota, 1352 H., 4 jilid.

85. Ibnu al-Atsir , Majduddin Abu as-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, Cet. II, Dar al-Fikr, Tanpa kota, 1399 H./1979 M., 5 jilid.

86. Ibnu Mandzur, Muhammad bin al-Mukarram Al-Imam Al-‘Allamah, Lisan al-‘Arab al-Muhith, Cet. I, Dar Ihya’ at-Turats Al-‘Arabi, Beirut-Lebanon, 1408 H./1988 M., jilid.

87. Ibrahim Unais et. al, Al-Mu’jam al-Wasith, Cet. II, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 2 jilid.

88. Luwais Ma’luf, al-Ab al-Yasu’i, al-Munjid fi al-A’lam, Cet. X, Dar al-Masyriq, Beirut-Lebanon, Tanpa tahun, 799 + 39 halaman.

89. Luwais Ma’luf, al-Ab al-Yasu’i, al-Munjid fi al-Lughah, Cet. XXIV, al-Mathba’ah al-Katulikiyah, Beirut, 1980 M., ف + 1014 halaman.

90. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Cet. XIV, Pustaka Progressif, Surabaya, Tanpa tahun, 1591 halaman.

91. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cet. IV, Balai Pustaka, Jakarta, 1993 M., 1090 halaman.

X. Lain-Lain:

92. A. Hassan, Berjabatan Tangan Dengan Perempuan, Cet. I, Percetakan Persatuan, Bangil, 1405 H./1985 M., VIII + 59 halaman.

94. ‘Abdul ‘Aziz Dahlan et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. IV, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1997 M., 6 jilid.

95. ‘Abdul ‘Aziz Dahlan et. al, Ensiklopedi Islam, Cet. IV, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta,1997 M., 7 jilid.

96. ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Cet. III, Dar al-Salam, Syria, 1401 H./1981 M., 2 jilid.

97. Abdul Qadir Hassan, Kata Berjawab, Cet. I, Percetakan Persatuan, Bangil, 1984 M., 7 jilid.

98. Adz-Dzahabi, Muhammad Husain ad-Duktur, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Cetakan II, Dar al-Kutub al-Haditsah, Tanpa tempat penerbitan, 1396 H./1976 M., 2 jilid.

99. Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi ad-Duktur, Fiqh as-sirah , Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Tanpa kota, Tanpa tahun, 504 halaman.

99. Al-Jaza-iri, Abu Bakar Jabir, Minhaj al-Muslim fi al-‘Aqa-id wa al-‘Ibadat wa al-Mu’amalat, Tanpa nomor cetakan, Dar al-Fikr, Beirut-Lebanon, 1412 H., 2 jilid.

100. Al-Malibari, Zainuddin, Terjemah Irsyadul Ibad Panduan ke Jalan Kebenaran, (Diterjemahkan dari Irsyad al-‘Ibad ila Sabil ar-Rasyad oleh Drs. H. Moh. Zuhri Drpl. Tafl dan Drs. Ibnu Muchtar), Cet. X, CV. Asy-Syifa, Semarang, 1992 M., XIV dan 563 halaman.

101. Al-Qaradlawi, Yusuf, Dr., Fatwa-Fatwa Kontemporer (diterjemahkan dari Hadyu al-Islam Fatawi Mu’ashirah), Tanpa nomor cetakan, Gema Insani Press, Tanpa kota, Tanpa tahun, 2 jilid.

102. Tanpa nama penulis, Aqwal al-‘Ulama’ fi al-‘Ilm, Tanpa nomor cetakan, Tanpa nama penerbit, Tanpa kota, Tanpa tahun, hanya 13 halaman.

103 Munawaroh, Binti Sumarsam, Posisi Imam Wanita dalam Shalat Jama’ah, Tanpa nomor cetakan, Tanpa nama penerbit, Surakarta, 1425 H./2004 M.

104. Muthmainnah, Muthmainnah Fathur Rahman, Shalat Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at, Tanpa nomor cetakan, Tanpa nama penerbit, Surakarta, 1425 H./2004 M.

105. Badruzzaman, K.H. Ahmad Dimiathi, Drs., al-Hujaj al-Bayyinah 75 Soal-Jawab Tentang Islam, Tanpa nomor cetakan, Mutiara Ilmu, Surabaya, Tanpa tahun, 429 halaman.

106. Fu’ad Wafa, Wanita-Wanita Yang Terlarang Dinikahi, (diterjemahkan dari al-Muharramat min an-Nisa' oleh Salim Zemool), Cet. IV, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992, 75 halaman.

107. Ibnu Baaz et. al., ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz et. al. Fatwa-Fatwa tentang Memandang Berkhalwat dan Berbaurnya Pria dan Wanita (diterjemahkan dari Fatawi an-Nadzar wa al-Khalwah wa al-Ikhtilath), Cet. IV, at-Tibyan, Solo, 2000 M., 52 halaman.

108. Isma’il, Muhammad bin Isma'il, Berjabat Tangan dengan Perempuan (Diterjemahkan oleh H. Ahmad Danial Suhail dari Adillaltu Tahrimi Mushafahah al-Mar-ah al-Ajnabiyah), Cet. XV, Gema Insani Press, Jakarta, 1999 M., 63 halaman.

109. Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE, UII, Yogyakarta, 1997 M., 2 jilid.

110. Nawawi, Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi asy-Syaikh, Terjemah ‘Uqudulijen Membina Keharmonisan Suami-Istri (diterjemahkan dari Syarh ‘Uqud al-Lujain Fi Bayan Huquq az-Zaujain oleh Drs. M. Ali Chasan Umar), Cetakan I, CV. Toha Putra Semarang, Semarang, Indonesia, 1992, 92 halaman.

111. Sutrisno Hadi, Prof. Drs., MA, Metodologi Research, Cet. VII, Gama, Yogyakarta, 1986 M., ... halaman.

112. ‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Fadlilah asy-Syaikh, Ushul fi at-Tafsir, Cet. I, Maktabah as-Sunnah, Kairo, 1419 H./1999 M., 96 halaman.

113. Yayasan al-Hikmah, Terjemah Al-Qur’an Secara Lafzhiyah, Cet. I, Penerbit CV Tri Burnama Utama, Jakarta, 1407 H./1987 M., 30 jilid.

114. Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an, Al-Quraan dan Terjemahnya, Tanpa nomor cetakan, Pelita III, Tanpa kota, 1982/1983 M., 1123 halaman.

115. K, Dr. , Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, Cet., Pustaka, Ja, 1993 M.

116. Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. ketiga, al-‘Ashr al-Hadits, Tanpa nama kota, 1393 H./1973 M.

117. Khaulah, Binti ‘Abdil Qadir Darwisy, Bagaimana Muslimah Bergaul (diterjemahkan dari az-Ziyarah Bain an-Nisa’ ‘Ala Dlau’ al-Kitab wa as-Sunnah), Cet. IV, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 1993 M.

LAMPIRAN
DERAJAT HADITS-HADITS

1. Hadits Abu Hurairah ghafarallahu lahu wa ummih tentang Beberapa Macam Zina
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka sebagai hadits ushul , bukan syahid atau mutabi’ , yang berarti bahwa hadits ini shahih menurut mereka berdua. Hadits yang demikian ini disebut sebagai hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama .
2. Hadits Ma'qil Bin Yasar Ra. Tentang Siksaan Untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
Sanad hadits ini dalam Musnad ar-Ruyani sebagai berikut:
1. Nashr bin ‘Ali
2. Bapak Nashr bin ‘Ali
3. Syaddad bin Sa’id
4. Abul ‘Ala’
5. Ma’qil bin Yasar ra.
Kedudukan para perawi di atas sebagai berikut:
1. Nashr bin ‘Ali
Dia meriwayatkan dari bapaknya . Dia adalah perawi tsiqat .
2. Bapak Nashr bin ‘Ali
Namanya adalah ‘Ali bin Nashr, dia meriwayatkan dari Syaddad bin Sa’id . Dia adalah perawi tsiqat .
3. Syaddad bin Sa’id
Dia meriwayatkan dari Abu al-‘Ala’ . Dia adalah perawi shaduq yukhthi’ , demikian kata Ibnu Hajar. Sedang Al-Bukhari mengatakan: “Ia shaduq namun terdapat kekurangan pada hafalannya”. Adapun al-Qal’aji mengatakan bahwa ia shalih al-hadits . Shaduq, shaduq yukhthi’, dan shalih al-hadits termasuk martabat-martabat perawi hadits hasan.
4. Abu al-‘Ala’
Namanya adalah Yazid bin ‘Abdillah bin Syikhkhir al-Bashri . Dia meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra. . Dia adalah perawi tsiqat .
5. Ma’qil bin Yasar ra.
Dia adalah seorang shahabi.
Berdasarkan data di atas penulis setuju dengan pendapat al-Albani bahwa sanad hadits ini jayyid . Selanjutnya penulis memutuskan bahwa hadits ini hasan. Wallahu AWJ. A’lam wa ‘ilmu-Hu atamm.

3. Hadits 'Aisyah Ra. Tentang Pembai’atan Nabi Muhammad ass. Terhadap Para Perempuan
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka dari shahabi yang sama. Hadits yang demikian ini disebut dengan hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama .
4. Hadits Ibrahim an-Nakha'i Tentang Berjabat Tangan Nabi Muhammad ass. dengan Para Perempuan
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka dari shahabi yang sama. Hadits yang demikian ini disebut dengan hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama.
5. Hadits Asma' Binti Yazid Ra. Tentang Bai’at Antara Nabi Muhammad ass. Dengan Para Perempuan
Sanad hadits ini dalam Musnad Ahmad begini:
1. Hasyim bin al-Qasim
2. ‘Abdul Hamid
3. Syahr bin Hausyab
4. Asma’ binti Yazid ra.
Kedudukan para perawi di atas sebagai berikut (EMANG DUDUK DIMANA SICH MEREKA ?):
1. Hasyim bin al-Qasim
Dia adalah Hasyim bin al-Qasim bin Muslim bin Miqsam al-Laitsi yang terkenal dengan nama kun-yahnya yaitu Abu an-Nadlr . Dia meriwayatkan dari ‘Abdul Hamid . Dia adalah perawi tsiqat .
2. ‘Abdul Hamid
Dia adalah ‘Abdul Hamid bin Bahram al-Fazari al-Mada-ini, meriwayatkan dari Syahr bin Hausyab . Dia adalah perawi shaduq .
3. Syahr bin Hausyab
Dia adalah Syahr bin Hausyab al-Asy’ari asy-Syami, bekas budak Asma’ binti Yazid bin as-Sakan ra. . Dia meriwayatkan dari Asma’ ra. ini . Tentang kedudukannya, dia adalah perawi shaduq namun sering memursalkan hadits dan sering waham . Waham yang sering ini termasuk pokok-pokok penyebab tercelanya perawi atau tertolaknya riwayat darinya .
4. Asma’ binti Yazid ra.
Dia adalah seorang shahabiyah dari golongan Anshar .
Berdasarkan data di atas, penulis memutuskan bahwa hadits Asma’ ra. ini dla’if, karena di dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Wallahu AWJ. A’lam wa ‘ilmu-Hu atamm.

6. Hadits Abu Umamah Ra. Tentang Keburukan Berdesakan Antara Lelaki Dengan Perempuan Ajnabi
Sanad hadits ini dalam al-Mu’jam al-Ausath adalah:
1. Yahya
2. Sa’id
3. ‘Abdullah bin Zahr
4. ‘Ali bin Yazid
5. Al-Qasim
6. Abu Umamah ra.
Kedudukan para perawi di atas sebagai berikut:
1. Yahya
Dia adalah Yahya bin Ayyub bin Badi al-‘Allaf al-Khaulani, meriwayatkan dari Sa’id . Dia adalah perawi shaduq .
2. Sa’id bin Abi Maryam
Dia adalah Sa’id bin al-Hakam bin Muhammad bin Salim, yang terkenal dengan nama Ibnu Abi Maryam al-Jumahi, meriwayatkan dari ‘Ubaidullah bin Zahr . Dia adalah perawi tsiqat .
3. ‘Ubaidullah bin Zahr
Dia adalah Ubaidullah bin Zahr adl-Dlamri al-Ifriqi, meriwayatkan dari ‘Ali bin Yazid . Dia adalah perawi shaduq yukhthi’ .
4. ‘Ali bin Yazid
Dia adalah ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal al-Alhani ad-Dimasyqi, meriwayatkan dari al-Qasim, rekan Abu Umamah ra. . Dia adalah perawi dla’if .
5. Al-Qasim
Dia adalah al-Qasim bin ‘Abdir-Rahman asy-Syami Abu ‘Abdir-Rahman ad-Dimasyqi, meriwayatkan dari Abu Umamah ra. . Dia adalah perawi shaduq .
6. Abu Umamah ra.
Dia bernama Shuday bin ‘Ajlan al-Bahili, seorang shahabi tenar .
Berdasarkan data di atas penulis memutuskan bahwa hadits Abu Umamah ini dla’if, karena di dalam sanadnya ada ‘Ubaidullah bin Zahr. Wallahu AWJ. A’lam wa ‘ilmu-Hu atamm.

7. Hadits 'Abdullah Bin Abu Zakariya Tentang Pedihnya Siksaan Untuk Lelaki yang Menyentuh Perempuan Ajnabi
Sanad hadits ini dalam Sunan Sa’id bin Manshur adalah:
1. Sa’id
2. Husyaim
3. Dawud bin ‘Amr
4. ‘Abdullah bin Abi Zakariyya al-Khuza’i
Kedudukan para perawi di atas sebagai berikut:
1. Sa’id
Dia adalah Sa’id bin Sulaiman adl-Dlabbi Abu ‘Utsman al-Wasithi al-Bazzaz, yang terkenal dengan nama Sa’duwaih, meriwayatkan dari Husyaim . Dia adalah perawi tsiqat hafidz .
2. Husyaim
Dia adalah Husyaim bin Basyir bin al-Qasim bin Dinar as-Sulami Abu Mu’awiyah bin Abi Khazim al-Wasithi, perawi tsiqat tsabt yang sering melakukan tadlis dan irsal khafi . Dia meriwayatkan dari Dawud bin ‘Amr . Dia meriwayatkan hadits ini dengan lafal أَنْبَاَناَ.
3. Dawud bin ‘Amr
Dia adalah Dawud bin ‘Amr al-Audi Ad-Dimasyqi, perawi shaduq yukhthi’ yang meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Abi Zakariyya .
4. ‘Abdullah bin Abi Zakariyya al-Khuza’i
Dia seorang tabi’i pakar fiqih yang tsiqat . Dalam sanad ini dia meriwayatkan langsung dari Nabi Muhammad ass., jadi terdapat inqitha’ (keterputusan sanad) di dalamnya. Berangkat dari hal ini penulis memutuskan bahwa hadits ini dla’if. Wallahu AWJ. A’lam wa ‘ilmu-Hu atamm.

10. Hadits Anas Bin Malik Ra. tentang Persentuhan Antara Nabi Muhammad Ass. dengan Ummu Haram ra.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab shahih mereka dari shahabi yang sama. Hadits yang demikian ini disebut dengan hadits muttafaqun ‘alaih, dan berderajat shahih pada peringkat pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar