Rabu, 23 Maret 2011

HUKUM CADAR BAGI WANITA

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Para ulama sepakat bahwa menutup aurat adalah wajib, baik di dalam shalat atau di luar shalat.
Berkaitan dengan masalah menutup aurat ini, para ulama berselisih pendapat yaitu dalam menentukan batas aurat wanita merdeka .
Penyebab munculnya perselisihan pendapat ini adalah perbedaan mereka dalam menafsirkan ayat 31 surat An-Nur, yakni pada lafadh:
إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (kecuali apa-apa yang tampak darinya). Berawal dari ayat inilah mereka berselisih dalam menentukan apakah wajah wanita termasuk aurat atau tidak, dan ini yang berkaitan dengan hukum mengenakan cadar atau menutup wajah bagi wanita.
Selain itu, penulis ditanya oleh kakak penulis tentang bagaimana hukum mengenakan cadar bagi wanita. Waktu itu, penulis hanya mampu menjawab dengan apa yang penulis ketahui bahwa menutup wajah tidak wajib karena wajah bukan merupakan aurat yang harus ditutup.
Untuk mendapatkan argumen yang benar dari jawaban di atas, penulis ingin meneliti lebih lanjut masalah tersebut, kemudian menyusunnya menjadi sebuah karya ilmiah yang berjudul: HUKUM CADAR BAGI WANITA.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ajukan adalah:
Bagaimana hukum cadar bagi wanita?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui hukum cadar bagi wanita.
4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dengan segala hasilnya diharapkan akan bermanfaat
bagi diri penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya:
4.1 Untuk meningkatkan wawasan dalam ilmu Ad-din, khususnya dalam bidang fikih.
4.2 Sebagai rujukan untuk peneliti berikutnya.
4.3 Untuk menghindari perbuatan mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui dalil yang jelas.

5. Metodologi Penelitian
5.1 Metode Pengumpulan Data, Sumber Data dan Jenis Data
Dalam mendapatkan data, penulis membaca, mempelajari dan memahami serta mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah ini dari beberapa kitab tafsir, kitab hadits, kitab fikih dan kitab-kitab lain yang berkaitan dengan masalah ini.
Data-data pada karya ilmiah ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, misalnya hadits yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari yang penulis dapatkan langsung dari kitabnya.
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri. Sebagai contoh dalam makalah ini pendapat Imam Asy-Syafi’i yang penulis nukil dari kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya ‘Abdullah Nasih ‘Ulwan.
5.2 Metode Analisa Data
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan dua metode, deduksi dan induksi.
Metode deduksi yaitu menarik kesimpulan khusus dari data-data yang bersifat umum.
Metode induksi yaitu menarik kesimpulan umum dari data-data yang bersifat khusus.
6.Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami alur pembahasan karya ilmiah ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Karya ilmiah ini terbagi menjadi lima bab, yang sebelumnya penulis awali dengan halaman judul, halaman pengesahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi.
Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua berisi pembahasan tentang cadar yang memuat pengertian cadar, ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum cadar bagi wanita, dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum cadar bagi wanita.
Berikutnya bab ketiga berisi pendapat para ulama tentang hukum cadar bagi wanita.
Bab keempat berisi analisa tentang hukum cadar bagi wanita.
Bab kelima berisi kesimpulan, saran, dan kata penutup.
Karya ilmiah ini diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran.


BAB II
PEMBAHASAN TENTANG CADAR
Pembahasan dalam bab ini terbagi menjadi tiga subbab. Subbab pertama mengemukakan pengertian cadar. Subbab kedua dan ketiga berisikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan cadar bagi wanita.
1. Pengertian Cadar
Cadar menurut bahasa adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan).
Dalam catatan kaki kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam disebutkan bahwa النِّقَابُ: سَتْرُ الْوَجْهِ. (Lafadh “an-niqabu” artinya adalah tutup wajah).
Dari uraian di atas, penulis mempergunakan istilah cadar dalam artian penutup wajah yang dalam bahasa Arab disebut dengan “an-niqabu”.
2. Ayat-ayat yang Dijadikan Dalil tentang Cadar bagi Wanita
Berdasarkan penelitian, penulis tidak mendapatkan ayat-ayat yang secara jelas membahas tentang cadar. Hanya saja, sebagian ulama menjadikan beberapa ayat sebagai dalil wajib atau tidaknya mengenakan cadar bagi wanita. Ayat-ayat tersebut adalah:
2.1 Surat An-Nur (24): 31
2.1.1 Lafadh dan Arti
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَي جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْأَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِِى إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِى أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَآءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. {النّور (24):31}
Artinya:
Dan katakanlah (wahai Rasulullah) kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang tampak darinya. Dan hendaklah mereka menjulurkan kerudung-kerudung mereka ke dada-dada mereka. Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan mereka kecuali terhadap suami-suami mereka, bapak-bapak mereka, bapak-bapak (dari) suami-suami mereka, anak-anak mereka, anak-anak (dari) suami-suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka, anak-anak (dari) para saudara lelaki mereka, anak-anak (dari) para saudara wanita mereka, wanita-wanita (dari kalangan) mereka, budak-budak yang mereka miliki, para pelayan lelaki yang tidak mempunyai kebutuhan (syahwat) terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka supaya diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan mereka. Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung. {QS. An-Nur (24):31}
2.1.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah bahwa wanita-wanita yang beriman dilarang memperlihatkan perhiasan mereka (kepada orang lain yang bukan mahram) kecuali perhiasan yang tampak yakni wajah dan dua telapak tangan. Berkaitan dengan hal ini, diriwayatkan dari Aisyah bahwa wanita yang sudah baligh hanya boleh menampakkan wajah dan dua telapak tangannya . Khimar (kerudung) yang mereka pakai hendaklah menutupi leher dan dada... Mereka dilarang menghentakkan kaki supaya gelang kaki mereka tidak diketahui (didengar) oleh laki-laki yang bukan mahram.
2.2 Surat Al-Ahzab (33):53
2.2.1 Lafadh dan Arti
يَايُّهَا الََّذِيْنَ ءاَمَنُوْا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ إِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرِ نَاظِرِيْنَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا وَلاَ مُسْتَأْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إِنََّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَِّبىَّ فَيَسْتَحْي مِنْكُمْ وَ اللهُ لاَ يَسْتَحْي مِنَ الْحَقِّ وَ إِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِِكُمْ وَ قُلُوْبِهِنَّ وَ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللهِ وَ لاَ أَنْ تَنْكِحُوْا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ الله ِعَظِيْمًا. {الأحزاب (33):53}
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali apabila kalian (sudah) diizinkan untuk satu makanan tanpa menunggu masaknya makanan. Akan tetapi apabila kalian diundang, maka masuklah. Kemudian apabila kalian selesai makan maka bubaranlah dan jangan berenak-enakan bercerita. Sesungguhnya yang demikian itu mengganggu Nabi kemudian beliau merasa malu dari menyuruh kalian keluar, sedangkan Allah tidak malu dari sesuatu yang haq. Dan apabila kalian meminta suatu keperluan kepada mereka (isteri-isteri Nabi sas.) maka mintalah kepada mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih bersih (suci) untuk hati-hati kalian dan (juga) hati-hati mereka. Kalian tidak pantas mengganggu Rasulullah dan tidak pula menikahi isteri-isteri beliau sepeninggal beliau selamanya. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan perkara yang besar di hadapan Allah. {QS. Al-Ahzab (33):53}
2.2.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah bahwa orang-orang yang beriman apabila mereka meminta suatu keperluan kepada isteri-isteri beliau, maka hendaklah mereka memintanya dari balik hijab.




2.3 Surat Al-Ahzab (33):59
2.3.1 Lafadh Dan Arti
يَا يُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأِزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أََدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا. {الأحزاب (33):59}
Artinya:
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan perempuan-perempuan orang-orang beriman (supaya) mereka menjuraikan jilbab-jilbab mereka atas diri-diri mereka. Keadaan yang demikian itu menjadikan mereka lebih dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. {QS. Al-Ahzab (33):59}
2.3.2 Maksud Ayat
Maksud ayat yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah bahwa wanita yang beriman diperintah untuk mengenakan jilbab dengan menjuraikannya.
3. Hadits-hadits yang Berkaitan dengan Hukum Cadar
Ada beberapa hadits yang oleh sebagian ulama dijadikan dalil wajib atau tidaknya mengenakan cadar.
3.1 Hadits Ibnu ‘Abbas ra. tentang Fadlel Memandang Wanita Khats’amiyyah.
3.1.1 Lafadh dan Arti
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ الْفَضْلُ رَدِيْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتِ امْرأَََةٌ مِنْ خَثْعَمٍ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اْلآخَرِ فَقَالَتْ إِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ أَدْرَكَتْ أَبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ وَ ذَالِكَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ.
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ اْلبُخَارِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَالتُّرْمُذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارِمِيُّ وَمَالِكٌ .
Artinya:
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. dia berkata: Adalah Fadlel membonceng Nabi sas. Maka datanglah seorang wanita dari suku Khats’am, kemudian Fadlel melihat kepada wanita itu dan wanita tersebut melihat kepadanya. Maka Nabi sas. memalingkan wajah Fadlel ke sisi lain. Kemudian wanita itu berkata: Sesungguhnya kewajiban Allah (hajji) mendapati bapakku ketika dia sudah tua renta, tidak bisa tetap (tegak) di atas kendaraan, bolehkah aku menunaikan hajji darinya? Beliau bersabda: Ya. Dan (peristiwa) itu terjadi pada waktu Hajji Wada’.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad, Al-Bukhari dan lafadh ini miliknya, Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Malik.
3.1.2 Maksud Hadits
Hadits Ibnu Abbas di atas menjelaskan bahwa tatkala Fadlel membonceng Nabi sas. kemudian datang wanita dari suku Khats’am (salah satu suku di Yaman ), keduanya saling memandang. Nabi sas. memalingkan wajah Fadlel ke arah lain. Wanita tersebut meminta fatwa kepada Nabi sas. tentang bolehkah dia menunaikan hajji menggantikan bapaknya yang sudah tua renta. Nabi sas. memperkenankan. Peristiwa tersebut terjadi pada Hajji Wada’.
3.1.3 Derajat Hadits
Hadits Ibnu Abbas di atas adalah hadits muttafaqun ‘alaih (lihat lampiran, hlm.57).
3.2 Hadits Ibnu Umar ra. tentang Larangan Bercadar bagi Wanita yang sedang Ihram.
3.2.1 Lafadh dan Arti
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنَ الثِّيَابِ فِى اْلإِحْرَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتَلْبَسُوْا الْقَمِيْصَ وَلاَ السَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ اْلعَمَائِمَ وَلاَ الْبَرَانِسَ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلاَنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ وَلاَ تَلْبَسُوْا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلاَالْوَرْ سُ وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ.

أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَاْلبُخَارِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَالتُّرْمُذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارِمِيُّ وَمَالِكٌ وَالْبَيْهَقِيُّ وَ ابْنُ خُزَيْمَةَ .
Artinya:
Dari ‘Abdullah bin Umar ra. dia berkata: Seorang laki-laki berdiri kemudian berkata: Wahai Rasulullah, pakaian apa yang Engkau perintahkan untuk kami kenakan pada waktu ihram? Maka Nabi sas. bersabda: Janganlah kalian mengenakan gamis, celana-celana panjang, surban-surban, dan burnus-burnus, hanya saja seseorang yang tidak memiliki sandal hendaklah dia memakai dua khuf dan memotong (keduanya) lebih rendah dari dua mata kaki, dan janganlah kalian mengenakan pakaian yang tersentuh oleh za’faran dan wars. Dan janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan cadar (tutup wajah) dan janganlah dia mengenakan sarung tangan.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad, Al-Bukhari dan lafadh ini miliknya, Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Malik, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah.
3.2.2 Maksud Hadits
Hadits Ibnu Umar di atas menjelaskan bahwa seseorang yang sedang ihram dilarang mengenakan gamis, celana, surban atau burnus. Orang yang sedang ihram juga dilarang memakai dua khuf. Hanya saja, mereka yang tidak memiliki sandal, boleh memakainya dengan (syarat) memotongnya sampai di bawah dua mata kaki. Orang yang sedang ihram tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup dengan za’faran dan wars. Wanita yang sedang ihram dilarang mengenakan cadar (tutup wajah) dan sarung tangan.
3.2.3 Derajat Hadits
Hadits tersebut di atas adalah hadits muttafaqun ‘alaih (lihat lampiran, hlm.57).
3.3 Hadits Aisyah ra. tentang Larangan Menampakkan Anggota Tubuh Kecuali Wajah dan Dua Telapak Tangan
3.3.1 Lafadh dan Arti
حَدَّثَنَا يَعْقُوْبُ بْنُ كَعْبٍ اْلأَنْطَاكِيُّ وَمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا الْوَلِيْدُ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ بَشِيْرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ قَالَ يَعْقُوْبُ: بْنُ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: يَاأَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ لَهَا أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هذَا وَهذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ: هذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ.
أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَ اللَّفْظُ لَهُ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ وَالْبَيْهَقِيُّ فِى سُنَنَيْهِ الْكُبْرَى وَ الصَّغِيْرِ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ka’ab Al-Anthaki dan Muammal bin Fadlel Al-Harrani keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid, -berkata Ya’qub (dia adalah) anak Duraik-berkata dari Aisyah bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah sas. sedangkan dia mengenakan pakaian tipis. Maka Rasulullah sas. berpaling darinya dan beliau bersabda: Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu apabila sudah sampai masa baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini. Dan beliau berisyarat kepada wajah dan dua telapak tangan beliau. Abu Dawud berkata: ini adalah hadits Mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu dengan Aisyah.
Telah mengeluarkannya Imam Abu Dawud dan lafadh ini miliknya dengan sanad yang dla’if, dan Al-Baihaqi dalam dua kitab sunannya.
3.3.2 Maksud Hadits
Hadits ‘Aisyah di atas menjelaskan bahwa wanita yang sudah baligh, tidak boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.
3.3.3 Derajat Hadits
Hadits ‘Aisyah tergolong hadits munqathi’ karena sanad hadits tersebut terputus (lihat lampiran, hlm.57-59).
3.4 Hadits Sahl bin Sa’ad ra. tentang Wanita yang Menghibahkan Diri kepada Rasulullah sas.
3.4.1 Lafadh dan Arti
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ جِئْتُ لأَِهَبَ لَكَ نَفْسِى فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ فَلَمَّا رَأَتِ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيْهَا شَيْئًا جَلَسَتْ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا فَقَالَ هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْئٍ فَقَالَ لاَ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لاَ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ مَا وَجَدْتُ شَيْئًا قَالَ انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لاَ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ وَلَكِنْ هذَا إِزَارِيْ قَالَ سَهْلٌ مَالَهُ رِدَاءٌ فَلَهَا نِصْفُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْئٌ فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى طَالَ مَجْلِسُهُ ثُمَّ قَامَ فَرَآهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُوَلِّيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ فَلَمَّا جَاءَ قَالَ مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ قَالَ مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا عَدَّهَا قَالَ أَتَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ.
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَ اْلبُخَارِيُّ وَاللََّفْظُ لَهُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَالتُّرْمُذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارِمِيُّ وَمَالِكٌ .
Artinya:
Dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya seorang wanita datang kepada Rasulullah sas. lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu. Maka Rasulullah sas. memandangnya, lalu beliau mengangkat pandangan kepadanya dan beliau menurunkan pandangan beliau. Kemudian beliau menundukkan kepala. Maka tatkala wanita itu melihat bahwa beliau tidak memutuskan sesuatu pun atasnya, dia duduk. Maka berdirilah seorang laki-laki dari shahabat beliau lalu berkata: Wahai Rasulullah jika engkau tidak berkeperluan dengannya (tidak berkenan) maka nikahkan aku dengannya. Kemudian beliau bersabda kepadanya: apakah kamu mempunyai sesuatu? dia menjawab: Tidak. Demi Allah wahai Rasulullah. Beliau bersabda: pergilah kepada keluargamu kemudian carilah apakah engkau akan mendapatkan sesuatu. Lalu dia pergi kemudian kembali maka dia berkata: tidak, demi Allah wahai Rasulullah aku tidak mendapatkan sesuatu pun. Beliau bersabda: Carilah (lagi) meskipun (hanya) sebuah cincin dari besi. Maka dia pergi lalu dia kembali kemudian berkata: Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, dan tidak juga sebuah cincin dari besi. Akan tetapi ini, sarungku {Sahl, rawi hadits ini, berkata: Dia tidak mempunyai rida (selendang)} maka untuknya (wanita) separuhnya (sarung). Maka Rasulullah sas. bersabda: Apa yang akan kamu perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya, maka tidak ada atas wanita tersebut sesuatu pun darinya, dan jika dia memakainya tidak ada atasmu sesuatu pun. Maka laki-laki tersebut duduk sampai lama. Kemudian dia berdiri dan Rasulullah sas. melihat laki-laki tersebut menyingkir. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya. Maka dia dipanggil. Kemudian tatkala dia datang beliau bersabda: Apa yang ada padamu dari Al-Qur’an? Dia menjawab: Padaku ada surat ini dan surat ini dan surat ini - dia membilangnya -. Beliau bersabda: apakah engkau menghafalnya? Dia menjawab: Ya. Beliau bersabda: Pergilah, maka sesungguhnya aku telah menjadikannya milik kamu (menikahkan dia denganmu) dengan (mahar) apa yang ada padamu dari Al-Qur’an.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Malik.
3.4.2 Derajat Hadits
Hadits ini adalah hadits muttafaqun ‘alaihi (ihat lampiran, hlm.59).
3.5 Hadits Jabir bin Abdillah ra. tentang Seorang Wanita yang Kedua Pipinya Merah Kehitam-hitaman.
3.5.1 Lafadh dan Arti
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيْدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ لأَِنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ.
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَاللَّفْظُ لَهُ وَالنَّسَائِيّ ُ وَالدَّارِمِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ وَ ابْنُ خُزَيْمَة َ
Artinya:
Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: Aku telah menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah sas. Maka beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah dengan tanpa adzan dan iqamah. Kemudian beliau berdiri dalam keadaan berpegangan pada Bilal. Kemudian beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan menghasung (mereka) untuk mentaati-Nya dan beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau terus berjalan sampai mendatangi para wanita. Maka beliau menasehati dan mengingatkan mereka, kemudian beliau bersabda: Bershadaqahlah kalian, karena sesungguhnya kebanyakan kalian adalah (menjadi) bahan bakar neraka jahannam. Maka berdirilah seorang wanita yang berada di tengah-tengah para wanita yang kedua pipinya merah kehitam-hitaman lalu dia berkata: Kenapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Karena kalian membanyakkan keluhan dan kalian kufur terhadap suami. Dia (rawi)-yakni Jabir- berkata: maka mereka (para wanita) menshadaqahkan perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting-anting dan cincin-cincin mereka pada kain Bilal.
Telah mengeluarkannya Imam Muslim, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah.
3.5.2 Maksud Hadits
Seorang wanita yang kedua pipinya merah kehitam-hitaman bertanya kepada Rasulullah sas. tentang sebab banyaknya kaum wanita yang menjadi penghuni jahannam. Rasulullah sas. menjawab bahwa itu karena wanita banyak mengeluh dan kufur terhadap (kebaikan) suami.
3.5.3 Derajat Hadits
Hadits ini adalah hadits shahih (lihat lampiran, hlm.59).
3.6 Hadits Aisyah ra. tentang Para Wanita yang Membuka Wajah pada Waktu Hajji
3.6.1 Lafadh dan Arti
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ ثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا يَزِيْدُ بْنُ أَبِى زِيَادٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّوْنَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُوْنَا كَشَفْنَاهُ. .
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَابْنُ مَاجَهْ وَ ابْنُ خُزَيْمَةَ .
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Abi Ziyad dari Mujahid dari Aisyah dia berkata: Adalah para pengendara (rombongan) itu melewati kami, sedangkan kami bersama Rasulullah sas. dalam keadaan ihram. Maka apabila mereka sudah dekat dengan kami, masing-masing dari kami menjulurkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya, maka apabila mereka sudah lewat (berlalu), kami membukanya (jilbab).
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad, Abu Dawud dan lafadh ini miliknya, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah.
3.6.2 Maksud Hadits
Hadits Aisyah di atas menjelaskan bahwa para wanita membuka wajah mereka di waktu ihram. Hanya saja, mereka menutup wajah tatkala para pengendara lewat di dekat mereka.
3.6.3 Derajat Hadits
Hadits ‘Aisyah di atas adalah hadits dla’if (lihat lampiran hlm. 59-61).
3.7 Hadits Jarir bin Abdillah ra. tentang Perintah Memalingkan Pandangan
3.7.1 Lafadh dan Arti
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَال سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَاَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَاللَّفْظُ لَهُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَالتُّرْمُذِيُّ وَالدَّارِمِيُّ وَالْحَاكِم ُ وَالْبَيْهَقِيّ ُ وَالطَّبَرَانِيُّ .
Artinya:
Dari Jarir bin Abdillah dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah sas. tentang pandangan mendadak (tidak sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad, Muslim dan lafadh ini miliknya, Abu Dawud, At-Turmudzi, Ad-Darimi, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan At-Thabarani.
3.7.2 Maksud Hadits
Hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah sas. memerintah Jarir untuk memalingkan pandangan apabila tanpa sengaja melihat wanita.
3.7.3 Derajat Hadits
Hadits ini adalah hadits shahih (lihat lampiran, hlm.61).
3.8 Hadits Ibnu Buraidah dari Bapaknya ra. tentang Larangan Mengikuti Pandangan
3.8.1 Lafadh dan Arti
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ مُوْسَى الْفَزَارِيُّ أَنْبَأَنَا شَرِيْكٌ عَنْ أَبِى رَبِيْعَةَ اْلإِيَادِى عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ:
يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَالتُّرْمُذِيُّ وَالدَّارِمِيُّ وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ .
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Musa Al-Fazariyy. Telah mengabarkan kepada kami Abu Rabi’ah Al-Iyadi dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dia berkata: Rasulullah sas. bersabda kepada Ali: Wahai Ali, janganlah kau mengiringi satu pandangan dengan pandangan yang lain (berikutnya). Karena sesungguhnya bagimu (pandangan) yang pertama dan bukan untukmu yang terakhir.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad, Abu Dawud dan lafadh ini miliknya, At-Turmudzi, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi.
3.8.2 Maksud Hadits
Hadits ini menjelaskan tentang larangan mengulangi pandangan terhadap lawan jenis. Pandangan pertama itu boleh (dimaafkan), sedangkan pandangan kedua dilarang.
3.8.3 Derajat Hadits
Hadits Ibnu Buraidah di atas tergolong hadits dla’if (lihat lampiran, hlm.61).
3.9 Hadits Abu Humaid ra. tentang Bolehnya Memandang Wanita yang akan Dipinang.
3.8.1 Lafadh dan Arti
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ حَدَّثَنِى أَبِى ثَنَا حَسَنُ ابْنُ مُوْسَى ثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عِيْسَى عَنْ مُوْسَى بْنِ عَبْدِاللهِ عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ أَوْ حُمَيْدَةٍ الشَّكُّ مِنْ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ لاَتَعْلَمُ.
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ .
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, telah menceritakan kepadaku bapakku, telah menceritakan kepada kami Hasan bin Musa, telah menceritakan kepada kami Zuhair dari ‘Abdullah bin Isa dari Musa bin ‘Abdullah dari Abu Humaid atau Humaidah (keraguan itu datang dari Zuhair) dia berkata: Rasulullah sas. bersabda: Apabila salah seorang dari kalian meminang wanita maka dia boleh memandang kepadanya apabila dia hanya memandangnya untuk meminang, meskipun tanpa sepengetahuan wanita tersebut.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad dengan sanad yang shahih (lihat lampiran 62-63).
Hadits ini diriwayatkan juga oleh beberapa shahabat lain di antaranya: Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Anas, dan Mughirah bin Syu’bah, sebagaimana yang dikeluarkan oleh oleh Imam Muslim , An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi.
3.8.2 Maksud Hadits
Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang laki-laki boleh memandang wanita yang akan dia pinang.


BAB III
PENDAPAT PARA ULAMA
TENTANG CADAR BAGI WANITA
Pendapat ulama yang penulis kemukakan dalam bab ini sebagian besar berkaitan dengan persoalan: apakah wajah wanita itu termasuk aurat atau bukan. Adapun pendapat para ulama adalah sebagai berikut
1. Cadar Wajib Bagi Wanita
1.1 Jumhur Ulama
‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam menyatakan bahwa:
ذَهَبَ جُمْهُوْرُ اْلأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ اْلأَعْلاَمِ وَعَلَى رَأْسِهِمُ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَمَالِكٌ ..إِلَى أَنَّ وَجْهَ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ وَأَنَّ سَتْرَهُ وَاجِبٌ وَأَنَّ كَشْفَهُ حَرَامٌ.
Artinya:
Jumhur ulama mujtahid terkemuka yang dipelopori oleh Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Malik.. berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat. Menutupnya adalah wajib, dan membukanya adalah haram.
Adapun Az-Zuhaili menyatakan:
وَذَهَبَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَالشَّافِعِيُّ فِى أَصَحِّ قَوْلَيْهِ إِلَى أَنَّ بَدَنَ الْحُرَّةِ كُلَّهُ عَوْرَةٌ.
Artinya:
Dan telah berpendapat Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i -menurut paling benarnya dua pendapat beliau - bahwa tubuh wanita merdeka semuanya adalah aurat.
1.2 Asy-Syafi’iyyah
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا: إِنَّ وَجْهَ الْمَرْأَةِ وَكَفَّيْهَا عَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجُلِ اْلأَجْنَبِْيِّ
Artinya:
Ulama madzhab Asy-Syafi’i berpendapat bahwa: Sesungguhnya wajah dan dua telapak tangan wanita di hadapan laki-laki ajnabi adalah aurat.
1.3 Abu Bakar Ar-Razi, As-Suyuthi , Abus-Su’ud
وَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الرَّازِى: وَفِى هذِهِ اْلأيَةِ (يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ) دِلاَلَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ الشَّابَّةَ مَأْمُوْرَةٌ بِسَتْرِ وَجْهِهَا عَنِ اْلأَجْنَبِيِّيْنَ.

Artinya:
Dan Abu Bakar Ar-Razi berkata: Dan pada ayat ini (Yudniina ‘alaihinna min jalabiibihinna) terdapat dalil bahwa wanita yang (masih) muda diperintahkan untuk menutup wajahnya dari laki-laki ajnabi (yang bukan mahram).
Inti dari pernyataan beliau adalah bahwa wanita muda diperintah untuk menutup wajah karena ayat 59 Al-Ahzab menunjukkan demikian, demikian juga As-Suyuthi dan Abus-Su’ud, sebagai berikut:
قَالَ السُّيُوطِيُّ هَذِهِ أَيَةُ الْحِجَابِ فِى حَقِّ سَائِرِ النِّسَاءِ فَفِيْهَا وُجُوْبُ سَتْرِ الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ عَلَيْهِنَّ.
Artinya:
As-Suyuthi berkata: ini adalah ayat hijab dalam haq (kewajiban) seluruh wanita. Maka di dalamnya terdapat kewajiban atas mereka untuk menutup kepala dan wajah.
Sedangkan Abus-Su’ud menyatakan:
أَىْ يُغَطِّيْنَ بِهَا وُجُوْهَهُنَّ وَأَبْدَانَهُنَّ إِذَا بَرَزْنَ لِدَاعِيَةٍ مِنَ الدَّوَاعِى.
Artinya:
Maksud (ayat) adalah mereka (para wanita) menutup wajah-wajah dan tubuh-tubuh mereka dengan jilbab-jilbab tatkala keluar untuk satu keperluan dari beberapa keperluan.
Pernyataan senada diutarakan juga oleh Asy-Syinqithi dalam Adlwa`ul Bayan , dan Ash-Shabuni .


1.4 Pendapat Ibnul ‘Araby (468-543H)
وَالْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ بَدَنُهَا وَصَوْتُهَا فَلاَ يَجُوْزُ كَشْفُ ذَالِكَ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ أَوْلِحَاجَةٍ كَالشَّهَادَةِ عَلَيْهَا أَوْ دَاءٍ يَكُوْنُ بِبَدَنِهَا أَوْ سُؤَالِهَا عَمَّا يَعِنُّ ويَعْرِضُ عِنْدَهَا.
Artinya:
Dan perempuan itu semuanya adalah aurat, tubuh dan suaranya. Maka tidak boleh membuka itu kecuali untuk perkara-perkara yang mendesak atau untuk satu keperluan seperti persaksian atasnya, penyakit yang ada di tubuhnya atau pertanyaan dia tentang sesuatu yang terjadi dan menimpa padanya.
1.5 Pendapat Ash-Shabuni
وَلَمَّا كَانَ الْوَجْهُ أَصْلَ الزِّيْنةِ وَمَصْدَرَ الْجَمَالِ وَالْفِتْنَةِ لِذَالِكَ كَانَ سَتْرُهُ ضَرُوْرِيًّا عَنِ اْلأجَانِبِ ...وَمِمَّا لاَشَكَّ فِيْهِ أَنَّ الْفِتْنَةَ فِى هذَا الزَّمَانِ غَيْرُ مأْمُوْنَةٍ لِذَا نَرَى وُجُوْبَ سَتْرِ الْوَجْهِ حِفاَظًا عَلىَ كَرَامَةِ الْمُسْلِمَةِ.
Artinya:
Dan tatkala wajah merupakan asal perhiasan, asal kecantikan dan fitnah, oleh karena itu menutupnya dari laki-laki ajanib merupakan suatu keharusan … Dan karena tidak diragukan lagi bahwa di zaman ini tidak aman dari fitnah, karena itu kami berpendapat wajibnya menutup wajah sebagai penjagaan kemuliaan wanita muslimah.
1.6 Pendapat Ibnu Khuwaiz Mandad
Al-Qurthubi menukilkan pendapat beliau sebagai berikut:
وَقَالَ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادٍ مِنْ عُلَمَائِنَا إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا كَانَتْ جَمِيْلةً وَخِيْفَ مِنْ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهاَ الْفِتْنَةُ فَعَليْهَا سَتْرُ ذَالِكَ وَإِنْ كَانَتْ عَجُوْزًا أَوْ مُقَبَّحَةً جَازَ أنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا.
Artinya:
Ibnu Khuwaiz Mandad, (salah seorang) dari ulama kami, berkata: Sesungguhnya perempuan itu, apabila dia cantik dan ditakutkan (terjadi) fitnah dari sebab wajah dan dua telapak tangannya maka dia wajib menutup itu. Sedangkan apabila dia perempuan yang sudah tua atau (perempuan yang) dianggap jelek maka dia boleh membuka wajah dan dua telapak tangannya.
2. Cadar Tidak Wajib Bagi Wanita
2.1 Pendapat Imam Malik (93-179H) dan Abu Hanifah (80-150H) Asy-Syafi’i , Al-Auza’i dan Abu Tsaur , Ibnu Rusyd , An-Nawawi
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa:
وَذَهَبَ مَالِكٌ وَأَبوْ حَنِيْفَةَ إِلَى أَنَّ بَدَنَ الْمَرْأَةِ كُلَّهُ عَوْرَةٌ مَاعَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ.
Artinya:
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan.
Untuk pendapat selain Malik dan Abu Hanifah dapat dilihat dalam kitab-kitab mereka.
2.2 Pengikut Madzhab Malik dan Hanafi
اسْتَدَلَّ الْمَالِكِيَّةُ وَاْلأَحْنَافُ عَلَى أَنَّ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ لَيْسَا بِعَوْرِةٍ بِمَا يَلِى: ...وَقَالُوْا مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ لَيْساَ بِعَوْرِةٍ أَنَّ الْمَرْأَةَ تَكْشِفُ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فِىْ صَلاَتِهَا وَتَكْشِفُهُمَا أَيْضًا فِى اْلإِحْرَامِ فَلَوْ كَانَا مِنَ الْعوْرَةِ لَمَا أُبِيْحَ لَهَا كَشْفُهُمَا لأَِنَّ سَتْرَ الْعَوْرَةِ وَاجِبٌ لاَتَصِحُّ صَلاةُ اْلإِنْسَانِ إِذَا كَانَ مَكْشُوْفَ الْعَوْرَةِ.
Artinya:
Pengikut Madzhab Maliki dan Hanafi berdalil bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan merupakan aurat dengan dalil berikut ini: ... Dan mereka berkata: dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan merupakan aurat adalah bahwasanya wanita itu membuka wajah dan dua telapak tangan di waktu shalat dan membukanya juga pada waktu ihram. Kalau saja keduanya termasuk aurat sungguh wanita tidak diperbolehkan membuka keduanya karena menutup aurat itu wajib, shalat seseorang tidak sah apabila auratnya terbuka.
2.3 Pengikut Madzhab Hanbali
Al-Jazairi berkata:
الْحَنَابِلَةُ قَالُوْا فِي حَدِّ الْعَوْرَةِ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيَّةُ إِلاَّ أَنَّهُمُ اسْتَثْنَوْا مِنَ الْحُرَّةِ الْوَجْهَ فَقَطْ وَمَا عَدَاهُ فَهُوَ عَوْرَةٌ.
Artinya:
Pengikut madzhab Hanbali berkata dalam soal batas aurat sebagaimana yang dinyatakan oleh pengikut madzhab Asy-Syafi’i, akan tetapi mereka memperkecualikan wajah saja dari wanita merdeka, sedangkan selainnya adalah aurat.
2.4 Pendapat Al-Alusi (w.127H)
Dalam menafsirkan surat Al-Ahzab (33):59 beliau menyatakan:
وَأَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ وَجْهَ الْحُرَّةِ عِنْدَنَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ فَلاَ يَجِبُ سَتْرُهُ...
Artinya:
Dan engkau mengetahui bahwa menurut kami wajah wanita merdeka bukan termasuk aurat maka tidak wajib menutupnya.
2.5 Al-Qasthalani (w.923)
وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِى الصَّلاَةِ وَعِنْدَ اْلأَجْنَبِيِّ جَمِيْعُ بَدَنِهَا إِلاَّ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ أَىْ الْيَدَيِنِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا إِلَى الْكُوْعَيْنِ كَمَا فَسَّرَ بِهِ ابْنُ عَبَّاسٍ قَوْلَهُ تَعَالَى ( إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ).
Artinya:
Dan aurat perempuan merdeka dalam shalat dan di hadapan laki-laki ajnabi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan yakni dua tangan sampai dua pergelangan tangan, luar dan dalamnya, sebagaimana Ibnu Abbas menafsirkan firman-Nya Yang Mahatinggi “Illa Ma Dhahara Minha” dengannya.
2.6 Pendapat Asy Syirazi
Beliau menyatakan dalam kitab Al-Muhadzdzab sebagai berikut:
فَأَمَّا الْحُرَّةُ فَجَمِيْعُ بَدَنِهَا عَوْرَةٌ إِلاَّ الْوَجْهَ وَالْكَفّّيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالىَ.(وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا).قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا:وَجْهُهَا وَكَفَّيْهَا وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.نَهَى الْمَرْأَةَ فِى الْحَرَامِ عَنْ لُبْسِ الْقُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ وَلَوْ كَانَ الْوَجْهُ وَالْكَفُّ عَوْرَةً لَمَا حُرِّمَ سَتْرُهُمَا فِي اْلإِحْرَامِ وَِلأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُوْ إِلَى إِبْرَازِ الْوَجْهِ لِلْبَيْعِ وَالشِّراءِ.وَإِلَى إِبْرَازِ الْكَفِّ ِلْلأَخْذِ وَاْلإِعْطَاءِ فَلَمْ يُجْعَلْ ذَالِكَ عَوْرَةً.
Artinya:
Maka adapun perempuan merdeka, seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena firman-Nya Yang Mahatinggi “Wala Yubdiina Ziinatahunna Illa Ma Dhahara Minha.” Ibnu Abbas ra. berkata: wajah dan dua telapak tangannya dan karena Nabi sas. melarang perempuan memakai dua sarung tangan dan tutup muka (cadar) pada waktu ihram. Kalau saja wajah dan telapak tangan merupakan aurat, sungguh tidak diharamkan menutup keduanya pada waktu ihram dan karena adanya satu keperluan itu menuntut untuk menampakkan wajah dalam jual beli dan (diperlukan) membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi, maka yang demikian itu tidak dianggap sebagai aurat.
2.7 Ibnu Abdil Barr (w.463)
Dalam pembahasan surat Al-Ahzab ayat 59 beliau berkomentar:
وَالْمَرْأَةُ فِى مَا عَدَا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا عَوْرَةٌ بِدَلِيْلٍ أَنَّهَا لاَيَجُوْزُ لَهَا كَشْفُهُ فِىالصَّلاَةِ.
Artinya:
Sedangkan wanita itu selain wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat dengan dalil bahwasanya dia (wanita) tidak boleh membukanya pada waktu shalat.
Berkaitan dengan hal kebolehan membuka wajah bagi wanita, beliau menyatakan:
...لأَنَّهَا كُلَّهَا عَوْرَةٌ إِلاَّ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى هذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ . وَقَدْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ تَكْشِفُ وَجْهَهَا فِى الصَّلاَةِ وَالإِحْرَامِ.
Artinya:
…Karena sesungguhnya dia (perempuan) seluruh (anggota tubuh)nya adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan. Kebanyakan ulama berpendapat dengan (pendapat) ini. Dan sungguh mereka telah sepakat bahwa wanita membuka wajahnya pada waktu shalat dan ihram.
2.8 Pendapat Ibnu Bathal (w.444H)
Berkaitan dengan hadits Ibnu Abbas tentang seorang perempuan khats’amiyyah yang bertanya kepada Nabi sas. tentang masalah hajji, Ibnu Hajar menyebutkan komentar Ibnu Bathal sebagai berikut:
قَالَ : وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ سَتْرَ الْمَرْأَةِ وَجْهَهَا لَيْسَ فَرْضًا ِلإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُبْدِيَ وَجْهَهَا فِى الصَّلاَةِ ولَوْ رَأَهُ الْغُرَبَاءُ وَأَنَّ قَوْلَهُ ( قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ ) عَلَى الْوُجُوْبِ فِيْ غَيْرِالْوَجْهِ .
Artinya:
Ibnu Bathal berkata: Dan padanya (hadits) terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perempuan tidak wajib menutup wajahnya karena kesepakatan mereka (ulama) bahwa perempuan boleh menampakkan wajahnya pada waktu shalat meskipun orang-orang asing (yang bukan mahram) melihatnya. Dan bahwasanya firman-Nya Yang Mahatinggi (Qul Lil Mukminiina Yaghudldluu Min Absharihim) merupakan kewajiban pada selain wajah.
2.9 Pendapat Al-Qadli Iyadl (476-544H)
Berkaitan dengan ayat 30 surat An-Nur, Abuth-Thayyib Abadi menukilkan pendapat Al-Qadli Iyadl sebagai berikut:
قَالَ الْقَاضِى عِيَاضٌ: فِيْهِ حُجَّةٌ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ سَتْرُ وَجْهِهَا وَإِنَّمَا ذَالِكَ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ لَهَا وَ يَجِبُ عَلَى الرِّجَالِ غَضُّ الْبَصَرِ عَنْهَا فِى جَمِيْعِ اْلأَحْوَالِ إِلاَّ لِغَرَضٍ صَحِيْحٍ شَرْعِيٍّ.
Artinya:
Al-Qadli Iyadl berkata: Padanya (firman Allah) terdapat hujjah bahwa perempuan tidak wajib menutup wajahnya. Dan sesungguhnya itu hanya Sunnah Mustahabbah (amalan yang disukai) untuknya. Sedangkan para lelaki wajib menundukkan pandangan darinya (perempuan) pada setiap keadaan kecuali untuk maksud yang benar yang Syar’i.

2.10 Pendapat Sayyid Qutb (1906-1966M)
Dalam kitab tafsirnya Fi Dhilalil Qur’an beliau menegaskan tentang bolehnya membuka wajah. Berikut penuturan beliau:
فَأَمَّا مَا ظَهَرَ مِنَ الزِّيْنةِ فِيْ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ فَيَجُوْزُ كَشْفُهُ ِلأَنَّ كَشْفَ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ مُبَاحٌ لِقَوْلِهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِلأََسْمَاءَ بِنْتِ أَبِىبكْرٍ...
Artinya:
Maka adapun perhiasan yang tampak di wajah dan kedua telapak tangan maka membukanya boleh karena membuka wajah dan kedua telapak tangan itu mubah karena sabda Rasulullah sas. kepada Asma’ binti Abu Bakar...


BAB IV
ANALISA

1 Analisa Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Hukum Cadar bagi Wanita
1.1 Surat An-Nur (24):31
Ada beberapa hal yang akan penulis bahas dalam ayat ini.
Pertama, tentang maksud إِلاَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا dalam ayat: وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِِِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali perhiasan yang tampak [dhahir]).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita dilarang menampakkan perhiasan mereka kecuali perhiasan yang tampak atau perhiasan dhahir. Dengan kata lain, wanita hanya boleh menampakkan perhiasan dhahir yang termasuk dalam perkecualian ayat tersebut.
Ulama berbeda pendapat dalam penafsiran lafadh tersebut. Sebagian mereka menyatakan bahwa perhiasan yang diperkecualikan dalam ayat tersebut adalah pakaian, karena pakaian adalah perhiasan luar yang biasa tampak. Sebagian yang lain menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.
Wajah merupakan perhiasan yang dhahir. Wajah dikatakan sebagai perhiasan karena memang wajah merupakan perhiasan khilqiyyah (asal ciptaan/alami). Al-Qurthubi menyatakan bahwa perhiasan itu ada dua, perhiasan khilqiyyah dan muktasabah (perhiasan asal ciptaan dan perhiasan yang diusahakan).
Keindahan yang Allah ciptakan pada diri wanita adalah merupakan/termasuk dari perhiasan .
Menurut penulis, maksud إِلاَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (kecuali perhiasan yang tampak/dhahir) dalam ayat tersebut adalah wajah dan dua telapak tangan. Artinya, wanita tidak boleh menampakkan perhiasan mereka kecuali wajah dan dua telapak tangan. Ini menunjukkan bahwa keduanya bukan merupakan aurat.
Penulis memilih pendapat tersebut karena:
(1) Adanya hadits Aisyah tentang sabda Nabi sas. kepada Asma’ binti Abu Bakar bahwa wanita yang sudah baligh, tidak boleh terlihat anggota tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau berisyarat kepada wajah dan dua telapak tangan beliau.”
Hadits ini berderajat hasan lighairihi sehingga dapat dijadikan hujjah (lihat analisa hadits tersebut di hlm.37-38).
(2) Hadits Ibnu Umar tentang larangan bercadar atau menutup wajah bagi wanita yang sedang ihram (lihat hlm.9-10). Ini menunjukkan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan merupakan aurat, yang kalau saja keduanya merupakan aurat niscaya wanita tetap diharuskan menutupnya di waktu hajji dan waktu-waktu lain.
Mereka yang berpendapat bahwa maksud perkecualian dalam ayat adalah wajah dan kedua telapak tangan tidak menafikan kebolehan menampakkan pakaian yang termasuk perhiasan dhahir. Al-Qurthubi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa Atha’, Said bin Jubair dan Al-Auza’i, berpendapat bahwa yang dimaksudkan dalam perkecualian ayat adalah wajah, dua telapak tangan, dan pakaian.
Penafsiran di atas yakni bahwa maksud perkecualian dalam ayat ini adalah wajah dan dua telapak tangan, sesuai dengan pendapat beberapa shahabat di antaranya, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan ‘Aisyah; Al-Baihaqi menyebutkan riwayat mereka dalam kitab sunannya . Diriwayatkan juga dari Atha’, Said bin Jubair, Al-‘Auzai, dan Adh-Dhahhak; Ath-Thabari menyebutkan riwayat mereka dalam kitab tafsirnya. Begitu juga diriwayatkan dari Mak-hul, Ibnu Abi Syaibah menyebutkan riwayatnya dalam kitab Al-Mushannafnya. Ath-Thabari dan Az-Zuhaili juga berpendapat demikian.
Adapun Al-Qurthubi , sedikit berbeda dalam menukil pendapat Atha’, Said bin Jubair dan Al-Auza’i, sebagaimana yang tersebut di atas.
Kedua, sebagian ulama memahami bahwa kalimat
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
(dan hendaklah mereka menjuraikan khimar-khimar mereka sampai ke dada mereka)
mengandung perintah menutup wajah. Penulis tidak sependapat dengan pernyataan di atas karena ayat tersebut tidak menunjukkan demikian. Kata خُمُرٌ adalah bentuk jamak dari kata خِمَارٌ yang berarti tutup kepala wanita yang menjurai ke dada, menurut definisi Ath-Thaba-thaba’i. ِ Adapun menurut Asy-Syaukani adalah مَا يُغَطَّي بِهِ رَأْسُ الْمَرْأَةِِ (kain yang digunakan untuk menutup kepala wanita); dan menurut ‘Abdullah Nashih Ulwan, khimar berarti مَا يَسْتُرُ الرَّأْسَ وَالنَّحْرَ وَالْعُنُقَ (kain yang menutup kepala, dada bagian atas dan leher).
Penulis tidak mendapatkan adanya pengertian خُمُرٌ (jamak dari khimar خِمَارٌ) dengan tutup wajah. Di samping itu, perintah menjulurkan خُمُرٌ dalam ayat ini ke جُيُوْبٌ, bukan ke wajah. Al-Burusawi menjelaskan bahwa arti جُيُوْبٌ (jamak dari جَيْبٌ) adalah potongan (lubang) kain untuk tempat masuk kepala, terletak di bagian atas gamis.
Adapun apabila dari pengertian di atas dipahami bahwa wajah termasuk bagian yang tertutup oleh khimar, maka dengan adanya hadits yang menunjukkan bahwa wajah bukan termasuk aurat membawa pengertian وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ tidak memasukkan wajah pada pembicaraannya, sehingga ayat ini bukan merupakan dalil wajibnya wanita menutup wajah. Artinya wanita hanya dituntut untuk menjulurkan khimar mereka sampai menutupi leher dan dada, tanpa harus menutup wajah mereka.
Dalam hal ini, Ibnu Hazm berkomentar:
فَأَمَرَهُنَّ اللهُ تَعَالَى بِالضَّرْبِِ عَلَى الْجُيُوْبِ بِالْخِمَارِ وَهذَا نَصٌّ عَلَى سَتْرِ الْعَوْرَةِ وَالْعُنُقِ وَالصَّدْرِ . وَفِيْهِ نَصٌّ عَلَى إِبَاحَةِ كَشْفِ الْوَجْهِ لاَ يُمْكِنُ غَيْرُ ذَالِكَ أَصْلاً.
Artinya:
Maka Allah Ta’ala memerintah mereka (wanita-wanita yang beriman) untuk menjuraikan khimar sampai (menutupi) leher dan dada, dan ini merupakan nash (dalil) untuk menutup aurat, leher dan dada, dan sekaligus merupakan dalil (nash) bolehnya membuka wajah, tidak mungkin ada pengertian lain selain itu.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wanita diperintah untuk menjuraikan khimar mereka untuk menutup leher dan dada mereka, bukan wajah. وَاللهُ أَعْلَمُ
Ketiga, sebagian ulama berdalil dengan wajibnya cadar dari akhir ayat ini, yakni pada lafadh,
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
(dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka untuk menunjukkan perhiasan yang mereka sembunyikan),
dengan alasan bahwa tatkala menghentakkan kaki dilarang karena ditakutkan akan terjadi fitnah, maka membuka wajah lebih ditakutkan fitnah, maka menutupnya lebih utama.
Pendapat yang mengatakan bahwa wajah lebih utama untuk ditutup daripada kaki, tidak bisa dibenarkan karena tidak didasarkan kepada dalil. Berdasarkan analisa di depan, wajah bukan merupakan aurat, sehinga menutup wajah bukan merupakan kewajiban, sedangkan kaki adalah aurat, sehingga harus ditutup. وَاللهُ أَعْلَمُ

1.2 Surat Al-Ahzab (33):53
Pokok pembahasan dalam ayat ini adalah:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍٍٍٍ
Dan apabila kalian meminta suatu keperluan dari mereka (isteri-isteri Nabi sas.) maka mintalah kepada mereka dari balik hijab.
Sebagian ulama memberlakukan hijab dalam ayat ini umum untuk semua wanita, meskipun asal panggilan hanya ditujukan kepada isteri-isteri Nabi, sehingga semua wanita wajib berhijab dari laki-laki, termasuk menutup wajah mereka.
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Obyek pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi sas. Allah menyebutnya dengan dlamir (kata ganti) هُنَّ (mereka). Pembicaraan dalam ayat ini berkaitan dengan isteri-isteri Nabi sas. Hal tersebut ditunjukkan oleh sebutan di awal ayat tentang (larangan memasuki) rumah-rumah Nabi sas. karena isteri-isteri beliau berada di dalamnya, maka, dlamir هُنَّ kembali kepada mereka.
Adapun tentang hijab, mufassirin menyatakan bahwa maksud hijab dalam ayat ini adalah sitr (penghalang).
Kata حِجَابٌ berasal dari fi’il (kata kerja): حَجَبَ يَحْجُبُ حِجَابًا yang berarti “menghalangi”. Sedangkan الْحِِجَابُ adalah sebutan untuk segala sesuatu yang menghalangi dua benda. Apabila dikaitkan dengan ayat di atas maka pengertian hijab adalah sesuatu yang menghalangi (aurat) wanita dari (pandangan) laki-laki. Artinya, wanita harus berhijab dari laki-laki.
Al-Qadli ‘Iyadl, menyatakan bahwa kewajiban hijab itu adalah pengkhususan bagi mereka (isteri-isteri Nabi sas.), tanpa pengecualian dalam soal wajah dan dua telapak tangan. Mereka tidak boleh menampakkan diri mereka meskipun dalam keadaan tertutup kecuali karena faktor darurat seperti buang air besar. Hal ini dinyatakan juga oleh Al-‘Aini.
Adapun Asy-Syinqithi, berdalil dengan ayat ini atas wajibnya wanita menutup wajah dengan alasan keumuman kewajiban hijab atas semua wanita. Landasan pendapat beliau adalah adanya sifat yang sekaligus menjadi illat/sebab adanya hukum hijab tersebut, yakni pada kalimat sesudahnya yang berbunyi:ذَالِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ (yang demikian itu lebih bersih untuk hati-hati kalian dan hati-hati mereka). Keumuman illat/sebab itu (thaharatul qalbi/kesucian hati) menjadikan hukum tersebut umum.
Adapun penulis tidak memahami demikian. Ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi sas. Apabila kewajiban hijab diberlakukan untuk seluruh wanita itu kurang tepat karena, tidak ada nash yang menunjukkan bahwa wanita diwajibkan berhijab dengan menutup wajah mereka. Adapun tentang Thaharatul Qalbi (kesucian hati), diakui bahwa semua mukminat memerlukannya, akan tetapi, dalam hal ini, isteri-isteri Nabi sas. dilebihkan daripada yang lain. Dengan adanya keagungan dan keistimewaan mereka , maka penjagaan Allah terhadap mereka juga lebih daripada yang lain. Kebersihan (kesucian) hati yang Allah janjikan sebagaimana yang Dia firmankan dalam ayat 33 Al-Ahzab adalah merupakan salah satu dari sekian banyak kekhususan yang Allah berikan kepada mereka. Hal itu Dia jelaskan dalam ayat itu juga:

إِنَّمَا يُرِِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا.
Sesungguhnya tiada lain Allah berkehendak membersihkan kotoran dari (hati) kalian dan mensucikan (hati) kalian dengan sebenar-benar kesucian wahai ahlu bait (keluarga) Rasulullah.
Dalam ayat tersebut panggilan ditujukan kepada ahlu bait Rasulullah sas. tanpa yang lain, sehingga ayat tersebut hanya berlaku untuk mereka.
Walhasil, ayat ini menjadi dalil bagi tidak wajibnya cadar bagi wanita karena hijab untuk isteri-isteri Nabi sas. tidak berlaku untuk wanita lain.
وَاللهُ أَعْلَمُ
1.3 Surat Al-Ahzab (33):59
Ayat ini menunjukkan perintah mengenakan jilbab bagi wanita. Allah swt. berfirman:
يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ (hendaklah mereka menjuraikan jilbab-jilbab mereka atas diri mereka).
Lafadh يُدْنِيْنَ berarti mereka menjuraikan, sedangkan arti عَلَيْهِنَّ adalah atas (tubuh-tubuh) mereka. Secara dhahir, ayat ini memberikan pengertian bahwa wanita diperintah untuk mengenakan jilbab untuk menutup seluruh tubuhnya.
Adapun tentang definisi jilbab, Ibnul Arabi menyatakan sebagai berikut:
اخْتَلَفَ النَّاسُ فِى الْجِلْبَابِ عَلَى أَلْفَاظٍ مُتَقَارِبَةٍ , عِمَادُهَا أَنَّهُ الثَّوْبُ الَّذِى يُسْتَرُ بِهِ الْبَدَنُ.
Orang banyak berselisih tentang jilbab dalam beberapa lafadh yang hampir sama, yang pokok adalah pakaian yang dipakai untuk menutup tubuh wanita.
Definisi di atas dapat dilihat juga dalam kitab-kitab tafsir yang lain.
Adapun tentang penafsiran ayat يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ , sebagian ulama menyatakan bahwa idna’ dalam ayat ini berarti bahwa wanita menutup seluruh tubuh termasuk wajah kecuali satu mata saja.
Ulama yang menafsirkan demikian adalah Abu Bakar Ar-Razi, Abu Hayyan, dan Ibnul Jauzi , Abus-Su’ud , As-Suyuthi. (lihat bab III, tentang pendapat para ulama tentang cadar bagi wanita).ِِ
Ada dua riwayat yang menjadi landasan bagi pendapat mereka tentang adanya kewajiban menutup wajah dalam ayat ini. Kedua riwayat tersebut menjelaskan bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuh mereka dan hanya boleh menampakkan satu mata. Dua riwayat tersebut adalah riwayat Ibnu ‘Abbas dan Abidah As-Salmani, sebagai berikut:
حَدَّثَنِى عَلِيٌّ قَالَ ثَنَا أَبُوْ صَالِحٍ قَالَ ثَنِى مُعَاوِيَةُ عَنْ عَلِيٍّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَوْلُهُ يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ أَمَرَ اللهُ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ فِي حَاجَةٍ أَنْ يُغَطِّيْنَ وُجُوْهَهُنَّ مِنْ فَوْقِ رُؤُوْسِهِنَّ بِالْجَلاَبِيْبِ وَيُبْدِيْنَ عَيْنًا وَاحِدَةً.
Telah menceritakan kepadaku Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Shalih, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah dari ‘Ali dari Ibnu ‘Abbas, firman-Nya “Ya ayyuhan Nabiyyu qul liazwajika wa banatika wa nisa’il mukminina yudniina alaihinna min jalabiibihinna” (yakni) Allah memerintahkan wanita-wanita beriman untuk menutup wajah-wajah mereka dari ujung kepala dengan jilbab dan (hanya) menampakkan satu mata apabila mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk satu keperluan.
حَدَّثَنَا يَعْقُوْبٌ قَالَ ثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنِ ابْنِ سِْيرِيْنَ قَالَ سَأَلْتُ عَبِيْدَةً عَنْ قَوْلِهِ قُلْ لأََزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ قَالَ فَقَالَ بِثَوْبِهِ فَغَطَّى رَأْسَهُ وَ وَجْهَهُ وَأَبْرَزَ ثَوْبَهُ عَنْ إِحْدَى عَيْنَيْهِ.

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Hisyam, dari Ibnu Sirin, dia berkata: Aku bertanya kepada Abidah tentang firman-Nya “Qul Liazwajika wa banatika wa nisa’il mukminina yudniina alaihinna min jalabiibihinna” dia berkata: Kemudian dia (Abidah) berisyarat dengan kainnya, lalu menutup kepala serta wajahnya dan membuka kainnya dari salah satu dari dua matanya.
Berdasarkan penelitian penulis, riwayat Ibnu Abbas dan riwayat Abidah As-Salmani adalah riwayat yang dla’if, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Menurut penulis, penjuraian jilbab ke seluruh tubuh telah dikecualikan oleh adanya kebolehan menampakkan sebagian anggota tubuh wanita. Dalam penafsiran ayat 31 surat An-Nur, إِلاَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا, perkecualian yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah wajah dan dua telapak tangan (lihat hlm.27-29). Artinya, wanita diharuskan mengenakan jilbab untuk anggota tubuh yang termasuk aurat.
Walhasil, ayat ini tidak bisa dijadikan dalil wajibnya cadar bagi wanita. واللهُ أعلم.
2. Analisa Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Hukum Cadar
2.1 Hadits Ibnu Abbas ra. tentang Fadlel Memandang Wanita Khats’amiyyah (lihat bab II, hlm.7-8)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah sas. memalingkan wajah Fadlel tatkala dia memandang wanita Khats’amiyyah yang datang meminta fatwa kepada beliau.
Dalam salah satu lafadh yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas mensifatkan kecantikan wanita tersebut. Demikian juga dalam salah satu lafadh Al-Bukhari disebutkan bahwa bahwa Fadlel terpesona dengan kecantikan wanita tersebut.
Kalau saja wanita tersebut menutup wajahnya, niscaya Ibnu ‘Abbas tidak dapat menceritakan kecantikannya, dan kalau saja wajah wanita merupakan aurat, niscaya wanita diwajibkan menutupnya di waktu ihram dan itu tidak terjadi.
Walhasil, hadits ini menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajahnya.
Perstiwa ini terjadi pada Hajji Wada’ (hajji perpisahan) tepatnya di tahun ke-10H dan ini merupakan hajji terakhir yang Rasulullah sas. tunaikan sebelum beliau wafat.
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah memang bukan sesuatu yang diwajibkan karena sampai akhir hayat beliau, diketahui bahwa para wanita membuka wajah mereka dan keluar untuk menunaikan keperluan mereka, sedangkan ayat hijab sudah turun pada tahun 5H.
Satu hal yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa wanita diwajibkan membuka penutup wajah di waktu shalat dan hajji.
Hadits ini adalah hadits muttafaqun ‘alaih sehingga tidak diragukan keshahihannya dan dapat dijadikan hujjah.
Hadits ini sekaligus menjadi syahid bagi matan hadits ‘Aisyah (lihat hlm.10-11) bahwa wajah wanita boleh ditampakkan dan tidak merupakan aurat yang harus ditutup.
2.2 Hadits Ibnu Umar ra. tentang Larangan Bercadar bagi Wanita yang sedang Ihram (lihat bab II, hlm.9-10)
Hadits ini adalah hadits muttafaqun ‘alaih sehingga dapat dijadikan hujjah.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa wanita yang sedang ihram dilarang mengenakan cadar (tutup wajah). Adanya larangan menutup wajah di waktu ihram bukan merupakan perintah untuk menutup wajah di luar ihram sebagaimana yang dida’wakan oleh sebagian ulama. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa wanita harus menutup wajah di luar ihram. Kalau saja wajah termasuk aurat, niscaya mereka tetap diwajibkan menutupnya di waktu hajji dan waktu-waktu lain. واللهُ أعلم
Sebagian ulama mendakwakan adanya idraj dalam matan hadits Ibnu Umar ini, yakni pada akhir lafadh matan hadits ini dan itulah yang berkaitan dengan pembahasan wajib tidaknya cadar bagi wanita, yang berbunyi:

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
Dan janganlah wanita yang sedang ihram bercadar dan janganlah dia mengenakan dua sarung tangan.
Ibnu Daqiqil 'Id dan Taqiyyuddin tidak menyetujui adanya dakwaan tersebut. Beliau menyatakan bahwa dakwaan idraj dalam hadits ini tertolak dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa Nabi sas. melarang wanita yang sedang ihram untuk mengenakan cadar dan dua sarung tangan - dan itu terletak di awal matan -. Ini menunjukkan bahwa ada larangan dari Nabi sas. untuk mengenakan cadar di waktu ihram. Hadits tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Ishaq dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَقَ قَالَ فَإِنَّ نَافِعًا مَوْلَىعَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ حَدَّثَنِىعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَأَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى النِّسَاءَ فِى إِحْرَامِهِنَّ عَنِ الْقُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ...
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami bapakku dari Ibnu Ishaq dia berkata, sesungguhnya Nafi’, bekas budak ‘Abdullah bin Umar telah menceritakan kepadaku dari ‘Abdullah bin Umar bahwasanya dia (‘Abdullah bin Umar) mendengar Rasulullah sas. melarang para wanita mengenakan sarung tangan dan cadar pada waktu ihram...
Hadits tersebut adalah hadits shahih (lihat lampiran, hlm.62-63).
2.3 Hadits ‘Aisyah ra. tentang Larangan Menampakkan Anggota Tubuh Kecuali Wajah dan Dua Telapak Tangan (lihat bab II, hlm.10-11)
Hadits ini menjelaskan bahwa wanita yang sudah baligh, tidak boleh terlihat anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dengan kata lain, wajah dan dua telapak tangan termasuk anggota tubuh yang boleh ditampakkan dan tidak termasuk aurat. Hadits ini adalah hadits dla’if, banyak dicela oleh ulama dengan sebab banyaknya cacat di dalamnya.
Al-Baihaqi, mencantumkan hadits ini dalam Babu auratil mar’atil hurrati (bab aurat wanita merdeka). Ini menunjukkan bahwa hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Baihaqi bahwa wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat.
Meskipun hadits ‘Aisyah di atas dla’if, akan tetapi, ada hadits-hadits yang menunjukkan bahwa wajah tidak termasuk aurat dan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa para wanita di zaman Nabi sas. membuka wajah mereka {sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang telah lewat (hlm.35-36), hadits Ibnu Umar (hlm.36-37) serta hadits Jabir bin Abdillah tentang wanita yang kedua pipinya hitam kemerah-merahan hlm.39). Hadits-hadits tersebut menjadi syahid bagi matan hadits Aisyah yang mengandung pengertian bahwa wajah tidak termasuk aurat, sehingga hadits Aisyah ini berderajat hasan lighairihi dan dapat dijadikan hujjah.واللهُ أعلم.
2.4 Hadits Sahl bin Sa’ad tentang Wanita yang Menghadiahkan Diri kepada Rasulullah sas. (lihat bab II, hlm.11-13)
Hadits ini adalah hadits shahih sehingga dapat dijadikan hujjah.
Hadits ini digunakan oleh Nashiruddin Al-Albani sebagai dalil bahwa wanita tidak menutup wajah dan dua telapak tangannya.
Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya wanita menutup wajah. Mereka beralasan bahwa kebolehan memandang wanita hanya pada saat akan meminang sehingga di luar itu laki-laki haram memandang wanita, sehingga wanita harus menutup wajah mereka. Penulis tidak sependapat karena Rasulullah sas. tidak sedang meminang wanita tersebut.
Disamping itu, dalam riwayat Isma`ili, disebutkan bahwa pada saat itu beliau sedang berada di masjid, artinya ada kemungkinan bahwa para shahabat yang bersama beliau juga memandang wanita tersebut. Selain itu, penulis tidak mendapatkan hadits yang menunjukkan bahwa wanita diharuskan menutup wajahnya.
2.5 Hadits Jabir bin Abdillah ra. tentang Wanita yang Wajahnya Merah Kehitam-hitaman (lihat bab II, hlm.13-15)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Jabir mensifatkan keadaan kedua pipi wanita tersebut merah kehitam-hitaman. Pernyataan Jabir tersebut menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajahnya. Kalau saja wanita tersebut menutup wajahnya, niscaya Jabir tidak bisa melihat wajahnya dan tidak bisa menceritakan keadaan kedua pipinya yang merah kehitam-hitaman.
Hadits ini menunjukkan bahwa sebagian wanita di zaman Rasulullah sas. tidak menutup wajah dan tidak menunjukkan wajibnya wanita menutup wajah.
Hadits ini adalah hadits shahih sehingga dapat dijadikan hujjah.
2.6 Hadits ‘Aisyah tentang Menutup Wajah di Waktu Ihram (lihat bab II, hlm. 15)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa para wanita menutup wajah mereka tatkala berpapasan dengan para laki-laki di waktu ihram. Hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil wajibnya cadar bagi wanita, karena:
(1) Hadits ini adalah hadits dla’if.
(2) Adanya hadits shahih yang menjelaskan bahwa wanita dilarang memakai cadar di waktu ihram. . وَاللهُ أَعْلَمُ

2.7 Hadits Jarir bin Abdillah ra. tentang Perintah Memalingkan Pandangan (lihat bab II, hlm. 16)
Hadits ini dijadikan sebagai dalil wajibnya cadar dengan alasan bahwa Jarir diperintah untuk memalingkan pandangan apabila tanpa sengaja melihat wanita. Dengan kata lain, memandang wanita itu dilarang, dan itu menunjukkan bahwa wanita adalah aurat karena haram untuk dipandang, oleh karena itu, wanita harus menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah.
Penulis menolak pernyataan tersebut karena perintah memalingkan pandangan dalam hadits ini hanya menunjukkan larangan mengiringi pandangan dengan pandangan berikutnya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa wajah wanita merupakan aurat.
Hadits ini adalah hadits shahih .
2.8 Hadits Ibnu Buraidah ra. dari Bapaknya tentang Larangan Mengikuti Pandangan (Terhadap Lawan Jenis) (lihat hlm.16-17)
Hadits ini adalah hadits dla’if (lihat lampiran, hlm.61), sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits ini tidak menunjukkan wajibnya wanita mengenakan cadar, dhahir hadits hanya menunjukkan bahwa laki-laki diperintah untuk menundukkan pandangan.
Walhasil, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil wajibnya cadar bagi wanita. وَاللهُ أَعْلَمُ
2.9 Hadits Abu Humaid ra. tentang Memandang Wanita yang akan Dipinang (lihat bab II, hlm.17-18)
Hadits ini adalah hadits shahih (lihat lampiran, hlm.63). sehingga dapat dijadikan hujjah. Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya cadar bagi wanita. Penulis tidak sependapat dengan pernyataan tersebut karena tidak ada lafadh pada matan hadits ini yang menunjukkan wajibnya wanita menutup wajah.
Adanya rukhshah atau bahkan hasungan memandang wanita yang akan dipinang menunjukkan bahwa wanita pada waktu itu tidak menutup wajahnya. Kebolehan bagi laki-laki untuk memandang wanita tatkala ia ingin menikahinya tidak menjadi dalil bagi wajibnya wanita menutup wajah di luar waktu tersebut. وَاللهُ أَعْلَمُ
Walhasil, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil wajibnya cadar bagi wanita.
3. Analisa Pendapat Para Ulama tentang Cadar bagi Wanita
Pendapat ulama tentang wajib atau tidaknya cadar secara langsung belum atau tidak penulis dapatkan, akan tetapi, di sini penulis akan tetap menggunakan istilah wajib dan tidaknya cadar, karena menurut kesimpulan penulis, mereka yang berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat, mewajibkan wanita mengenakan cadar atau tutup wajah, sehingga dalam bab ini penulis banyak mencantumkan pendapat mereka tentang wajah wanita.
3.1 Cadar Wajib bagi Wanita
3.1.1 Pendapat Jumhur Ulama
Abdullah Nashih ‘Ulwan menyatakan bahwa Jumhur Ulama berpendapat bahwa wajah wanita harus ditutup (lihat hlm.19). Jumhur Ulama berhujjah dengan penafsiran para shahabat dan tabi’in tentang firman Allah ayat ke-59 dari surat Al-Ahzab dan apa yang dipraktikkan oleh wanita di zaman shahabat bahwa mereka menutup wajah mereka tatkala keluar untuk menunaikan hajat mereka.
Pendapat ini tertolak karena ayat tersebut tidak mengandung pengertian menutup wajah (lihat analisa ayat tersebut, hlm.32-35). Adapun riwayat para shahabat tentang penafsiran ayat ini dengan menutup wajah merupakan atsar yang tidak dapat dijadikan pegangan.
Dalam kitab Al-Umm, pada bab aurat wanita dalam shalat, penulis mendapatkan pernyataan imam Asy-Syafi’i bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan. Penulis juga tidak mendapatkan sebagaimana pernyataan ‘Abdullah Nashih Ulwan bahwa Imam Malik dan Imam Ahmad menyatakan wajah wanita harus ditutup.
Adapun tentang pernyataan bahwa wanita di zaman Rasulullah sas. tidak keluar kecuali dengan menutup wajah, penulis tidak sependapat karena, pernyataan bahwa wanita di zaman Rasulullah sas. keluar dengan menutup wajah tidak menjadi dalil bahwa semua wanita melakukan hal tersebut. (Untuk lebih jelas, lihat analisa pendapat Ibnul Arabi yang akan datang). Demikian ulasan penulis tentang pendapat di atas. وَاللهُ أَعْلَمُ.
3.1.2 Pendapat Asy-Syafi’iyyah
Pendapat ini menyatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan wanita tatkala berhadapan dengan laki-laki ajnabi adalah aurat (lihat hlm.19)
Pendapat ini tidak dapat diterima karena wajah dan dua telapak tangan tidak termasuk aurat, sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam analisa ayat 31 surat An-Nur (lihat hlm. 27-30).
3.1.3 Pendapat Abu Bakar Ar-Razi, As-Suyuthi dan Abus-Su’ud
Pendapat ini menyatakan bahwa ayat 59 surat Al-Ahzab merupakan dalil wajibnya cadar (lihat hlm.20). Penulis tidak sependapat karena ayat tersebut tidak menunjukkan demikian (lihat analisa ayat tersebut di hlm.32-35).
3.1.4 Pendapat Ibnul Araby
Pendapat ini menyatakan bahwa tubuh dan suara wanita adalah aurat, tidak boleh membukanya sama sekali kecuali dalam hal-hal yang mendesak/terpaksa (lihat hlm. 21).
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan di atas. Diketahui bahwa di zaman Rasulullah sas. sebagian shahabiyyat keluar dengan tidak mengenakan penutup wajah dan mereka juga berbicara sehingga suara mereka didengar oleh orang lain. Sebagai contoh adalah peristiwa seorang wanita yang kedua pipinya merah kehitam-hitaman, bertanya kepada Rasulullah sas. tentang sebab banyaknya wanita yang akan menjadi bahan bakar neraka (lihat hlm. 39).
Jadi, wajah, telapak tangan dan suara wanita bukan merupakan aurat. وَاللهُ أَعْلَم
3.1.5 Pendapat Ash-Shabuni
Pendapat ini menyatakan bahwa wajah itu merupakan pokok kecantikan dan fitnah, oleh karena itu wanita wajib menutupnya (lihat hlm.21).
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan di atas. Menutup wajah bukan merupakan kewajiban karena wajah bukan termasuk aurat (lihat analisa ayat 31 surat An-Nur, hlm.27-30) meskipun orang banyak menganggap bahwa wajah merupakan pokok kecantikan.
Di samping itu, kewajiban berhijab dengan menutup wajah hanya berlaku untuk Ummahatul Mukminin, tanpa yang lain sehingga kewajiban menutup wajah tidak bisa diterapkan secara umum untuk semua wanita (lihat analisa ayat 53 Al-Ahzab, hlm.30-32). وَاللهُ أَعْلَم
3.1.6 Ibnu Khuwaiz Mandad
Beliau menyatakan bahwa wanita wajib menutup wajah tatkala dia cantik dan ditakutkan timbulnya fitnah dengan membukanya, sedangkan bagi wanita yang dianggap jelek atau sudah tua, boleh membukanya (lihat hlm.21).
Penulis tidak sependapat dengan pendapat tersebut. Wanita, baik tua atau muda, dianggap cantik atau jelek tidak diwajibkan menutup wajahnya - meskipun dikatakan bahwa dengan membuka wajah ditakutkan timbulnya fitnah - karena wajah bukan merupakan aurat (lihat analisa ayat 31 surat An-Nur, hlm. 27-30).
3.2 Cadar Tidak Wajib Bagi Wanita
3.2.1 Pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Rusyd, dan An-Nawawi.
Mereka menyatakan bahwa tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan (lihat hlm.22).
Pendapat ini bisa diterima karena wajah dan dua telapak tangan wanita bukan merupakan aurat (lihat analisa ayat 31 surat An-Nur hlm.27-30, dan hadits ‘Aisyah, hlm.37-38).
Dari data yang yang penulis kemukakan, ada dua ulama yang namanya tercantum dalam dua klasifikasi hukum sekaligus. Keduanya adalah Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’I (lihat hlm.19 dan 22). Penulis tidak mendapatkan keterangan tentang manakah sebenarnya pendapat yang mereka pegang dari dua pendapat yang disandarkan kepada mereka tersebut, sehingga penulis tidak membahasnya di sini.
3.2.2 Pengikut madzhab Malik dan Hanafi
Pendapat ini menyatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan tidak termasuk aurat karena wanita diharuskan membukanya di waktu shalat dan ihram. Kalau saja keduanya merupakan aurat niscaya tidak dibolehkan membukanya karena menutup aurat itu wajib. Shalat seseorang tidak sah apabila auratnya terbuka (lihat hlm.22).
Pendapat ini dapat diterima karena wajah dan dua telapak tangan bukan merupakan aurat (lihat analisa ayat 31 surat An-Nur, hlm.27-30).
3.2.3 Pendapat Pengikut Madzhab Hanbali
Kelompok ini berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah (lihat hlm.23).
Penulis tidak setuju dengan pendapat tersebut . Menurut penulis, wajah dan dua telapak tangan wanita bukan merupakan aurat. Lihat analisa ayat ”Illa Ma Dhahara Minha” di halaman 27-30.
3.2.4 Pendapat Al-Alusi
Beliau menyatakan bahwa wajah bukan merupakan aurat, oleh karena itu wanita tidak wajib menutupnya. Beliau menyatakan hal tersebut dalam menafsirkan ayat 59 surat Al-Ahzab (lihat hlm. 23).
Pendapat tersebut dapat diterima karena sesuai dengan analisa ayat 31 surat An-Nur (lihat hlm. 27-30) dan analisa hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang menunjukkan bahwa wanita tidak diwajibkan menutup wajahnya (lihat hlm. 35-37).
3.2.5 Pendapat Al-Qasthalani
Beliau menyatakan bahwa aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya, sebagaimana Ibnu Abbas telah menafsirkan firman Allah Ta’ala “Illa Ma Dhahara Minha” (lihat hlm.23).
Pendapat ini dapat diterima karena sesuai dengan penafsiran ayat tersebut (lihat hlm.27-30).
3.2.6 Pendapat Asy-Syirazi
Asy-Syirazi berpendapat bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan. Beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala “Illa ma dhahara minha”. Selain itu, Rasulullah melarang wanita yang sedang ihram mengenakan sarung tangan dan cadar di waktu hajji. Kalau saja keduanya merupakan aurat, niscaya tidak dilarang menutupnya. Wajah tidak termasuk aurat karena diperlukan membukanya dalam jual beli (lihat hlm. 23-24).
Penulis menerima pendapat tersebut karena sesuai dengan penafsiran ayat “Illa Ma Dhahara Minha”, yang sudah penulis jelaskan di muka yakni dalam bab analisa ayat-ayat yang berkaitan dengan cadar; bahwa wajah dan dua telapak tanganlah yang dimaksudkan dalam perkecualian ayat tersebut, sehingga wajah tidak termasuk aurat.
Adapun tentang pernyataan beliau bahwa kalaulah wajah termasuk aurat, niscaya dalam ihram wanita tidak dilarang menutupnya, penulis menerima pendapat tersebut karena menurut fakta, wanita harus membuka penutup wajah di waktu ihram.
Selain itu, terbukti bahwa sebagian wanita di zaman Rasululah tidak menutup wajah mereka di luar waktu ihram (lihat hlm.13-15 tentang wanita yang kedua pipinya merah kehitam-hitaman). Ini menunjukkan bahwa wanita tidak diharuskan menutup wajah.
Adapun dalam jual beli, kadang-kadang memang diperlukan menampakkan wajah untuk membedakan dan mengetahui wajah seorang perempuan dari yang lain. Contoh lain, diperlukan membuka penutup wajah juga dalam persaksian dan pengobatan. Ibnu Qudamah menjelaskan:

وَيَجُوْزُ لِمَنْ أَرَادَ شِرَاءَ جَارِيَةٍ النَّظْرُ مِنْهَا إِلَى مَا عَدَا عَوْرَتَهَا, لِلْحَاجَةِ إِلَى مَعْرِفَتِهَا, وَيَجُوْزُ لِلرَّجُلِ النَّظْرُ إِلَى وَجْهِ مَنْ يُعَامِلُهَا, لِحَاجَتِهِ إِلَى مَعْرِفَتِهَا, لِلْمُطَالَبَةِ بِحُقُوْقِ الْعَقْدِ, وَيَجُوْزُ ذَالِكَ عِنْدَ الشَّهَادَةِ لِلْحَاجَةِ إِلَى مَعْرِفَتِهَا لِلتَّحَمُّلِ وَاْلأَدَاءِ. وَيَجُوْزُ لِلطَّبِيْبِ النَّظْرُ إِلَى مَا تَدْعُوْ الْحَاجَةُ إِلَى مُدَاوَاتِهِ, مِنْ بَدَنِهَا حَتَّى الْفَرْجِ, لأَنَّهُ مَوْضِعٌ ضَرُوْرَةٍ, فَأَشْبَهَ الْحَاجَةَ إِلَى الْخِتَانِ.
Artinya:
Seseorang yang hendak membeli budak wanita boleh melihat selain auratnya untuk mengenalinya. Seorang laki-laki diperbolehkan melihat wajah wanita yang dia bermu’amalah dengannya untuk keperluan mengenalinya, untuk menuntut hak-hak yang berkaitan dengan ikatan perjanjian. (Melihat wajah wanita) juga diperbolehkan dalam persaksian untuk mengenalinya untuk menggantikan saksi dan menunaikan persaksian. Seorang dokter boleh melihat anggota tubuh yang diperlukan dalam pengobatan, sampai kemaluan (sekalipun) karena itu merupakan tempat darurat, maka keperluan tersebut menyerupai khitan.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa wanita tidak diwajibkan menutup wajah.

3.2.7 Pendapat Ibnu Abdil Barr
Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa selain wajah dan kedua telapak tangan wanita adalah aurat dengan dalil dia tidak boleh membukanya di waktu shalat (lihat hlm. 24-25).
Pendapat ini bisa diterima, karena menutup aurat dalam shalat adalah wajib dan itu menjadi syarat sah shalat. Artinya kalau saja wajah merupakan aurat, maka wanita akan diwajibkan menutup wajah dalam shalat.
3.2.8 Pendapat Ibnu Bathal
Ibnu Bathal berpendapat bahwa wanita tidak wajib menutup wajah karena adanya kesepakatan ulama bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya di waktu shalat, meskipun laki-laki ajnabi (asing) melihatnya. Beliau juga menyatakan bahwa perintah menundukkan pandangan dalam ayat 30 surat An-Nur berlaku tatkala melihat kepada selain wajah (lihat hlm. 25).
Penulis telah menjelaskan dalam analisa ayat 31 surat An-Nur (lihat hlm. 27-30) bahwa wajah tidak termasuk aurat. Kalau saja wajah termasuk aurat, niscaya dalam shalat wanita tetap diwajibkan menutup wajahnya.
Penulis tidak sependapat bahwa perintah menundukkan pandangan itu hanya berlaku tatkala melihat selain wajah, karena adanya hadits yang menunjukkan larangan mengikuti satu pandangan dengan pandangan yang lain (lihat hlm. 16). Hadits ini berlaku tatkala perempuan tidak terlihat kecuali wajah dan dua telapak tangannya.
3.2.9 Pendapat Al-Qadli Iyadl
Al-Qadli Iyadl berpendapat bahwa wajah tidak termasuk aurat. Menutup wajah hanya merupakan amalan yang disukai, sedangkan laki-laki, harus menundukkan pandangan. Beliau berdalil dengan ayat 30 surat An-Nur (lihat hlm. 25).
Pendapat ini dapat diterima. Ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa laki-laki diperintah untuk menundukkan pandangan dan tidak menunjukkan bahwa wanita diwajibkan untuk menutup wajahnya.
3.2.10 Pendapat Sayyid Quthb
Beliau berpendapat bahwa perhiasan yang terdapat di wajah atau dua telapak tangan boleh ditampakkan dengan adanya hadits ‘Aisyah tentang sabda Nabi sas. kepada Asma’ binti Abu Bakar (lihat hlm. 26).
Penulis menerima pendapat tersebut karena wajah dan dua telapak tangan memang bukan merupakan aurat sehingga boleh menampakkannya, demikian juga perhiasan yang terdapat padanya.
Adapun pendapat beliau tentang hadits Aisyah bahwa itu menunjukkan bolehnya wanita menampakkan wajah dan dua telapak tangan dapat diterima karena hadits tersebut menunjukkan demikian (lihat analisa hadits tersebut di hlm. 37-38)
Dari analisa pendapat ulama di atas dapat kita ketahui bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan termasuk aurat. وَاللهُ أَعْلَم
Dari analisa data-data di atas, dapat diketahui bahwa:
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Artinya, wanita tidak wajib menutup wajah atau mengenakan cadar dan tidak wajib menutup dua telapak tangan.
Setelah kita mengetahui bahwa menutup wajah bukan merupakan kewajiban, kiranya masih tersisa satu pertanyaan di benak pembaca tentang sunnah atau mubahkah hukum cadar bagi wanita, karena kalimat tidak wajib-dalam hal ini-mempunyai dua kemungkinan, yaitu sunnah atau mubah.
Dari dua kemungkinan di atas, pendapat yang benar menurut penulis adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum cadar bagi wanita adalah mubah (dibolehkan). وَاللهُ أَعْلَم
Dalam ushul fikih dijelaskan bahwa mubah adalah:
مَا لاَ يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ.
Perbuatan yang tidak diganjar atas pengerjaannya dan tidak disiksa atas meninggalkannya.
Adapun Wahbah Az-Zuhaili, mendefinisikan mubah sebagai berikut:
الْمُبَاحُ هُوَ لُغَةً: الْمُعْلَنُ وَ الْمَأْذُوْنُ, وَ شَرْعًا: هُوَ مَا خَيَّرَ الشَّارِِعُ الْمُكَلَّفَ بَيْنَ فِعْلِهْ وَتَرْكِهِ, وَهُوَ مَالاَ يَتَعَلَّقُ بِفِعْلِهِ مَدْحٌ وَلاَ ذَمٌّ.
Mubah menurut bahasa adalah: sesuatu yang diumumkan dan diidzinkan. Sedangkan menurut syari’at adalah: Amalan yang Pembuat syari’at itu memberi pilihan kepada mukallaf antara memperbuat atau meninggalkannya, dan dia (mubah) merupakan amalan yang perbuatannya tidak berkaitan dengan pujian atau celaan.
Dari definisi di atas, kita ketahui bahwa amalan mubah adalah amalan yang boleh dijalankan atau ditinggalkan, tidak menyebabkan pelakunya dicela atau dipuji.
Penulis lebih cenderung kepada mubah karena:
1. Adanya dalil yang menunjukkan bahwa wajah wanita bukan merupakan aurat, sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada bab analisa pada surat An-Nur (24):31 (lihat hlm.27-30) dan Hadits ‘Aisyah tentang bolehnya wanita menampakkan wajah dan dua telapak tangannya (lihat hlm.37-38).
2. Adanya larangan menutup wajah di waktu shalat dan hajji. Ini menunjukkan bahwa wajah bukan merupakan aurat. Karena wajah bukan merupakan aurat maka wanita diperbolehkan memilih membuka atau menutupnya di luar waktu shalat dan hajji.
3. Tidak ada dalil jelas yang menunjukkan bahwa menutup wajah adalah sunnah atau pelakunya (akan) mendapat pahala.
4. Laki-laki diperintah untuk menundukkan pandangan. Ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang dapat dilihat, yang tidak termasuk aurat, dalam hal ini wajah. Karena wajah bukan merupakan aurat maka wanita boleh menampakkan wajahnya.
Walhasil, hukum cadar bagi wanita adalah mubah sehingga wanita mendapat kebebasan dalam mengenakannya. وَاللهُ أَعْلَم

BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari data-data dan analisa yang telah penulis kemukakan, penulis mengambil kesimpulan bahwa:
Hukum cadar bagi wanita adalah mubah.
2. Saran
2.1 Hendaklah para wanita mengenakan pakaian yang menutup aurat, sebagaimana yang dia yakini.
2.2 Hendaklah para wanita memperhatikan diri, jangan menampakkan sesuatu yang seharusnya ditutup kepada para lelaki yang bukan mahram.
3. Kata penutup
Hamdan lillahi, yang telah melimpahkan karunia kepada seluruh hamba-Nya. Hanya dengan izin-Nya-lah, karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penulis telah berusaha dengan segala kemampuan, akan tetapi, sebagai hamba Allah yang lemah, penulis menyadari dan meyakini adanya kekurangan dan kesalahan dalam penyajian karya ilmiah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca sangat penulis harapkan demi kemashlahatan karya ilmiah ini.
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah, semoga Dia menjadikan jerih payah ini sebagai amal sholeh bagi penulis dan bagi mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Amin.
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
وَ قُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعلَمِيْنَ


DAFTAR PUSTAKA

Mushhaf Al-Qur`anul Karim

KELOMPOK KITAB TAFSIR
1. Abus-Su’ud, Tafsirul ‘Allamah Abus Su’ud Irsyadul ‘Aqlis Salim Ila Mazayal Kitabil Karim, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
2. Al-Alusi, Abul Fadll Syihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Baghdadi, Tafsir Ruhul Ma’ani, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1415 H /1994 M.
3. Al-Burusawi, Isma’il Haque, Asy-Syaikh, Tafsiru Ruhul Bayan, Daru Ihyait Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon, Cetakan VII, 1405 H / 1985 M.
4. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, At-Tafsirul Qasimi Al-Musamma Mahasinut Ta’wil, Daru Ihya’it Turatsil ‘Arabi, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1415 H /1994 M.
5. Al-Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Darul Kutubil Mishriyyah, Kairo, Cetakan III, 1387 H / 1967 M.
6. An-Nasafi, ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud, Al-Imam, Tafsirun Nasafi Al Musamma Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Takwil, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1415 H / 1990 H.
7. Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Rawai’ul Bayan, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1416 H /1996 M.
8. As-Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar, Ad-Durrul Mantsur Fit Tafsiril Ma`tsur, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1411 H / 1990 M.
9. Asy-Syinqithi, Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakanni, Adlwa’ul Bayan Fi Idlahil Qur’an Bil Qur’an, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1417 H / 1996 M.
10. Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan III, 1398 H / 1978 M.
11. Ath-Thaba-thaba`i, Muhammad Husain, Al-‘Allamah As-Sayyid, Al-Mizan fi Tafsiril Qur`an, Mansyuratun Muassasatul A’lami, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1393 H / 1973 M.
12. Ibnul ‘Arabi, Abu Bakar Muhammad bin ‘Abdillah, Ahkamul Qur’an, Darul Kitabil Arabi, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1421 H / 2000 M.
13. Ibnu Katsir, ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Tafsirul Qur’anil ‘Adhim, Sulaiman Mar’i, Singapura, Kota Bahazu, Pinang, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
14. Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir Fil ‘Aqidah Wasy-Syari’ah Wal Manhaj, Darul Fikr Al-Mu’ashir, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1411 H /1991 M.
KELOMPOK KITAB HADITS
15. Abu Dawud, Sulaiman bin Asy-ats As-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, 1410 H /1990 M.
16. Ad-Darimi, Abu Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadll bin Bahram bin ‘Abdus Shamad At-Tamimi As-Samarqandi, Sunanud-Darimi, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
17. Ahmad bin Hanbal, Musnadul Imami Ahmad Bin Hanbal, Al-Maktabul Islami, Daru Irshad, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
18. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imamul Muhadditsin, Al-Hafidhul Jalil, Kitabus Sunanis Shaghir, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1412 H./ 1992 M.
19. Al-Baihaqi, Abu Bakar, Ahmad bin Husain bin ‘Ali, Imamul Muhadditsin, Al-Hafidhul Jalil, As-Sunanul Kubra Lil Baihaqi, Math ba'atu Majlisi Da`iratil Ma'arifin Nidhamiyyah, India, Cetakan I, 1347 H.
20. Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Al-Bardizbah, Matanul Bukhari Masykul Bihasyiatis Sindi, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
21. Al-Hakim, Abu ‘Abdillah An-Naisaburi, Al-Imam Al-Hafidh, Al-Mustadrak Alas-Shahihain, Maktabul Mathbu’atil Islamiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
22. An-Nasa’I, Jalaluddin As-Suyuthi, Sunanun Nasa’I bi Syarhil Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi wa Hasyiatul Imamis Sindi, Al-Mathba’atul Mishriyyah, Azhar, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
23. Ath-Thabarani, Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad, Al-Hafidh, Al-Mu’jamul Kabir, Ad-Darul ‘Arabiyyah, Baghdad, Cetakan I, 1398 H / 1978 M.
24. At-Turmudzi, Abu ‘Isa, Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Al-Jami’us Shahih wa Huwa Sunanut-Turmudzi, Mathba’ah Mushtafa Al-Babil Halabi wa Auladuhu, Kairo, Cetakan I,1385 H / 1965 M.
25. Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad Al-Kufi Al-‘Anbasi, Al-Kitabul Mushannaf Fil Ahaditsi Wal Atsar, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1416 H / 1995 M.
26. Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah As-Sulami An-Naisaburi, Shahih Ibnu Khuzaimah, Al-Maktabatul Islam, Beirut, Cetakan II, 1412 H / 1992 M.
27. Ibnu Majah, Abu Hasan Al-Hanafi al-ma’ruf bis Sindi, Sunanubni Majah, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1418 H / 1997 M.
28. Manshur ‘Ali Nashif, At-Tajul Jami’u Lil Ahaditsir Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1418 H / 1997 M.
29. Malik, Muwaththa’ul Imami Malik, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
30. Muslim, Abul Husain, Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy An-Naisabury, Al-Jami’us Shahih, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
KELOMPOK KITAB FIKIH
31. ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Darus Salam, Beirut, Cetakan III, 1401 H / 1981 M.
32. Al-Jazairi, ‘Abdurrahman, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil ‘Arba’ati, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1411 H / 1990 M.
33. Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahihu Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhihu Madzahibil A’immah, Al-Maktabatut Taufiqiyyah, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
34. Ibnu Rusyd, Al-Imam Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan X, 1408 H / 1988 M.
35. Asy-Syafi’i, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Darul Fikr, Beirut, Cetakan II, 1403 H / 1983 M.
36. Asy-Sya’rani, Abul Mawahib ‘Abdul Wahhab bin Ahmad Al-Anshari, Al-Mizanul Kubra, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, Tanpa Tahun.
37. Asy-Syarbini, Muhammad Asy-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna’ Fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
38. Asy-Syirazi, Asy-Syaikh Al-Imam Az-Zahid Al-Muwaffiq Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf Al-Fairuz Abadi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhi Madzhabil Imamisy Syafi’iyyi Radliyallahu ‘Anhu, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1414 H / 1994 M.
39. Ibnu Hazm, Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
40. Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Muwaffiquddin ‘Abdullah bin Qudamah Al Maqdisi, Al-Kafi Fi Fiqhil Imami Ahmad bin Hanbal, Al-Maktabatut Tijariyyah Mushthafa Ahmad Al-Baz, Makkah aL-Mukarramah, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
41. Ibnu Rusyd, Abul Walid, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan IX, 1408 H / 1988 M.
42. Wahbah Az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikril Mu’ashir, Beirut, Lebanon, Cetakan II, 1418 H / 1998 M.
KELOMPOK KITAB SYARH
43. Abuth-Thayyib Abadi, Muhammad Syamsyul Haqqil ‘Adhim,’Aunul Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan II, 1399 H / 1979 M.
44. Al-’Aini, Badruddin Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, Daru Ihyait Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
45. Al-Kandahlawi, Muhammad Zakariyya, Al-‘Allamah Syaikhul Islam, Aujazul Masalik Ila Muwaththa` Malik, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, 1394 H / 1974 M.
46. Al-Mubarakfuri, Abul ‘Ula Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadi Syarhu Jami'it Tirmidzi, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan III, 1399 H / 1979 M.
47. Al-Qadli Iyadl, Abul Fadl ‘Iyadl bin Musa bin ‘Iyadl Al-Yahsibi, Al-Imam Al-Hafidh, Syarhu Shahihi Muslim Al-Musamma Ikmalul Mu’lim bi Fawaidi Muslim, Darul Wafa`, Tanpa Nama Kota, Cetakan I,1419 H / 1998 M.
48. Al-Qasthalani, Syihabuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad Asy-Syafi’i, Irsyadus Sari Bi Syarhi Shahihil Bukhari, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1416 H / 1996 M.
49. An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf, AL Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
50. An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf, Shahihu Muslim bi Syarhin Nawawi, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
51. Asy-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, Nailur Authar Bi Syarhi Muntaqal Ahbar Min Ahaditsi Sayyyidil Akhyar, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi wa Auladuhu, Mesir, Tanpa Nomor Cetakan,1347 H.
52. Ibnu ‘Abdil Barr, Yusuf bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil Barr Al-Qurthubi, At-Tamhid Li Ma Fil Muwaththa’ Minal Ma’ani Wal Masanid, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1419 H / 1999 M.
53. Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Kannani Al-’Asqalani Asy-Syafi’i, Al-Hafidz, Fathul Bari, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
KELOMPOK KITAB RIJAL
54. Adz-Dzahabi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman, Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal, Darul Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan I, 1382 / 1963.
55. Ibnu ‘Adi, Abu Ahmad ‘Abdullah Bin ‘Adi Al-Jurjani, Al-Imam Al-Hafidh, Al-Kamil Fi Dlu’afair Rijal, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cetakan III, 1409 H / 1988 M.
56. Ibnu Hajar, Syihabuddin Abul Fadll Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Kannani Al-’Asqalani Asy-Syafi’i, Tahdzibut-Tahdzib, Mathba’ah Majlis Dairah Al-Ma’arif, India, Cetakan I, 1325 H.
57. Ibnu Hajar, Syihabuddin Abul Fadll Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Kannani Al-’Asqalani Asy-Syafi’i, Taqribut-Tahdzib, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, 1415H / 1885M.
58. Ibnu Hajar, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-’Asqalani, Hadyus Sari Al-Muqaddimah Fathul Bari, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan,Tanpa Tahun.
KELOMPOK KITAB MUSTHALAH
59. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa’iduts Tahdits Min Fununi Musthalahil Hadits, Darul kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
60. Mahmud Ath-Thahhan, Taisiru Musthalahil Hadits, Darul Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
61. Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, Darul Fikr, Tanpa Nomor Cetakan, 1409 H / 1989 M.
KELOMPOK KITAB KAMUS
62. Ibrahim Unais et.al., Al-Mu’jamul Wasith, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Nama Kota, Cetakan II, Tanpa Tahun.
63. Az-Zubaidi, Muhammad Murtadla, Tajul ‘Arus, Maktabatul Khairiyyah, Tanpa Nama Kota, Cetakan I, 1306 H.
64. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cetakan I, 1997 M.
LAIN-LAIN
65. Drs. Marzuki, Metodologi Riset, BPFE, UII, YOGYAKARTA, Cetakan VII, 2000 M.
66. Prof. Dr. ‘Abdul ‘Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cetakan I, 1996 M.
67. Prof. Drs. Sutrisno Hadi, M.A., Metodologi Research, Yogyakarta, Gama, Cetakan VII, 1986 M.
68. Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Risalatul Hijab, Darul Qasim, Riyadl, Cetakan III, 1417 H.
69. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ar-Radd Al-Mufhim, Hukum Cadar, Media Hidayah, Yogyakarta, Cetakan I, 2002 M.


LAMPIRAN
URAIAN KEDUDUKAN HADITS DAN RIWAYAT
1. Kedudukan Hadits
1.1 Hadits Ibnu Abbas ra. tentang Fadlel Memandang Wanita Khats’amiyyah (lihat bab II, hlm.7-8)
Hadits ini adalah hadits muttafaqun ‘alaihi. . Hadits muttafaqun ‘alaihi tergolong hadits shahih tingkatan pertama
1.2 Hadits Ibnu Umar r.a. tentang Larangan Bercadar bagi Wanita yang sedang Ihram (lihat bab II, hlm. 9-10)
Hadits ini adalah hadits muttafaqun ‘alaihi.
1.3 Hadits ‘Aisyah r.a tentang Larangan Menampakkan Anggota Tubuh Kecuali Wajah dan Dua Telapak Tangan (lihat bab II, hlm.10-11)
Urutan rawi dalam sanad hadits ‘Aisyah adalah sebagai berikut:
1. Abu Dawud.
2. Ya’qub bin Ka’ab Al-Anthaki.
3. Muammal.
4. Al-Walid.
Dalam Hadyus Sari disebutkan bahwa Al-Walid bin Muslim adalah seorang rawi yang masyhur dan disepakati ketsiqatannya, hanya saja mereka mencela karena banyaknya tadlis dan taswiyah.
5. Sa’id bin Basyir. Ia seorang rawi dlaif.
6. Qatadah.
Ibnu Hajar dalam Hadyus Sari , menyatakan bahwa Qatadah adalah seorang mudallis, sedangkan Abu Dawud menyatakan bahwa Al-Jama’ah telah berhujjah dengannya.
7. Khalid bin Duraik.
Beliau adalah seorang rawi tsiqat sebagaimana pernyataan Murrah dan An-Nasa’i. Hanya saja Adz-Dzahabi menjelaskan:
وَثّقَهُ ابْنُ مَعِيْنٍ وَ النَّسَائِيُّ لَكِنَّ رِوَايَتَهُ عَنِ الصَّحَابَةِ مُرْسَلَةٌ.
Artinya:
Ibnu Ma’in dan An-Nasa’i mentsiqatkannya (Khalid), akan tetapi riwayat dia dari para shahabat (berkedudukan) mursal.
8. ‘Aisyah
Riwayat para sahabat diterima karena mereka semua adalah orang-orang yang ‘adl.
Hadits ini adalah hadits dla’if karena mempunyai empat kelemahan sebagai berikut:
(1) Terputusnya sanad antara Khalid bin Duraik dan ‘Aisyah.
(2) Kedla’ifan Sa’id bin Basyir, khususnya dalam periwayatan dia dari Qatadah.
(3) Riwayat Qatadah dengan ‘an’anah sedangkan dia seorang mudallis.
(4) Riwayat Al-Walid bin Muslim, dengan ‘an’anah sedangkan dia juga mudallis.
Meskipun demikian, ada hadits-hadits yang menjadi syahid bagi hadits ‘Aisyah ini, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas (lihat hlm.7-8) dan hadits Ibnu ‘Umar (lihat hlm.9-10), sehingga hadits ‘Aisyah tersebut terangkat derajatnya menjadi hasan lighairihi. Hadits hasan lighairihi dapat dijadikan hujjah.
1.4 Hadits Sahl bin Sa’ad ra. tentang Wanita yang Menghadiahkan Diri kepada Rasulullah sas. (lihat bab II, hlm.11-13)
Hadits ini adalah hadits muttafaqun ‘alaihi.
1.5 Hadits Jabir bin Abdillah ra. tentang Seorang Wanita yang Kedua Pipinya Merah Kehitam-hitaman (lihat bab II, hlm.13-15)
Hadits ini adalah hadits shahih. Hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dengan bersendiri tidak bersamaan dengan Al-Bukhari tergolong hadits shahih tingkatan ketiga.
1.6 Hadits ‘Aisyah ra. tentang Para Wanita yang Menutup dan Membuka Wajah Mereka pada Waktu Hajji (lihat hlm. 15)
Urutan rawi dalam sanad hadits ‘Aisyah di atas sebagai berikut:
1. Abu Dawud
2. Ahmad bin Hanbal
3. Husyaim
4. Yazid bin Abi Ziyad
5. Mujahid
6. ‘Aisyah
Hadits ‘Aisyah tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalan Mujahid dari ‘Aisyah dengan menggunakan shighat ‘an’anah {menggunakan lafadh (عَنْ فُلاَنٍ) dalam periwayatannya}. Sa’ad bin Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dan Ibnu Ma’in menyatakan bahwa Mujahid tidak mendengar dari ‘Aisyah. Abu Hatim juga menjelaskan bahwa (riwayat) Mujahid dari ‘Aisyah itu mursal.
Dalam ‘Aunul Ma’bud, Abuth-Thayyib Abadi menjelaskan bahwa:
وَقَدْ أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ فِى صَحِيْحَيْهِمَا مِنْ حَدِيْثِ مُجَاهِدٍ عَنْ عَائِشَةَ أَحَادِيْثَ مِنْهَا مَا هُوَ ظَاهِرٌ فِى سِمَاعِهِ
Artinya:
Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan hadits Mujahid dari ‘Aisyah dalam dua kitab shahih mereka beberapa hadits, dan di antara beberapa hadits tersebut terdapat hadits yang jelas (menunjukkan) pendengarannya (Mujahid).
‘Ali Al-Madini menuturkan bahwa dia tidak mengingkari adanya pertemuan Mujahid dengan sekelompok shahabat dan dia telah mendengar dari ‘Aisyah. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan dalam Tahdzibut-Tahdzib:
وَقَعَ التَّصْرِيْحُ بِسِمَاعِهِ مِنْهَا عِنْدَ أَبِى عَبْدِ اللهِ الْبُخَارِيِّ فِى صَحِيْحِهِ.
Artinya:
Telah terbukti penjelasan pendengarannya (Mujahid) darinya (‘Aisyah) pada Imam Abu ‘Abdillah Al-Bukhari dalam kitab shahihnya.
Penulis tidak mendapatkan data bahwa dalam hadits ini, Mujahid memang mendengar dari ‘Aisyah. Selain itu, dalam hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Yazid bin Abi Ziyad. Dia adalah rawi yang dla’if, berubah di masa tuanya, dia menerima talqin.
Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits dla’if. Hadits dla’if tidak dapat dijadikan hujjah.
1.7 Hadits Jarir bin Abdillah ra. tentang Perintah Memalingkan Pandangan (lihat bab II, hlm.16)
Hadits ini adalah hadits shahih. Hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dengan bersendiri tidak bersamaan dengan Al-Bukhari tergolong hadits shahih tingkatan ketiga.
1.8 Hadits Ibnu Buraidah dari Bapaknya ra. tentang Larangan Mengikuti Pandangan (lihat hlm.16-17)
Urutan rawi dalam sanad hadits tersebut adalah:
1 Abu Dawud (lihat hlm.60)
2 Isma’il bin Musa Al-Fazari.
3 Syarik bin ‘Abdillah
Ibnul Qaththan menyatakan bahwa beliau terkenal sebagai rawi mudallis (hlm.337). Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau adalah seorang rawi shaduq.
4 Abu Rabi’ah Al-Iyadi
Abu Hatim menyatakan bahwa dia seorang rawi yang mungkar haditsnya. Ibnu Ma`in menyatakan bahwa dia adalah seorang Ahli Kufah yang tsiqat.
5 Ibnu Buraidah
Beliau adalah seorang rawi tsiqat.
6 Buraidah
Perlu diketahui bahwa, Syarik bin Abdillah meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah, sedangkan beliau adalah seorang mudallis, sehingga riwayatnya dla’if, tidak dapat diterima.
1.9 Hadits Abu Humaid ra. tentang Bolehnya Memandang Wanita yang akan Dipinang (lihat bab II, hlm.17-18)
Rawi-rawi dalam sanad hadits ini adalah:
1. ‘Abdullah
2. Bapakku (Ahmad bin Hanbal)
3. Hasan bin Musa
Biografi beliau dapat dilihat juga dalam Hadyus-Sari.
4. Zuhair
5. ‘Abdullah bin Isa
6. Musa bin Abdillah
7. a. Abu Humaid .
b. Abu Humaidah. Penulis tidak mendapatkan biografi rawi yang bernama Abu Humaidah dalam kutubur rijal. Menurut riwayat yang ada, penulis hanya mendapatkan bahwa periwayat hadits ini adalah Abu Humaid, bukan Abu Humaidah. Al-Bazzar mengeluarkan hadits ini dengan sebutan Abu Humaid sehingga kemungkinan yang benar adalah Abu Humaid. وَاللهُ أَعْلَم
Rawi-rawi dalam sanad hadits ini adalah rawi-rawi tsiqat, sehingga hadits ini adalah hadits shahih. وَاللهُ أَعْلَم
1.10 Hadits Ibnu Umar dari Ibnu Ishaq dari Nafi’ tentang Larangan bagi Wanita yang Sedang Ihram untuk Mengenakan Cadar (lihat hlm.37, dalam analisa hadits)
Urutan rawi dalam sanad hadits ini - berdasarkan riwayat Abu Dawud - adalah sebagai berikut:
1. Ahmad bin Hanbal
2. Ya’kub
3. Bapakku (Ibrahim)
4. Ibnu Ishaq
Ahmad bin Hanbal berkata:
كَانَ ابْنُ إِسْحَاقَ يُدَلِّسُ إِلاَّ أَنَّ كِتَابَ إِبْرَاهِيْمَ ابْنِ سَعْدٍ إِذَا كَانَ سِمَاعٌ قَالَ حَدَّثَنِى وَإِذَا لَمْ يَكُنْ قَالَ قَالَ.
Ibnu Ishaq adalah orang yang mentadlis hadits, hanya saja, dalam kitab Ibrahim bin Sa’ad dijelaskan bahwa apabila dia mendengar (dalam periwayatan), maka dia mengatakan haddatsani {(dia fulan) telah menceritakan kepadaku}, sedangkan jika tidak, dia mengatakan qala (dia [fulan] berkata).
Ibnul Barqi berkata:
لَمْ أَرَ أهْلَ الْحَدِيْثِ يَخْتَلِفُوْنَ فِى ثِقَتِهِ وَحُسْنِ حَدِيْثِهِ وَرِوَايَتِهِ وَفِى حَدِيْثِهِ عَنْ نَافِعٍ بَعْضُ الشَّيْئِ.
Artinya:
Aku tidak melihat ahli hadits berselisih dalam ketsiqatan, kebagusan hadits dan riwayatnya, dan pada periwayatan haditsnya dari Nafi’ ada sedikit perkara.
Meskipun beliau seorang mudallis, akan tetapi, karena dalam riwayat ini, beliau menggunakan lafadh حَدَّثَنِى, maka dapat diketahui bahwa beliau mendengar dari Nafi’, sehingga riwayatnya dapat diterima.
5. Nafi’
6. ‘Abdullah bin Umar
Rawi-rawi dalam sanad hadits di atas terdiri dari rawi-rawi tsiqat dan sanadnya bersambung, sehingga dapat diketahui bahwa hadits ini adalah hadits shahih. Adapun tentang riwayat Ibnu Ishaq dari Nafi’-sedangkan beliau seorang mudallis - dapat diterima karena beliau telah menjelaskan bahwa beliau mendengar darinya. وَاللهُ أَعْلَم


2. Kedudukan Riwayat
2.1 Kedudukan Riwayat Ibnu Abbas ra. (lihat hlm.34, bab analisa)
Ath-Thabari mengeluarkan atsar ini dengan sanad sebagai berikut:
1. Ali bin Dawud.
2. ‘Abdullah bin Shalih.
3. Mu’awiyah bin Shalih.
4. Ali bin Abi Thalhah.
5. Ibnu Abbas ra.
Rawi-rawi dalam sanad hadits ini adalah rawi-rawi tsiqat kecuali ‘Abdullah bin Shalih dan Ali bin Abi Thalhah. Keduanya adalah rawi yang dla’if. Selain itu, sanad antara Ali bin Abi Thalhah dengan Ibnu Abbas terputus, sehingga riwayat ini adalah riwayat yang dla’if, tidak dapat dijadikan hujjah. وَاللهُ أَعْلَم
2.2 Atsar Abidah As-Salmani (lihat hlm.34, bab analisa)
Ath-Thabari mengeluarkan atsar Abidah As-Salmani dengan sanad sebagai berikut:
1. Husyaim bin Basyir , seorang rawi tsiqat, hanya saja, dia seorang mudallis.
2. Hisyam bin Hassan , seorang rawi tsiqat.
3. Muhammad bin Sirin , seorang tabi’i terkenal, rawi tsiqat.
4. Abidah As-Salmani , seorang tabi’i, rawi tsiqat.
Semua rawi di atas adalah tsiqat, hanya saja ada kelemahan pada riwayat Husyaim bin Basyir. Dia seorang mudallis sedangkan dia meriwayatkan atsar ini dengan ‘an’anah {menggunakan lafadz عَنْ (dari fulan)}. Riwayat Husyaim dapat diterima tatkala dia meriwayatkan dengan menggunakan lafadz “anba`ana”, kalau tidak, maka riwayatnya tidak dapat diterima sebagaimana pernyataan Ibnu Sa’ad sebagai berikut:
كَانَ ثِقَةً كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ ثَبْتًا يُدَلِّسُ كَثِيْرًا فَمَا قَالَ فِىْ حَدِيْثِهِ أَنَا فَهُوَ حُجَّةٌ وَمَا لَمْ يَقُلْ فَلَيْسَ بِشَيْئٍ.
Dia adalah rawi tepercaya, banyak haditsnya, teguh, sering men-tadlis-kan hadits. Maka apa yang dia katakan dengan lafadh “anba`ana” (telah mengabarkan kepada kami), maka itu dapat diajdikan hujjah, sedangkan apa yang tidak dia katakan dengan itu maka itu bukan apa-apa.
Dalam atsar ini, Husyaim bin Basyir meriwayatkan tidak dengan lafadh “anba`ana” sehingga riwayatnya tidak dapat diterima. Disamping itu riwayat ini bukan hadits, melainkan maqthu’ (sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau orang yang di bawahnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar