Rabu, 23 Maret 2011

HUKUM MENJAMAK SHALAT KARENA HUJAN

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH
Di kalangan ahlus sunnah dikenal ada empat madzhab yang paling masyhur. Masing-masing pengikutnya berpegang teguh dengan madzhab yang diyakini, dan kadang-kadang timbul perselisihan diantara mereka. Salah satu perselisihan itu adalah tentang menjamak shalat karena hujan, yang teman penulis pernah mengungkapkannya kepada penulis. Menurut teman penulis sebagaimana yang ia dapati, sebagian muslimin berpendapat bahwa menjamak shalat karena hujan boleh dilakukan sebagai rukhsah dari Allah Ta’ala. Sedang yang lain memandang hal itu tidak boleh dilakukan, dengan alasan bahwa shalat harus dilakukan tepat pada waktunya. Jadi meskipun turun hujan tidak ada menjamak shalat. Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, teman penulis meminta kepada penulis untuk mencari jawaban dari permasalahan yang ia utarakan itu.
Berdasarkan permintaan di atas, maka penulis melakukan studi dan menelaah serta meneliti lebih jauh mengenai masalah tersebut. Kemudian penulis menyusunnya dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul: ’’HUKUM MENJAMAK SHALAT KARENA HUJAN.”
2. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka rumusan masalah yang ingin penulis ajukan adalah: Bagaimanakah hukum menjamak shalat karena hujan?
3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian makalah ini adalah untuk mengetahui hukum menjamak shalat karena hujan.
4. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan untuk memberikan jawaban kepada muslimin tentang hukum menjamak shalat karena hujan.



5. METODOLOGI PENELITIAN
5.1 Jenis Penelitian
5.1.1 Menurut bidangnya, penelitian yang penulis lakukan tergolong penelitian dalam bidang agama khususnya dalam bidang fikih.
5.1.2 Menurut tempatnya, penelitian yang penulis lakukan tergolong penelitian literatur, sebab penelitian dilakukan di perpustakaan.
5.1.3 Menurut pemakaiannya, penelitian yang penulis lakukan tergolong penelitian terpakai (applied research), sebab hasil penelitian ini bertujuan untuk digunakan langsung di lapangan.
5.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan studi kitab. Penulis membaca, menelaah, dan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan menjamak shalat karena hujan.
5.3 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini, berupa kitab-kitab yang penulis jadikan sebagai rujukan.
5.4 Jenis Data
Data-data yang penulis kumpulkan dalam makalah ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
5.4.1 Data Primer adalah:
“Data yang diperoleh langsung dari sumbernya; diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.”
Yang penulis maksud dengan data primer dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
5.4.1.1 Hadits-hadits yang penulis kutip langsung dari sumbernya. Misalnya, penulis mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari kitab Al-Jami’ Ash-Shahih, yang beliau susun sendiri bukan dari kitab Riyadl Ash-Shalihin atau kitab lain.
5.4.1.2 Beberapa perkataan, pendapat, dan komentar ulama, yang penulis kutip langsung dari sumbernya. Misalnya, penulis mengutip pendapat Sayyid Sabiq dari kitab Fiqh As-Sunnah, yang beliau susun sendiri.

5.4.2 Data Sekunder adalah:
“Data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan dari peneliti sendiri.”

Yang penulis maksud dengan data sekunder dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
5.4.2.1 Hadits-hadits yang penulis kutip tidak langsung dari sumbernya. Misalnya, penulis mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Al-Atsram dari kitab Al-Muqni’, yang disusun oleh Ibnu Qudamah.
5.4.2.2 Beberapa perkataan, pendapat, dan komentar ulama yang penulis kutip tidak langsung dari sumbernya. Misalnya, penulis mengutip pendapat Imam Asy-Syafi’i dari kitab Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, yang disusun oleh Imam An-Nawawi.
5.5 Metode Analisa Data
Dalam menganalisis data-data yang telah terkumpul, penulis mengombinasikan antara metode deduktif dan induktif secara bergantian, yang biasa disebut dengan reflective thinking . Adapun definisi metode deduktif dan induktif sebagai berikut:
5.5.1 Metode Deduktif adalah:
“Berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus.” .
Sedang maksud pengertian di atas adalah penarikan kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang umum untuk menilai beberapa persoalan yang khusus.
5.5.2 Metode Induktif adalah:
“Berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkret itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum.“
Adapun maksud pengertian di atas adalah penarikan kesimpulan yang bersifat umum yang berasal dari persoalan-persoalan yang bersifat khusus.
6. SISTEMATIKA PENULISAN
Bagian awal penulisan, meliputi halaman judul, halaman pengesahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.
Bagian kedua penulisan, yang terdiri dari bab pertama, bab kedua, bab ketiga, bab keempat, dan bab kelima.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi pembahasan tentang definisi menjamak shalat dan pembahasan beberapa hadits dan atsar yang berkaitan dengan menjamak shalat karena hujan.
Bab ketiga berisi pembahasan beberapa pendapat ulama tentang hukum menjamak shalat karena hujan. Ada dua macam pendapat dalam pembahasan ini yaitu:
1. Boleh menjamak shalat karena hujan.
2. Tidak boleh menjamak shalat karena hujan.
Bab keempat adalah bab analisa data. Pada bab inilah penulis menganalisis beberapa hadits dan atsar yang berkaitan dengan menjamak shalat karena hujan, serta beberapa pendapat ulama tentang hukum menjamak shalat karena hujan.
Bab kelima adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Kemudian bagian akhir dari karya ilmiah ini adalah daftar pustaka dan lampiran.

BAB II
DEFINISI SHALAT JAMAK SERTA DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM MENJAMAK SHALAT KARENA HUJAN
Dalam bab ini penulis membahas definisi shalat jamak serta dalil-dalil yang berupa satu hadits dan beberapa atsar yang berkaitan dengan hukum menjamak shalat karena hujan.
1. Definisi Shalat Jamak
Istilah shalat jamak adalah gabungan kata shalat dan kata jamak yang masing-masing mempunyai makna sendiri. Berikut penulis uraikan definisi shalat dan jamak :
1.1 Shalat
Lafal shalat merupakan bentuk masdar dari fi’il صَلَّى- يُصَلِّي yang menurut bahasa berarti : الدُّعَاءُ) ( doa.
Adapun lafal shalat menurut istilah berarti:
أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتِحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ، مُخْتَتِمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ، بِشَرَائِطَ مَخْصُوْصَةٍ
Artinya:
Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat khusus.
1.2 Jamak
Lafal jamak merupakan bentuk masdar dari fi’il جَمَعَ-يَجْمَعُ . Ibrahim Unais menyebutkan :
جَمَعَ الْمُتَفَرِّقَ جَمْعًا : ضَمَّ بَعْضَهُ إِلَى بَعْضٍ
Artinya:
Mengumpulkan yang terpisah dengan sebenar-benar pengumpulan adalah: menggabungkan sebagiannya kepada sebagian yang lain.
Pada makalah ini, penulis menggunakan shalat jamak yang menurut pembahasan fiqih istilah shalat jamak biasa dikenal dengan اَلْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ yang berarti penggabungan dua shalat (menjamak shalat). Oleh sebab itu definisi shalat jamak adalah dua shalat yang digabungkan pada salah satu waktu keduanya.
2. Beberapa Hadits dan Atsar yang Berkaitan dengan Hukum Menjamak Shalat karena Hujan
2.1 Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu tentang Rasulullah Menjamak Shalat di Madinah.
2.2.1 Lafal dan Arti
عَنْ جَابِرِِ ابْنِ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَِّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِِ وَسَلَّمَ صَلَّي بِاْلمَدِيْنَةِ سَبْعًا وَ ثََمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْْعَصْرَ وَ الْمَغْرِبَ وَ الْعِِِِِِشَاءَ، فَقَالََ أَيُّوْبُ: لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ؟ قَالَ: عَسَي .
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ
Artinya:
Dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Madinah tujuh raka’at dan delapan raka’at, Dhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya`. Lalu Ayyub mengatakan; Mungkin pada waktu malam yang hujan lebat? Dia (Jabir bin Zaid) berkata; ya kemungkinan begitu.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.

2.2.2 Maksud Hadits
Matan hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` di Madinah. Kemudian Ayyub (salah seorang rawi dalam sanad hadits ini, dan dia seorang tabi’i) menanyakan tentang kemungkinan Rasulullah melakukan menjamak shalat pada malam yang turun hujan lebat, lalu pertanyaan beliau dibenarkan.
Keterangan
Hadits yang semakna dengan hadits Ibnu ‘Abbas di atas, juga diriwayatkan dari jalan lain, yaitu Sa’id bin Jubair yang dikeluarkan oleh Abu Dawud , Ahmad , Malik , Al-Baihaqi , Asy-Syafi’i , Ibnu Huzaimah , Ibnu Hibban , dan Abu ‘Awanah .
2.2 Atsar Ibnu ‘Umar tentang Beliau Menjamak Shalat Bersama Para Pejabat karena Hujan
2.2.1 Lafal dan Arti
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ اْلأُمَرَاءُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى الْمَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ
رَوَاهُ مَالِكٌ فِى الْمُوَطَّاء ِ وَاللَّفْظُ لَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Artinya:
Dari Nafi’ bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar apabila para pejabat menjamak antara shalat Maghrib dan shalat ‘Isya` pada waktu hujan, dia menjamak bersama mereka.
Atsar ini telah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’ sedang lafal itu miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi, Asy-Syafi’i, serta ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih.
2.2.2 Maksud Atsar
Matan atsar di atas menunjukkan bahwa apabila para pejabat menjamak shalat pada waktu hujan, Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhu ikut menjamak pula.

2.3 Atsar ‘Umar bin Khaththab tentang Menjamak Shalat Dhuhur dengan Shalat ‘Ashar pada Waktu Hujan Lebat
2.3.1 Lafal dan Arti
عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ: جَمَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى يَوْمٍ مَطِيْرٍٍٍٍٍٍٍ
رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ فِى الْمُصَنَّفِ ِ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ
Artinya:
‘Abdurrazzaq (mengatakan) dari Ibrahim bin Muhammad dari Shafwan bin Sulaim dia berkata: ‘Umar bin Khaththab menjamak antara shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar pada waktu hujan lebat.
Atsar ini telah diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam kitab Al-Mushannaf dengan sanad yang dla’if.
2.3.2 Maksud Atsar
Matan atsar ‘Umar bin Khaththab di atas menunjukkan bahwa beliau menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar pada waktu hujan lebat.
2.4 Atsar Ibnu ‘Umar tentang Penduduk Madinah Menjamak Shalat Maghrib dengan Shalat ‘Isya` di Malam Hujan Lebat
2.4.1 Lafal dan Arti
عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍٍ عَنْ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ أَهْلَ الْمَدِيْنَةِ كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى اللَّيْلَةِِِ الْمَطِيْرَةِ: فَيُصَلِّيَ مَعَهُمْ ابْنُ عُمَرَ لاَيَعِيْبُ ذَالِكَ عَلَيْهِِِِِِِِِمْ
رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ فِى الْمُصَنَّفِ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ
Artinya:
‘Abdurrazzaq (mengatakan) dari Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’ bahwa penduduk Madinah menjamak antara shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` di malam hujan lebat. Lalu Ibnu ‘Umar shalat bersama mereka (sedang) ia tidak mencela yang demikian itu atas mereka.
Atsar ini telah diriwayatkan ‘Abdurrazzaq dalam kitab Al-Mushannaf dengan sanad yang dla’if.
2.4.2 Maksud Atsar
Matan Atsar Ibnu ‘Umar di atas menunjukkan bahwa penduduk Madinah menjamak antara shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` pada malam hujan lebat. Begitu juga Ibnu ‘Umar shalat bersama mereka dan beliau tidak mencela perbuatan tersebut.


BAB III
BEBERAPA PENDAPAT ULAMA TENTANG
HUKUM MENJAMAK SHALAT
KARENA HUJAN
1. Boleh Menjamak Shalat karena Hujan
1.1 Pendapat Malik (93-179 H/ 712-798 M) dan Sahabat-sahabatnya
فَقَالَ مَالِكٌ وَأَصْحَابُهُ : جَائِزٌ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ الْمَطَرِ قَالَ وَلاَيُجْمَعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى حَالِ الْمَطَرِ قَالَ وَيُجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَطَرٌ إِذَا كَانَ طِيْنًا وَظُلْمَةً.
Artinya :
Malik dan sahabat-sahabatnya mengatakan, “Antara shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` (pada waktu) malam yang hujan boleh dijamak”. Dia (Malik) mengatakan: “Tidak (boleh) dijamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar pada waktu hujan”. Dia berkata (lagi) : “Dan shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` (boleh) dijamak apabila ada lumpur dan malam sangat gelap, walaupun belum hujan”.
Dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah penulis juga mendapatkan pendapat Malikiyyah (Pengikut Madzhab Maliki) yang senada, tapi ada tambahan keterangan tentang batas hujan yang dibolehkan menjamak shalat.
1.2 Pendapat Asy-Syafi’i (150 H-204 H)
( قَالَ ) وَلاَ يُجْمَعُ إِلاَّ وَالْمَطَرُ مُقِيْمٌ فِى الْوَقْتِ الَّذِيْ تُجْمَعُ فِيْهِ فَإِنْ صَلَّى إِحْدَاهُمَا ثُمَّ انْقَطَعَ الْمَطَرُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَجْمَعَ اْلأُخْرَى إِلَيْهَا وَإِذَا صَلَّى إِحْدَاهُمَا وَالسَّمَاءُ تُمْطِرُ ثُمَّ ابْتَدَأَ اْلأُخْرَى وَالسَّمَاءُ تُمْطِرُ ثُمَّ انْقَطَعَ الْمَطَرُ مَضَى عَلَى صَلاَتِهِِِ ِلأَنَّهُ إِذَا كَانَ لَهُ الدُّخُوْلُ فِيْهَا كَانَ لَهُ إِتْمَامُهَا.
Artinya:
Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menjamak (shalat) kecuali (jika) hujan tetap (turun terus-menerus) di waktu yang dijamak padanya. Jika seseorang mengerjakan salah satu dari shalat itu, kemudian hujan berhenti, (maka) dia tidak boleh menjamak shalat kedua. Jika seseorang mengerjakan salah satu dari dua shalat tersebut, sedangkan masih turun hujan kemudian dia memulai shalat kedua ketika hujan masih turun lalu hujan berhenti, dia meneruskan shalatnya. Sebab jika dia sudah mulai mengerjakan, maka dia harus menyempurnakannya”.
Pendapat Asy-Syafi’i di atas menunjukkan bahwa beliau membolehkan menjamak shalat karena hujan dengan syarat, bahwa hujan masih tetap turun, ketika shalat pertama sudah selesai.
1.3 Pendapat Asy-Syafi’iyyah (Pengikut Madzhab Asy-Syafi’i)
وَيَجُوْزُ الْجَمْعُ بِالْمَطَرِ فِى وَقْتِ اْلأُوْلَى وَلاَيَجُوْزُ فِى وَقْتِ الثَّانِيَةِ عَلَى اْلأَصَحِّ لِعَدَمِ الْوُثُوْقِ بِاسْتِمْرَارِهِ إِلَى الثَّانِيَةِ وَشَرْطِ وُجُوْدِهِ عِنْدَ اْلأِحْرَامِ بِاْلأُوْلَى وَالْفَرَاغِ مِنْهَا وَافْتِتَاحِ الثَّانِيَةِ وَيَجُوْزُ ذَالِكَ لِمَنْ يَمْشِيْ إِلَى الْجَمَاعَةِ فِى غَيْرِ كِنٍّ بِحَيْثُ يَلْحَقُهُ بَلَلُ الْمَطَرِ وَاْلأََصَحُّ أَنَّهُ لاَيَجُوْزُ لِغَيْرِهِِ هَذَا مَذْهَبُنَا فِى الْجَمْعِ بِالْمَطَرِ.
Artinya :
Boleh menjamak shalat dengan sebab adanya hujan, pada waktu shalat pertama dan tidak boleh pada waktu shalat kedua, itulah yang lebih benar, karena tidak ada kepastian hujan (turun) terus-menerus sampai waktu shalat kedua. Syarat keberadaannya (hujan) di (waktu) ihram (takbiratul ihram) pada (waktu) yang pertama, selesai darinya (shalat yang dijamak), dan iftitah yang kedua. Dan yang demikian itu (jamak di waktu hujan) boleh bagi orang yang berjalan menuju shalat jama’ah yang mendapatkan basah karena hujan, bukan dikerjakan di rumah. Dan yang lebih benar bahwasanya tidak diperbolehkan (menjamak) untuk selain orang tersebut. Ini merupakan madzhab kami dalam (hal) menjamak dengan sebab adanya hujan.
Jadi menurut pendapat Asy-Syafi’iyyah, menjamak shalat disebabkan adanya hujan boleh dilakukan dengan jamak taqdim dan tidak diperbolehkan dengan jamak ta`khir karena tidak ada kepastian bahwa hujan turun terus-menerus sampai waktu shalat kedua.
1.4 Pendapat Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
يَجُوْزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْعِشَائَيْنِ فِى وَقْتِ إِحْدَاهُمَا لِثَلاَثَةِ أُمُوْرٍ : السَّفَرُ الطَّوِيْلُ، وَالْمَرَضُ الَّذِيْ يَلْحَقُهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ فِيْهِ مَشَقَّةٌ وَضَعْفٌ، وَالْمَطَرُ الَّذِيْ يَبُلُّ الثِّيَابَ إِلاَّ أَنَّ جَمْعَ الْمَطَرِ يُخْتَصُّ الْعِشَائَيْنِ فِى أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ.
Artinya :
Boleh menjamak antara shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan kedua shalat ‘Isya` (shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`) (yang dilakukan) pada waktu salah satu di antara keduanya karena tiga perkara yaitu: safar yang jauh, penyakit yang (jika) meninggalkan jamak padanya dapat menimbulkan kepayahan dan kelemahan, dan hujan yang membasahi pakaian. Namun jamak (yang disebabkan adanya) hujan (tersebut) dikhususkan (pada) kedua shalat ‘Isya` (shalat Maghrib dan shalat ‘Isya`) menurut paling benarnya dua pendapat itu.
Maksud pendapat Ahmad di atas adalah menjamak shalat karena hujan hanya dibolehkan pada shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` dengan syarat hujan tersebut membasahi pakaian.
Dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah disebutkan adanya tambahan keterangan tentang bolehnya menjamak shalat karena adanya hujan salju, hujan es, salju yang membeku di atas tanah, lumpur, dan angin yang keras dan dingin.
1.5 Pendapat Ibnu Taimiyyah (661-728 H)
سُئِلَ عَنْ صَلاَةِ الْجَمْعِ فِى الْمَطَرِ بَيْنَ الْعِشَائَيْنِ. هَلْ يَجُوْزُ مِنَ الْبَرْدِ الشَّدِيْدِ؟ أَوِ الرِّيْحِ الشَّدِيْدَةِ؟ أَمْ لاَيَجُوْزُ إِلاَّ مِنَ الْمَطَرِ خَاصَّةً؟
أَجَابَ : اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. يَجُوْزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْعِشَائَيْنِ لِلْمَطَرِ، وَالرِّيْحِ الشَّدِيْدَةِ الْبَارِدَةِ، وَالْوَحْلِ الشَّدِيْدِ، وَهَذَا أَصَحُّ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَ مَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Artinya :
Ibnu Taimiyyah ditanyai tentang shalat jamak pada (waktu) hujan antara dua shalat ‘Isya` (shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`). Apakah diperbolehkan (juga) tentang (menjamak shalat karena) dingin yang sangat? Atau (karena) angin yang dahsyat? Ataukah tidak diperbolehkan kecuali khusus pada hujan (saja) ?
Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah Pemelihara sekalian alam. Boleh (melakukan) jamak antara dua shalat ‘Isya` (shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`) pada (waktu) hujan, pada waktu angin yang sangat keras yang dingin, dan pada waktu ada lumpur yang sangat (banyak). Dan ini adalah paling benarnya dua perkataan (pendapat) ulama, dan dia (juga) dhahirnya madzhab Ahmad, Malik, dan selain keduanya. Dan Allah lebih tahu”.
1.6 Pendapat Muhammad Asy-Syarbaini (w.977 H/ 1570 M)
ثُمَّ شَرَعَ فِى الْجَمْعِ بِالْمَطَرِ فَقَالَ (وَيَجُوْزُ لِلْحَاضِرِ) أَيْ اَلْمُقِيْمِ (فِى الْمَطَرِ) وَلَوْ كَانَ ضَعِيْفًا بِحَيْثُ يَبُلُّ الثَّوْبَ وَنَحْوَهُ كَثَلْجٍ وَبَرَدٍ ذَائِبَيْنِ
Artinya :
Kemudian dia (Muhammad) mensyarakkan dalam hal jamak dengan sebab hujan. Lalu dia mengatakan: (Dan diperbolehkan bagi orang yang hadlir) maksudnya orang yang bermukim (pada waktu hujan) walaupun adalah (hujan tersebut) lemah(sedikit) yang sekiranya membasahi baju dan semisalnya, seperti hujan salju dan hujan es yang keduanya turun.
2. Tidak Boleh Menjamak ٍٍShalat karena Hujan
Al-Auza’i (88-157 H) dan Ashhab Ar-Ra’yi berpendapat bahwa :
يُصَلِّى الْمَمْطُوْرُ كُلَّ صَلاَةٍ فِى وَقْتِهَا.
Artinya :
Orang yang kehujanan melakukan semua shalat pada waktunya.

Sedangkan dalam Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Hanafiyah berpendapat bahwa :
لاَيَجُوْزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فِى وَقْتٍ وَاحِدٍ لاَ فِى السَّفَرِ وَلاَ فِى الْحَضَرِ بِأَيِّ عُذْرٍ مِنَ اْلأَعْذَارِ اِلاَّ فِى حَالَتَيْنِ: اَلأُوْلَى: يَجُوْزُ جَمْعُ الظُّّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى وَقْتِ الظُّّهْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ بِشُرُوْطٍ أَرْبَعَةٍ: اَلأَوَّلُ: أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ يَوْمَ عَرَفَةَ. اَلثَّانِى: أَنْ يَكُوْنَ مُحْرِمًا بِالْحَجِّ اَلثّالِثُ: أَنْ يُصَلِّيَ خَلْفَ اِمَامِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ مَنْ يَنُوْبُ عَنْهُ. اَلرَّابِعُ: أَنْ تَبْقَى صَلاَةُ الظُّهْرِ صَحِيْحَةً، فَاِنْ ظَهَرَ فَسَادُهَا وَجَبَتْ اِعَادَتُهَا، وَلاَيَجُوْزُ لَهُ فِى هَذِهِ الْحَالَةِ أَنْ يَجْمَعَ مَعَهاَ الْعَصْرَ، بَلْ َيجِبُ أَنْ يُصَلِّيَ الْعَصْرَ اِذَا دَخَلَ وَقْتُهُ، اَلثاّنِيَةُ: َيجُوْزُ َجَمْعُ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى وَقْتِ الْعِشَاءِ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ، بِشَرْطَيْنِ: اَلأَوَّلُ: أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، اَلثَّانِى: أَنْ يَكُوْنَ ُمُحْرِمًا بِالْحَجِّ .
Artinya :
Tidak boleh menjamak dua shalat dalam satu waktu, tidak pada (waktu) bepergian, dan tidak pula pada (waktu) tidak bepergian, dengan alasan apa pun, kecuali dalam dua keadaan:
Pertama:Menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar diperbolehkan pada waktu Dhuhur secara taqdim dengan empat syarat:
Kesatu: Menjamak shalat tersebut dilaksanakan pada hari Arafah.
Kedua : Menjamak shalat tersebut dilaksanakan oleh orang yang ihram untuk haji.
Ketiga : Menjamak shalat itu dilakukan di belakang imam muslimin atau orang yang menggantikannya (imam).
Keempat: Bahwasanya Shalat Dhuhur itu (dilakukan) dalam keadaan benar, akan tetapi jika jelas (bahwa Shalat Dhuhur tersebut) rusak, (maka) wajib mengulanginya. Dan tidak boleh bagi orang tersebut menjamak Shalat Dhuhur dengan Shalat ‘Ashar pada keadaan ini, bahkan wajib melakukan Shalat ‘Ashar apabila masuk waktunya.
Kedua :Menjamak Shalat Maghrib dengan Shalat ‘Isya` diperbolehkan pada waktu ‘Isya` dengan jamak ta`khir dengan dua syarat:
Pertama:Menjamak shalat tersebut dilakukan di Muzdalifah.
Kedua : Menjamak shalat tersebut dilakukan oleh orang yang ihram untuk haji.


BAB IV
A N A L I S A

Pada bab ini penulis menganalisis data-data yang telah terkumpul berupa hadits, beberapa atsar, dan pendapat ulama yang berkaitan dengan hukum menjamak shalat karena hujan.

1.Analisa Hadits dan Beberapa Atsar yang Berkaitan dengan Hukum Menjamak shalat Karena Hujan
1.1 Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu tentang Rasulullah Menjamak Shalat di Madinah
Hadits ini berderajat shahih, sebab dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ash-Shahih. Sedangkan hadits shahih dapat dijadikan hujjah dan diamalkan .
Hadits Ibnu ‘Abbas ini membahas tentang Rasulullah menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` di Madinah.
Berdasarkan hadits di atas, pemahaman yang dapat diambil adalah orang mukim (orang yang tidak bepergian) boleh menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`. Menurut Jabir, Rasulullah menjamak kemungkinan karena hujan.
Namun penulis mendapatkan hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Jubair disebutkan:
وَحَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَأَبُوْ كُرَيْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُوْ مُعَاوِيَةَ ح وَحَدَّثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ وَأَبُوْ سَعِيْدٍ اَْلأَشَجُّ وَاللَّفْظُ ِلأَبِى كُرَيْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ كِلاَهُمَا عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ حَبِيْبِ ابْنِ أَبِى ثَابِتٍ عَنْ سَعِيْدِ ابْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَمَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِِِِِِشَاءِ بِالْمَدِيْنَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ (فِى حَدِيْثِ وَكِيْعٍ) قَالَ قُلْتُ ِلابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ. وَ فِى حَدِيْثِ أَبِى مُعَاوِيَةَ قِيْلَ ِ ِلابْنِ عَبَّاسٍ مَاأَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ.
رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِيْ صَحِيْحِهِ
Artinya:
Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Abu Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami, (Ha’) Abu Kuraib dan Abu Sa’id Al-Asyajju telah menceritakan kepada kami, sedangkan lafadh ini, milik Abu Kuraib, keduanya mengatakan: Waki’ telah menceritakan kepada kami yang keduanya dari A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan Shalat ‘Isya` di Madinah pada waktu aman dan tidak ada hujan”. (Pada hadits Waki’) dia (Sa’id bin Jubair) berkata: Aku telah mengatakan kepada Ibnu ‘Abbas mengapa beliau (Rasulullah) melakukan itu? Lalu dia (Ibnu ‘Abbas) menjawab, “Supaya tidak memberatkan umat beliau”. Adapun pada hadits Abi Mu’awiyah dikatakan kepada Ibnu ‘Abbas: Apa yang beliau kehendaki pada yang demikian itu? Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: Beliau bermaksud untuk tidak memberatkan umat beliau.
Muslim telah meriwayatkannya dalam Kitab Shahihnya.
Dalam matan hadits ini disebutkan فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. Muhaddits yang lain meriwayatkan hadits tersebut dengan kalimat وَلاَ سَفَرٍ sebagai ganti dari kalimat وَلاَ مَطَرٍ. Kedua riwayat tersebut dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Al-Jami’ Ash-Shahih. Dua periwayatan tersebut dapat diijmakkan bahwa Rasulullah menjamak shalat waktu itu ketika suasana aman, tidak bepergian, dan tidak hujan. Jadi, jika menjamak shalat dalam tiga keadaan di atas itu diperbolehkan, maka menjamak shalat dalam keadaan tidak aman, atau pada saat bepergian, atau pada saat hujan tentu diperbolehkan. Wallahu a’lam.
Dalam menganalisis hadits Ibnu ‘Abbas ini, penulis membahas tentang sebagian dari bagian hadits ini yang menimbulkan satu permasalahan yaitu: kemungkinan yang dinyatakan salah seorang rawi tentang Rasulullah menjamak shalat ketika di Madinah karena hujan, menggunakan lafal "لَعَلَّهُ فِى لَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ" (Barangkali pada waktu malam hujan lebat”). Dari pernyataan ini muncul suatu kejanggalan bahwa Rasulullah menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar di waktu malam hujan lebat. Padahal shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar hanya dilakukan di siang hari.
Al-Kirmani dalam kitab syarhnya, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat "فِى لَيْلٍَةٍٍٍٍٍٍٍٍٍ"dalam hadits tersebut adalah sebagai berikut:
"اَلْمُرَادُ فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ مَطِيْرَتَيْنِ فَتُرِكَ ذِكْرُ أَحَدِهِمَا إِكْتِفَاءً بِذِكْرِ اْلأَخَرِ وَالْعَرَبُ كَثِيْرًا مَّا تُطْلِقُ اللَّيْلَةَ وَتُريِْدُ الَّيْلَ بِيَوْمِه"ِ
Artinya :
Yang dimaksud (kalimat " فِى لَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ" ) adalah pada waktu sehari dan semalam (turun) hujan lebat. Lalu penyebutan salah satu dari keduanya ditinggalkan, (karena) sudah mencakup penyebutan yang lain. Dan orang Arab kebanyakan (hanya) menyebutkan malam akan tetapi yang mereka maksud malam beserta harinya (pula).
Demikian halnya Al-Qasthalani juga mengatakan:
"(فِى لَيْلَةٍٍٍ) أََيْ مَعَ يَوْمِهَا بِقَرِيْنَةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
Artinya :
Pada kata " فِى لَيْلَةٍٍٍ" maksudnya beserta harinya dengan (sebab adanya) qarinah (gandengan) waktu Dhuhur dan ‘Ashar.
Dalam menanggapi apa yang diungkapkan Al-Kirmani dan Al-Qasthalani, penulis mendapatkan satu ayat yang menggunakan lafal "لَيْلَةٍ" akan tetapi yang dimaksud adalah harinya pula, jadi mencakup siang dan malam. Adapun ayat tersebut adalah sebagai berikut:
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّى آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاَثَ لَيَالٍ سَوِيًّا
{مريم (19) : 10}
Artinya:
Berkatalah Nabi Zakariyya, “Wahai Pemeliharaku berikanlah padaku satu tanda”. (Lalu) Dia (Allah) berfirman: “Aku memberikan tanda kepadamu bahwa engkau tidak bisa berbicara dengan manusia selama tiga malam, sedang engkau dalam keadaan sehat.
[Q.S. Maryam (19): 10]
Pada ayat tersebut disebutkan denganثَلاَثَ لَيَالٍٍٍٍٍٍ . Sedang pada ayat lain yang senada, disebutkan dengan ثَلاَثَةَ أَيَّامٍٍٍٍٍ . Ayat tersebut termaktub pada surat Ali Imran sebagai berikut:
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّى آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلاَّ تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزًا
{ آل عمران (3): 41}
Artinya:
Berkatalah Nabi Zakariyya: “Wahai Pemeliharaku berikanlah padaku satu tanda”. (Lalu) Dia (Allah) berfirman: “Aku memberikan tanda kepadamu bahwa kamu tidak bisa berbicara kepada manusia selama tiga hari kecuali hanya dengan isyarat saja.
[Q.S. Ali ‘Imran (93): 41]
Dari analisa di atas, jelaslah bahwa lafal "لَيْلَةٍ" bisa dimaksudkan siang dan malam.
1.2 Atsar Ibnu ‘Umar tentang Beliau Menjamak Shalat karena Hujan Bersama Para Pejabat
Atsar Ibnu ‘Umar tersebut berderajat shahih , akan tetapi mauquf (sanadnya berhenti pada sahabat). Ibnu ‘Umar ikut menjamak shalat bersama para pejabat itu menunjukkan bahwa beliau tidak mengingkari shalat jamak tersebut. Kalau menjamak shalat tidak ada tuntunan dari Rasulullah, tentunya Ibnu ‘Umar akan membantahnya, karena Ibnu ‘Umar terkenal sebagai sahabat yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu perbuatan Ibnu ‘Umar ini bisa dijadikan dalil diperbolehkannya menjamak shalat karena hujan.
Meskipun atsar Ibnu ‘Umar ini digolongkan hadits mauquf, akan tetapi karena matan atsar tersebut mencocoki matan hadits Ibnu ‘Abbas maka marfu’ hukman, yang oleh ulama disebut sebagai "مَوْقُوْفٌ لَفْظًا مَرْفُوْعٌ حُكْمًا" (mauquf pada lafal, tetapi hukumnya marfu’). Atsar marfu’ hukman dapat dijadikan hujjah.
Berdasarkan atsar Ibnu ‘Umar tersebut dapat dipahami bahwa menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` pada waktu hujan diperbolehkan.
1.3 Atsar ‘Umar bin Khaththab tentang Beliau Menjamak Shalat Dhuhur dengan Shalat ‘Ashar pada Waktu Hujan Lebat
Atsar ‘Umar bin Khaththab ini membahas tentang beliau menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar pada waktu hujan lebat.
Adapun pemahaman yang dapat diambil dari atsar ‘Umar bin Khaththab tersebut adalah boleh menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar pada waktu hujan lebat.
Atsar ‘Umar bin Khaththab ini berderajat dla’if. Pada asalnya hadits dla’if tergolong khaBarr mardud (tertolak) , tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Tetapi meskipun dla’if, namun isinya bisa dipakai karena mencocoki isi hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas .

1.4 Atsar Ibnu ‘Umar tentang Penduduk Madinah Menjamak Shalat Maghrib dengan Shalat ‘Isya` di Malam Hujan Lebat
Matan Atsar Ibnu ‘Umar menunjukkan bahwa penduduk Madinah menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` di malam hujan lebat. Begitu juga Ibnu ‘Umar shalat bersama mereka dan tidak mencela perbuatan tersebut.
Pemahaman yang dapat diambil dari atsar ini adalah boleh menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` pada waktu hujan lebat.
Kedudukan Atsar Ibnu ‘Umar tersebut berderajat dla’if. Pada asalnya hadits dla’if tergolong khaBarr mardud sebagaimana pada hadits sebelumnya , sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Tetapi meskipun dla’if, namun isinya bisa dipakai karena mencocoki isi hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas .
Dari analisa hadits dan beberapa atsar di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas merupakan hadits yang bersifat umum, sehingga menjamak shalat dalam keadaan aman, tidak bepergian dan tidak hujan itu diperbolehkan. Oleh sebab itu, menjamak shalat dalam keadaan tidak aman, atau pada saat bepergian, atau pada saat hujan tentu diperbolehkan juga.
Adapun ketiga atsar di atas memberikan keterangan tambahan bahwa menjamak shalat karena hujan pernah dilakukan oleh sahabat Rasulullah.
2. Analisa Beberapa Pendapat Ulama’ tentang Hukum Menjamak Shalat Karena Hujan
2.1 Boleh Menjamak Shalat karena Hujan
2.1.1 Pendapat Malik dan Sahabat-sahabatnya
Menurut penulis, pendapat Imam Malik tentang bolehnya menjamak shalat karena hujan hanya pada shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` ini kurang tepat. Hal ini berdasarkan hasil analisa hadits Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan bahwa menjamak shalat itu diperbolehkan secara mutlak, baik shalat Dhuhur dengan shalat Ashar maupun shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya. apabila ada hujan. Wallahu A’lam.
Penulis tidak menanggapi pendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat apabila ada lumpur dan malam sangat gelap, karena makalah ini hanya membahas tentang menjamak shalat karena hujan.
Kemudian Malikiyyah mengatakan bahwa menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` diperbolehkan bila dilakukan secara taqdim di masjid pada waktu hujan lebat atau karena adanya lumpur, dengan tujuan supaya tidak memayahkan.
Penulis setuju dengan pendapat Malikiyyah bahwa menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` secara taqdim di masjid pada waktu hujan diperbolehkan, karena hadits Ibnu ‘Abbas bersifat umum. Namun jika disyaratkan harus hujan lebat, penulis tidak setuju dengan alasan bahwa hujan yang dimaksud pada analisa hadits Ibnu ‘Abbas adalah hujan biasa, bukan hujan lebat.
Kemudian masalah menjamak shalat dilakukan secara taqdim, penulis setuju dengan alasan jika menjamak shalat karena hujan dilakukan dengan ta’khir, ada kemungkinan hujan sudah berhenti ketika belum menjamak shalat. Jika tetap menjamak shalat ketika hujan sudah berhenti berarti dia melakukan shalat jamak bukan karena hujan, akan tetapi karena alasan lainnya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas yang bersifat umum.
Kemudian tentang hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan dari jalan ‘Amr dari Abu Sya’tsa`, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil tentang jamak ta`khir, sebab waktu itu Rasulullah tidak menjamak shalat, akan tetapi beliau hanya mengakhirkan shalat pertama dan menyegerakan shalat kedua. Hadits tersebut adalah:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ ابْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: "صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيْعًا وَسَبْعًا جَمِيْعًا" قُلْتُ يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ, أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ, وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ. قَالَ: وَأَنَا أَظُنُّ ذَلِكَ.
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ.
Artinya:
Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, Sufyan telah menceritakan kepada kami dari ‘Amr dia berkata: Aku telah mendengar Abu Sya’tsa`, Jabir mengatakan: Aku telah mendengar Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata: “Aku melakukan shalat delapan rekaat secara bersamaan, dan tujuh rekaat secara bersamaan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Aku (‘Amr) berkata: Wahai Abu Sya’tsa`, aku menyangka waktu itu Rasulullah mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta menyegerakan shalat ‘Isya` dan mengakhirkan shalat Maghrib. (Kemudian) dia (Jabir / Abu Sya’tsa`) mengatakan: Aku menyangka demikian.
Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya.
Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa yang dilakukan Rasulullah pada waktu itu adalah jamak suwari . Adapun tentang diperbolehkannya menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` karena adanya lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap, penulis tidak menanggapinya. Sebab makalah ini membahas tentang hujan, bukan sisa-sisa sesudah turun hujan. Wallahu a’lam.
2.1.2 Pendapat Asy-Syafi’i
Syafi’i berpendapat bahwa boleh menjamak shalat karena hujan dengan syarat hujan masih tetap turun ketika shalat pertama sudah selesai dan shalat yang kedua dimulai.
Menurut Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab At-Tamhid, Asy-Syafi’i berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas yang menerangkan tentang Rasulullah menjamak shalat ketika suasana aman dan tidak dalam safar. Hadits ini oleh ulama ditakwilkan bahwa shalat jamak yang dilakukan Rasulullah tersebut disebabkan adanya hujan.
Penulis tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena bunyi hadits Ibnu Abbas tersebut tidak menerangkan adanya syarat sebagaimana pendapat Asy-Syafi’i di atas. Menjamak shalat karena hujan diperbolehkan meskipun pada saat selesai dari shalat yang pertama hujan tidak turun, asalkan ketika memulai shalat yang kedua turun hujan. Adapun ukuran jarak waktu antara dua shalat tersebut kira-kira sebagaimana orang yang mengikat onta. Dalil yang berkaitan dengan masalah ini adalah sebagai berikut:
عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُسَامَةَ ابْنِِ زَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ((دَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَرَفَةَ, فَنَزَلَ الشِّعْبَ فَبَالَ, ثُمَّ تَوَضَّأَ وَلَمْ يُسْبِغِ الْوُضُوْءَ. فَقُلْتُ لَهُ: الصَّلاَةَ. فَقَالَ: ((الصَّلاَةُ أَمَامَكَ)). فَجَاءَ الْمُزْدَلِفَةَ فَتَوَضَّأَ فَأَسْبَغَ، ثُمَّ أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَصَلَّي الْمَغْرِبَ، ثُمَّ أَنَاخَ كُلُّ إِنْسَانٍ بَعِيْرَهُ فِيْ مَنْزِلِهِ، ثُمَّ أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَصَلَّى، وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا ))
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَمُسْلِمٌ فِِيْ صَحِيْحَيْهِمَا.
Artinya :
Dari Kuraib dari Usamah bin Zaid ra. bahwasanya dia (Kuraib) mendengar dia (Usamah) berkata: “Rasulullah saw. meninggalkan Arafah, kemudian singgah di sebuah lereng gunung lalu kencing, kemudian beliau berwudlu dan tidak meyempurnakan wudlu. Maka aku (Usamah) mengatakan kepada beliau: Shalat (wahai Rasulullah). Lalu beliau mengatakan: Shalat masih di depanmu. Kemudian (tatkala) tiba di Muzdalifah lalu beliau berwudlu dengan menyempurnakannya, lalu diiqamatilah shalat tersebut kemudian beliau melakukan shalat Maghrib. (Setelah selesai shalat) lalu masing-masing orang menderumkan ontanya di tempatnya. Kemudian diiqamati shalat lalu beliau melakukan shalat (‘Isya`), dan beliau tidak mengerjakan shalat di antara keduanya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lafadh ini baginya, dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya.

2.1.3 Pendapat Asy-Syafi’iyyah
Asy-Syafi’iyyah mengatakan bahwa menjamak shalat di waktu hujan hanya boleh dilakukan dengan jamak taqdim. Artinya tidak boleh menjamak shalat dengan jamak ta`khir, karena tidak ada kepastian bahwa hujan turun terus-menerus sampai waktu shalat kedua.
Pendapat tersebut sesuai dengan hadits Ibnu ‘Abbas, sebagaimana yang telah penulis bahas pada analisa pendapat Malikiyyah yang telah lewat.
Penulis membenarkan alasan tentang tidak adanya kepastian bahwa hujan turun terus-menerus sampai waktu shalat kedua, sebab jika seseorang akan menjamak shalat secara ta`khir karena hujan, ada kemungkinan hujan berhenti sebelum datang waktu shalat kedua. Dengan begitu kalau dia tetap menjamak shalat secara ta`khir, tentunya bukan disebabkan adanya hujan, karena hujan sudah berhenti.
2.1.4 Pendapat Ahmad bin Hanbal
Pendapat Ahmad bin Hanbal menunjukkan bahwa menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` karena hujan diperbolehkan, dengan syarat hujan tersebut membasahi pakaian.
Menurut Ibnu Qudamah, Ahmad bin Hanbal berpendapat demikian berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Atsram dalam kitab Sunannya sebagai berikut:
...أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْماَنِ قَالَ : أَنَّ مِنَ السُّنَّةِ إِذَا كَانَ يَوْمٌ مَطَرٌ أَنْ تُجْمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.رَوَاهُ اْلأَثْرَمُ
Artinya :
“…Bahwasanya Abu Salamah bin ‘Abdurrahman berkata: Bahwa menurut sunnah, apabila turun hujan pada suatu hari hendaklah shalat Maghrib dijamak dengan shalat ‘Isya`.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Al-Atsram.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` pada waktu hujan diperbolehkan, menurut sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, penulis tidak mendapatkan kitab Sunan yang disusun oleh Al-Atsram. Demikian pula, riwayat itu tidak disebutkan dengan sanad yang jelas pada kitab-kitab hadits, melainkan hanya tercantum pada kitab-kitab fiqih, sehingga penulis tidak dapat menentukan derajat hadits tersebut. Di antara kitab-kitab fiqih tersebut adalah Fiqh As-Sunnah , At-Tamhid , dan Al-Muqni’ yang telah penulis kutip sebagaimana hadits di atas. Karena tidak ada matan yang jelas dan tidak diketahui silsilah sanadnya maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil.
Meskipun dalil yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal tertolak, akan tetapi pendapat beliau tersebut sesuai dengan hadits Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa Rasulullah menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` ketika di Madinah. Oleh sebab itu pendapat beliau tentang dibolehkannya menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` dapat dibenarkan.
Adapun pendapat Ahmad bin Hanbal tentang syarat bahwa hujan tersebut membasahi pakaian tidak bisa dibenarkan karena matan hadits Ibnu ‘Abbas tidak menyebutkan syarat dibolehkannya menjamak shalat. Wallahu A’lam.

2.1.5 Pendapat Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` itu diperbolehkan pada salah satu dari tiga keadaan:
1. Hujan.
2. Angin yang sangat keras yang dingin.
3. Lumpur yang sangat banyak.
Pendapat tentang bolehnya menjamak shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya` yang disebabkan salah satu dari tiga keadaan di atas tidak dapat dibenarkan, sebab dhahir hadits yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas tidak menyebutkan syarat menjamak shalat.
Menurut penulis, menjamak shalat itu diperbolehkan tanpa syarat sehingga penetapan tiga keadaan tersebut sebagai syarat menjamak shalat tidak dapat dibenarkan. Wallahu a’lam.
2.1.6 Pendapat Muhammad Asy-Syarbaini
Muhammad Asy-Syarbaini berpendapat bahwa menjamak shalat pada waktu hujan bagi orang yang bermukim itu diperbolehkan meskipun hujan tersebut tidak lebat tetapi membasahi baju atau pakaian yang lainnya.
Pendapat Asy-Syarbaini tersebut tidak dapat dibenarkan karena matan hadits Ibnu ‘Abbas tidak menyebutkan syarat menjamak shalat. Wallahu a’lam.
2.2 Tidak Boleh Menjamak Shalat Karena Hujan
Al-Auza’i dan Ashhab Ar-Ra’yi (Abu Hanifah beserta sahabat-sahabatnya) berpendapat bahwa menjamak shalat karena hujan itu tidak diperbolehkan.
Selain itu, Hanafiyyah berpendapat bahwa menjamak shalat pada waktu safar dan hadlar tidak diperbolehkan kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Dalil mereka adalah ::
"حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ...الآية" {البقرة (2) : 238}
Artinya :
Peliharalah oleh kalian shalat-shalat …dst.
[Q.S. Al-Baqarah (2) : 238]

"إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَي الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَّوْقُوْتًا"
{النساء (4) : 103}
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
[Q.S. An-Nisa’ (4) : 103]
Mereka memandang riwayat-riwayat tentang shalat jamak merupakan jamak suwari, sebab matan hadits tentang shalat Jamak menyebutkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat pertama di akhir waktu. Mereka berpendapat demikian supaya hadits-hadits tentang shalat jamak tidak bertentangan dengan kedua ayat di atas.
Penulis berpendapat bahwa kedua ayat dan hadits-hadits tersebut tidak tepat jika dijadikan sebagai dalil tidak diperbolehkannya menjamak shalat kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Kedua ayat tersebut memerintahkan supaya muslimin mengerjakan shalat pada waktu-waktunya, akan tetapi penulis mendapatkan hadits yang mentakhsis kedua ayat tersebut di antaranya:
1. Hadits Ibnu ‘Abbas tentang Rasulullah menjamak shalat ketika di Madinah .
2. Hadits Ibnu ‘Abbas tentang Rasulullah menjamak shalat ketika safar:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الصَّلاَةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ, وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ
Artinya:
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu dia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat Dhuhur dengan shalat ‘Ashar, dan shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`, apabila beliau dalam perjalanan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.

Dari argumen di atas, jelaslah bahwa apa yang dikatakan Hanafiyyah bahwa menjamak shalat pada waktu hadlar maupun safar tidak diperbolehkan kecuali di Arafah dan Muzdalifah berdasarkan kedua ayat di atas itu, kurang benar. Oleh sebab itulah penulis lebih condong pada pendapat yang membolehkan shalat jamak, baik pada waktu hadlar maupun safar. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Adapun dalam menanggapi pandangan Hanafiyyah terhadap riwayat-riwayat tentang shalat jamak yang mereka anggap sebagai jamak suwari, penulis mendapatkan riwayat-riwayat tentang shalat jamak yang bukan jamak suwari, misalnya:
أَخْبَرَنِيْ سَالِمٌ عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ فِى السَّفَرِ يُؤَخِّرُ صَلاَةَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ. قَالَ سَالِمٌ: وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يَفْعَلُهُ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ, وَيُقِيْمُ الْمَغْرِبَ فَيُصَلِّيْهَا ثَلاَثًا ثُمَّ يُسَلِّمُ, ثُمَّ قَلَّمَا يَلْبَثُ حَتَّى يُقِيْمَ الْعِشَاءَ فَيُصَلِّيْهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ, وَلاَ يُسَبِّحُ بَيْنَهَا بِرَكْعَةٍ وَلاَ بَعْدَ الْعِشَاءِ بِسَجْدَةٍحَتَّى يَقُوْمَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ.
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِيْ صَحِيْحِهِ.

Artinya:
Salim telah mengabarkan kepadaku dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma dia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau harus segera berjalan dalam suatu safar , beliau mengakhirkan shalat Maghrib sampai beliau menjamaknya dengan shalat ‘Isya`. Salim mengatakan: Adalah ‘Abdullah melakukannya apabila beliau harus bersegera dalam satu perjalanan, maka beliau mengiqamati (shalat) Maghrib, lalu mengerjakan shalat tiga (rakaat) kemudian salam. Beberapa saat kemudian beliau mengiqamati (shalat) ‘Isya` lalu mengerjakan shalat dua (raka’at) kemudian salam. Adapun beliau tidak mengerjakan shalat satu raka’at pun antara shalat Maghrib dengan shalat ‘Isya`, dan tidak mengerjakan shalat satu raka’at pun sesudah shalat ‘Isya` sampai beliau bangun di tengah malam.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.
Hanafiyyah berpendapat bahwa hadits tersebut dianggap sebagai jamak suwari, sehingga tidak bertentangan dengan kedua ayat yang memerintahkan supaya muslimin mengerjakan shalat pada waktu-waktunya. Penulis tidak setuju dengan anggapan tersebut karena hadits di atas menyebutkan bahwa Rasulullah menjamak shalat dengan cara ta`khir apabila beliau harus bersegera dalam satu perjalanan. Selain itu terbukti bahwa Rasulullah menjamak shalat pada waktu safar dan hadlar sebagaimana analisa di atas. (lihat hlm. 27-28) Jadi, diperbolehkannya menjamak shalat pada waktu hadlar dan safar itu merupakan takhsis dari kedua ayat tersebut. Wallahu ‘a’lam.
Dari analisa hadits, beberapa atsar, dan beberapa pendapat ulama tentang hukum menjamak shalat karena hujan, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum menjamak shalat karena hujan adalah mubah.
2. Menjamak shalat karena hujan hanya boleh dikerjakan secara taqdim.


BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menjamak shalat karena hujan hukumnya adalah mubah.
2. Saran
Dalam masalah khilafiyah tentang hukum menjamak shalat karena hujan, hendaknya kaum muslimin tidak menjadikannya sebagai bahan perselisihan.
Al-hamdulillah, dengan idzin Allah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini, meskipun belum sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan.
Akhirnya, kepada Allah penulis sampaikan harapan semoga makalah ini bermanfa’at bagi penulis secara pribadi dan muslimin pada umumnya. Penulis juga berharap semoga makalah ini menjadi amal shalih yang diterima Allah SWT.
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ.
وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.




DAFTAR PUSTAKA

1. Mushhaf Al-Quran Al-Karim
Kelompok Kitab Hadits:
2. ‘Abdurrazzaq bin Hammam, Abu Bakr Ash-Shan’ani, Al-Hafidh, Al-Mushannaf, Majlis ‘Ilmi, Tanpa Nama Kota, Cet. I, 1392 H / 1972 M.
3. Abu ‘Awanah, Al-Imam Al-Jalil Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq Al-Asfara`ini, Musnad Abi ‘Awanah, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
4. Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats, As-Sijistani, Al-Azdi, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
5. Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Dar Ash-Shadir, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan ,Tanpa Tahun.
6. Al-Auza’i, ‘Abdurrahman bin ‘Amr Abi ‘Amr, Sunan Al-Auza’i Ahadits wa Atsar wa Fatawa, Dar An-Nafa`is, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1413 H / 1993 M.
7. Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain bin ‘Ali Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Dar Shadir, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
8. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin ‘Ali, Ma’rifah As-Sunan wa Al-Atsar, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1412 H / 1991 M.
9. Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Al-Mughirah bin Bardizbah, Matn Al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah As-Sindi, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1415 H / 1995 M.
10. Ibnu Hibban, Al-Ihsan bi Tartib Shahih Ibnu Hibban, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1407 H / 1987 M.
11. Ibnu Huzaimah, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq An-Naisaburi, As-Sunan, Al-Maktab Al-Islami, Tanpa Nama Kota, Cet. II, 1412 H / 1987 M.
12. Malik bin Anas, Abu ‘Abdillah, Al-Muwaththa’ Al-Imam Malik, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
13. Muslim, Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim, An-Naisaburi, Al-Jami’ Ash-Shahih, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
Kelompok Kitab Syarah Hadits:
14. Al-Kandahlawi, Muhammad Zakariyya, Aujaz Al-Masalik ila Muwaththa’ Malik, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1400 H /
1980 M.
15. Al-Kirmani, Shahih Abi ‘Abdillah Al-Bukhari bi Syarh Al Kirmani, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, Beirut, Lebanon, Cet. II, 1401 H / 1981 M.
16. Al-Qashthalani, Irsyad As-Sari, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1416 H / 1996 M.
17. An-Nawawi, Abu Zakariyya, Yahya bin Syaraf, Muhyiddin, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
Kelompok Kitab Fiqih:
18. Al-Jazari, ‘Abdurrahman, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1411 H / 1990 M.
19. Asy-Syafi’i, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, Cet. II, 1403 H / 1983 M.
20. Ibnu ‘Abdil Barr, Yusuf bin ’Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil Barr Al-Qurthubi, At-Tamhid Lima fi Al-Muwaththa` min Al-Ma’ani wa Al-Masanid, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, 1419 H / 1999 M.
21. Ibnu Qudamah, ‘Abdullah bin Ahmad bin Al-Maqdisi, Al-Muqni’, Maktabah Ar-Riyadl Al-Haditsah, Riyadl, Tanpa Nomor Cetakan, 1400 H / 1980 M.
22. Ibnu Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, 1408 H / 1986 M.
23. Muhammad Asy-Syarbaini, Al-Iqna’ fi Halli Abi Syuja’, Dar Al-Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
24. Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Dar Al-Kutub Al-‘Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
Kelompok Kitab Rijal:
25. Ibnu Hajar, Abu Al-Fadlel Ahmad bin ‘Ali Al-‘Asqalani, Al-Hafidh, Tahdzib At-Tahdzib, Mathba’ah Majlis Da`irah Al-Ma’arif, Tanpa Nama Kota, Cet. I, 1366 H.
26. Al-Mizzi, Jamaluddin Abu Al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib Al-Kamal fi Asma’ Ar-Rijal, Mu`assasah Ar-Risalah, Beirut, Cet. V, 1415 H / 1994 M.
Kelompok Kitab Mushthalah:
27. A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro, Bandung,
Cet. V, 1990 M.
28. Mahmud Ath-Thahhan, Dr., Taisir Mushthalah Al-Hadits, Dar Al-Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
29. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Dr., Ushul Al-Hadits ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, Dar Al-Fikr, Tanpa Nama Kota, Tanpa Nomor Cetakan, 1409 H / 1989 M.
Kelompok Kamus:
30. Abdul ‘Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Indonesia, Cet. IV, 1997 M.
31. Ibnu Al-Atsir, Abu As-Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari, An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, Dar Al-Fikr, Tanpa Nama Kota, Cet. II, 1399H/1979 M.
32. Ibrahim Unais et al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Kairo, Cet. II, 1392 H/1972 M.
33. Taufik Abdullah et al., Prof. Dr., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Indonesia, Tanpa Nomor Cetakan,
2002 M.
Buku Lain-Lain:
34. Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, Pustaka Hidayah, Tanpa Nama Kota, Cet. I, 1421 H / 2000 M.
35. Ibnu Hajar, Syihab Ad-Din Abu Al-Fadlel Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Kinani Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, Talkhish Al-Habir li Ar-Rafi’i Al-Kabir, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cet.I, 1419 H / 1998 M.
36. Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE, UII, Yogyakarta, Tanpa Nomor Cetakan, 1997 M.
37. Sutrisno Hadi, Prof. Drs., Metodologi Research, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Cet. XIV, 1983 M.





LAMPIRAN

Derajat Hadits-Hadits yang Dijadikan Dalil Perihal Menjamak Shalat Karena Hujan
1. Derajat Atsar Ibnu ‘Umar tentang Beliau Menjamak Shalat Bersama Para Pejabat pada Waktu Hujan
Sanad atsar Ibnu ‘Umar tersebut, mempunyai susunan rawi sebagai berikut:
1. Nafi’
2. ‘Abdullah bin ‘Umar
Mahmud Ath-Thahhan mengatakan apabila ada riwayat dengan sanad Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, adalah derajat yang paling tinggi dari derajat hadits shahih .
2. Derajat Atsar ‘Umar bin Khaththab tentang Menjamak Shalat Dhuhur dengan Shalat Ashar pada Waktu Hujan Lebat
Sanad atsar tersebut, mempunyai susunan rawi sebagai berikut:
(1) ‘Abdurrazzaq
(2) Ibrahim bin Muhammad
(3) Shafwan bin Sulaim
(4) ‘Umar bin Khaththab
Pada sanad atsar tersebut, semua rawinya adalah rawi-rawi tsiqat kecuali Ibrahim bin Muhammad. Ia adalah rawi dla’if dan dikatakan sebagai seorang pendusta. Ia mempunyai hadits-hadits munkar, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Oleh sebab itu hadits ini tergolong sebagai hadits dla’if.


3. Derajat Atsar Ibnu ‘Umar tentang Penduduk Madinah Menjamak Shalat Maghrib dengan Shalat ‘Isya`pada Malam Hujan Lebat.
Sanad atsar Ibnu ‘Umar tersebut adalah :
1. ‘Abdurrazzaq
2. Ma’mar
3. Ayyub
4. Nafi’
Pada sanad atsar di atas, semua rawinya adalah rawi-rawi tsiqat kecuali Ayyub. Ia adalah rawi dla’if, seorang pendusta yang ditinggalkan haditsnya. Oleh sebab itu atsar ini tergolong dla’if.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar